Sajak-Sajak Iwan Jaconiah

COLUMBARIUM (1)

Apa perlu kita tinggalkan moskwa; sedang ayah dan ibu lama kau tinggalkan, sudah terpasung bumi. terngiang hanyalah cinta pertama, sebab tetangga dan keluarga sudah saling tak menyapa.

Apa harus kita kembali ke desa; sementara kau sudah membangun peradaban baru. punya anak dan cucu yang lucu-lucu. jika pulang, orang-orang tak mengenali wajahmu: kempot dan bungkuk.

Kita empunya negeri indah dan makmur. saat balik, apa keindahan dan kemakmuran bisa membahagiakanmu? Jangan-jangan tinggal sedepa sawah saja; warisan tetua hanyalah sumur dan mazmur.

Apa musti kita bertahan di negeri seberang; sabar menanti kartu identitas bercap republik; lama tersimpan dan tak pernah diterima. akhirnya, kau cikar kanan, terima kewarganegaraan anyar. mengikuti istri yang pirang dan pandai memasak piang.

Aku pilih membakar diri dalam sungai beku, biar tubuh terperangkap dalam etalase. arwah-arwah tergembok tanpa kunci. barangkali pada suatu musim berikut, generasi ketiga akan membawa pulang debumu dalam kegamangan doa dan goa kenangan.

Pemaculkata, Oktober 2018

 

COLUMBARIUM (2)

Bersua aku di musim duka yang panjang. pohon-pohon tanpa buah dan daun. hanya satu nama kukenal. sebab penderitaanmu 60 tahun: terperangkap di pengasingan adalah kesabaran yang sia-sia.

Berkisah aku tentang musim baru, pura-pura tak mendengar, sebab kau sedang rindu kacang mete dan bunga pepaya. giliran kau bercerita tentang kekasih di desa, aku menyimak: mata lebam dan pipi tembam.

Menghabiskan sampanye di malam panjang, ditemani secangkir kenangan, yang kau rawat baik-baik. besok aku pergi, sedang kau tanpa suara. hanya sayap-sayap kecil melayang di balik dahan jendela.

Pemaculkata, Oktober 2018

 

COLUMBARIUM (3)

Pertama kali tiba di lapangan merah, kita tak memahami bahasa orang-orang setempat. kau mencari satu nama; kabarnya mengingatkan seorang kekasih di semarang. kau tak tahu apa-apa tentang peristiwa 65, sebab usia masih 19 tahun saat menapaki tverskaya.

Seribu malam terlewati tanpa kabar: surat pertama dahulu kau poskan ke desa, tak pernah ada balasan. musim semi berganti: semua tak dikenal, semut tak nongol. segala membatu lalu menghantui hari-hari pendek.

Kabar kawat tentang Bung Karno lengser di batavia buatmu geram. orang-orang bertanya, tak punya garam untuk ditabur. sebab jika berkata jujur, bisa mematuk bayangan sendiri.

Kita tengok toples kosong, penuh linangan air mata. itu pemberian ibu saat pertama kali kau tiba leningrad. sudahlah! tak ada gunanya menggantung angan-angan, sebab hidup bukanlah untuk menjala seutas kenangan.

Pemaculkata, November 2018

 

COLUMBARIUM (4)

Rak buku peot dan rangsot. sudah tak tertampung lagi bacaanmu. aku enggan sentuh, sebab bisa-bisa roboh. hanya satu judul kutahu dan sudah kubaca setelah reformasi bergulir di republik. kau menatap — keren. kini, aku melotot — heran.

Sofa berbusa kempis sebelah, lama aku duduki. ini pantat tak kuasa, ingin lekas-lekas pipis. lebih nyaman selonjor di lantai sebab jika bengkok, kau pasti memintaku gotong ke pasar loakan. bisa diuangkan buat ongkos obat encok.

Lantai dapur berminyak, lama tak kau bersihkan sejak tak seatap lagi dengan istrimu. usia tua buat bijak, bergaul hanya dengan pemuda saja. anak dan cucu tak pahami bahasa leluhur: itu buat kau lebih pendiam.

Saat aku bertamu, kau lebih setel yakin dan percaya diri. sebab bahasa kita sama; hanya usia berbeda. pun sama pada rindu negeri di timur jauh. ini malam, ceritamu bukan tentang ideologi dan politik: lebih banyak berkisah akan cinta dan rindu — lama terperangkap dan tersekap diri sendiri.

Pemaculkata, November 2018

 

COLUMBARIUM (5)

Makan malam tersedia, semua duduk di meja perjamuan. aku paling sudut, sedang kau di tengah. “istriku pintar masak parkedel, lo! utuy dulu pernah mampir makan di ini rumah,” cetusmu. “masakan nusantara buatan istrimu pasti enak,” gumamku.

Kita duduk dalam semadi, dihiasi temaram lampu kremlin, samar-samar dari balik kabut. terkenang kisah shinta yang diculik rahwana. sama seperti kau mendapati kekasihmu asal ulyanovsk dahulu. awal tak mencinta, lama-lama meminta.

Langit pekat penuh berkat. jejak-jejak terhapus kuasa alam. patahan sayap-sayap putih bertaburan liar di jalanan: sebut nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus. katup mata, doa dan harapan. ada angin centil sesekali menari-nari di ujung tirai kertas.

Pemaculkata, November 2018

 

COLUMBARIUM (6)

Kita memasuki pintu gerbang
—kau pilih jalan yang berliku,
sedang aku separuh berlubang.
memendam goresan di saku.

Alunan blues, bikin senang
liriknya menembus ulu hati, memukau.
suluh hidup lebih berdenting,
—selintas masa lalu, kini lupa kau.

Sampai jua kita meninggalkan gedung
sungai moskwa sudah beku.
gembira sampai petang
—tanah air jauh, cuma seujung kuku.

Pemaculkata, Desember 2018

 

COLUMBARIUM (7)

Tuhan, rindu aku tanah kelahiran
seribu musim, pengasingan tertebas.
Bukanlah hal mudah, sebab keinginan
adalah penantian tanpa batas.

Pemaculkata, Desember 2018

 

COLUMBARIUM (8)

“Apa pekerjaan kau, bung?” tanyamu. aku terdiam. menarik sebatang lisong sambil meneguk secawan anggur beraroma khas krimea.

“Ke mana tujuan kau belajar, bung?” sambungmu. aku menatap wajahmu; kian berkeriput dan bersiput. sebalok roti kau cubit sembari ayun ke sumur diri.

Aku penyair: menjaring angan dan angin, memacul kata tentang kisah-kisahmu. biar orang-orang di desa memahami arti hitam dan putih.

Pemaculkata, Desember 2018

 

COLUMBARIUM (9)

Rumah terakhir sebuah pasu
tanpa hiasan salib. atapnya bersekat,
sedang jendelanya mawar palsu.
—kisah kasih tetua; lekat dan dekat.

Pemaculkata, 2019

 

COLUMBARIUM (10)

Memuji beta namaMu, Bapa
dalam lembing kekelaman.

Mencari beta firmanMu, Baba
—jejaring pengembaraan.

Jangan lupa mengasihi selagi di Moskwa!
: beta semai dan semi di ingatan.

Pemaculkata, 2019

 

*Iwan Jaconiah, penyair, kandidat PhD Culturology di Russian State Social University. Ia adalah pesastra pertama Indonesia yang meraih Diploma of Honor Award pada X International Literary Festival “Chekhov Autumn” di Yalta, Krimea, Rusia (2019) dan Diploma Award pada International Poetry Festival “Taburetka” di Monchegorsk, Murmansk, Rusia (2017). Buku kumpulan puisi terbarunya “Hoi!” (Terbit Press, 2020).

8 replies
  1. Konstantin Sokha
    Konstantin Sokha says:

    Iwan, please accept my sincere congratulations. I wish you the development of your poetic genius to the highest heights. I hope that in a few years the day will come when it will become clear that without your poems, Indonesian literature cannot be considered complete from a cultural point of view.
    I wish you good luck!

  2. Wandi Barboy Silaban
    Wandi Barboy Silaban says:

    Kaka Iwan Pesastra sekaligus kulturolog yg berbeda dengan penyair seumumnya. Sungguh suatu perpaduan yg langka sastra dan studi seiring sejalan dalam gerak kehidupan yg mengalir di negeri dengan revolusi yg menggemparkan dunia. Yang terpenting dan di atas segalanya, ia mencintai dunia ini dengan sepenuh hati dan pikirannya. Tahniah kaka Iwan. Tabik.

  3. Stefan Kelen Pr
    Stefan Kelen Pr says:

    Membaca puisi Iwan ini, saya merasakan ada dialektika dalam makna. Tetapi seketika itu juga imajinasi ini seolah2 dimanjakan untuk berkontemplsi. Kontemplasi kata membuat siapapun untuk terus berpikir maka ia ada

  4. Donatus Ola Pereda
    Donatus Ola Pereda says:

    Mantap kk… Regenerasi sastrawan Tanah Timor, NTT, Gerson Poyk.
    Lanjut, jangan bosan berkarya…

  5. Muhammad Fida Azmi
    Muhammad Fida Azmi says:

    jika ada perahu sampan, bolehkah aku mendayu
    jika jiwaku tak nyaman, bolehkah ku merayu

    luar biasa. sajaknya kang iwan sangat menginspirasi jiwa penyair saya. berisi tentang kritik sosial dan nasihat kehidupan. saya bangga bisa bertemu dengannya di Moscow.

  6. Eleonora Agatha
    Eleonora Agatha says:

    Tetap semangat mencurahkan hati dan pikiran untuk merangkai kata-kata indah penuh rasa ya, Bang Iwan. GBU.

  7. Belinda
    Belinda says:

    Luarbiasa dengan karya-karyanya,Kaka. Regenerasi sastrawan Tanah Timor, NTT, Gerson Poyk.
    Jangan pernah puas dengan pencapaian ini teruslah berkarya dan berinovasi dengan karya-karyanya bagi generasi selanjutnya. Good Job. God bless rencana selanjutnya !

Comments are closed.