Puisi-Puisi Iyut Fitra

pos ronda yang ditinggalkan

           kamis, mungkin kliwon. malam itu dingin sekali
tak ada yang datang ke pos ronda. senter, pentungan entah ke mana
hanya bekas tempat obat nyamuk dan sebuah televisi usang masih tergantung
ke mana wajah-wajah terkantuk itu?
mereka yang berkain sarung kumal, bau rokok, dan takut bunyi kentongan
televisi menyiarkan berita penangkapan. televisi yang kemudian mengabur
gerinyik saja serupa aquarium tanpa ikan

siapa lagi yang mencatat semua itu
dari berbagai gang kampung orang-orang biasa datang
meninggalkan kamar. meninggalkan selimut tebal menuju dingin dan angin
kadang ada yang menungkus nasi atau ubi
jam terasa lamban. jalan sepi dan tiang listrik berdengkang sekali-sekali
bergantian
antara sayup suara kendaraan bertingkah lagu orang malam
kadang salak anjing
dikunyah sebingkah ubi. dihangatkan lagi kopi
sedang mengapakah di rumah anak dan istri
hingga subuh datang perlahan-lahan

tapi kini tidak ada lagi orang-orang yang terkantuk itu
pos ronda telah ditinggalkan
hanya bekas tempat obat nyamuk dan sebuah televisi usang masih tergantung
karena pencuri-pencuri selalu dilepas lagi

 

doa tiang untuk bendera

          pada suatu siang, angin dari barat, matahari dan udara sepakat bercerah-cerah
di halaman sebuah rumah mantan pejuang, tiang bendera bernyanyi
berkibarlah benderaku, lambang suci gagah perwira…
khidmat dan khusyuk. tegak dan gagah
tapi kemudian ia mengulai. betung sepanjang empat meter itu mulai bungkuk
nyaris lapuk
semenjak pertama dikibarkan. mereka jarang sekali berpisah
tiang itu senantiasa merawat hatinya. bersetia pada apa yang mesti ia jaga
kucintai engkau sebagaimana bekas pejuang itu mencintai medan-medan kematian
kelak bila badai bergelombang lain, rerak ruas-ruasku, tetaplah melambai
hamparan cakrawala
bumi hijau berpulau-pulau
mimpi para pejuang tua jauhkan dari terbengkalai

tiang bendera pernah melihat mantan pejuang pemilik rumah itu
mengenakkan seragam kebanggaan
tak ada lencana
berdiri gagah dengan kaki goyah. memberi hormat kepada bendera
dalam gerimis. lalu entah kenapa kemudian tiba-tiba ia menangis
kami kibarkan engkau dengan seluruh napas yang kami punya. dari seluruh
detak nadi
maka jangan pernah melusuh
jahit segera setiap luka yang ruyak di tubuhmu
seperti gumam yang keluar dari mulutnya

berkibarlah benderaku, lambang suci gagah perwira…

tiang dari betung yang telah tua. barangkali setua mantan pejuang itu
tubuhnya ngilu
lalu entah kenapa kemudian tiba-tiba ikut menangis
bila tak kokoh lagi aku menupangmu. karena keserakahan
sengsara timpa-bertimpa
dan tak ada lagi yang sepenuh hati mencintai bendera. tetap jaga warnamu
katanya, entah mengeluh, entah berdoa

 

perayaan sirene

aspal yang membentuk fatamorgana, tiang listrik, trotoar yang berlubang
mereka berkumpul saat itu. entah jam berapa
ada juga yang datang kemudian. kantong plastik yang diterbangkan angin,
kaleng bekas dilempar dari kaca mobil, serta daun mersik luput dari tukang sapu
juga entah jam berapa
hari ini sirene sibuk sekali. bunyinya berterbangan serupa layang-layang
telingaku pekak dan cemas, kata di antaranya
bunyi serupa layang-layang itu menjemput yang terkapar malang
melarikan secepat napas berpacu
lampu berputaran. doa-doa berloncatan
mujur tak dapat diraih. malang tak dapat ditolak
ajal atau wabah sangat dekat dengan pintu rumah. memeluk jendela
sebelum sempat mengenalnya

ngilu di dadaku telah berumah. mengapa bunyi kesakitan itu amat ganjil
setiap suara melintas, aku merasa diriku terluka, kata di antaranya
bunyi serupa layang-layang melambai sepanjang jalan
seolah mengabarkan kesepian
tentang yang mati
tentang yang pergi

sirene demi sirene berhimpitan. membuat sebuah perayaan
orang-orang menepi
mobil ambulan, gegas pemadam kebakaran, hingga rombongan pembesar lewat
suara itu melayang-layang di udara. bergelombang
seolah-olah akan menimpa mereka
tutup telingamu, tutup telingamu, bunyi itu akan mengepung kita,
kata di antaranya

tapi entah jam berapa
aspal yang membentuk fatamorgana, tiang listrik, trotoar yang berlubang
ada juga yang datang kemudian. kantong plastik yang diterbangkan angin,
kaleng bekas dilempar dari kaca mobil, serta daun mersik luput dari tukang sapu
tiba-tiba mereka tersentak. menungkai setiap rasa takut
rasa takut yang kemudian melayang-layang di udara
bukankah ada sirene yang dirindukan
ramadhan, ramadhan, sorak semuanya

 

gambar-gambar yang hilang dalam peta

          sudah banyak yang hilang di kota ini, ucap bangunan yang masih tersisa
kepada pelancong yang tak memakai topi lebar
ketika bendi melaju menuju kedai kuliner dan toko oleh-oleh
bunyi kleneng genta di leher kuda membawa ke masa lalu yang tersuruk
gelimun rayap, kotor, tak terbaca, sejarah yang dihilangkan
berganti wajah-wajah baru
gambar-gambar itu telah diterbangkan bersama riuh pesawat menuju ibukota
sebagiannya hanyut ke sungai bersama gerimis buatan
membentuk pidato dan janji. kadang meriah warna pamflet
tak ada yang akan dikenali lagi
selain nama-nama lama yang enggan dicatat

derap sepatu kuda berketipak-ketipak seolah sedang terbahak-bahak
melihat pelancong itu celingak-celinguk mencari sesuatu
mungkin lapangan bola tempat kanak-kanak menyerahkan masa kecil
berlecah-lecah
bertengkar dan menangis
kini telah menjelma kantor walikota
mungkin stasiun kereta tempat menyaksikan orang-orang pergi dan kembali
belajar makna perpisahan. menyimpul-simpul arti menunggu
kini direnovasi untuk kafe muda-mudi
mungkin deretan toko buku
kini menjadi entah yang abu-abu
mungkin bangunan tua sebuah pustaka, perhentian bendi, kedai-kedai cina
semua pergi bersama identitas dan jatidiri
pelancong yang tak memakai topi lebar itu merasa hampa
bangunan tua dan derap sepatu kuda terpingkal-pingkal
cukup lama

di sepanjang jalan kehilangan demi kehilangan berhamburan
membentuk iringan yang terburu
wajah yang tengah bersolek
manja
menunggu hujan dari ibukota

sudah banyak yang tak ada di kota ini
gambar-gambar itu telah ditimbun bersama peta, tanda, dan narasi yang pucat
pada suatu ketika
orang-orang entah akan berziarah ke mana?

 

*Iyut Fitra lahir dan menetap di Payahkumbuh, Sumatera Barat. Buku puisinya yang terbaru adalah SINAMA.

 

4 replies
  1. Yudilfan Habib
    Yudilfan Habib says:

    Iyut Fitra, selalu saja bisa menyajikan perpaduan masa lalu dan hari ini dalam diksi pilihannya.

Comments are closed.