Petilan Sejarah Musik di Indonesia 1967-1978

Oleh Hengki Herwanto

Judul buku : Dokumentasi Sejarah Musik Populer Indonesia 1967-1978

Penyusun: Hengki Herwanto, Ari Yusuf P, Ratna Sakti Wulandari, Achmad Djauhari, Johanes A.Lestarijanto, Anang Maret, Abdul Malik, Usman Mansur.

Fotografer: Johanes A.Lestarijanto

Cetakan pertama: Desember 2020

Penerbit: Media Nusa Creative, Malang Kerjasama dengan Museum Musik Indonesia, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

ISBN: 978-602-462-553-5
Tebal: xii + 242 hal.
Ukuran buku: 15 x 23 cm

 

Dari mana sejarah musik modern di Indonesia berawal? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. MMI (Museum Musik Indonesia) memandang bahwa momentum berkumandangnya lagu Indonesia Raya pada acara Kongres Pemuda bisa menjadi salah satu milestone yang penting. Itu adalah peristiwa bersejarah yang merupakan rintisan lahirnya kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Sumber Informasi

Dari tahun 1928 sampai 1966 musik modern di Indonesia banyak mengalami perkembangan dan menarik untuk ditelisik. Namun tulisan kali ini hanya akan fokus pada kurun waktu 1967-1978. Sumber data diperoleh dari tulisan-tulisan pada delapan buah majalah musik yang pernah terbit pada periode itu, yaitu majalah Diskorina (Yogyakarta), Favorita, Paradiso (keduanya dari Surabaya), Junior, Star, Top, Varianada dan Vista yang kelimanya terbit di Jakarta. Ini akan melengkapi data dari majalah Aktuil yang sebelumnya telah dibuat katalognya oleh MMI dan dapat diakses lewat website https://museummusikindonesia.id. Aktuil merupakan majalah musik yang terbit di Bandung tahun 1967-1978 dan populer di kalangan remaja pada zamannya.

Era 1967-1970

Sebelum industri pita kaset meledak di tahun 70an, musisi Indonesia lebih banyak berekspresi di atas panggung. Piringan hitam sendiri jumlah produksinya terbatas, juga harganya relatif mahal sehingga hanya bisa dimiliki oleh kalangan menengah ke atas. Masyarakat luas dapat menikmatinya melalui radio-radio siaran yang memperoleh piringan hitam gratis sebagai promosi dari label-label rekaman. Penyanyi-penyanyi yang sering ditulis di 8 majalah di atas  antara lain Ernie Djohan, Titiek Puspa, Tetty Kadi, Christine, Lilis Suryani, Anna Mathovani, Diah Iskandar, Fenty Effendi dan Alfian. Dari kelompok atau group ada nama Dara Puspita, Koes Bersaudara, dan Pattie Sisters. Pada era itu nama-nama band pengiring juga populer di masyarakat. Mereka adalah Empat Nada, Zaenal Combo, Pantja Nada, Puspa Sari dan lain-lain.

Tak ada pembatasan kreatifitas atas kegiatan bermusik di awal-awal pemerintahan orde baru. Pengendalian lebih ditujukan pada izin penerbitan media. Musisi bebas berkreasi membuat album rekaman atau tampil di panggung. Sejarah mencatat bahwa di zaman itu seniman musik kita sudah seringkali berkiprah ke mancanegara. Singapore, Malaysia, Thailand, Hongkong dan beberapa negara Asia lainnya menjadi panggung mereka dalam mendulang devisa. Ada juga persaingan ringan dengan artis dari Filipina. Mereka yang menjelajah mancanegara, dari Surabaya ada The Exotic, AKA, Gembell’s disusul kemudian dengan Ervinna. Dari Jawa Barat tercatat The Peels, Rollies, Bimbo, Annie Rae dan Idaly Sisters (Cirebon). Dari Jakarta lebih banyak lagi, ada The Steps, Ernie Djohan, Tetty Kadi, Aida Mustafa, Tanty Josepha, Broery, Bob Tutupoly dan lain-lain. Cukup banyak musisi Indonesia yang saat itu merekam suaranya dalam piringan hitam di Singapura dan Malaysia yang diproduksi oleh label setempat.

Untuk wilayah Eropa, Belanda memiliki hubungan emosional yang erat dengan Indonesia dalam urusan musik. Achmad Albar, sebelum mendirikan God Bless pernah menjadi motor sebuah band Belanda, namanya Clover Leaf dan telah menghasilkan beberapa album rekaman. Penyanyi rock Sylvia Saartje yang berdarah Maluku juga lahir di Belanda. Beberapa artis musik negara kincir angin yang lahir di Indonesia adalah Anneke Gronloh, Blue Diamonds, Sandra Reemer, Wieteke van Dort, Masada dan group legendaris Tielman Brothers. Lagu berjudul Nasi Goreng yang dilantunkan Wieteke cukup populer dan banyak dinyanyikan ulang oleh artis-artis musik lainnya.

Pada era tersebut tercatat pula nama Norma Sanger, penyanyi berdarah kawanua yang memperoleh kontrak untuk menghibur tentara Amerika di Vietnam. Dialah penyanyi lagu Gembala Sapi yang pernah hit dan rekamannya terdapat dalam album Aneka 12 produksi Remaco. Beberapa musisi lainnya bahkan berhasil pentas di negara-negara Eropa, Amerika dan Australia. Mereka antara lain adalah Dara Puspita, Nidya Sisters, The Pro’s, Gipsy, Sitompul Sisters, Idaly Sisters, Bubi Chen, Broery, Bob Tutupoly, Duddy Iskandar dan lain-lain. Negara Suriname yang sebagian penduduknya berasal dari Jawa juga merupakan pasar yang subur bagi musisi-musisi Indonesia. Sudah seringkali Waldjinah, Mus Mulyadi, Ervinna dan belakangan Didi Kempot diundang khusus untuk pentas di sana.

Semua pentas di luar negeri tersebut diupayakan dan dilakukan oleh masing-masing artis musik dan nyaris tanpa campur tangan strategis dari pemerintah. Band Dara Puspita saat pentas di Iran tahun 1968 harus mengangkut, memasang peralatan musik dan sound system sendiri di atas panggung. Tak ada bantuan tenaga setempat atau perwakilan negara. Selesai pertunjukan masih harus membongkar dan mengatur kembali semua peralatan di dalam kendaraan. Semuanya dilakukan dalam waktu yang singkat bahkan sering dihadapan penonton. Kejadian seperti ini terus berulang di negara Turki, Belgia dan Jerman. Peralatanpun mulai sering rusak, kabel putus atau terjadi korsleting. Terpaksa mereka memperbaiki sendiri sambil menunggu jawaban surat dari Tonny Koeswoyo apakah bisa membantu meminjamkan teknisi. Akhirnya Handi, teknisi Koes Bersaudara berangkat menyusul Dara Puspita dan bergabung di Hongaria. Handi mencatat bahwa selama enam setengah bulan di Eropa, Dara Puspita telah mengadakan 274 kali pertunjukan di 70 kota besar dan kecil.

Pelajaran apa yang bisa diambil dari petikan sejarah ini? Pertama, kita bisa membaca bahwa di luar sana membentang pasar yang luas untuk musik/musisi Indonesia. Kedua, kita memiliki asset berharga berupa keanekaragaman seni budaya, termasuk seni musik. Ketiga, kita memiliki sumber daya manusia kreatif, yaitu para seniman musik yang menyebar dari Sabang sampai Merauke. Yang mungkin perlu ditangani serius adalah pengemasan produk dan pemasaran internasional. Sukses Korea dengan K-Pop-nya barangkali bisa menjadi inspirasi. Kuncinya, Negara wajib hadir dalam membangun industri kreatif ini dan menghasilkan ekonomi kreatif untuk kemakmuran bangsa.

Sementara Dara Puspita masih berkiprah di Eropa, pada tahun 1969 di Jakarta terbentuk band Koes Plus sebagai penerus dari Koes Bersaudara. Perkembangan group dibawah pimpinan Tonny Koeswoyo ini sunguh luar biasa. Koes Plus menjadi band legendaris yang paling sukses di negeri ini. Mereka memainkan musik populer dan berbagai jenis musik lainnya seperti keroncong, melayu, dangdut, pop jawa, dan juga lagu untuk anak-anak. Lagu-lagunya banyak digemari masyarakat dan menjadi hit di berbagai acara tangga lagu-lagu yang disiarkan radio selama bertahun-tahun.

Era 1971-1974

Tahun-tahun berikutnya merupakan zaman keemasan musik di Indonesia. Industri kaset tumbuh subur. Satu album kaset bisa terjual sampai jutaan buah. Itu penjualan resmi, belum termasuk yang bajakan.

Dari penelisikan tulisan-tulisan yang dimuat dalam 8 majalah tersebut nama-nama artis adalah Emilia Contessa, Tetty Kadi, Ida Royani, Anna Mathovani, Titiek Sandhora dan Inneke Kusumawati untuk kelompok penyanyi wanita. Sedang untuk penyanyi pria muncul nama-nama Benyamin, Broery Marantika, Bing Slamet, Deddy Damhudi, Frans Daromez dan Oslan Husein. Group Panbers yang dibentuk di Surabaya dan berkarier di Ibukota paling banyak ditulis oleh wartawan, menyusul kemudian Koes Plus. Band lainnya adalah Pretty Sisters, The Rollies, Favourites Group, D’lloyd dan AKA. Group yang disebut terakhir ini dikenal dengan atraksi panggung yang gila-gilaan. AKA sempat melahirkan lagu hit Badai Bulan Desember dalam salah satu album rekamannya yang bercampur dengan lagu-lagu ciptaan mereka yang mempergunakan lirik bahasa inggris.

Lagu-lagu barat yang selama ini hanya bisa dinikmati lewat piringan hitam, kaset atau radio rupanya menggelitik para promotor pertunjukan musik untuk mendatangkan langsung artisnya. Mayoritas adalah artis-artis yang lagunya populer di Indonesia. Dari Inggris dihadirkan Bee Gees, Christie, Hollies, Marmalade, The SweetdanTremoloes. Dari Belanda ada The Cats dan penyanyi cilik Heintje. Penggemar musik rock juga memperoleh kesempatan untuk menikmati konser dari Shocking Blue, Ike & Tina Turner, El Chicano, dan Osibisa. Konser terbesar adalah dari group Deep Purple yang berlangsung di Stadion Utama Senayan tanggal 3-4 Desember 1975. Lagu Bagimu Negeri ciptaan Kusbini sempat berkumandang melalui pencetan keyboard yang dimainkan oleh John Lord.

Festival Musik Summer 28, menurut catatan MMI merupakan konser musik terbesar di Indonesia yang melibatkan 20 band/penyanyi yang telah dikenal masyarakat. Acara yang berlangsung 16-17 Agustus 1973 di lapangan terbuka Pasar Minggu, Jakarta Selatan ini bisa jadi terinspirasi oleh Festival Woodstock di Amerika tahun 1969.

Dari puluhan kelompok musik yang hadir, The Rollies dari Bandung tampil menarik dengan musik brass-nya. Yang unik, Bangun Sugito menabuh gamelan, memadukan musik tradisi dan musik modern. Saat itu MMI belum lahir sehingga tidak hadir langsung di Summer 28. Tetapi satu bulan kemudian, September 1973, salah satu pendiri MMI, Hengki Herwanto, menjadi saksi konser The Rollies di kota Malang. Lagu Manuk Dadali kembali bergema di GOR Tenun di kota yang dulu berhawa sejuk ini. Bulan berikutnya, foto Gito Rollies di belakang gamelan muncul di majalah Aktuil edisi nomor 132. Usai Summer 28, konser musik serupa diadakan di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Medan, Bandung, dan Surabaya. 

Era 1975-1978

Penampilan Manuk Dadali di Summer 28 yang menggabungkan musik tradisi dan modern auranya terus menggelinding. Eksperimen yang berangkat dari musik Bali dilakukan oleh Guruh Sukarno lewat album Guruh Gipsy bersama Chrisye, Keenan, Oding, Abadi dan Ronny Harahap. Hal yang sama juga dilakukan oleh Harry Roesli lewat album Titik Api dan Opera Ken Arok. Malahan ada Eberhard Scoener, musisi dari Jerman yang merangkul seniman-seniman pulau dewata menggarap album yang diberi judul Bali Agung dan diedarkan ke seluruh dunia.

Melewati tahun 1978 eksplorasi musik tradisi makin berkembang. Ada Ian Antono dengan Gong 2000, Emha Ainun Najib dengan Kyai Kanjeng. Dari Pulau Dewata ada sebuah nama yang mungkin tidak terlalu kita kenal yaitu I Ketut Suwentra atau lebih dikenal dengan nama Pekak Jegog. Album rekamannya yang berisi komposisi seni musik Jegog diedarkan di Jepang dengan tulisan huruf kanji. Selain itu masih ada nama-nama lain yang terus mengulik musik tradisi seperti yang dilakukan oleh Krakatau, Dwiki Dharmawan, Dewa Bujana dan masih banyak lagi yang dari jalur non mainstream.

Pasar yang cukup besar dan global ternyata dapat diciptakan melalui penggarapan musik tradisi dengan sentuhan musik pop yang sederhana. MMI mengamati bagaimana dahsyatnya lagu Poco-Poco, Sajojo dan Maumere mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Di luar negeri, lagu-lagu ini beserta gerakan tarinya juga dengan mudah diterima masyarakat, walaupun masih di lingkungan sekitar kedutaan atau perwakilan negara. Ini adalah catatan sejarah masa lalu yang bisa menjadi inspirasi untuk membangun sejarah ke depan.

Pop Progresif

Radio Prambors Jakarta membuat gebrakan pada tahun 1977 dengan menggelar Lomba Cipta Lagu Remaja. Hasilnya luar biasa, lagu-lagu pop menjadi lebih variatif, progresif, kreatif dan memenuhi selera remaja. Muncullah nama-nama baru atau nama-nama yang selama ini terpendam semacam Guruh, Chrisye, Eros Djarot, Yockie, Keenan Nasution, James F Sundah, Berlian Hutauruk, Louise Hutauruk, Benny Soebardja, Fariz RM dan lain lain. Salah satu yang terkenal pada era itu adalah sebuah lagu ciptaan Christ Manusama yang dinyanyikan oleh Chrisye, judulnya Kidung.

Melengkapi musik populer yang mudah dinikmati dan relatif mudah dinyanyikan ini, muncul jenis musik yang memiliki kekuatan dari lirik-liriknya. Dari Jawa Timur terbit karya-karya dari Konser Rakyat Leo Kristi, Franky & Jane, dan Gombloh. Ada juga Anto Baret dari Malang yang berkarier di Wapres Bulungan Jakarta dan membentuk KPJ (Kelompok Penyanyi Jalanan). Albumnya berjudul Kembang Pete malah sempat direkam ulang oleh sebuah label di Malaysia. Pada era ini Iwan Fals baru merintis kariernya dan sempat mendukung KPJ. Segmen penggemar musik jenis ini tentu tak sebanyak penggemar musik pop. Namun fanatismenya cukup besar sampai para fans-nya membentuk komunitas tersendiri walau musisinya sudah meninggal. Ekspresi merdeka bermusiknya Harry Roesli yang penuh muatan vulgar mengkritisi rezim orde baru sering kena sensor bahkan sampai diciduk aparat seperti yang terjadi di Semarang Desember 1979 saat pementasan opera Ken Arok. Perlakuan yang sama juga dialami Iwan Fals beberapa tahun kemudian.

Dari jalur Rock tercatat banyak nama yang lahir di era 70an. Dari Jakarta yang tetap eksis sampai sekarang adalah God Bless. Nama Hooker Man sempat mencuat lalu hilang ditelan zaman. Dari Jawa Barat ada Giant Step, Freedom of Rhapsodia, Rawe Rontek dan Superkid. Belakangan lahir Nicky Astria, Mel ShandydanNike Ardilla. Mewakili Jawa Tengah ada Group Ternchem dari Solo, dari Yogya Christmas Camel dan dari Semarang Renny Jayusman. Sedang dari Jatim muncul nama-nama SAS, Pretty Sisters, Yeah Yeah Boys, Ogle Eyes, Sylvia Saartje. Dari luar jawa tak terlalu banyak. Tercatat ada nama Black Brothers (Papua), Rhythm Kings, Great Session (Medan), Golden Wing (Palembang), Equator Child (Pontianak) dan Medinos (Manado).

Dang Dut

Sekitar separo kaset yang beredar di pasaran adalah jenis musik dangdut, demikian tulis Theodore KS, wartawan musik, dalam bukunya Rock n Roll Industri Musik Indonesia. Dangdut memang memenuhi selera mayoritas masyarakat sampai ke pelosok desa. Harga jual kaset juga masih dalam jangkauan mereka. Tokoh sentral musik dangdut pada era itu yang terus bertahan, bahkan sampai sekarang, ya sang raja dangdut Haji Rhoma Irama bersama Soneta groupnya. Professor Andrew Weintrub dari Pennsylvania tertarik untuk membuat penelitian tentang Rhoma Irama ini, sampai-sampai dia pentaskan Rhoma Irama di Amerika. Rhoma tidak sendirian, di zaman itu juga Berjaya nama-nama artis dangdut seperti Ellya Kadham, Elvy Sukaesih, Rita Sugiarto, A Rafik, Latief, dan Ida Laela.  

Itulah petikan sejarah musik di Indonesia yang ditulis ulang MMI berdasar materi dari 8 majalah musik di Indonesia tahun 1967 sampai 1978. Selepas tahun 1978 musik Indonesia masih terus berkembang. Muncul juga majalah baru macam News Musik, Tabloid Citra, Nagaswara dan belakangan Rolling Stones.  Semoga MMI bisa melanjutkan dan melengkapi program digitalisasi majalah musik ini. Majalah yang terbit hari ini akan memiliki nilai sejarah 20 tahun kemudian.

*Catatan Khusus: Majalah music digital di website www.museummusikindonesia.id dapat dipergunakan oleh siapapun namun hanya untuk kepentingan pendidikan, riset dan dokumentasi.

 

*Penulis adalah Direktur Museum Musik Indonesia (Malang)