Idrus F. Shahab

Puisi-Puisi Idrus F. Shahab

AUTUMN LEAVES

Memang hidup seperti ini
Perpisahan tak membuat kita mati

Senandung yang menusuk,
ringkik kuda di malam buta

Ahoi, api kemarahan ini
keras-kepala ibarat
seorang pelukis buta melukis
alis sang kekasih

Pagi, sebelum kokok ayam pertama
ia muncul, dengan kanvas hitam di tangan

Tanpa warna,
hanya bunyi gemerisik di kejauhan
Seseorang baru saja lewat,
meninggalkan mimpi2nya
tentang hidup, berumahtangga, dan mati

(Jakarta, 2018)

 

LARON

Ayah,
Di malam sehitam jelaga ini
Biar kutegakkan tangga
siapa tahu di sana ada kehidupan tak terhingga

Manis tak berujung pahit
Muda tak beranjak tua
Hidup tak berakhir mati

Nak, suara sang ayah bergetar
Kau mencari cinta
dengan kunang-kunang di kedua mata
Malam pengantin, tetes cuka di atas luka

Kau bukan apa yang kau cari, katanya.
Air asin bukan pemuas dahaga

Di bawah gerimis malam yang lirih,
dua sejoli berjalan beriringan,
Mencari arti, masing-masing punya cerita sendiri
tentang laron yang selalu mati mengejar api.

(Jakarta, 2018)

 

KEPADA KAWAN II

Di depan bulan yang sedang berendam di cokelat air Ciliwung,
seorang pemuda berkaca dan berbisik,
apakah kau akan membawa tubuhku yang sia-sia ini ke muara,
di mana segala serapah, amarah, juga cinta di negeri yang terbelah ini
akan istirah dalam tidur panjang

Tak menjawab, sungai yang tua dan lelah itu menggeliat

Di langit, malam dan dingin mengeras
Ketika bintang-bintang mulai memasang tirai yang menutupi wajahnya,
si pemuda mengeluarkan selembar kertas dari sakunya
perlahan-lahan ia mengunyah dan menelan
Manifesto ini tidak untuk dibacakan, katanya
Sebelum tubuhnya menghilang di keruh Ciliwung, ia sempat membisikkan sesuatu
Namaku Reformasi, suaranya lirih, hampir tak terdengar

(Jakarta, 2019)

 

BULAN HIJAU

Putri kecil
suka menyanyi:
Rumahku di bawah bayang-bayang rumahmu
Kecil, tak berpagar
Tapi aku suka memandang langit malam
Bulan hijau, bintang-bintang
yang bisa kupetik, kukenakan sebagai giwang

Putri kecil
suka menyanyi:
Rumahku di bawah bayang-bayang rumahmu
Dengan setampah pisang goreng,
aku mengetuk pintumu
bulan hijau tahu aku tak pernah menangis
mataku hanya bertanya
Kakak, mengapa rumahmu berpagar tinggi

(Jakarta, 2020)

 
KEKASIH 

Tuhanku,
setelah seribu khianat yang melahirkan
sejuta kesumat
Kau kah itu,
tetap menanti di ujung gang gelap
di bawah pohon mahoni tua
manakala purnama belum lagi bundar genap
Bagai menanti kekasih gelap, yang lenyap
tercabik-cabik waktu

(Jakarta, 2017)

 

PEJALAN JAUH 

Ciliwung
kereta hiburan yang tak kenal berhenti
berpuluh tahun kita berjalan-beriringan
tujuan kita sederhana, tapi jalan masih jauh
Nun di tepian sana,
ada dua buah gunung, dan satu matahari yang
tersenyum di tengah2nya

(Jakarta, 2021)

 

CINTA, CINTA

Cinta, cinta
lahir dari sebuah perjanjian,
mungkin juga kutukan
buat mereka yang “rindu rasa rindu rupa”
“Biar Kutunggu…
Seumur hidup, kau akan mencari rumah-Ku”

Aku Khayyam*
seumur-umur mencari alamat yang Kau tuliskan
pada secarik kertas
“alastu birobbikum”**
dengan anggur di tangan kiri, rubayat di tangan kanan
di pintu-Mu kuteriakkan salam keras-keras

“Aku sibuk
datanglah lagi besok, lusa, minggu depan, tahun depan
Sekarang,
Kuhabiskan waktu untuk menunggu-merindukanmu”

*Penyair, sufi, ahli matematika Persia yang kerap menggunakan idiom anggur buat melukiskan kasmaran pada Tuhan
** Sebelum lahir ke bumi, manusia terikat sebuah “perjanjian .“ Pengakuan bahwa “Allah itu Tuhanmu”
 
(Jakarta, 2021)
 

NANGGALA 402

(Simpati yang dalam untuk 53 pahlawan
yang menyerahkan hidupnya untuk negeri)

Bulan sabit segaris kuning
lengkung alis istri biar kukenang

Wahai laut, wahai gelombang
di dalam perjalanan
yang semakin gelap dan sepi ini
rindu kubawa ke laut dalam

Di rumah anak-istri menunggu magrib dan kabar
Namun Dia lebih rindu
‘Aku menanti kalian di kedalaman sana’

Al fatihah..

(Jakarta, 2021)

 

BUAT KAWAN YANG GUGUR  
 
Di stasiun yang tak lagi disinggahi kereta ini
Kamilah bangku-bangku kosong
yang menyimpan kenangan dan bayangan

Ketika kematian dan kehidupan semakin tak berjarak
Tolong daraskan talkin, yasin dan doa yang sayup
Kami pergi dalam sepi
tanpa bendera kuning dan iring-iringan sanak-saudara

Kepergian kami memang tak bisa menghentikan
pertikaian kalian yang semakin tak masuk akal:
silih berganti
menyamakan kesia-siaan dengan kepahlawanan
menyamakan kepahlawanan dengan pengkhianatan

Kami telah bekerja tanpa suara,
sekarang kami pergi tanpa suara
Tolong daraskan doa, al fatihah dan surah yasin
perlahan saja..

(Jakarta, 2021)

 

KAWAN LAMA

Sesekali,
dengarkan sunyi ini
begitu banyak yang dikatakannya

tentang
kesabaran pantai
menanti bahtera yang tersesat,
tentang
lolong anjing di kota-kota
yang ditinggalkan penduduk,
tentang
pintu-pintu nurani
yang menunggu ketukan pemiliknya

Sesekali,
kunjungi kawan lamamu ini: sunyi

(Jakarta, 2022)

 

PENANTIAN

Rindu itu
dua mata, basah di dasar kolam

Rindu itu
lilin tua, menetes ke dalam hati
hangat sampai ke sumsum

Rindu itu
pintu langit, yang selalu menanti
ketuk
tak pernah libur di tanggal merah

(Jakarta, 2022)

 

*Idrus F Shahab, wartawan senior di ibukota, banyak menulis opini dan esai, terutama mengenai musik. Bukunya “Ole-ole Jakarta dan Orkes Pemilu” menyinggung nasib orang Betawi di antara hiruk-pikuk metropolitan Jakarta.