Menuju Posthumanisme: Membaca Haraway dan Holbraad

Oleh Nurman Hakim

Donna J. Haraway seorang pemikir yang tidak terlalu dikenal di kalangan intelektual Indonesia, tetapi pemikirannya mengenai feminisme, posthumanisme dan kritiknya terhadap antroposentrisme sangat dikenal di Amerika. Ceramah-ceramahnya dikampus-kampus Amerika selalu dipenuhi oleh begitu banyak orang yang antusias ingin mendengarkan pokok-pokok pemikirannya. Haraway adalah profesor emireta pada jurusan History of Consciousness di University of California Santa Cruz (UCSC). A Manifesto for Cyborgs (1985) dan Companion Species Manifesto: Dog, People and Otherness, adalah beberapa tulisan yang melambungkan namanya dan banyak dikutip dan dibicarakan kalangan intelektual di Barat. Pokok-pokok pemikiran Haraway dalam Companion Species Manifesto ini yang akan saya ulas secara ringkas dan kemudian membandingkannya dengan pemikir lain, seorang antropolog dengan bukunya The Ontological Turn.: An Anthropological Exposition. Martin Holbraad, seorang profesor antroplogi sosial di University College London (UCL). Untuk itu sebelum membandingkan dua pemikiran tokoh ini, saya akan uraikan terlebih dahulu pokokpokok pemikiran mereka masing-masing.

Donna Haraway

Pokok utama dari pemikiran Haraway tentang spesies pendamping manusia adalah dengan tidak lagi menempatkan spesies lain itu (di luar manusia) sebagai objek, melainkan sebagai subjek. Manusia sebagai subjek, Haraway mencontohkan hewan seperti Anjing juga seharusnya sebagai subjek. Dengan demikian maka hubungan ke dua spesies ini –manusia dan binatang- menjadi setara. Ketika hubungan dua spesies itu setara, maka perilaku ke dua spesies itu akan mencari bentuk yang “seimbang”. Selama ini manusia ketika menganggap anjing adalah sebagai objek, sesungguhnya hanya ilusi saja yang terjadi di antara hubungan itu. Haraway dalam Companion Species Manifesto memberikan contoh seorang anak kecil bernama Marco yang memperintahkan anjingnya untuk duduk, dengan perintah “Sit!” maka anjing itupun menuruti perintah Marco. Marco menganggap seolah bisa me-remote ataupun mengontrol anjingnya, seperti manusia yang seenaknya mengonta-ganti channel televisi dengan remote control-nya. Padahal sesungguhnya yang bekerja adalah ilusi dari Marco tentang anjingnya yang patuh itu (Haraway: 2003) Sesungguhnya anjing juga punya kehendaknya sendiri. Anjing tidak dapat menjadi anjing sesungguhnya tanpa anjing itu sendiri menjadi sesuatu yang lain (Delueze dan Guattari, 258: 1993). Haraway tak sendiri, Deleuze dan Guattari mendukung pemikirannya, dalam bukunya a Thousand Plateus yang saya kutipkan di atas . Dengan demikian, phrase itu berlaku juga bagi manusia. Manusia tidak akan menjadi manusia yang manusiawi jika ia tidak menjadi manusia yang lain (signifikan otherness).

Pokok pemikiran lain dari Haraway adalah secara implisit ia membicarakan hubungan kedua spesies ini antara subjek dan subjek lain yang membentuk intersubjectivity. Jika dalam kajian teks kita mengenal intertextuality yang dicetuskan salah satunya oleh Julia Kristeva, seorang filsuf Perancis kontemporer, kritikus sastra dan ahli psikoanalisis. Dalam intersubjectivity, terjadi relasi di antara keduanya dan saling mempengaruhi. Apa yang dilakukan oleh salah satu spesies, akan mempengaruhi spesies lainnya. Apa yang dilakukan oleh manusia akan mempengaruhi anjingnya, kucingnya, dan seterusnya. Begitupun sebaliknya. Haraway memberikan contoh dengan permainan cat cradle. Permainan karet yang dimasukan ke jemari kita, lalu ditarik diantara kedua tangan, digerakan ke sana ke mari. Gerak salah satu tangan dari kita tentu akan mempengaruhi tangan yang lain melalui struktur ataupun jalinan karet-karet itu yang terbentang di antara dua subjek. Dalam intertextuality yang percaya bahwa poststruktralisme bekerja disitu, bahwa relasi diantara dua teks terbangun suatu struktur yang mempunyai kemiripan satu sama lain dan saling terikat, dan hemat saya, begitupun juga itu berlaku pada intersubjectivity.

Haraway percaya dan mendorong kita untuk menciptakan suatu komunikasi yang baik antar spesies ini, guna mencapai suatu keseimbangan dan kekuatan, serta menempatkan prinsip suatu “etika relasional” dengan baik, yang dapat diterima dalam hubungan pertemanan diantara dua spesies itu. Dengan begitu kita akan memperoleh premis interkonektivitas sesama subjek, yaitu antara dua spesies (manusia dan anjing) secara simultan ( Heidy J. Nast : 2004).

Bagi Haraway, pertemanan lintas spesies melibatkan suatu “kesadaran” yang kompleks, masing-masing lahir dalam situasi pengalaman yang berbeda, nilai-nilai budaya, kemampuan, materialitas, dan sejarah. Ini melibatkan dan mempertimbangkan manusia dan anjing sebagai ‘subyek’, dan mendorong agar supaya saling intersubjektif, saling memperhatikan dengan cara yang mengarah pada suatu hubungan yang penuh kepercayaan dan bermakna. Keberhasilan intersubjektivitas ini membutuhkan – dalam ungkapan yang Haraway sebut – ‘koreografi ontologis’. Dengan menggunakan kisah anjingnya sendiri, Haraway menunjukkan bagaimana perbedaan yang signifikan antara dua subjek dapat dipetakan, dipelajari dan dipahami.

Haraway memiliki dua anjing (Roland dan Cayenne). Ia menggunakan pelatih anjing untuk melatih dan mendidik kedua anjingnya itu agar lincah. Sikap Haraway tentang otonomi hewan dan kekuatan manusia muncul dari dirinya untuk hidup bersama dengan spesies lain itu. Kata Haraway, orang-orang pecinta anjing seperti saya harus berbohong kepada fantasi kita sendiri yang saling bertentangan, yang kita proyeksikan ke anjing kita (Donna Haraway, 46 : 2003). Haraway seolah ingin berbicara bahwa anjing tidak berpikir seperti manusia, bahwa anjing memiliki cara berpikir sendiri, tetapi dia setuju bahwa manusia dan anjing peliharaannya memang saling memiliki satu sama lain.

Martin Holbraad

Holbraad dalam bukunya The Ontological Turn, membedakan pembahasan ontologi yang ia maksud dengan para pemikir ontologi yang lain, bahkan agak berbeda dengan filsafat ontologi pada masa sebelum Socrates, misalnya filsafat ontologinya Thales yang mengatakan bahwa esensi dari segala sesuatu yang ada di alam raya ini termasuk manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan berasal dari air. Air adalah material asal dari segalanya. Bahkan Ontologi Holbraad pun berbeda dengan pemikiran ontologinya Philip Descola yang sesama antropolog.

Bagi Holbraad pengertian Ontological turn adalah esensi dari campur tangan metodologi sebagai oposisi dari metafisika atau filosofis ontologi (misal Heidegger). Jadi Ontological Turn secara ketat bicara soal metodologi dan bukan metafisika atau filosofis ontologi. Ini adalah respon dari dasar pertanyaan  antropologi. Bagaimana antropolog bisa mengungkap (reveal) data etnografi. Yang membuat antropolog tertarik untuk melihat benda-benda (things) yang tidak diduga oleh antropolog atau bahkan dibayangkan di sana (medan penelitian). Antropological Turn menolak melihat sesuatu dengan menggunakan kacamata “berwarna”, Holbraad menyebutnya dengan etnosentrisme, dan ini harus dihindari. Yang membuat Ontological Turn sangat berbeda dengan paradigma (teori) lain dalam antropologi adalah ia melakukan perombakan secara radikal terhadap cara pandang melihat sesuatu dalam subjek di medan penelitian. Secara epistimologis yaitu menaruh perhatian pada bagaimana melihat benda-benda menjadi kembali kepada masalah ontologi: apa yang dilihat pertama kali dari benda itu?. Antropological Turn adalah bukan sosial kultural atau politik atau lain-lain yang bersifat “permukaan” tetapi melihat pada yang sangar dasar dari ontologi, apakah itu benda (things)? termasuk things yaitu: society, kebudayaan dan politik. Apa dunia ini dan apa yang ada di dalamnya. Untuk menata apa itu etnografi yang dilakukan oleh antropolog guna mempresentasikan dirinya sendiri? dan untuk membuka kemungkinan apa yang ada di sana? bisa jadi berbeda dengan apa yang Holbraad harapkan. Ini adalah pokok persoalan dalam Ontological Turn.

Selama ini para antropolog dalam menjalankan etnografinya, banyak mengikuti pemikiran yang dilahirkan oleh Bronislaw Malinowski, termasuk phrase Malinowski yang sangat terkenal “ to grasp the native point of view”. Seorang antropolog harus bisa memahami dari sudut pandang native (penduduk asli). Tetapi Holbraad membalik phrase Malinowski tersebut menjadi “grasped the native point of view” kata “to grasp” (memahami) diubah menjadi “grasped” (dipahami). Jadi, antropolog ketika berada di medan penelitianya ia harus bisa memosisikan dirinya sebagai native (penduduk asli) yang berusaha menangkap sesuatu (things, society, belief, value, dst) yang bisa dipahami oleh native. Jadi, dipahami bukan memahami!. Cara berfikir ini akan memberikan kita konsekwensi lebih lanjut, cara kita berfikir terhadap keseluruhan dari project penelitian (etnografi kita). Misalnya soal nature and culture, masalah-masalah penting dari individual dan society, simbol agama dan lain sebagainya.

Holbraad memberikan contoh ketika penelitian di Havana-Cuba, seorang pasien yang sakit lebih cenderung suka berobat ke dukun dari pada ke dokter. Meskipun dokter telah melakukan X Ray dan membuktikan secara ilmiah bahwa sakitnya pasien itu adalah Demam tetapi ketika Dukun mengatakan sakitnya adalah sebab kena sihir, maka si pasien akan cenderung percaya kepada Dukun. Dukun membawa kebenaran bagi pasien. Untuk memahami ini, maka antropolog harus berfikir dalam kerangka budaya native bukan dalam kerangka budaya antropolog. Antropolog membongkar, mencari makna secara ontologis apa saja yang telah membentuk pemahaman pasien terhadap kebenaran (dukun) itu. Tetapi mencari makna itu bukan dalam rangka untuk memberi pengertian dan pemahaman kepada antropolog tetapi pemahaman terhadap native. Contoh lain, adalah soal bubuk yang digunakan oleh peramal di Cuba. Secara umum antropolog akan memahami bubuk yang dianggap punya kekuatan gaib untuk meramal dengan analisa membagi benda itu menjadi dua hal : pertama, adanya kekuatan gaib, kedua, bubuk sekedar sebagai bubuk. Holbraad menolak analisa seperti ini. Ini adalah problem kita sebagai orang luar, bukan problem mereka para native (Rudyansjah: 2015) Dua hal itu adalah satu kesatuan. Dalam kerangka pemahaman kebudayaan di Cuba itu, bubuk itu sendiri adalah kekuatan gaib dan bubuk itu juga benda. Jadi tak terpisahkan. Jadi, antropolog yang menggunakan pendekatan ontologis harus melihat dari kerangka budaya yang diteliti.

Ontological Turn memberikan kita untuk mengangkat kemungkinan-kemungkinan dan perbedaaan dari materi etnografi sebagai platform. Dalam proses ini inti dari objek yang dipelajari, misalnya exhange, kinship, ritual, artefak, politik, ataupun objek debat teoritis tentang society misalnya (kebudayaan, waktu, keyakinan, kekuasaan, dan lain sebagainya). Cara berfikir ini (Ontological Turn) diakui oleh Holbraad sangat dipengaruhi oleh Claude Levi Strauss, Franz Boaz, Evan Pitchard dan Roy Wagner. Menurut Holbraad, The deepest level of eksistence adalah bagaimana antropologi memodulasi dan mentransformasikan “things” menjadi analisis yang lebih baik untuk bisa melihat “things” itu. Ontological Turn membuka horizon kita terhadap “things” dan bagaimana kita menyikapinya. “Things” yang punya kedudukan setara dengan spesies lain termasuk manusia.

Haraway dan Holbraad

Jika Haraway meletakan dan memberikan contoh anjing sebagai spesies lain dari manusia yang setara dengan manusia, ada otonomi dalam anjing. Anjing sebagai subjek selayaknya manusia sebagai subjek. Maka Holbraad pun punya nada yang sama dengan Haraway tetapi dengan materi yang berbeda. Haraway pada animal, Holbraad pada “things” (benda yang kongkret ataupun sesuatu yang tidak kongkret). Bagi Holbraad human dan things memiliki kesetaraan. Things adalah subjek dan memiliki otonominya. Antara ide dan materi adalah satu kesatuan dalam satu entitas, seperti yang dicontohkan di atas soal bubuk di Cuba. “Things” ini juga terelasi dengan manusia membentuk jaring yang terstruktur dan saling mempengaruhi, ini nyaris sama dengan konsep Companion Species-nya Haraway. Meskipun pada Haraway, hubungan ini lebih mudah dipahami dan langsung mempunyai efeknya masing-masing baik pada manusia maupun pada hewan. Dalam Holbraad, jaringan yang berstruktur itu mungkin tidak secara langsung efeknya. Tetapi lambat laun terasa dan muncul. Misalnya, hutan yang selama ini kita perlakukan sebagai objek, ditebangi dan diekplorasi habis-habisan untuk kepentingan manusia. Kayunya digunakan untuk kursi, meja, rumah, ukiran yang memberi bentuk kebudayaan bagi manusia tetapi merusak alam. Disinilah hubungan antara nature culture yang tidak selaras dan timpang. Jika kita meletakan hutan dalam posisi sujek yang otonom atas kehendaknya sendiri, maka hutan itu akan menjaga alam ini, dengan demikian keseimbangan alam terjaga. Nature culture akan selaras dan tidak timpang.

Dengan meletakan spesies lain (Haraway) juga “things” (Holbraad) pada posisi subjek, tidak lagi objek, maka dengan sendirinya kita telah bicara bahwa manusia tidak lagi sebagai pusat (humanisme), disitulah kita telah beralih ke posthumanist. Subjek-subjek dalam posthumanist memancarkan cahayanya sendiri yang menerangi human, dan ini jauh lebih terang dari humanisme yang memancarkan cahaya dari manusia diarahkan ke objek di luar manusia dan lalu memantulkan kembali cahaya itu ke manusia. Cahaya pantulan tentu tidak lebih terang dari cahaya langsung, yang berasal dari subjek diluar manusia (things dan spesies) Dengan begitu, posthumanisme adalah humanisme yang sesungguhnya, yang menerangi dan diterangi oleh subjek-subjek pengisi alam semesta.

***

*Penulis adalah sutradara film

 

1 reply

Comments are closed.