Perihal Penerjemahan Karya Sastra Kita

Oleh Anton Kurnia

Sembilan tahun silam saya berkesempatan memimpin sebuah lokakarya penerjemahan yang disponsori oleh British Centre for Literary Translation. Dalam lokakarya yang berlangsung di Erasmus Huis, Jakarta, itu saya memandu sekelompok penerjemah untuk menerjemahkan penggalan novel Gustaaf Peek, Dover, dari terjemahan bahasa Inggris karya David Colmer ke bahasa Indonesia. Gustaaf sebenarnya menulis dalam bahasa Belanda. Namun, dalam lokakarya itu kami mencoba bereksperimen dengan menerjemahkan novelnya dari bahasa kedua—apa yang disebut sebagai relay translation.

Selama lima hari kami berdiskusi, berdebat, dan bekerja keras mencari padanan kata, kalimat, istilah, dan ungkapan yang pas untuk menerjemahkan penggalan novel yang berkisah tentang suasana menegangkan menjelang kerusuhan anti-Tionghoa di Semarang pada 1998 dan petualangan para imigran gelap asal Tiongkok di Belanda. Beruntung, saat itu kami didampingi langsung oleh Gustaaf Peek dan David Colmer yang turut membantu kami berdiskusi demi menghasilkan terjemahan yang baik dan tepat.

David Colmer, penerjemah asal Australia yang bermukim di Belanda dan peraih penghargaan internasional untuk terjemahan novel The Twin dan The Detour karya Gerbrand Bakker, kemudian menulis tentang lokakarya tersebut di jurnal penerjemahan sastra terbitan Inggris, In Other Words, No. 41, 2013. Dia antara lain menyatakan, “Terdapat perbedaan budaya sehingga diperlukan kehati-hatian untuk memastikan para pembaca Indonesia membayangkan adegan yang dimaksud dengan tepat.”

Kerja penerjemahan memang bukan soal gampang. Mikhail Rudnitzky, pakar penerjemahan dari Rusia, menggambarkan proses penerjemahan itu terkadang seperti seseorang yang harus melukiskan sebuah rumah indah di negara lain, sementara di negaranya sendiri rumah dengan arsitektur seperti itu tidak ada, bahkan seluruh keadaan alamnya pun berbeda. Inilah salah satu masalah bagi para penerjemah, yakni memindahkan gambaran dengan kata-kata ke dalam bahasa sasaran dengan sejumlah acuan yang terkadang kurang mereka kuasai, termasuk pengetahuan atas ungkapan khas suatu bahasa dan latar belakang suatu karya yang berkaitan dengan aspek-aspek sejarah, sosiologi, dan budaya.

Namun, Liubomir Iliev yang dikenal sebagai penerjemah karya besar Goethe, Faust, ke bahasa Bulgaria berpendapat bahwa para penerjemah sesungguhnya berperan besar dalam perkembangan sastra dunia. Oleh karena itu, menurutnya, diperlukan dukungan luas dari berbagai pihak bagi para penerjemah yang besar tanggung jawabnya, tapi sering kurang mendapatkan perhatian yang layak.
Novelis Portugal pemenang Hadiah Nobel Sastra 1998, José Saramago, dengan rendah hati bahkan mengatakan bahwa sesungguhnya sastra dunia adalah ciptaan kaum penerjemah karena para pengarang menulis karya sastra hanya dalam bahasa ibu mereka.

Berbicara soal sastra dunia, harus diakui bahwa hingga kini sastra Indonesia masih terpinggirkan. Sastra Indonesia adalah semacam terra incognita, tanah asing yang tak dikenal dalam pergaulan utama sastra dunia. Salah satu sebab kurang dikenalnya sastra Indonesia dalam peta sastra dunia adalah karena kendala bahasa. Bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang dominan dalam kancah sastra dunia. Lagi pula, hanya segelintir sastrawan kita yang menulis dalam bahasa utama dunia yang digunakan secara luas—misalnya bahasa Inggris yang dianggap sebagai lingua franca zaman ini. Di sisi lain, karya sastra kita yang diterjemahkan ke bahasa asing bisa dibilang sangat terbatas.

Sementara itu, sesama bangsa Asia macam Jepang dan Tiongkok telah lama mengibarkan bendera tinggi-tinggi dalam peta sastra dunia. Karya-karya para sastrawan terkemuka mereka seperti Haruki Murakami dan Mo Yan, pemenang Hadiah Nobel Sastra 2012, dikenal dan dihargai di berbagai penjuru dunia melalui edisi terjemahan. Bahkan, Murakami yang juga dikenal sebagai penerjemah para pengarang Amerika (Fitzgerald, Salinger, Carver) ke bahasa Jepang pun memperkenalkan novel-novelnya ke pentas sastra dunia mula-mula melalui terjemahan bahasa Inggris sebab dia menulis hanya dalam bahasa ibunya.

Jika kita ingin berperan lebih banyak di pentas dunia, penerjemahan karya sastra kita ke bahasa-bahasa lain adalah satu keniscayaan. Makin banyak karya sastra kita yang diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa asing, makin terbuka kesempatan untuk diapresiasi oleh khalayak yang lebih luas dan secara lebih serius.

Upaya terencana untuk menerjemahkan dan menerbitkan buku-buku sastra terbaik Indonesia harus digiatkan. Upaya-upaya sistematis seyogianya dipersiapkan dengan baik dan didukung sepenuhnya oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), serta segenap pemangku kepentingan di dunia sastra dan perbukuan nasional.

Upaya-upaya sistematis untuk menerjemahkan karya para penulis kita seperti yang pernah dilakukan oleh Kemendikbud melalui Komite Buku Nasional pada 2016-2019—yang sayangnya tidak dilanjutkan—perlu dihidupkan kembali. Jangan sampai kerja keras, proses panjang, dan hal-hal baik yang telah dirintis menjadi terbengkalai dan tersia-sia.

Jika semua itu terwujud, selain bisa menyingkap cakrawala yang lebih luas bagi perkembangan sastra kita, upaya mulia itu akan membuka jendela bagi terciptanya dialog antarbudaya tanpa terhalang sekat-sekat bahasa.

*Penulis partikelir dan penerjemah karya sastra.