Sajak Heru Joni Putra

Riwayat Beringin Tumbang

Di Wuhan bermula suatu kabar
Virus yang katanya dari kelelawar
Korona nama yang diberikan pakar
Banyak manusia yang terpapar

Korona menjalar ke mana-mana
Bagai tinta tumpah di atas peta
Negeri-negeri langsung bersiaga
Penguasa kita tampak santai saja

Pemegang kuasa memberitahu
Korona jangan dicemaskan terlalu
Kita punya ramuan sejak dahulu
Dari susu kuda liar hingga jamu

Katanya kita bangsa Melayu
Korona tak akan berani maju
Karena kita makan nasi kucing
Korona tak akan bergeming

Katanya korona isu belaka
Untuk mengganggu pariwisata
Tak bahaya begitu ucapnya
Korona toh hanya virus saja

2020 masih itu tahunnya
Bulan Maret tanggal dua
Kabar buruk itu sampai jua
Korona tiba di Indonesia

Umat manusia jadi kacau-balau
Bagai kampung diserang harimau
Penguasa masih tenang belaka
Katanya cukup berdoa saja

Apa yang harus dilakukan dulu
Tak banyaklah pemberiantahu
Penguasa hanya bisa gegabah
Dua korban cepat bertambah

Korona lebih halus dari tungau
Dengan mata tak bisa dipantau
Pada segala benda ia tak terduga
Makanya kita harus waspada

Agar korona tak merasuk ke badan
Anjuran pakar diserbaluaskan
Segerakan mencuci kedua tangan
Sehabis menyentuh segala perlengkapan

Hindari juga segala kerumunan
Bila dari mulut fulan keluar cipratan
Lalu terkena pada handaitaulan
Korona segera berpindah badan

Ketika korona sampai dalam badan
Paru-paru dilemah-remukkan
Beribu orang sudah jadi korban
Sungguh obatnya belum ditemukan

Penguasa semakin kelabakan
Korona telah membolak-balikkan
Segala rencana jadi berantakan
Masyarakat tak kalah keteteran

Hilir-mudik bakalan celaka
Lalu-lalang bisa malapetaka
Semua diminta di rumah saja
Supaya korona tak merajalela

Semua kantor dirumahkan
Semua rumah ditangsikan
Gelanggang pun dilengangkan
Panggung-panggung disunyikan

Banyak pekerja mendapat PHK
Sopir angkot semakin merana
Tukang parkir tak bisa apa-apa
Kuli bangunan juga tak berdaya

Toko-toko jadinya tutup pintu
Hotel-hotel kekurangan tamu
Bus-lintas tak lagi melaju
Bandara tak seramai dulu

Semua orang takut kelaparan
Semua orang takut ketularan
Semua orang ingin bertahan
Sampai situasi kembali aman

Di rumah saja tak henti dianjurkan
Tanpa tahu entah sampai kapan
Satu pun tak bisa memastikan
Hingga akhirnya terjadi keributan

Orang-orang ber-uang bagai kesetanan
Beramai-ramai memborong pangan
Perkakas kesehatan pun ditandaskan
Hingga banyak yang tak mendapatkan

Penguasa bagai berlepas tangan
Dikritik dari kiri hingga kanan
Korona terus saja menghantam
Tak jelas apa yang harus dilakukan

Ada yang bilang sebaiknya kuncitara
Ada yang bilang semestinya karantina
Penguasa bagai berada di simpang dua
Menimbang manfaat dan resikonya

Korona semakin menjadi-jadi
Ada wilayah mulai mengunci lokasi
Terlalu lama menunggu instruksi
Bisa-bisa makin banyak yang mati

Rakyat kalang-kabut tak tentu arah
Menunggu keputusan penguasa
Sebagian tak bisa lagi menahan marah
Sebagian lagi hanya memilih pasrah

Penguasa bermain tarik tambang
Masyarakat bagai terpisah jurang
Sungguh beruntung sebagian orang
Sebagian lagi oh betapa malang

Pekerjaan tertentu bisa disiasati
Karena sudah majunya teknologi
Pertemuan-langsung bisa diganti
Tatap-muka di layar kaca kini

Guru mengajar anak sekolah
Pemuka agama kasih ceramah
Begitu juga rapat penguasa
Semuanya bisa saja dari rumah

Pekerja lain jadi semakin payah
Email tak bisa membersihkan sampah
Video tak bisa membajak sawah
Ojek tak bisa mangkal dalam rumah

Rumah mendapat pengertian baru
Pergi dan pulang telah jadi satu
Kerja dan nganggur bertukar bulu
Jiwa dan raga mengerami batu

Di rumah saja awalnya biasa belaka
Pengganti liburan keluarga
Bagi yang selama ini sibuk bekerja
Sukar berkumpul lebih lama

Kita di rumah saja hanyalah sesaat
Maka dijalani saja penuh khidmat
Penjalaran korona akan segera tamat
Begitu sebagian orang berpendapat

Tapi lama-lama tak ada kabar baik
Berita korona makin membuat panik
Laporan kurva korban terus naik
Terbayang hidup bakal lebih pelik

Orang-orang di rumah saja lama-lama
Lama-lama semuanya jadi serba lama
Yang lama-palsu malah jadi lama-murni
Lama-murni pun tak buyar dicampuri

Terdengarlah keluhan banyak orang
Di rumah saja mentok bukan kepalang
Kita bagai hidup di kebun binatang
Dari jendela saling berbagi pandang

Sampai entah kapan korona bertahan
Di rumah saja lama-lama makin bosan
Tapi tak berguna dikeluh-kesahkan
Semua harus memikirkan keselamatan

Agar segala yang terpuruk tak jadi remuk
Segala yang amuk tak bikin ambruk
Segala yang berhamburan tak berantakan
Orang butuh nama lain dari kebahagiaan

Bermain layangan di dalam bilik
Bercakap-cakap dengan jangkrik
Latihan renang di atas tempat tidur
Motong rumput dengan gunting cukur

Di rumah saja tak henti disampaikan
Tapi rumah punya beda pengertian
Pasar Senen dan Tanah Abang
Di sanalah rumah para pedagang

Bersorak dari pagi sampai petang
Dipilih dipilih kami punya barang
Begitulah panggilan anak dagang
Agar handaitaulan banyak datang

Namun beda si anak dagang kini
Terpaksa sajalah bersabar diri
Korona menggila tak menentu
Keramaian tak dianjurkan dulu

Si anak dagang acap bermenung
Bertahan hidup membuat bingung
Akhirnya buntu si anak dagang
Kepala pusing perut keroncongan

Berjalanlah ia mencari nafkah
Tak hiraukan anjuran penguasa
Dagangan ditaruh di atas kepala
Mulutnya bersorak menawarkannya

Dibawanya dagang ke mana-mana
Berharap ada yang membelinya
Lengang di luar bukan kepalang
Tak satu pun laku itu barang

Menjelang senja letih badannya
Di pinggir jalan tertidur saja
Orang lewat menebak-nebak
Melihat sekujur tubuh tergeletak

Dari jarak jauh berpandangan
Menerka-nerka siapa gerangan
Semua orang tentulah percaya
Dia pasti rubuh karena korona

Sudah lama tersiar kabar-berita
Korona bikin sekarat tiba-tiba
Si anak dagang disemprot zat kimia
Ia tersentak dari tidur nyenyaknya

Berhamburan semuanya berlari
Dikiranya si mati yang hidup lagi
Habislah hari si anak dagang
Polisi menyuruhnya kembali pulang

Tak satu pun barangnya terjual
Sungguh hidupnya sangat sial
Ia diancam dipenjara lama-lama
Bila masih berkeliaran di mana-mana

Pulanglah ia si anak dagang
Kembali ke Pasar Tanah Abang
Tak tampak pun teman seorang
Hanya ada sedikit lalu-lalang

Ke Pasar Senen ia beranjak
Mungkin masih bisa buka lapak
Moga lakulah barang dagangan
Agar badan sanggup bertahan

Oh tak ramai lagi Pasar Senen
Jalan-jalan bertanda forbidden
Penuh oleh kelengangan tulen
Si anak dagang jadi senewen

Ada pula kisah di tempat berbeda
Masih di negeri kita Indonesia
Kisah masyarakat ketika korona
Yang mustahil di rumah saja

Jalan-jalan lengang semuanya
Tak ada penumpang dibawanya
Sopir taksi semakin putus asa
Penagih hutang segera tiba

Penagih hutang akhirnya datang
Si sopir taksi minta perpanjang
Uang angsuran sangatlah kurang
Penagih hutang keluarkan pedang

Si sopir taksi pun bersujud-sujud
Memohon kepada malaikat maut
Kalau minggu depan masih tak ada
Silakan dibunuhi kami sekeluarga

Malaikat maut akhirnya mengiyakan
Mereka kasih satu lagi kesempatan
Tak akan terima segala jenis alasan
Minggu depan harus lunas angsuran

Tuhan tak turun-turun di jalan lengang
Sopir taksi terus mencari penumpang
Ia teringat ketika jadi pedagang asongan
Lalu ia masuki perumahan-perumahan

Si sopir ditanya satpam perumahan
Ia sebut saja rumah nomor delapan
Si satpam memberitahu arah jalan
Akhirnya sopir pun sampai di depan

Sebenarnya bukan rumah nomor delapan
Nomor duabelas-lah yang ia katakan
Karena bait di atas mesti berakhir -an
Maka hamba tulis saja nomor delapan

Tentu tak maksud menipu pembaca
Rangkai ceritanya tetap sama saja
Maka, depan rumah si sopir sudah tiba
Dibunyikannya lonceng tanpa jeda

Tuan rumah heran bukan kepalang
Tak pernah meminta taksi datang
Si sopir berkata ia hanya butuh uang
Ke rumah-rumah mencari peluang

Berkatalah si sopir kepada itu tuan
Bila tak ada yang akan diantarkan
Ia bersedia disuruh membeli makanan
Atau beli apapun yang dimaui si tuan

Tak semua tuan yang membutuhkan
Si sopir terus menelusuri perumahan
Ia ulangi apa yang sudah ia lakukan
Tuan-tuan rumah sama-sama heran

Tapi satu-dua ada yang membutuhkan
Si sopir beroleh rejeki yang dinantikan
Membuang sampah disuruhkerjakan
Dengan senang hati ia selesaikan

Si sopir terus bekerja mati-matian
Hingga mendapat uang tambahan
Sedikitlah lega kita mendengarkan
Tapi cukupkah untuk bayar cicilan?

 

Catatan:
Syair di atas hanyalah cuplikan pendek dari syair berjudul “Riwayat Beringin Tumbang” karya Heru Joni Putra. Versi lengkapnya akan segera diterbitkan dalam bentuk buku.

Heru Joni Putra merupakan kurator di Galerikertas (Depok) dan dramaturg di kelompok teater-bunyi Ranah PAC (Padang). Ia merupakan lulusan Sastra Inggris, FIB, Universitas Andalas dan Cultural Studies, FIB, Universitas Indonesia. Buku puisi pertamanya berjudul “Badrul Mustafa Badrul Mustafa Badrul Mustafa” (2017) beroleh penghargaan sebagai Buku Sastra Terbaik 2017 versi Majalah TEMPO. Buku tersebut sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh George A Fowler dengan judul “Will Badrul Mustafa Never Die: Verse from the Front” (2020).