Hare Rumemper : Teater Sebagai Laboratorium

Oleh A Zaenuri

Lahir di Surabaya, 6 Juni 1954. ‘Hare’ nama panggilannya, dia adalah darah Belanda. Kakeknya seorang Belanda pedagang rempah-rempah kawin dengan perempuan pribumi Banda Neirah. Dari sini lahir bapaknya dan menikah dengan perempuan Tulungagung dari keluarga seniman. Keluarga ibunya banyak yang jadi seniman bahkan pamannya dalang wayang kulit. Hare lahir di Surabaya, karena kesenian sudah jadi bagian hidup keluarganya jadi lumrah kalau sejak kecil sering diajak ibunya nonton wayang orang di daerah Kapasari (Surabaya), bahkan bisa dibilang hampir seminggu dua kali.

Suatu ketika ada tontonan wayang orang yang membuat tehnik penataan panggung yang menarik sekali hingga sekarang tontonan itu terlintas kuat di benak Hare. Ceritanya pada saat itu ada raksasa yang akan bertapa ingin jadi ksatria. Dengan seting yang sederhana sekali, ada sebuah kotak lalu didekor semacam goa pertapaan. Raksasa yang akan bertapa tersebut lalu masuk ke dalam goa itu dan dalam waktu sekejab goa itu terbalik. Dan sekejab pula berubah menjadi tempat kejadian (setting) lain, ini adalah tehnik panggung yang luar biasa menurut Hare. “Kalau saya mengingat tontonan tersebut, sampai sekarang saya masih belum paham cara membalikkan goa menjadi tempat lain”, kenangnya.

Foto diri Hare Rumemper. (Sumber: Penulis)

Itulah salah satu hakekat konsepsi ruang dalam seni tradisi yang hingga sekarang masih menjadi pertanyaan penting yang belum terjawab bagi dunia modern. Hingga sekarang pertanyaan semacam itu menjadi klasik dan hanya ada satu kepastian, yakni jawaban yang memiliki keraguan. Ruang dalam tradisi bisa memunculkan ruang tak terbatas (absolut) dan ruang nyata (relative) dengan penuh pembedaan. Ruang tak terbatas tidak dapat dideteksi dengan indra sedang ruang nyata bisa terukur. Sedangkan ruang dalam pertunjukan sendiri adalah perubahan dari yang tak terbatas menjadi nyata. Inilah konsekwensi logis hadirnya ilustrasi perkawinan estetik yang luar biasa yang dikagumi Hare dalam seni tradisi.

Peristiwa ini praktisnya, kita diajak memisahkan, membatasi dan membawa suatu bagian ruang yang tak terbatas ke dalam skala manusiawi. Itu artinya kita telah membawa bagian ruang ke dalam kehidupan sebagai suatu kenyataan. Dengan cara semacam ini, suatu bagian dari ruang telah di serap ke dalam sistim manusiawi kita. Ruang secara nyata yang kita terima seperti apa adanya, mengejawantahkan diri hanya sebagai kelanjutan dari sebagian realitas yang dihasilkan melalui pembatasan yang nyata. Demikian juga ketidak keterbatasan ini kalau di rujuk dalam makna yang lain, kemutlakannya juga bisa diangkat sebagai sifat Keillahian. Disinilah tradisi bisa dengan kuat menjaga keabadian ruang yang tak terbatas karena ruang yang absolute menjadi ruang yang transkenden. Oleh karena itu ide ruang dalam tradisi mendahului persepsinya.

Jelajah
Masa kecil Hare Rumemper, jauh dari tetangga karena rumahnya dulu dikelilingi lapangan rumput luas, menyerupai padang rumput di daerah Tambaksari. Pada masa-masa itu Hare cenderung bergelut menyelami pengalamannya sendiri.Sehingga setiap suasana yang akrab dengan kesendiriannya cepat sekali menyerap dirinya untuk masuk dalam pusaran yang mengundang kepekaannya. Pada saat itu Hare setiap sore duduk di depan rumahnya yang dikelilingi lapangan luas sambil melihat seseorang yang sendirian bermain saxophone (trompet) di atas tribun kecil di seberang rumah.

Saat itu lapangan sepok bola (semacam lapangan Tambaksari sekarang) belum terbentuk, jadi baru ada tribun kecil di seberang rumahnya yang jaraknya cukup jauh kalau dipandang. Hampir setiap sore orang tersebut hadir dengan waktu yang sama menyambut senja. Dengan memainkan saxsafon mengumbar segala pengembaraan batinnya. Dalam kesendiriannya dia membuat ruang pertunjukan sendiri yang luar biasa. Seakan-akan dia sudah faham bahasa alam dan lingkungan yang sedang dihadirkan di tengah lapangan ini dengan memainkan kekencangan sumber suara lewat musik yang ditiupnya. Setiap sore Hare menonton sendirian permainan musik orang tersebut, sehingga antara penonton dan pemain ada kontak kesendirian yang hikmad dan khusuk yang tidak bisa terusik.

Hare Rumemper dalam sebuah pementasan. (Sumber: Penulis)

Darisini ada ruang luas yang digemakan dari kedalaman hati kecil yang lapang. Hare mulai merasakan betapa pentingnya ruang dari dalam yang membias keluar dirangkai dengan berbagai gagasan. Ini pelajaran yang luar biasa, bagaimana bisa belajar ketemu dengan diri sendiri. Terbayang seseorang memainkan trompet di tengah lapangan luas berdiri sendiri dengan bayang-bayang lengkingan suara dari dalam jiwanya. Ruang sebesar itu menganga di antara jeritan suara lengking yang menyayat-nyayat senja. Dari sini muncul rasa keleluasaan bahwa di bantaran luasnya tanah lapang ini ada ruang di luar yang besarnya bisa mencapai – sampai menjadi – kekaguman yang Agung.

Ketika Hare kelas V sekolah dasar, pemerintah kota menginginkan tempat tersebut untuk dijadikan lapangan sepak bola yang berstandar nasional. Tiba-tiba Hare dan keluarganya pindah begitu saja dan tanah seluas itu diberikan oleh keluarganya Hare tanpa meminta ganti rugi apapun dari pemerintah. Lalu pindah di kampung sebelah di daerah Rangka, mulai saat itu kehidupan sehari-harinya sudah bertetangga. Sampai kelas II Sekolah Menengah Atas (SMA) dia berhenti sekolah karena tidak ada biaya.

Dalam masa-masa ini dia mencoba mengisi kegiatan sehari-harinya dengan bekerja menjual koran. Dan wilayah jualannya di daerah pusat kota tepatnya Balai Pemuda. Mondar-mandir di tempat yang banyak ditongkrongi anak muda ini, Hare mulai bertanya-tanya, kok banyak anak muda yang lalu-lalang dengan segala atribut kesederhanaannya yang sedang melakukan aktivitas. Lalu bergabunglah di tempat tersebut, yaitu kelompok kesenian Bengkel Muda Surabaya. Disini dia menemukan kecocokan karena bisa meluapkan semua pikiran kreatif keseniannya yang selama ini sudah dia timbun.

Muncullah gagasan-gagasan yang sudah terpendam untuk di luapkan kembali sehingga karakter berkeseniannya liar sekali. Karena pengalaman Hare yang sudah dekat sekali dengan warna tradisi bergesekan dengan pertunjukan-pertunjukan modern. Panggung, ruang, musikal, benar-benar menjadi menarik dalam garapannya. Pengalaman-pengalaman di Balai Pemuda (Bengkel Muda, Aksera) inilah yang membawa dirinya semakin peka berprikemanusiaan.

Hare Rumemper. (Sumber: Penulis)

Labolatorium  
Semua yang pernah terlibat panggarapan dengan Hare, pasti menujukan rasa lega, bangga dan percaya diri yang tinggi.Mereka berpendapat, bahwa Hare, orangnya lengkap dalam memahami segala persoalan, dia adalah tipe orang yang kegelisahannya sangat tinggi. Baginya setiap menggarap drama yang selalu dimunculkan tantangannya sehingga garapan-garapannya tidak terbayang hasil jadinya seperti apa. Dia tidak sekedar menaklukkan gagasan-gagasan yang ada di naskah tapi juga menaklukkan kemauannya yang harus selalu taat dengan proses yang sedang berubah. Dia punya istilah setiap membersihkan pikirannya, mengatakan ‘Mencari Sakit’.Yaitu dengan menghadiri semua acara yang menurut seleranya kurang disukai. Artinya setiap apa yang tidak dimengerti, setiap yang kurang disukai, selalu saja ditaklukkan dengan proses kesabarannya.

Hal ini tidak saja muncul di dalam gagasannya tapi laku sehari-haripun juga terbawa melalui kesadarannya. Sehingga terkesan mudah jemu, cepat menolak kemapanan, selalu kurang percaya dengan konsep-konsep modern, baginya semua itu terasa membatasi. Pola semacam ini selain ada dalam bentuk pikirannya, juga muncul di garapannya, juga di visual panggungnya (akting). Pengetahuan-pengetahuan modern baginya hanya memunculkan pengulangan sehingga ada ruang sempit yang dilebar-lebarkan. Realitas inilah yang harus dipahami oleh teater sebagai bahan perenungan agar tidak melakukan hal-hal yang penuh pengulangan. ‘Ada satu kemuliaan Hare’ dalam memahami teater, yaitu, ’Setiap berproses tidak pernah dikejar waktu dan target untuk hasil jadinya’. Artinya, garapan-garapannya selama ini tidak tergantung pada pesanan foundation dan sponsor sehingga tidak terikat dengan berbagai macam tetekbengek dan garapan-garapannya bisa dirasakan totalitasnya. Hal inilah yang kurang dilakukan sutradara-sutradara lain di Bengkel Muda Surabaya.

Hare Rumemper. (Sumber: Penulis)

Karya pemanggungan:

Hitam Putih (1979)
Dimainkan di Surabaya, Yogyakarta, dan Lamongan.
(Naskah: Putu Wijaya. Produksi Bengkel Muda Surabaya. Pemain: Busro, Oyieck, Chusnul Huda, Arif Mini, Saiful Hajar, Rochim Dakkas, Darsono, Aries Joe, Kongso, DS Yono, Hermin Munif)

Hare adalah sutradara yang garapan-garapannya selalu berangkat dari awal benar-benar tidak membawa beban yang sudah terpola dipikirannya. Dia menggarap drama, tidak tiba-tiba memunculkan gagasannya yang langsung menjadi bentuk garapan yang dihadirkan ke tengah-tengah kelompoknya. Dia selalu percaya bahwa proses itu lebih dewasa dalam melihat kematangan berfikir seseorang. Garapan-garapannya selalu terbentuk hingga utuh dalam kekuatan proses. Proses adalah ritual pendewasaan manusia untuk mencapai segala keutuhan, dan tidak boleh terjadi intervensi pikiran sebelum proses itu berlangsung.

Bagi Hare, Hitam Putih adalah esensi manusia yang hakiki dalam memahami segala tingkah pola dan penjungkir balikan makna. Sebuah hakekat nilai yang hilang namun tiba-tiba yang muncul kecemasan pengkultusan benda sedangkan hakikinya nilai itu sendiri menjadi kabur karena terlanjur memuji kebendaannya.

Dalam sebuah upacara bendera ketika sang saka akan dikibarkan tiba-tiba bendera pusaka hilang. Dan semua bingung mempertanyakan keberadaan bendera pusaka sedang sejarah sendiri terdiam diantara hiruk pikuk pencari kemerdekaan. “Bendera hilang siapa yang mencuri?……………” Pertanyaan ini terus membias sampai semua orang lupa bahwa bendera yang hilang masih berkibar di hati kita masing-masing.

Dul Karim (1983)
Dimainkan di tiga kota: Surabaya, Jombang, Solo.
(Naskah: Naskah Sandiwara karya Kirjomulyo. Produksi Bengkel Muda Surabaya. Pemain : Busro Yusuf, Oyick, Solikin Jabbar, Chusnul Huda, Hare Rumemper)

Drama ’Dul Karim’ adalah naskah yang simple, pemainnyapun juga simple, siapa saja bisa main asal terlibat terus dengan proses. Selain unsur ceritanya dekat dengan lingkungan sekitar juga banyak hal-hal sederhana yang tidak mudah ketika diungkapkan dalam bentuk pemanggungan. Darisinilah garapan ini menjadi menarik, melihat tingkah pola para pemain yang saling ber-adu kemungkinan (akting) dalam sebuah garapan yang sederhana sekali. Menariknya garapan Hare, takaran mengungkapan pertunjukan tidak lebih dan tidak kurang. Mengalir seperti kehidupan sehari-hari; kekonyolan, sedih gembira, kepedihan, kengerian konflik, dihadirkan seperti biasa. Sehingga garapan yang sederhana tapi bisa dirahasiakan, menjadi sebuah keluguan berkehidupan, yang dituturkan kembali.

Tantangan semacam ini biasanya tidak semua orang bisa menggarap dengan utuh. Karena banyak sekali adegan dan ungkapan yang sangat sederhana bisa diangkat jadi sebuah pemaknaan yang berarti. Di ‘Dul Karim’ tidak ada cerita besar, tidak ada konflik kekerasan, tidak ada yang kuat dan yang lemah. Semua berjalan seperti kehidupan kita sehari-hari yang dekat dengan kesadaran bermasyarakat. Tapi kedetailan garapan benar-benar menjadi unsur yang utuh dan akhirnya pertunjukan menjadi begitu menarik.

Disini semua yang terlibat terasa diberdayakan sehingga ruang performens menjadi intens. Semua yang terlibat melihat masa depan panggung menjadi ramah. Yang artistik muncul pemahaman seni rupanya, yang aktor bisa memenuhi kebutuhan perannya, musik, sumber suaranya bisa melampaui dari yang ada. Keberadaan perangkat musik rebana dengan performens kentrung bisa dieksplorasi kerancakannya dan menemukan ketuk-an yang dinamis melebihi kentrung. Kondisi ini bisa mencapai kesederhanaan yang penuh kematangan karena dengan hadirnya ruang eksplorasi yang begitu dijadikan labolatoriumnya.

Pendekatan tradisi inilah, menurut Hare, bukan hanya kesenian yang menyajikan sebatas ruang tontonan saja tapi ada interaksi yang sama dengan pendekatan sosial masyarakat. Dul Karim adalah aktualisasi ludruk yang ditafsirkan kembali menjadi upacara kemasyarakatan lewat sebuah pertunjukan dengan berbagai unsur kesederhanaan seperti layaknya kehidupan masyarakat kita pada umumnya.

Awas (1984)
Dimainkan di gedung Balai Pemuda, Surabaya.
(Naskah : Putu Wijaya. Produksi Bengkel Muda Surabaya. Pemain: Chusnul Huda, Busro Yusuf, Solikin Jabar, Oyick, Herry Nuhun, Hare Rumemper, Zainuri, Akhiyat, Joko Umbaran, Amin dll)

Di naskah ini, Hare, menangkap dunia teror yang luar biasa. Antara tekanan, kebrutalan, anarkis, kelahiran yang tidak wajar dan hidup yang serba tak menentu, semua digambarkan dalam pola garapannya yang linier dan tidak tragis. Dalam suasana yang ngeri, brutal, keras, masih ada tensi yang diturunkan lewat orang mengaji, lewat humor-humor kecil yang tidak konyol. Garapan Awas, seakan-akan penonton digiring pada kondisi yang bijak sekali dan mengalir di atas cerita. Meskipun ngeri tidak ada yang ditakutkan, meskipun sakit tidak ada yang dikorbankan. Dengan panggung, Hare, benar-benar bisa merubah kehidupan dan dia membebaskan segala sesuatu yang dianggap orang sebagai kerumitan.

Selera rasanya tinggi dan penonton tidak diajak untuk berlarut-larut menunggui sugesti kengeriannya. Hare sangat membebaskan sekali memberikan imajinasi yang digagas dipertunjukannya. Baginya ngeri, takut, kekerasan, sedih, humor, semua itu sudah dibagi dalam kehidupan. Jadi ketika diungkapkan jangan sampai dilebih-lebihkan namun juga jangan sampai diabaikan. Problem teror yang selalu menuntut segala sesuatu dengan lebih, sehingga segala sesuatunya cepat dikrisiskan dengan macam-macam sugesti.

‘Awas’ adalah lemahnya alam pendekatan manusia terhadap sesama dan akhirnya aksi teror mudah merubah kehendak terhadap ketidak berdayaan. Awas adalah terror….. menteror……

Laboratorium Gila (1992)
(Judul asli ‘One Flew Over The Cuckoo’s Nest’. Karya novelis: Ken Kesey. Adaptasi drama: Dale Wasseman. Diterjemahkan: Sirikit Syah, Paula Nangoy, Warni Salim. Diadaptasi: Akhudiat. Sutradara: Hare Rumemper/Akhudiat. Produksi Bengkel Muda Surabaya ke 42)
Pemain: Wally Sherdil, Chusnuk Huda, Solikin Jabar, Saiful Hajar, Farid Syamlan, Ipung, Desy, Herry Nuhun, Widodo Basuki, Zainuri, Arif BP, Heroe, Rusdi Zaki, Dindy, Sifak Indana, Anawati, Ida Lessy, Padi.

Garapan ini mengajak publik untuk jedah atau mengambil jarak sebentar dengan persoalan.“Lab. Gila” atau labolaturium gila, adalah kegilaan diciptakan sedemikian rupa agar masyarakat chaos. Bahwa semua sedang di puncak kegilaan yang tidak ada aturan penyembuhannya.Yang ada hanya otoritas kekuasaan yang menjungkir balikan kebenaran. Sisi lain yang waras dijebloskan di rumah sakit jiwa sedang sisi lain adalah orang-orang yang gila sedang membuat kekuatan yang menguasai lembaga rumah sakit jiwa untuk menduduki jabatan.

Garapan ini aktual sekali dalam kondisi masyarakat yang sedang carut marut. Dimana kalau orang-orang gila sedang jadi penguasa di rumah sakit jiwa. Bisa dibayangkan yang waras jadi pasien rumah sakit jiwa sedang yang gila mengatur semua aktivitas rumah sakit. Dengan sendirinya eksploitasi penjungkir balikan kesadaran jadi berubah dan puncak penyembuhan bukan pada pasiennya tapi kebalikannya. Justru pasien yang tidak gila tersebut dicekoki obat gila yang berlebihan bahkan strum dan lobotomy.

Dari setengah perjalanan menuju gila ini penonton sudah bisa diajak berdialog dengan dirinya sendiri.B ahwa kegilaan yang terjadi di atas peran bisa dibuat untuk perenungan diri sendiri. Bahwasanya rumah sakit jiwa sudah tidak dapat menampung orang gila lagi karena jumlahnya terlalu banyak sehingga mereka menyebar keluar dan bahkan mereka juga bisa menguasai lembaga, kelompok atau komunitas tertentu.

Dari sini penonton juga mulai menarik diri untuk memulai instropeksi ‘apakah diri kita juga sedang berlangsung di antara peran-peran tersebut’. Isyarat ini menunjukan bahwa komunitas, kelompok atau negara ini, juga sedang sakit.


*Penulis adalah Teaterawan.