Cover Sajak_Isbedy Stiawan ZS

Sajak-Sajak Isbedy Stiawan ZS

Sebelum Tiba

apakah satu angka baru kautandai
berhenti sebagai bilangan? katamu,
“untuk melengkapi langkahku
kemudian.” sebelum tiba di taman itu
– perhelatan sesaat — maka kau gegas
mewarnai langit, menghitung tetes
embun yang rapuh dan jatuh di tanah
bungabunga kuncup lalu mekar. matahari
cahaya dan redup. laut yang pasang
dan surut gelombangnya

semua akan menunggu
jatuh dan dilipat oleh kalender

– begitu?

*

lalu waktu
tak lagi berbagi
pada jejakku yang
tenggelam

*

aku hanya bisa melihatmu; wajah
bagaikan awan tak lama hujan,
tanganmu menadah namun buka
ke langit. langlahmu ringan,
menyeret jam malam kembali pulang

wajahmu bagai laut surut; aku hanya
tahu itu, ketika lewat depanku
yang menunggu di dekat dermaga

berwajah kelabu…

*

jam kunjungan tak ada lagi
pintu keluar telah ditutup
di kota itu kekasih menanti
di tangannya mawar yang sepi

jam kunjungan diumumkan
kekasih sendiri, malam-siang

sepi; mawar bisa pula layu

 

Sebelum Pintu Kurapatkan

masih adakah yang bertamu
ini malam, sebelum gerbang
kukunci dan pintu depan
kurapatkan, lampu
kupadamkan. kelam segala
ruang jalan semakin lengang

masih adakah tamu ini malam
selagi pintu kubiarkan menguak
dan lampulampu menyala
: aku juga masih ingin bercakap;
meminum kopi, melambungkan
asap rokok ke langit. menggapai
tangan yang selalu menunggu

sebelum tak ada lagi kopi + rokok,
disisihkan dari meja ini. karena
aku sudah pindah ke lain ruang

mahakosong!

2020-2021

 

Hanya Halte

malam hanya sebuah halte
aku boleh menghirup sesaat
udara, lalu kembali kunaiki
bus yang tak kukrabi. kecuali
supir yang bergantiganti
dan kondektur bersuara petir
(kadang tangannya menjelma
belalai gajah saat perempuan
berjalan dekatnya. setelah itu
seakan tak ada peristiwa)
di dekat telinga. menyebut
nama halte yang kelak berhenti
– menaiki dan menurunkan
penumpang. hampir sama bagi
kehidupan maupun kematian:
bus ini mengantar lalu
menelantarkan di sembarang
halte suatu kota yang asing

bahkan dalam igaupun
tak pernah tersebut

malam hanyalah jeda
aku harus hatihati memasukinya

“jangan tersesat di labirin itu.”

 

Belum Tidur

belum tidur, isbedy?

lihatlah di mejaku
masih segelas kopi
rokok yang menyala
dan bertumpuk otakku
yang pesiar — kau menyebut
piknik — ke negeri jauh
negeri yang hilang
di luar kepala. amat liar
ia dari seluruh ular

rokok + kopi setia
menemani dan mengajakku
pesiar tanpa kapal; tiada
laut yang biasa kupanggil
tiada jalan yang kurindu
karena kota tak lagi
menerima pendatang dan
para penghuni hanya di rumah

sampai kota kembali cerah
ketika itu pintupintu dibuka
yang datang membesuk
yang pergi hanya dikenang

19 Juli 2021/9 Zulhijah 1442

 

Letak Kematian

/1/
karena aku belum tahu
di mana kau letakkan
kematian, aku pun
mendugaduga. kalau ia
ada di buku pelajaran,
gambar atau lukisan,
bahkan di kitab agama

kucari dan baca, aku buka
peta menujumu. dari suka
kuterima petaka. di padang
pasir kuburu, sebagaimana
hajar mengharap setetes air
untuk putranya yang dahaga
seperti musa yang hanya
menangkap cahaya, dan
pandangnya silau

dan aku mengirangira
karena sedikit diberi ilmu
— kematian kau letakkan
di dalam tubuhku, dan telah
kutulis di setiap halaman
buku tipis ini — kulit bawang
yang dikupas perempuan itu
sampai jarinya luka: ia tidak
sadar. dia kecup darah itu
seperti menjilati bibir pangeran,

betapa syahdu

/2/
surat yang kutulis di lembar biru
kau baca sebelum akhirnya bertemu
kau lompati malam untuk malam yang lain
pasang surut gelombang, mendorong
pantai jauh sekali ke sana. aku ingin
menangkapmu yang kini menjelma perahu
kecil di mataku. digoyang oleh mimpiku

 

Bernyanyi Untukku

ada yang bernyanyi untukku
siang minggu riang. lagu demi
lagu, jalan yang sendu, perjalanan
penuh rindu

lalu siapa yang bertatapan,
seperti sepasang merpati amat kangen
bangun sarang; setelah bercinta

*

kau akan mencintaiku?
lirik lagu itu berulang kaulaungkan
di minggu siang yang sepi. jalan di kota
sejak pukul 10.00 ditutup untuk yang
bertamu dan berangkat

tak ada wisata
tiada cinta!

kenapa kau masih saja
meragukan cintaku?
– senandungmu,
kau sebut berkalikali –

lalu, masih adakah cinta?
(aku rajam lapar,
dahaga menggelepar;
ingin mengelak dari maut)

18.07.2021

 

Merpati Lepas ke Langit

merpati lepas ke langit
sayapnya yang basah
bagai gerimis kurasa
saat mengenai wajahku

pagi. tak perlu kautanya
apakah masih ada embun
karena yang ada ialah
bekas hujan semalam

sesaat. mencumbui dedaun,

sebelum akhirnya runtuh:
ia rapuh oleh waktu, karena matahari
tidak mau dihalangi. sebuah perjalanan
yang telah diatur waktu dan alamat

kapan dan di mana harus sudah. tanpa
rumah, namun mesti berhenti untuk
merapikan angkaangka dan waktu
terbang
biarpun berulang

..

 

Ada Kabar

lalu ada kabar
hatiku berdebar!

dalam mimpiku
tanganmu lekat
ingin cepatcepat
menyibak angin
menepis ilalang
yang tipis di kaki

: menderas langkahmu
tanpa kautinggalkan jejak
agar aku tak bisa membaca
(bagaimana aku mampu membaca,
aku di sisimu turut mengeja segala)

di antara tawa yang membekas
di gelasgelas kopi, di sela kursi,
dan uraian soal cinta; sesungguhnya
kita tak pernah patah hati, bukan?

ibarat cangkir kopi di meja, tansah
cantik biarpun berulang disentuh
dan ciuman beribukali. masih tetap
gelas. elok di mata

kaulah itu, kaukah itu?
akukah itu, akulah itu!

 

Surat Luka

dengan luka aku menulis surat
untukmu? jari telunjukku yang
berdarah adalah tinta di lembar
kertas putih ini; baca! bacalah
dengan riang hatimu

aku ingin melihatmu tersenyum
saat mengeja perhuruf hingga
selesai suratku itu kaubaca. lupakan
saat luka kutulis, hanya kenangan
ihwal pertemuan tak sengaja

kau mengira aku mainmain, melukai
jariku kemudian menuliskan surat
padamu. bukan karena aku harap
kau memaafkan. “ia memang tampan,
siapa pun melihatnya akan pingsan.”

dan, bacalah suratku dengan tinta merah
sebagai canda di saat kita waswas
dan ketakutan…

 

Percakapan dengan Almanak

kau sebut angkaangka
kaubuka lembar almanak
menunjuk hari; “di sini…”

kulintasi bekas jejakmu
berhenti pada kalender
yang kau tunjuk; “aku tahu…”

di luar, kotakota terkunci
tiada yang bisa memasuki
juga keluar. orangorang
dilarang pakansi. “cukup….”

langit benderang. burungburung
hinggap di batang pohon dan tiang listrik
seperti ingin bernyanyi untukmu

“tapi masih perlukah nyanyian bagimu?
bahkan pada kalender itu memercik
api,
api cintaku. tak padam!”

mari kembali ke kamar
rayakan riang bersama
tanpa kembangkembang
juga hiasan di meja

bukankah tiap waktu
almanak berubah selalu?

17 Juli 2021

 

Kuikrarkan Jadi Kawan

kepada kalian yang kuikrarkan
jadi kawan, apakah
kaurasakan aku
membangun kebencian
lalu diamdiam kuhunus permusuhan
di dadamu? mulutmu yang selalu
menyambut salamku dan wajah
yang terbuka senyum, aku akan
jaga itu: bagaimana dapat
tanganku sampai ke tubuhmu
sambil kugenggam erat belati
yang benci? tanganku taklah
panjang, amat kecil, jemariku
hanya selalu memegang pena
kutulis rahasia dan cerita
dari halamanhalaman hidupku
subjudul demi subjdul asih
paling kasih,

namun kenapa kau tak
rela aku menjenguk rumahmu
dan kau berujar, “isbedy bukan
di sini rumahmu, tapi goa
di ubunubun jabal!”

 

Di Kota Rindu

/1/

di kota rindu
kita bertemu

ini kali sepi

/2/

keluarlah dari rumah
dan kunjungi kota itu
sesudah pukul sepuluh
ketika beratus lampu
dipadamkan, begitu
kelam dan lengang

seperti kota yang baru
dibalikkan, serupa sebuah
kota yang luluh oleh banjir
bahkan lebih sunyi. di sini
orangorang sangat takut
seakan selalu diintai maut
para asykar memburu
orang yang keluyuran

sambil mengacung kunci bui
atau denda koin, para asykar
tak henti menakuti
bikin orangorang terdesak
kembali ke rumah, mengunci
rapat hingga habis napas

“beri aku kerja, kujamin
kota tanpa spanduk
bergambar tinju di udara,”
mulutmulut itu menganga
di kota yang terus dijaga

/3/

pada suatu malam jelang tidur
kau beri tahu jalan yang ingin
kutempuh. tapi yang kudengar
kabar kepergian yang begitu
sering. seperti rumah ini
yang mesti ditinggal, tentang
kota yang kala ini sepi…

Bandarlampung, 15-18 Juli 2021

 

Sambil Mengenang

dari padang terbuka ini
sambil mengenangngenang
cinta bapak-ibu yang dulu
aku akan bermalam di sana
aku jadi pemulung batubatu
kelak kuusir para iblis itu

di sini aku hanya pemulung
ya Tuhan, menadah cinta-Mu

 

Pulangkan Matahari

matahari yang kau minta
pulangkan lagi padaku
aku merasa buta
jalan tertutup + gerbang
menuju kotamu dikunci

aku merabaraba; mana
tubuhmu, bagaimana pula
warna kotamu ini kali

di setiap pintu dijaga
dan mataku amat gelap

 

Perjalanan Keluarga

perjalananmu begitu jauh!

di padang tandus, panas sangat
menyengat. tiada sesiapa ditemui
di antara gununggunung dan bebatu
kau melangkah. mungkin terseok,
telapak melepuh. digoda kembali
atau tidak meneruskan

anak kecil itu menangis. ia dahaga
sekali, lambungnya pipih. seorang
perempuan – ibu dari laki-laki
kecil – berlari dari satu tempat
ke lain tempat; di antara dua
bukit yang juga tandus dan sunyi

menunggu keajaiban!
dahaga dilunasi, waswas hilang

kau berjalan. mencari yang hakiki

 

Di Sini Aku Memulai

aku akan sampai padamu
tanpa daging dan darah
tak perlu itu bagimu
tapi kusiapkan jiwaku
kuingin kau tidak berpaling

jika padangpadang ini
kau persembahkan bagiku
apa bisa kutolak tandus
dan panas menyengat?
sampai kedua bibirku pecah
telapak kakiku berdarah
: aku setia menemuimu

bahkan telah kuserahkan
sibiran tulang
perjaka dari sebagian tubuhku
: kau terima sebagai doaku

di sini aku memulai
untuk sampai

dari sini, aku bangun
untuk perjalanan
amat panjang
sesudahku; orangorang…

 

Nyanyian Ismail

Ismail

Ismail

setelah tunai dahagamu
padang tandus dikepung air
kau serahkan pula dirimu

 

Ismail

Ismail

kalau masih ada menginginkan
dirimu karena itu datang dari
Tuhanmu, kau beri juga?

 

Ismail

Ismail

bukan darah + dagingmu sampai
pada Tuhanmu, tapi assalam
yang sudah dalam tertanam

 

Obituari

satu persatu bagai daun
gugurlah gugur. ke tanah juga
tiba. sebagai air jadi sungai,
jadi subur bumi bagiku mengolah
tanaman. sebagai daging pulang
jadi tanah, awal penciptaan. dari
darah meresap jadi tulang jadi
mula kelahiran

satu demi satu, berapa kali lagi
hitungan kusebutkan. dari nol
menuju satu dua tiga. aduh Tuhan,
cukupkan di sini saja. aku lelah
sudah menghitungnya

berapa tumpahan airmata ke tanah,
mingkin telah jadi sungai berikut
anaknya, mengalir ke pantai dan
bermukim di tubuh laut. oh Tuhan,
aku tak bisa berenang, surutkan
airmataku

kematian kehendak-Mu, tapi izinkan
aku meminta; buang jauh covid itu
yang merenggut satu persatu
dari kami. dan ambillah jika itu
pilihan-Mu, setelah benas dari
thaun yang tak kulihat wujudnya

Tuhan…. (aku malu dan takut
banyak meminta, sebab sudah tak
terhingga aku menerima).

2021

 

Aku Berdiri di Tepi Sungai

apa kau lihat aku berdiri
di tepi sungai itu, sebelum
perahu membelah arus
di kedalaman rahasia-Nya

apa kau ingin membawaku
menembus sungai yang gemuruh,
tak kutahu berapa dalamnya
seperti menerka misteri-Nya

yang kutahu bahwa sungai ini
hidup. detak napasnya sampai
di denyut jantungku. perahu
ini mengukir usiaku yang sesaat

aku bukan perenang. ketika
perahu ini pecah dan terbalik
hidupku pun hanya sekali,
lainnya aku menghuni di dasarnya

: rumah kuapungkan di sana

 

Berkawan Kupukupu dan Kembang

di jalan menuju sunyi ini
kurasakan tak lagi sepi
orangorang datang
lalu kembali pulang
mengantungi airmata
menyirami bungabunga
(juga dengan airmata)

hampir setiap waktu
kudengar kabar
kulihat jalan sunyi ini
semakin mekar
dan hambar
oleh airmata
hujan duka

hampir setiap hari
aku mencatat yang datang
untuk jalan terpanjang
kini aku hanya menulis
entah nanti,
kau yang mengabarkan
sebab penaku patah
tubuh menyatu di tanah

mataku yang berkawan
dengan kupukupu dan kembang

18-21 Juli 2021

 

Pada Mulanya Sunyi

pada mulanya hanya sunyi
kotakota tiada dari daftar
nama di saku celana, kecuali
bentangan padang, gurun,
batu-pasir-air, gunung:
kosong

lalu kuisi lengang itu
kutabuh gendang
agar ada dendang
kubentangkan taliukur
terhubung pulau demi pulau
kuhapalkan benuabenua:

jadilah riuh
jadi tubuh

pada mulanya hanya lengang
pada akhirnya cuma ngiang

dan aku mengisi lengang itu
hanya untuk kaukenang

 

Kutanam Darahku
di Tanjungkarang

di sini aku mula ada,
tanjungkarang!

aku belum lagi tahu
apaapa dan siapa saja
kecuali dua pasang
rel, gaduh besi berjalan
mencekik telinga malamku

kuminum sumur dari tanah
selalu memancur darah
dari orangorang bertikai
dan saling aniaya; di jalan,
samping-depan-belakang rumah

seperti anakanak rindu
capung dan belalang
untuk mainan selepas sekolah

kalau kini kau berkeras
mencoret adaku. menolakku
pulang ke rumah, alasan apa
bermain di kepalamu?

sudah kutanam anyir darahku
kutanahkan ariariku
di tanjungkarang ini. biar pun
kau lupakan, tanah ini tetap
menumbuhkan jadi buku hidupku

2021

 

Tiga Momen

setelah tiba di kepala gunung itu
aku pun tak lagi mendongak, tapi
kuluruhkan pandang ke lereng jauh
segala hanya lembaran tikar
tiada lagi lawan di sini
sebab aku adalah kawan juga musuh

dengan bayang aku bertengkar
pada tanganku saling cakar
di mataku setiap kulihat samar
masuk ke hati, tubuhku gemetar

di gunung itu kuterima suratsurat itu

sesampai di laut luas, baru kurindu
pulau mana pernah mengawinkan
sepasang kekasih, dan jadi aku
yang juga melata di luas tanah

seekor ikan di depanku. sungguh,
kuingin lelap di perutnya. sampai
suatu kelak aku dilepeh ke daratan
“mahasuci Kau, aku termasuk orang
zalim!”

aku sendiri, hilang musuh pergi kawan

kalau pun aku mati
kau ziarah ke laut ini

tapi, sekiranya hutan menyesatkan aku
ke gunung aku tak punya kabar
di laut aku kehilangan mercusuar

kepada-Mu aku meminta?

 

*Isbedy Stiawan ZS,kelahiran Tanjungkarang (kini Bandarlampung), Lampung, dan sampai kini masih menetap di sana. Ia menulis puisi, cerpen, esai, jurnailistik. Buku terbarunya ialah Masuk ke Tubuh Anak-Anak (Pustaka Jaya, 2022), Nuwo Badik dari Percakapan dan Perjalanan, Ketika Aku Pulang (Siger Publisher, 2022).

Penerima buku puisi pilihan HPI 2014, 5 besar buku puisi terbaik Tempo dan 5 besar buku puisi Badan Bahasa Kemendikbud RI (2020) ini pernah sebulan di Belanda pada November 2015.