Menyelami Estetika Schoenberg dan Debussy

Oleh Lintang Pramudia Swara

Dalam suatu sesi perkuliahan, dosen saya menyampaikan bahwa sejarah sudah berakhir sejak era modern tiba. Kumpulan fragmen dari masa lalu dan masa sekarang terangkai layaknya mozaik yang tidak lagi teratur secara kronologis. Bertumbuhnya seni kontemporer menjadi cerminan tentang berakhirnya eksplorasi alih-alih memunculkan perpaduan cerita dari berbagai masa yang terbalut dalam kepingan-kepingan misteri. Hal yang semula begitu verbal bertransformasi menjadi representasional. Ahli seni tak lagi berkarya sebagai misi artistik, mereka hadir sebagai aktor yang punya peran krusial di tengah bertiupnya nafas peradaban.

Konvensi seni yang dilampaui

Claude Debussy (Sumber Gambar: https://www.gramophone.co.uk/other/article/the-debussy-legacy)

Ketika Claude Debussy menerima predikat sebagai komposer impresionis, pandangan ihwal musik dan representasinya menjadi dekat dengan dunia seni lukis. Musik ciptaannya memproduksi nuansa yang menerobos konvensi artistik dari musik seni. Karyanya memproduksi warna warni bunyi nan eksotis. Sejumlah literatur percaya bahwa gamelan menjadi sumber inspirasi bermusiknya, tapi yang terpenting adalah tentang kejeniusannya yang merangsang sukma dengan amat hebatnya. Clair de Lune maupun Arabesque menjadi dua dari semua mahakarya terbaik yang pernah ia persembahkan untuk dunia. Penekanan atmosfir dan warna bunyi sungguh melekat dalam tiap karya gubahannya, membawa kita berkelana ke alam lain, kepada fantasi milik sang maestro yang sukar dimengerti. Sepak terjang Debussy dan karya-karyanya menggambarkan betapa otentik jalan yang ia pilih untuk jajaki. Mahakarya Debussy memuat kualitas estetika yang menakjubkan dengan mengundang kita untuk menyelami bahasa musikal yang baru. Debussy memilih untuk keluar dari konvensi, ia bergerak mencari kebaruan di tengah laju sejarah yang bergulir tak tentu arah.

Gebrakan dalam mengolah nada

Arnold Schoenberg (Sumber Gambar: https://www.newyorker.com/culture/culture-desk/wrestling-with-the-twelve-tone-technique-of-schoenberg)

Di belahan bumi yang lain, sang pelopor musik atonal mengibarkan benderanya. Arnold Schoenberg berkiprah bak seorang filsuf, yang dengan dorongan jiwanya menggubah musik demi menyingkap realitas pahit nan kelam yang sedang melanda manusia. Gagasannya mengenai serialisme merupakan perwujudan tentang aksi yang radikal dan progresif dalam mengolah musik. Twelve tone system dengan jarak setengah laras dari masing-masingnya menggambarkan kesejajaran dan kesetaraan antar nada-nada. Tak ada lagi akor maupun nada pusat sebagai rumah, tak ada anteseden maupun konsekuen, semuanya berdiri tanpa mengunggulkan nada musik yang lain. Tidak ada perbedaan derajat. Mayor dan minor tidak lagi dapat dideteksi. Tonalitas raib dan terganti oleh atonalitas yang semakin menjadi. 

Adorno sang sosiolog Mazhab Frankfurt bahkan meyakini bahwa komposisi ciptaan Arnold Schoenberg adalah wujud kejujuran sejati. Karyanya tidak mengglorifikasi pengalaman manusia ke dalam bentuk-bentuk yang romantis. Dengan segala dayanya, Schoenberg bersuara dengan lantang mengenai gelap dan absurdnya realitas yang berkelindan bersama manusia. Melodrama Pierrot Lunaire menunjukan bagaimana musik yang Schoenberg olah menggugurkan segala kaidah musik, bahkan menjadi perwujudan seni suara yang menggelisahkan bagi panca indera.

Tangkapan layar videopPertunjukan Pierrot Lunaire (Sumber dan tautan utuh: https://www.youtube.com/watch?v=TMVbXZiATDk&feature=youtu.be)

Musik seni dalam bingkai subjektivitas manusia 

Musik seni di dalam buku Untuk Apa Seni ? dijelaskan sebagai musik yang dikembangkan melalui eksplorasi berbagai kemungkinan musikal yang semakin mendalam dan meluas mulai dari tingkat keterampilan maupun dalam kerangka teoritis estetikanya. Pada musik seni Barat, para komposer punya ciri khas dalam mengolah unsur musik, terutama didasari oleh gagasan bahwa musik memiliki kerangka objektif karena formulasi harmoni dan akustiknya, begitu juga memiliki dimensi subjektif karena musik terhubung pada perasaan manusia. Arnold Schoenberg dan Debussy adalah komposer yang berkiprah di periode musik modern. Melalui karyanya mereka memberikan representasi bahwa musik adalah tentang pengalaman dan realitasnya yang mereka tangkap dalam bingkai subjektivitas untuk bersentuhan dengan perasaan dan pikiran apresiatornya yakni manusia. 

Elemen estetis yang bermuara pada musik yang mereka gubah terasosiasi secara implisit dengan fenomena kemanusiaan. Debussy meninggalkan warisan berupa corak yang spesial pada jalinan melodi dan harmoni musiknya. Tidak hanya perihal skala pentatonis atau penerapan whole tone scale akan tetapi mengenai bagaimana ia mengadopsi gaya dari disiplin seni yang berbeda untuk direproduksi sebagai pengalaman auditori yang menggugah. Batin manusia dibuat bergejolak dan seolah melaju dalam aliran yang samar sekaligus indah, dengan misteri bunyi musik yang merangsang panca indera mereka. 

Schoenberg secara lebih eksplisit menepati hadirnya momentum tentang tragedi manusia yang digambarkan melalui tidak stabilnya susunan struktur musikal. Ketidakstabilan ini merefleksikan kondisi yang melanda umat manusia pada awal abad 20. Krisis tonalitas sebagai inovasi bahasa musik dianggap menyimpang dari konvensi musik barat yang telah bergulir selama berabad-abad. Tidak ada nada ataupun kunci musik yang diperlakukan istimewa, layaknya manusia yang bergerak keluar dari keistimewaannya, menjadi biasa dan membumi untuk berhadapan dengan pahitnya kebenaran realitas. Kiprah Schoenberg dan Debussy mengandung makna tentang bagaimana musik dan estetikanya mengalami dialog dan pergolakan yang dalam untuk dapat melampiaskan ketidakberdayaan serta perjuangan manusia. 

—————–

*Lintang Pramudia Swara, mahasiswa Jurusan S1 Musik ISI Yogyakarta yang saat ini aktif berikprah di klub jurnalisme musik Aksaratala.