PIGURA : Eksistensinya dari Masa ke Masa

Oleh Agus Dermawan T.

“Jatuh bangunnya lukisan tergantung kepada piguranya,” kata seniman Hindia Belanda. Sementara perupa masa kini bilang : “Pigura itu refleksi karya seni yang kurang percaya diri.”
___________

INI KENYATAAN menarik : ribuan lukisan kontemporer seluruh dunia ciptaan tiga dekade terakhir, (mendadak) sangat jarang yang memakai pigura. 

Mengapa terjadi perubahan yang drastis itu? Berbagai alasan pun datang. Ada yang menjawab enteng bahwa itu hanyalah trend, yang pada saatnya akan berakhir. Ada pula yang memberi alasan “substantif”:  yang utama dari seni rupa adalah isinya, bukan bungkusnya. Karena pigura dianggap bungkus. Ada pula yang kritis dan “revolutif” dengan mengatakan bahwa pigura merupakan refleksi dari karya seni yang kurang percaya diri. Sehingga tradisi berpigura harus dirubah, direvolusi.

Pigura kosong. (Sumber: Penulis)

Realitas itu tergambar dengan nyata. Pagelaran lukisan seniwati Inggris Jenny Saville tersuguh dengan kanvas yang sama sekali tidak disentuh pigura. Begitu juga pameran lukisan Takashi Murakami, sang ikon Jepang. Puluhan lukisan maestro Tiongkok Yue Min Jun terpajang di ruang pameran dengan kanvas yang nyaris telanjang. Seperti halnya lukisan FX Harsono yang kerap hanya menempelkan kayu tipis di tepian kanvasnya. Yang fungsinya tampak hanya untuk menutupi jejak paku di spanram belaka. Berderet lukisan Nyoman Masriadi – yang acap menghebohkan pasar itu – juga tak sedikit pun menyertakan pigura. Perupa Maharani Mancanegara malah menghadirkan “lukisan potong tepian”, yang serta merta membuang background lukisan. Dengan begitu pigura sungguh tidak diperlukan.

Lukisan Nyoman Gunarsa dengan pigura spesial. (Sumber: Penulis)

Jajaran lukisan Hudi Alfa, tidak berpigura. (Sumber: Penulis)

Lukisan kontemporer “potong tepian” karya Maharani Mancanegara. Tidak lagi memerlukan pigura. (Sumber: Penulis)

Gelombang kontemporerisme antipigura ini menggoda pikiran untuk melongok kembali seni lukis yang masih mengagungkan pigura. Menatap lagi ribuan pelukis lain yang tetap meletakkan pigura sebagai sesuatu yang utama. Lantaran di balik kekukuhan berpigura itu, ternyata tersimpan banyak cerita yang berkait dengan sejarah dan wacana.

Pigura adalah jendela

Ada ungkapan Belanda yang muncul 200 tahun silam : Een schilderij walt of saat met de lijst. Atau : jatuh bangunnya sebuah lukisan tergantung pada bingkainya. Jadi pigura sungguhlah penting eksistensinya pada era itu. Dari aspek artistik logika ungkapan bisa diterima. Kala itu lukisan-lukisan yang dicipta banyak mengangkat tema yang berkaitan dengan sosok atau figur di tengah setting ruang atau lingkungan alam. Bingkai bisa diibaratkan sebagai lubang jendela tempat penonton lukisan melayangkan pandangannya. Semakin bagus “jendela” itu, semakin bermartabat sosok yang dilukiskan. 

Persepsi para pelukis atas pigura mengalami pergeseran. Ketika seni lukis modern mulai tumbuh di Eropa Barat pada pertengahan abad 19, eksistensi pigura mulai dipandang dari sudut yang berbagai-bagai. 

Saya beruntung bisa menyaksikan pameran langka di Amsterdam. Pameran di Museum Van Gogh itu mengetengahkan ratusan lukisan ternama dari seluruh dunia, yang piguranya didesain secara khusus. Baik oleh pelukisnya sendiri atau oleh orang lain. Dalam pameran yang berjuluk In Perfect Harmony itu dicontohkan lukisan berpigura yang dicipta pada kurun 1850-1920. Tentu tak hanya fisik pigura yang ditampilkan di situ. Pandangan sejumlah ahli mengenai pigura ditebarkan dan didiskusikan. Dari sini publik seni rupa dunia mendadak sadar : Eh, pigura ternyata punya persoalan juga! 

Lalu berkatalah kurator Eva Mendgen, “Berdasarkan teori artistik, fungsi pigura adalah sebagai pengakhiran proses kerja penciptaan lukisan, dan pemberi kepastian mengenai spesifikasi sebuah lukisan.” 

Ini berbeda dengan pikiran penulis seni Karl Philipp Moritz. “Lukisan sesungguhnya telah memiliki kelengkapan dirinya sendiri. Pigura hanya menjelaskan bahwa diri lukisan itu sudah lengkap,” katanya. Sementara pengamat seni Friedrich Schlegel bertutur bahwa, “Setiap karya seni membawa piguranya sendiri-sendiri. Setiap lukisan berhak menentukan piguranya sendiri. Bahkan untuk sama sekali tidak berpigura.”        

Pemerhati boleh berdebat. Tapi para pelukis dunia, termasuk pelukis Indonesia, tetap memiliki anggapan sendiri sesuai dengan pengalamannya. Berikut ini adalah contoh-contohnya.

Pigura pelindung lukisan

Vincent van Gogh (1853-1890) menempatkan pigura sebagai teman dan pelindung yang istimewa. Kepada Theo, adik dan “promotor”nya, ia kadang memberikan arahan dalam pembuatan pigura untuk lukisan-lukisannya. Tapi tak jarang Van Gogh membuat sendiri semua itu. Ia acap membuat spanraam kanvas dalam ukuran yang sama. Dari situ ia membuat beberapa pigura. Beberapa pigura yang dibuat itu bisa dipasangkan ke banyak lukisannya secara berganti-ganti. Van Gogh memang perlu menyiasati kemiskinannya. Van Gogh memang memiliki perhatian khusus kepada pigura. Dalam selarik suratnya kepada Theo bertanggal 12 November 1888 ia membuat sketsa pigura yang seharusnya dibuat untuk lukisannya, “The Sower”. 

Pelukis pointilis George Seurat (1859-1891) menganggap bahwa lukisan dan pigura harus dikerjakan simultan. Prinsip yang sama juga dianut oleh pelukis, Edgar Degas (1834-1917), Franz von Stuck (1863-1928) dan Gustav Klimt (1862-1918). 

Pigura lukisan Franz von Stuck, “Petarung Amazon”, 1897. Motif pigura dicipta sesuai dengan tema lukisan. (Sumber: Penulis)

Stuck dan Klimt memandang pigura sebagai sesuatu yang sangat penting. Ini masuk akal, lantaran kedua seniman ini pernah mengenyam pendidikan ihwal applied art, yang di dalamnya mengangkat desain sebagai elemen pokok. Dalam pikiran mereka sebuah pigura yang didesain khusus (sejalan dengan karakter lukisan) memiliki tujuan besar, yakni membebaskan seni lukis dari isolasi artistik. Sehingga lukisan-lukisan yang tadinya sangat individual serta cenderung “angkuh”, bisa masuk ke dalam publiknya dengan cara-cara yang familier. Pigura-pigura Stuck dan Klimt memang selalu merespon interior, dan berkompromi dengan kebutuhan selera masyarakat umum. 

Pelukis impresionis Edgar Degas mengatakan bahwa merancang pigura untuk lukisan adalah tugas wajib bagi seorang pelukis. Karena pigura sangat menentukan kepantasan lukisan sebelum tampil ke publik. Selain itu pigura juga dianggap menguatkan karakter lukisan yang sudah tercipta. Keseriusan Degas atas pigura bisa dilihat dari buku catatannya yang ditulis tahun 1877-1883. Di situ ia membicarakan soal moulding sampai curve-nya. Dari ihwal teknik pengemasan sampai soal ketepatan passe-partout. Degas memang pernah menempatkan diri sebagai kreator pigura selama 10 tahun, sejak 1870.

Di sisi lain pelukis James Mc Neil Whistler mengatakan bahwa: pemasangan pigura adalah usaha terakhir dari seniman untuk mencapai perfect harmony. Maka pada suatu kali ia menulis surat kepada kolektor dan art dealer George Aloysius Lucas yang telah membayar dan minta agar lukisan itu dikirim segera ke rumahnya. Bunyi surat itu begini : “Tunggu dulu, ya. Saya harus mendesain bingkai saya secermat lukisan saya. Ini membutuhkan waktu!” George yang gusar membalas, “Kalau terlalu lama, uangku harus kau kembalikan!” James pun menjawab, “Okey, besok uangmu kukembalikan.” Terbayang, pigura begitu penting untuk sebagian seniman.

Pelukis Indonesia (yang tidak kontemporer) secara tidak sadar juga mengikuti gerakan pikiran perpiguraan itu. Seperti para pelukis tradisional mashab “flora-fauna” Pengosekan, Bali, yang berpuluh tahun mencipta pigura kayu dengan ukiran yang berselaras dengan sketsa lukisannya. Soeparto, Amrus Natalsya dan Erica yang memahatkan elemen obyek lukisannya ke dalam pigura lebar yang digubahnya. Antonio Blanco dan (putranya) Mario Blanco, yang mendesain piguranya dengan artistik, mewah dan gaya. Lalu, apabila di Eropa ada Vienna Secession yang memproduksi pigura berdasarkan ide-ide pelukis, di Bali juga ada dalam jumlah tidak sedikit. Para pengrajin kayu itu mengerjakan pigura pesanan dari Le Mayeur sampai Nyoman Gunarsa.

Pigura bertema semut ciptaan Antonio Blanco untuk lukisannya sendiri. (Sumber: Penulis)

Pigura goyang pinggul

Karya-karya besar telah menandai betapa pigura adalah bagian penting dari seni lukis. Tanda itu salah satunya ditandai oleh Jan Toorop dalam karya yang sangat indah, “Play of Lines” (1893). Dalam menggarap pigura, Jan Toorop (yang pernah berdiam di Indonesia), dibantu oleh Joosstens, seorang ahli pigura. Karena itu sosok Joosstens lantas diabadikan dalam karyanya, “The Frame Maker Joosstens”.

Ada pigura berpola persegi, ada pigura berpola melingkar. Namun tak sedikit yang berbentuk bebas, mengikuti obyek utama lukisan. Pigura-pigura Salvador Dali untuk lukisan “Couple with Heads Full of Clouds” (1936) adalah contoh yang populer. Juga pigura untuk lukisan Rene Magritte, “Representation (1937). Rene, sebagai lelaki pengagum perempuan, mencipta pigura tipis yang luwes mengikuti “goyang” pinggul si perempuan idaman.

Pigura rancangan Salvador Dali untuk lukisannya sendiri. (Sumber: Penulis)

Penghormatan habis-habisan atas pigura ditunjukkan oleh Joan Miro lewat lukisan “Potret Lelaki dengan Pigura Akhir Abad 19” (1950). Di sini Miro melukiskan potret dirinya, dengan latar lukisannya yang terkenal. Lukisan itu dibungkus oleh sebuah pigura besar gagah berwarna emas, dengan ornamentasi era Art Nouveau. Lewat lukisan itu Miro berkata: hanya harmoni yang bisa mengantar modernitas ke masa lalu.

Pigura ciptaan Joan Miro yang dicipta untuk lukisannya sendiri. (Sumber: Penulis)

Dari wacana di atas lantas terjelaskan, betapa dunia pigura-memigura adalah pekerjaan penuh perhitungan dan butuh pengetahuan. Meski di bagian lain ada yang mengatakan: pigura adalah dekorasi yang mengkamuflase nilai-nilai seni, sehingga pigura boleh dihindari…*

Agus Dermawan T.
Kritikus Seni rupa, Penulis Buku-buku Budaya dan Sastra.