Dramatic Reading : Sebuah Alternatif Pementasan

Oleh Jose Rizal Manua*

Sepengetahuan saya, di Indonesia, ‘dramatic reading’ sebagai seni pertunjukan diawali oleh Arifin C. Noer, melalui pementasan “Caligula”, karya Albert Camus. Terjemahan Asrus Sani. Surat kabar Kompas, tanggal 21 Mei 1969, merilis: “Di Teater Arena- Pusat Kesenian Jakarta, jalan Cikini, hari jum’ at, malam besok akan dilakukan “dramatic Reading” oleh Arifin C. Noer yang akan membawakan sebagian besar dari dialog-dialog dari sandiwara Caligula, karya Albert Camus, terjemahan Asrul Sani. Acara yang akan memakai waktu lebih kurang dua jam ini dimulai jam 20.00 dan terbuka untuk umum”. Dan mendapat apresiasi yang cukup menggembirakan. Teater Arena- Taman Ismail Marzuki penuh terisi. Kemudian oleh Teater Ketjil naskah ‘Caligula’ tersebut dipertunjukkan secara utuh sebagai pementasan teater (dengan aktor-aktor hebat seperti Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Chaerul Umam, Amoroso Katamsi, Amak Baldjun, Ikranegara, dll), pada tahun 1972.

Bentuk pementasan ‘dramatic reading’ hampir sama dengan ‘poetry reading’, maksudnya, penampilannya sama-sama membawa teks. Yang membedakannya ‘dramatic reading’ dibawakan oleh beberapa aktor (tergantung pada banyaknya peran atau karakter yang ada pada lakon), sedangkan pada ‘poetry reading dibawakan oleh seorang deklamator. Juga dengan masalah “spectacle” (set dekor, lampu, tata busana, tata rias, properti dan hands-prop); yang pada ‘dramatic reading’ merupakan sesuatu yang penting, sedangkan pada ‘poetry reading’ bisa diabaikan. Demikian juga dengan suasana yang diharapkan; pada ‘dramatic reading’, suasana yang dihadirkan adalah suasana dramatik. Sedangkan pada ‘poetry reading’ yang diharapkan adalah suasana puitik. Tetapi bukan berarti pada pementasan ‘poetry reading (pembacaan puisi) tidak bisa tercipta suasana dramatik. Seperti yang dilakukan Rendra, misalnya.

Arifin C. Noer adalah salah satu dramawan terkemuka di Indonesia. Pernah bergabung dengan Studi club Drama Yogya, pimpinan Rendra dan dengan Muhammad Diponegoro dalam Teater Muslim. Kemudian ia hijrah ke Jakarta, mendirikan Teater Ketjil. Beberapa karya dramanya menang dalam berbagai “Lomba Penulisan Naskah Drama”, di anatarnya: “Kapai-kapai”, “Tengul”, “Lampu Neon”, atau “Nenek Tercinta”, dll. Disamping itu Arifin C. Noer juga mempunyai tempat tersendiri dikancah per-film-an Indonesia. Ia banyak meraih penghargaan piala Citra untuk kategori Penulis Skenario Terbaik dan Sutradara Film Terbaik.

Setelah mementaskan ‘dramatic reading’ Caligula, pada tahun 1969, Arifin C. Noer bersama Teater Ketjil-nya kemudian mementaskan ‘dramatic reading’ “Faust”, karya Goethe, terjemahan Abdul Hadi WM, di Teater Tertutup-TIM, pada 18-19 September 1982. Dan “Telah Pergi Ia, Telah Kembali Ia” karyanya sendiri di Teater Arena- TIM, pada 1-2 November 1992.

Ketika mementaskan ‘dramatic reading’ “Faust”, Kamsudi Merdeka dalam ulasannya (Berita Buana, Selasa 12 Oktober 1982), mengatakan: “Perlak hitam mengkilat terhampar di atas pentas. Di atasnya sebuah pintu gapura tengah agak ke belakang, sementara di sebelah kiri-kanannya membentang sejenis jala penangkap ikan berwarna biru hijau dan di latar belakang, kain putih dan kain hitam, di tengah-tengah sejumlah rehal, yang dicat putih, membayangkan situasi padepokan atau pesantren, dengan lampu-lampu semprong menjulang meninggi dibalut kertas minyak warna merah, hijau, dan putih.”

Dari gambaran di atas, maka kita bisa menyimpulkan bahwa ‘dramatic reading’ bukanlah ‘seni laku’. Tapi ‘seni baca’. Para aktor menghidupkan perannya melalui pembacaan bukan melalui ‘action’. Sehingga, sepanjang pementasan, peristiwa yang dilukiskan oleh naskah atau teks, berada dalam imajinasi penonton. Sama seperti ketika kita menyaksikan pementasan ‘poetry reading’ atau pembacaan puisi.

Pada pementasan ‘dramatic reading’, “spectacle” atau unsur-unsur tontonan, seperti; set dekor, lampu, tata busana, tata rias, properti dan hands-prop menjadi unsur pendukung yang penting. di samping unsur musik; yang tidak saja berfungsi sebagai ilustrasi tapi juga berfungsi untuk membangun suasana dramatik.

Pada ‘dramatic reading’, aktor diwajibkan membawa teks lakon, karena itu merupakan persyaratan, dan bloking ditiadakan. Artinya ada keterbatasan gerak bagi aktor. Tapi seorang aktor, dalam menghidupkan peran atau karakter yang dimainkannya, boleh melakukannya sambil duduk atau dengan berdiri, tergantung pada karakter dan suasana dramatik yang akan dibangun atau yang menjadi tuntutan lakon. Sepanjang pertunjukan, masing-masing aktor berada ditempatnya. Atau di tempat yang sudah ditentukan sebelumnya.
Untuk itu, sebagaimana juga untuk pementasan teater, para aktor dituntut menguasai lakon; bagaimana plot (alur)- nya, bagaimana struktur dramatiknya, bagaimana karakternya dan bagaimana setting peristiwanya.

Beruntung saya cukup intens menyaksikan pementasan-pementasan ‘dramatic reading’ dari Teater Ketjil ini. Penonton diajak mengembara secara imajinatif, melalui struktur plot (alur), struktur dramatik, karakter dan setting peristiwa yang dilisankan oleh para aktor, yang bersumber pada naskah atau teks.

Aktor-aktor yang biasa memainkan peran umumnya tidak mengalami banyak kesulitan dalam mengucapkan teks-teks dramatik dari naskah. Meski pun hanya dengan membaca, mereka mampu menggambarkan atau menghidupkan suasana adegan melalui tekanan ucapan (tekanan dinamik, tekanan tempo dan tekanan nada) dari lakon.

Bagi saya, ‘dramatik reading’ merupakan pementasan, yang juga mempunyai keunikannya sendiri. Karena ruang imajinasi penonton terbuka selebar-lebarnya.

Pada tahun-tahun belakangan ini, pementasan ‘dramatik reading’ mulai dijajaki oleh beberapa grup teater, baik di Jakarta maupun di beberapa kota lainnya. ‘dramatic reading’, sebenarnya bisa menjadi pertunjukan alternatif yang digemari. Asal saja digarap berdasarkan kebutuhan ekspresi, bukan sekedar asal tampil. Seperti yang dilakukan oleh Arifin C. Noer bersama grup Teater Ketjil-nya. Perhitungannya sama dengan cara-cara sebuah grup teater ketika hendak menggarap suatu pementasan.

Demikian, sekilas pengantar diskusi ‘dramatik reading’, untuk seterusnya dapat kita kembangkan dalam diskusi. Wassalam.

 

*Penulis adalah Sutradara dan Pemain Teater. Pendiri teater anak-anak, Teater Tanah Air.