Tony Doludea

Pandemi COVID-19 dan Teodisi Abad 21: Sebuah Renungan atas Yang Jahat dan Penderitaan Manusia

 Oleh Tony Doludea

Pandemi COVID-19 adalah peristiwa menyebarnya penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 di semua negara di seluruh dunia. Wabah COVID-19 pertama kali ditemukan di Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok pada tanggal 1 Desember 2019. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kemudian menetapkan sebagai pandemi pada tanggal 11 Maret 2020. Hingga 31 Januari 2021, lebih dari 100 juta orang dilaporkan telah terinveksi dan mengakibatkan lebih dari 2 juta orang meninggal dunia di lebih dari 130 negara di seluruh dunia.

Segala usaha manusia telah dikerahkan untuk mencegah penyebaran pandemi ini. Mulai dari sisi keberagamaan, budaya, kesehatan masyarakat, medis, ekonomi, politik sampai dengan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang paling mutakhir sekalipun. Pada Januari 2020, para ahli mulai melakukan penguraian genom SARS-CoV-2 untuk mempercepat pengembangan vaksin sebagai bentuk upaya pencegahan terus meningkatnya penularan pandemi COVID-19.

Namun wabah COVID-19 ini telah begitu menyebar, mencekam dan menggetarkan umat manusia di Abad 21 ini. Memang virus yang ghaib dan misterius ini menghadapkan manusia muka dengan muka langsung dengan maut. Orang-orang terpapar dan mati. Ada yang ditinggalkan orang yang mereka kasihi dan yang sangat menyayangi mereka. Banyak yang kehilangan pekerjaan dan mata pencarian, yang selama ini telah menjadi sumber penghidupan keluarganya. Mereka terpisah dari sahabat, teman dan kerabat yang biasa bersama-sama pergi ke sekolah, bermain, berolahraga dan bertamasya. Orang tidak dapat lagi berjemaat di lingkungan agamanya.

Orang terkondisi untuk mengambil jarak satu dengan yang lainnya. Bahkan terpaksa bersikap saling curiga, sehingga keakraban dan sentuhan dianggap dapat menghadirkan maut. Hati manusia hancur karena terasing dan diasingkan secara paksa. Hidup kehilangan pesonanya dan dunia tidak menarik lagi. Manusia menjadi tidak lumrah.

Vaksin telah ditemukan dan disebarkan, namun diberitakan bahwa itu tidak menjamin orang terbebas dari wabah. Ada korban justru terpapar virus, bahkan terjangkit penyakit lain dan meninggal akibat vaksin tersebut. Lebih buruk dilaporkan muncul mutasi baru virus tersebut di Inggris, Afrika Selatan dan beberapa wilayah lain, yang lebih menular dan mematian.

Walaupun demikian, orang tidak boleh meremehkan bahwa ada jauh lebih banyak korban lain akibat kelaparan, bencana alam dan penyakit lainnya, menjadi lebih parah daripada wabah itu sendiri. Semua orang menghadapi pandemi ini dalam keadaan penuh dengan ketidakpastian, kebingungan, perubahan yang sangat cepat dan kerentanan. Sebagai mahluk reflektif, manusia pada kesempatan yang sangat mengerikan seperti ini mulai kembali mencari makna hidup dengan mengajukan pertanyaan tentang kemahakuasaan dan kasih Allah sebagai Penciptanya.

Sejak dari mula munculnya, Filsafat telah bergulat untuk menjawab masalah mengenai adanya yang jahat (evil) dan penderitaan dalam hidup manusia. Masalah tentang keberadaan Allah Yang Maha Kasih, Yang Maha Kuasa dan penderitaan manusia. “Mengapa ada penderitaan?” “Mengapa Allah membiarkan yang jahat dan penderitaan merajalela di muka bumi, yang telah diciptakan-Nya ini?” “Apakah Allah tidak dapat menciptakan dunia tanpa penderitaan?” “Apakah Allah tidak dapat memelihara manusia tanpa menyiksanya dengan segala yang jahat dan semua penderitaan hidup?”

Masalah ini kemudian menjadi dasar mengapa orang meragukan keberadaan Allah Yang Maha Kuasa, Maha Baik dan Maha Adil, yang telah menciptakan dan memelihara alam semesta dengan manusia yang hidup di dalamnya. Epikuros (341–270 SM) membuka masalah ini dengan rumusan silogismenya, yaitu bahwa jika Allah mau menghapus yang jahat, namun tidak mampu, maka Dia tidak Maha Kuasa. Jika Dia mampu, namun tidak mau, maka Dia tidak Maha Kasih. Jika Dia mau dan mampu, lalu dari mana asal yang jahat itu? Jika Dia tidak mau dan tidak mampu. Lalu mengapa orang menyebutnya Allah?

Dengan lain kata, yang jahat dan penderitaan manusia itu tidak akan ada jika Allah Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Kasih ada. Sebaliknya, jika yang jahat dan penderitaan manusia ada, itu karena Allah Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Kasih tidak ada. Kemudian bagaimana dengan Pandemi COVID-19 yang terus mewabah ini? Adakah Allah Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Kasih itu? Atau, sesungguhnya Allah seperti itu tidak ada?

Teodisi berasal dari kata Bahasa Yunani theos, yaitu Allah dan dike, artinya keadilan. Gottfried Wilhelm Leibniz (1646–1716) adalah orang yang memperkenalkan dan menggunakan istilah ini untuk pertama kalinya, di dalam bukunya Essays of Theodicy, on the Goodness of God, the Freedom of Man, and the Origin of Evil (1710). Buku itu mengangkat masalah yang jahat dan penderitaan manusia ini sebagai masalah Teodisi.

Tulisannya itu bertujuan untuk memperlihatkan bahwa yang jahat, kemalangan dan penderitaan yang dialami manusia di dunia ini sama sekali tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa Allah itu memang Maha Baik. Sehingga, meskipun penuh dengan kejahatan dan penderitaan, dunia ini adalah kenyataan yang terbaik yang ada, dari segala kemungkinan adanya dunia-dunia yang lainnya. Maka tidaklah mungkin ada suatu dunia lain yang lebih baik dari dunia ini.

Leibniz menegaskan bahwa orang sungguh tidak dapat memahami dan menerima dunia yang tidak ada kejahatan dan penderitaan di dalamnya. Manusia tidak dapat menyimpulkan bahwa dunia ini harus ada tanpa yang jahat dan penderitaan. Karena memang orang tidak tahu bagaimana segala yang jahat dan penderitaan ini ada melekat di dunianya dan orang juga tidak tahu apakah jika yang jahat lenyap dan tidak ada, maka dunia ini akan menjadi baik.

Teodisi adalah masalah bagaimana orang membela dan mempertahankan keyakinan bahwa Allah itu, bagaimanapun juga pada kenyataannya memang adil. Penolakan terhadap adanya yang jahat dan penderitaan manusia itu tidak termasuk Teodisi. Penolakan terhadap adanya Allah Yang Maha Kuasa, Yang Maha Tahu, Yang Maha Baik sebagai pencipta dan pemelihara manusia dan alam semesta, itu juga tidak masuk dalam garis pemikiran Teodisi. Teodisi merupakan pusat usaha filosofis manusia untuk memahami dan memaknai kebearadaan Allah di dalam semua kenyataan yang jahat dan penderitan yang dialami dalam hidupnya.

Leibniz dalam bukunya itu berusaha menanggapi di satu sisi kelompok Socinian, yang menyatakan bahwa jika Allah Maha Tahu, maka keberadaan-Nya itu tidak cocok dan bertentangan sama sekali dengan kenyataan adanya yang jahat. Mereka menyatakan bahwa Allah itu tidak Maha Tahu, karena Dia tidak tahu tentang adanya yang jahat. Meskipun demikian adanya yang jahat itu tidak menjadi masalah yang terlalu mendasar untuk tetap dapat meyakini keberadaan Allah. Di sisi lain, Pierre Bayle yang dipengaruhi oleh Manikeisme, yang percaya kepada adanya dua illah, yaitu sang pencipta yang jahat dan sang penyelamat yang baik. Sehingga bagi Bayle secara rasional adanya yang jahat dapat diterima dan tidak dapat dipungkiri.

Namun Teodisi Leibniz tegas menyatakan bahwa Allah itu sungguh Maha Tahu (menjawab Socinian) dan pikiran manusia harus didasarkan dan disertai iman dan wahyu Allah (Kitab Suci) dalam menjelaskan masalah yang jahat dan penderitaan manusia (menjawab Pierre Bayle). Immanuel Kant dalam bukunya On the Failure of All Attempted Philosophical Theodicies (1791) mengatakan bahwa yang jahat dan penderitaan itu adalah suatu tantangan, pergumulan dan perjuangan pribadi masing-masing orang. Tantangan ini hanya dapat dihadapi dengan iman dan keyakinan, karena hal itu merupakan perkara yang tidak dapat dipahami oleh akalnya.

Pernyataan Leibniz dan Kant itu dapat ditemukan akarnya pada tehillim, syair lagu Daud dalam Kitab Mazmur 139:

“TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku;
Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri,
Engkau mengerti pikiranku dari jauh.
Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku Kaumaklumi.
Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, semuanya telah Kauketahui, ya TUHAN.
Dari belakang dan dari depan Engkau mengurung aku, dan Engkau menaruh tangan-Mu ke atasku.
Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya.

Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu?

Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situpun Engkau.

Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut, juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku.

Jika aku berkata: “Biarlah kegelapan saja melingkupi aku, dan terang sekelilingku menjadi malam,” maka kegelapanpun tidak menggelapkan bagi-Mu, dan malam menjadi terang seperti siang; kegelapan sama seperti terang.

Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku.

Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.

Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah; mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya.

Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya!

Jika aku mau menghitungnya, itu lebih banyak dari pada pasir. Apabila aku berhenti, masih saja aku bersama-sama Engkau.

Sekiranya Engkau mematikan orang fasik, ya Allah, sehingga menjauh dari padaku penumpah-penumpah darah, yang berkata-kata dusta terhadap Engkau, dan melawan Engkau dengan sia-sia.

Masakan aku tidak membenci orang-orang yang membenci Engkau, ya TUHAN, dan tidak merasa jemu kepada orang-orang yang bangkit melawan Engkau?

Aku sama sekali membenci mereka, mereka menjadi musuhku.

Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!”

Dari sejak Abad Pertengahan, syair lagu ini selalu dinyanyikan saat Vespers (ἑσπέρα, hespera) ibadah malam sementara matahari tenggelam, sesuai dengan The Rule of St. Benedict (530–543). Sehingga ayat-ayat ini tidak asing sama sekali di telinga Leibniz dan Kant. Maka tidak mengherankan apabila kedua filsuf tersebut menyusun Teodisi sebagai suatu refleksi filosofis dalam menghadapi tantangan hidup dan serangan terhadap keyakinan mereka.

Abad Pertengahan dikenal dengan Abad Kegelapan, di mana pertikaian, permusuhan dan peperangan nyaris tiada henti. Abad ini juga dilanda oleh beberapa wabah yang mematikan. Pada tahun 541-750, Plague of Justinian, wabah Pes yang berawal di Mesir ini diperkirakan telah membunuh 10 ribu jiwa dalam sehari. Wabah ini mengurangi 50% penduduk Eropa dan antara seperempat sampai setengah penduduk dunia. Black Death di tahun 1347-1351, wabah ini melanda seluruh dunia, jumlah total korban meninggal diperkirakan 75 juta jiwa. Dalam keadaan seperti itulah Mazmur Daud ini dinyanyikan dalam rangkain ibadah di saat matahari mulai tenggelam.

Kitab Mazmur adalah salah satu kitab yang terdapat dalam Kitab Taurat. Kitab ini merupakan doa dan pujian yang diilhamkan Roh Allah, ditulis, secara umum, untuk mengungkapkan perasaan mendalam hati sanubari seorang manusia dalam hubungan dengan Allah. Tidak ada kitab lain di Alkitab yang demikian terang-terangan mengungkapkan perasaan dan kebutuhan manusia terdalam dalam hubungan dengan Allah dan kehidupan ini.

Penulis syair lagu tersebut adalah Daud. Dalam agama Islam Daud adalah seorang nabi, namun bagi orang Kristen dan Yahudi Daud adalah raja kedua dan yang paling populer di Kerajaan Israel. Dalam agama Islam Nabi Daud menerima kitab Zabur, sementara dalam agama Kristen Daud menulis banyak Mazmur yang dikumpulkan ke dalam Kitab Mazmur. Menurut Injil Matius, Injil Lukas dan kitab-kitab Perjanjian Baru lainnya, Daud adalah moyang dari Yesus. Daud hidup antara 1040–970 SM, Dia menjadi raja di Kerajaan Yehuda di Hebron (1010–1002 SM) dan kemudian atas seluruh Israel (1002–970 SM).

Tehillim banyak yang ditulis sebagai doa kepada Allah, mengungkapkan kepercayaan, kasih, penyembahan, ucapan syukur, pujian, dan kerinduan akan persekutuan erat; kekecewaan, kesesakan mendalam, ketakutan, kekhawatiran, penghinaan dan seruan untuk pembebasan, kesembuhan, atau pembenaran. Yang lain ditulis sebagai nyanyian yang mengungkapkan pujian, ucapan syukur, dan pemujaan kepada Allah dan hal-hal besar yang telah dilakukan-Nya. Nyanyian pujian dan pengabdian mengalir dari gunung-gunung tertinggi, dan seruan-seruan keputusasaan yang timbul dari lembah-lembah terdalam.

Daud menulis tehillim ini ketika mengalami langsung yang jahat dan penderitaan yang sangat dalam kehidupannya. Ketika masih muda sekali, ia dikejar-kejar oleh Raja Saul, sampai menggelandang di tengah padang gurun, untuk dibunuh karena Raja Saul iri hati atas keperkasaan kepahlawanan dan keberhasilan perjuangan Daud. Ketika Daud menjadi raja Yehuda, Absalom anak terkasihnya itu melawan dan memberontak terhadapnya untuk merebut kekuasaan raja.

Daud mengalami dan melewati kepahitan hidup dan kepedihan yang merobek hatinya, yang membuatnya kemudian dapat memahami sendiri secara langsung TUHAN Allah Yang sungguh Maha Tahu itu. Oleh sebab itu tidak meleset ketika Seneca (4 SM-65 M) menyatakan bahwa pemandangan yang paling menggetarkan di muka bumi ini adalah ketika kita menyaksikan sendiri seorang manusia bergulat dengan penderitaan.

Yang jahat dan penderitaan itu telah membawa Daud sampai pada hubungan yang sangat intim dengan TUHAN Allahnya. Bagaimana Daud memaknai hubungan kasihnya itu, demikian juga dia memaknai segala sesuatu yang ada dan yang terjadi di sekelilingnya. Apabila seseorang memiliki hubungan yang renggang dan pandangan yang keliru, maka ia akan salah memahami dirinya dan membuatnya berjalan di jalan yang tidak benar, menjauh dari Penciptanya. Mazmur itu memperlihatkan bahwa Daud memiliki pemahaman yang benar tentang TUHAN Allahnya dan membuat hidupnya ada dalam segala pemenuhan kehendak-Nya.

Daud mengalami dan mengakui bahwa TUHAN itu Allah Yang Maha Tahu, Maha Ada dan Maha Kuasa. TUHAN mengetahui semua tentang dirinya. Daud tidak dapat menyembunyikan diri dari-Nya. Karena Tuhanlah yang menciptakan manusia. Daud tahu benar bahwa setiap segi hidupnya itu diketahui dan diatur oleh Allah. Tidak ada sedikitpun peluang, ruang dan waktu yang luput dari tatanan ilahi-Nya. Bahkan kegelapan dan kejahatan sekalipun tidak.

Daud dengan gembira mengakui bahwa Tuhan mengawasi dan bertanggungjawab atas pembentukan tubuh fisik dan perkembangan rohaninya, sejak dalam rahim ibunya dan memelihara hidupnya itu dengan penuh kasih. Oleh sebab itu, Paulus bahkan pernah menantang orang dengan pertanyaan: “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih TUHAN? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah.” (Roma 8: 35-39)

Pada bagian akhir, Daud mengungkapkan kesetiaannya kepada TUHAN Allah atas semua penderitaanya itu dengan tunduk dan berserah, serta menolak dengan sungguh semua orang yang memusuhi dan melawan TUHAN. Mereka adalah orang-orang yang menghadirkan yang jahat dan penderitaan terhadap dirinya, juga bagi orang lain.

Daud kemudian memohon agar TUHAN selalu mengawasi dan menjamin kepasrahan dan kesetiaannya itu, serta menolongnya supaya selalu berada di jalan kekal-Nya. Teodisi membuat orang secara aktif berpengang teguh kepada kebenaran, meskipun tetap tidak mampu memahami yang jahat dan penderitaanya. Keteguhan dan tahan uji ini justru memperkuat iman dan memberinya pengharapan.

Teodisi mengungkap jelas kenyataan the “non-sense” of evil dan the aporetical nature of thought on evil. Bahwa yang jahat dan penderitaan manusia itu tidak dapat dijelaskan dengan akal, karena di dalamnya mengandung pertentangan yang mendasar. Pertentangan dalam usaha memahami yang jahat, antara kebenaran a priori, yang didapatkan melalui refleksi pikiran logis teoritis dengan kenyataan empiris a posteriori, yang diperoleh melalui perenungan pengalaman praktis. Maka Teodisi mengantar orang masuk ke dalam sebuah misteri besar. Misteri bahwa yang jahat dan penderitaan manusia itu tidak dapat dipisahkan dari kenyataan bahwa TUHAN Allah itu Maha Adil.

Teodisi adalah sebuah pengakuan tentang suatu misteri, Daud berseru:

“Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya.”… “Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya!”

Namun tidak berhenti sampai di situ, misteri tersebut akan menghantar orang pada keputusan untuk setia dengan tunduk dan berserah kepada TUHAN Allahnya, sekalipun yang jahat dan penderitaanya itu terus menimpanya. Penderitaan itu akan membuat orang tekun dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan keteguhan dan pengharapan kepada Allah. Teodisi sebagai bentuk refleksi filosofis orang beriman itu juga dapat menghantarnya menolak untuk menghadirkan yang jahat dan penderitaan baik bagi dirinya sendiri maupun kepada orang lain.

Pandemi COVID-19 yang sudah melewati tahun pertamanya ini telah meninggalkan begitu banyak penderitaan, kepahitan, kepedihan dan air mata dukacita. Orang tidak tahu pasti kapan berakhirnya yang jahat dan penderitaan semacam ini, bahkan bisa jadi seseorang telah berakhir hidupnya, sementara wabah ini masih terus menyebarkan mautnya.

Misteri keberadaan yang jahat dan penderitaan manusia di hadapan TUHAN Yang Maha Adil ini dapat menjadi penggugah, sehingga orang tidak hanyut dan tenggelam di dalam penderitaannya sendiri. Sembil tegas menolak untuk menghadirkan yang jahat dan penderitaan di tengah wabah ini melalui kepedulian terhadap sesamanya yang juga sedang menderita. Orang yang sedang menderita justru ditantang untuk menolong sesamanya, yang juga sedang berada di dalam penderitaan.

Teodisi adalah mewujudnyatakan iman dalam perbuatan belas kasih kepada sesama, meskipun dia sendiri sedang berada di tengah penderitaan. Teodisi adalah σπλάγχνον (splanchnon), yaitu hati yang tergerak oleh belas kasihan karena meilhat sesamanya tengah dirundung penderitaan dan dilanda yang jahat. Teodisi adalah mau hadir dan mendengar jerit tangis perih sesamanya yang berada dalam kemalangan, memberi penghiburan dan menguatkan serta mendoakannya, rela mengobati dan merawat, memelihara dan menjaga setiap orang yang membutuhkan pertolongan.

Teodisi di tengah Pandemi COVID-19 Abad 21 ini adalah kepedulian terhadap sesama yang sedang menderita dan mengalami yang jahat. Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah disebut mukmin orang yang kenyang sedangkan tetangganya di sampingnya kelaparan” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (112), Hakim (4.167) dan Al-Khatib (10/392)). Nabi Yesaya juga pernah menyampaikan bahwa yang dikehendaki Allah dari manusia adalah “Supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” (Yesaya 58: 6-7) Teodisi adalah mengejawantahkan kasih TUHAN Allah melalui manusia yang saling mengasihi, tepat di saat dia sendiri sedang mengalami penderitaan.

 

____________

Kepustakaan

Kant, Immanuel. Religion within the Boundaries of Mere Reason: And Other Writings. Cambridge University Press, New York, 2018.

Leibniz, Freiherr Von Gottfried Wilhelm. Theodicy. BiblioBazaar, Charleston, 2007.

Nadler, Steven M., Nadler. Steven. The Best of All Possible Worlds. Princeton University Press, Princeton, 2010.

Poma, Andrea. The Impossibility and Necessity of Theodicy: The “Essais” of Leibniz. Springer, Dordrecht, 2013.

Ross, Allen P. A Commentary on the Pslams Volume 3 (90—150). Kregel Publication, Grand Rapids, 2016.

 

*Penulis adalah peneliti di Abdurrachman Wahid Center UI