Hari Puisi Nasional ; Menakar Kekuatan Kata

 Oleh Sugiarto B Darmawan

Tahun 1990, aku diajak Wiji Thukul ke Jakarta. Saat itu dia diundang oleh Goethe Institut untuk membaca puisi. Selain Thukul ada beberapa penyair nasional (yang saya ingat, ada Linus Suryadi AG, Darmanto JT, Leon Agusta, Lazuardi Ade Sage). Puisi para penyair tersebut diterbitkan oleh Goethe Institut dalam dua bahasa, Indonesia dan Jerman, di bawah judul Malam Biru Di Berlin. Sayang saya sudah tidak menyimpan buku bersampul motif batik tersebut.

Satu hal yang berkesan bagi saya, dalam acara pembacaan puisi yang diadakan di gedung Kedutaan Besar Jerman tersebut, terlihat bagaimana Thukul yang tampil bersama penyair papan atas Indonesia, punya daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Sambutan hangat dan tepuk tangan meriah diberikan setiap kali Thukul habis membacakan puisinya. Puncaknya ketika penyair pelo ini selesai membacakan puisinya berjudul Peringatan. Di akhir puisi yang ditutup dengan kata : lawan!… seluruh hadirin (yang ternyata kebanyakan aktivis prodemokrasi).. meneriakkan bersama kata: lawann..!!…Gedung bergetar!!!
Bayangkan, itu di puncak kekuasaan Orde Baru. Kita baca baca puisi yang pertama kali dimuat di antologi tunggal di bawah judul Sajak Suara ( Taman Budaya Surakarta,1989, stensilan) ;

Wiji Thukul (berkaos merah) sedang latihan teater di Sanggar Teater Jagat, Solo. Di belakang sebelah kiri berbaju putih, Lawu Warta, pendiri Teater Jagat.(Sumber: Instagram)

PERINGATAN

jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa

kalau rakyat sembunyi
dan berbisik bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar

bila rakyat tidak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam

apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata
: … lawann..!!!!

Solo, April 88

Apa yang kita baca dari peristiwa tersebut?
Saya membacanya, bagaimana kata kata yang menjelma jadi puisi , menemukan kekuatanya menggerakkan perlawanan terhadap kekuasaan. Puisi bukan hanya sekedar refleksi sang penyair dalam menyikapi keadaan, tapi telah menjelma sebagai kata kata milik bersama untuk melawan penindasan.
Konon Thukul juga membacakan puisi Peringatan ini pada acara deklarasi Partai Rakyat Demokratik ( PRD) . Juga di berbagai acara aktivis prodemokrasi yang mulai tumbuh dan berkembang. Saat itu, seperti kita ketahui, Orde Baru sedang di puncak kekuasaan. Thukul yang lahir dan besar di kalangan masyarakat paling bawah, hidup di kampung kumuh , pasti merasakan himpitan ekonomi juga represi penguasa pada kehidupan demokrasi. Puisi puisinya kuyup dengan keadaan nyata masyarakat kelas bawah tetangga tetangganya.

Walau dalam puisi Peringatan, Thukul bisa gagah berteriak lantang : lawann!!,
tapi dalam salah satu puisinya berjudul Apa Yang Berharga Dari Puisiku, ia menulis ketidakberdayaanya sebagai penyair yang hidup dalam keluarga kelas bawah. Bahkan ia mempertanyakan apa manfaat sebuah puisi bagi diri, keluarga dan tetangga tetangganya.

APA YANG BERHARGA DARI PUISIKU

Apa yang berharga dari puisiku
Kalau adikku tak berangkat sekolah
Karena belum membayar SPP
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau becak bapakku tiba tiba rusak.
Jika nasi harus dibeli dengan uang
Jika kami harus makan
Dan jika yang dimakan tidak ada!
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau bapak bertengkar dengan ibu
Ibu menyalahkan bapak
Padahal becak becak terdesak oleh bis kota
Kalau bis kota lebih murah, siapa yang salah?
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau ibu ibu dijerat hutang?
Kalau tetangga dijerat hutang?
Apa yang berharga dari puisiku?
Kalau kami terdesak mendirikan rumah
Di tanah tanah pinggir selokan
Sementara harga tanah makin mahal
Kami tak mampu beli
Salah siapa kalau kami tak mampu membeli tanah?
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau orang sakit mati di rumah sakit
Karena rumah sakit mahal
Apa yang berharga dari puisiku
Yang kutulis makan waktu berbulan-bulan
Apa yang bisa kuberikan dalam kemiskinan
Yang menjiret kami

Apa yang telah kuberikan
Kalau penonton baca puisiku memberi keplokan
Apa yang telah diberikan

Apa yang telah kuberikan

Semarang, 6 -3-86.

Ada lagi satu puisi Thukul bernada sedih berjudul Kepada Nasri Dan Adikku Yang Lain.
Ini puisi tentang keputusan Thukul terjun ke dunia penulisan. Sayang saya tak punya versi lengkap puisi ini. Bait terakhir dari puisi tersebut pernah saya kutip sebagai pembuka tulisan saya berjudul : Menulis Dan Tetap Menulis (Simponi, Minggu 18 Oktober 1987)
Kita baca :

bila engkau memandang kaca almari yang sudah belang sebagian
di pojok kamar itu
akan engkau dapati aku lagi menghitung hutang
tetapi tetap menulis. .. tetap menulis.

Begitulah, kata kata. tersusun menemukan kekuatannya. Selamat Hari Nasional 2024.

Tegalmade, 28 April 2024


*Sugiarto B Darmawan adalah Penyair, Penulis dan Petani. Tinggal di Tegalmade, Mojolaban, Sukoharjo.