Sardono dan Demam Tinggi Diponegoro di Kapal

Sardono W Kusumo membayangkan dirinya menjelma sosok Diponegoro tua. Sosok Diponegoro yang Mei, 1830 tengah dalam perjalanan kapal uap dari Batavia ditawan dan akan diasingkan Belanda ke Menado kemudian Makasar. Diponegoro yang fisiknya telah mulai melemah. Diponegoro yang perasaannya terombang-ambing. 

Sardono  yang Maret ini berumur 79 tahun mengenakan belitan kain putih panjang berlapis-lapis. Cambang hitam dan rambut panjangnya terurai. Dalam balutan itu ia lebih menyerupai seorang pengembara-pengembara atau musafir spiritual dalam film-film Romawi atau sanyasin-sanyasin dalam sinema-sinema India. Dari tanggal 6-8 Januari di  MasDon Art, Kemlayan Solo, Sardono menginisiasi pertunjukan bertema: Wasiat Diponegoro.

Poster pementasan “Wasiat Diponegoro” karya Sardono W. Kusumo.

Sardono dengan belitan kain  putih dalam pertunjukan “Wasiat Diponegoro”. (Foto: BWCF)

Inti pertunjukan adalah pembacaan catatan perwira militer Belanda Letnan Dua Julius Heinrich Knoerle (1791-1882) yang ditugaskan mengawal, memata-matai dan mengorek-ngorek Diponegoro akan Perang Jawa selama perjalanan kapal dari Batavia menuju Sulawesi. Dia detail mencatat bagaimana sang pangeran keluar dari kamar kabin ke geladak dan apa yang dilakukannya. Dia mengamati dan mencatat seluruh gerak gerik dan percakapan-percakapan serta perasaan-perasaan Diponegoro yang didapat dari percakapan-percakapannya.  

Catatan Julius Heinrich Knoerle itu dibacakan oleh dua orang sutradara teater, Hanindawan dari Teater Gidag Gidig Solo dan Rahman Sabur dari Teater Payung Hitam Bandung. ”Catatan de Stuer situ kami ambil dari buku Peter Carey: Percakapan dengan Diponegoro yang akan diterbitkan ulang tahun ini,” kata Sardono. Dari catatan itu dapat kita simak betapa Diponegoro tetap kokoh mempertahankan harga diri dan martabatnya di masa-masa yang sangat sulit tersebut.  

Sardono bersama Sutradara Teater Hanindawan (Teater Gidag-Gidig Solo) dan Rahman Sabur (Teater Payung Hitam Bandung) dalam persiapan pementasan. (Foto: Sardono)

Musik ditata komposer elektronik Otto Sidharta. Kalimat-kalimat yang diucapkan Hanindawan dan Rahman Sabur jernih, dengan intonasi yang pas sehingga membangun suasana. Penonton dapat membayangkan bagaimana ombak dan laut ganas mengkhawatirkan Diponegoro. Ia bahkan sampai berteriak. Terlihat Diponegoro sebagai seorang yang tinggal di Yogja dalam lingkungan agraris tak biasa melakukan perjalanan laut. ”Dia demam tinggi. Mabuk laut berkali-kali. Dan terjangkit Malaria,” kata Sardono. Di kapal itu Diponegoro juga mencoba minum anggur putih untuk menghangatkan badannya yang lemah.  

Sardono dalam salah satu bagian dari pementasan “Wasiat Diponegoro” (1). (Foto: BWCF)

Melewati laut Lasem, pemandangan Jawa yang indah terasa menyakitkan di mata sang Pangeran karena akan ditinggalkannya. Melewati Sumbawa dan Flores, sang pangeran bercerita bahwa orang-orang Sumbawa dan NTT sering ke Pelabuhan Banyuwangi.  Di tengah kata-kata yang mengisyaratkan penderitaan dan kegundahan batin Diponegoro sepanjang perjalanan di kapal yang diucapkan oleh Hanindawan dan Rahman Sabur,  Sardono menggeliat memberikan aksetuansi-aksentuasi. Ia mengerudungkan kain putih menutupi kepalanya. Ia merunduk dan bergulung lembut di lantai dengan wajah tertutup. Dan pada klimaksnya ia lalu membujur tenang dengan, roman muka terbuka dan mata tertutup. Jenggot dan terurai keluar di samping kain yang digunakannya. Seperti variasi dari lukisan The Death of Christ karya Hans Holbein, meski di karya Holbein, Sang Kristus ditampilkan telanjang dada.  

Sardono dalam salah satu bagian dari pementasan “Wasiat Diponegoro” (2). (Foto: BWCF)

Malam itu, hujan gerimis tidak menghalangi penonton datang. Penonton bahkan sampai lesehan dekat panggung. Panggung beratap tinggi, awalnya Hanindawan dan Rahman Sabur berkostum jas hujan. Pertunjukan dimulai tatkala koreografer Eko Supriyanto muncul dari balik peti sebagai Diponegoro muda. Peni Candra Rini melantunkan tembang yang teksnya diambil dari catatan harian yang ditulis Diponegoro  selama 9 bulan di pengasingannya di Menado antara 1831-1832. Catatan harian yang kini diakui UNESCO sebagai Memory of  the World.  Sardono dengan balutan kain putih itu melangkah menuju Eko Supriyanto. Ia melepaskan satu lapisan kain putihnya dan mengenakan ke Eko Supriyanto. Sardono memerankan Ratu Adil yang pernah memasuki mimpi Diponegoro. “Dalam catatan hariannya, Diponegoro menulis – ia pernah bermimpi didatangi Ratu Adil yang menitipkan pembebasan tanah Jawa kepadanya,” kata Sardono. 

Koreografer Eko Supriyanto dalam pementasan “Wasiat Diponegoro” karya Sardono. (Foto: BWCF)

Pelantun tembang Peni Candra Rini bersama Koreografer Eko Supriyanto dan Sardono dalam salah satu bagian pementasan “Wasiat Diponegoro”. (Foto: BWCF)

Pertunjukan ini diberi judul: Wasiat Diponegoro. Sardono agaknya ingin menekankan bahwa Diponegoro mewasiatkan kepada kita perjuangan menolak tanah-tanah Nusantara dikuasai oleh kapitalisme asing. Suatu perjuangan yang menguras fisik dan batinnya. “Pertunjukan ini untuk memperingati kematian Diponegoro. Diponegoro wafat 8 Januari 1855.  Tak ada yang ingat dan memaknai wafatnya. Kami ingin  mengenang wasiat perjuangannya,” kata Sardono. 

BWCF 2024