Tolak Bala ala Yusran: Ulasan atas Buku Puisi Hizib Perjalanan karya Yusran Arifin

Oleh: Nizar Machyuzaar*

 

Setiap keberangkatan aku selalu gelagapan
Meski perbekalan, doa serta surat identitas kulengkapkan

(Sumber: puisi “Di Kereta”, hal. 9)

 

Kata hizib dapat dibatasi sebagai amalan yang berisi doa-doa (mustajab) peninggalan Nabi Muhammad yang mensyaratkan cara dan waktu tertentu dengan bimbingan seorang guru atau mursyid. Sementara kata perjalanan, dapat dibatasi sebagai hal yang diturunkan dari kata berjalan dengan penanda waktu lampau, sekarang, dan akan datang. Dengan ini, hizib perjalanan dapat dibatasi sebagai amalan yang menyertai hal yang berhubungan dengan berjalan.

Yang menarik, hizib memiliki sisi historis sebagai peristiwa asketis untuk memerangi bahaya besar atau musuh yang mengancam. Dengan itu, kita dapat menganggap bahwa sang pengamal hizib, setidak-tidaknya dapat dinisbat pada aku lirik puisi yang sudah, sedang, dan akan menghadapi sisi historis hizib tersebut.

Dari titimangsa penulisan puisi, aku lirik puisi mendokumentasikan sisi historis hizib sejak tahun 2010 sampai dengan 2020. Namun, ulasan ini akan disampaikan pada bagian akhir. Pada bagian selanjutnya kita akan membahas selingkung kata benda yang menjadi kecenderungan atau modus diksi dan gaya bahasa dalam buku ini. Kata benda yang menyiratkan acuan dunia puisi.

Tematik

Kelompok kata benda hizib perjalanan dipilih penulis untuk menjadi tematik keseluruhan buku. Kata hizib ditemukan dalam penulisan empat judul puisi, yakni “Hizib Sang Petapa” (2010: hal. 11), “Hizib Sungai” (2012: hal. 24), “Hizib Perjalanan” (2014: hal. 28), dan “Hizib Sang Penumpang” (2015: hal. 55). Selain itu, kata perjalanan ditemukan sebanyak empat belas, baik dalam penulisan judul puisi maupun dalam larik puisi. Keempat belas kata perjalanan terdapat dalam puisi “Di Kereta” (2010: hal. 9), “Di Kotaku” (2011: hal. 21), “The Embroiders Blues” (2011: hal. 23), “Perahu” (2014: hal. 35), “Hizib Perjalanan” (2014: hal. 38), “Hizib Perjalanan” (2014: hal. 39), “Sajak” (2015: hal. 44), “Sang Pelaut Satu” (2015:hal. 49), “Hizib Sang Penumpang” (2015: hal. 54), “Hizib Sang Penumpang” (2015: hal. 55), “Di Meja Penyair” (2015: hal. 60), “Motocross” (2016: hal. 68), “Catatan Akhir” (2017: hal. 78), dan “Nyanyian Perahu” (2018: hal. 80).

Dari penulisan titimangsa terdapat rentang waktu yang berbeda. kata hizib ditemukan pada penulisan puisi tahun 2010—2015, sedangkan kata perjalanan ditemukan pada penulisan puisi tahun 2010—2018. Sementara itu, dari tahun 2018—2020, setelah puisi “Nyanyian Perahu”, terdapat 19 puisi yang dapat dianggap mewakili puisi-puisi setelah rentang penulisan puisi berdiksi hizib perjalanan. Karenanya, dapat digambarkan bagaimana (kelompok) kata yang dijadikan judul  sebagai berikut (gambar 1).

Aku Lirik

Dari gambar di atas kelompok kata benda hizib perjalanan menjadi tema besar yang mendasari keseluruhan puisi dalam buku. Tema-tema turunan yang ditampilkan setiap puisi akan menyertakan pelaku, peristiwa, dan latar (tempat, waktu, serta suasana). Pelibatan partisipan wacana akan menandai kehadiran aku lirik puisi dan mitrawacananya dalam penampang peristiwa dan latar yang menyiratkan konflik (penampilan masalah dalam beragam tema). Karenanya, pada bagian ini kita akan mengulas partisipan wacana puisi dengan pelibatan kata ganti orang pertama aku (partikel –ku) dan kata ganti orang kedua kamu atau engkau (partike ­–mu atau –kau).

Dalam buku ini partisipan orang pertama aku terbaca sebanyak 148 kali dan partisipan orang kedua kamu terbaca sebanyak 167 kali. Yang menarik, mengapa kata ganti aku lebih sedikit daripada kamu. Kata ganti aku yang identik dengan aku lirik puisi berhadapan dengan kata ganti kamu sebagai mitrawicara. Dalam situasi komunikasi akukamu terdapat dua kecenderungan, yakni aku berbicara dengan kamu sebagai orang kedua dan aku berbicara dengan kamu sebagai diri sendiri. Berikut disertakan contohnya.

 

Sepanjang rel aku menghitung gerbong usia
Dengan lembar kalender yang berjatuhan
Ke dasar jurang. Tak ada yang tersisa
Kecuali gemuruh langkahmu
Membayangi ingatanku

(“Di Kereta”, 2010: hal. 9)

Kaulah stasiun itu. Rahim sunyi. Perbatasan antara kemurnian
Dan gemuruh perburuan
Keberangkatan tak pernah bisa ditunda. Maka berkemaslah, desismu
Sambil merakit lokomotif di kepala. Setiap orang  adalah masinis
Bagi dirinya. Tangis pertamaku  mungkin lengking peluit itu

(“Hizib Perjalanan, 2014: hal. 38)

 

Bait pertama menandai aku (lirik puisi) yang berbicara dengan kamu (orang kedua), sementara bait kedua menandai aku (lirik puisi) yang berbicara dengan kamu (diri sendiri). Karenanya, menjadi wajar jika partisipan orang kedua kamu lebih banyak jumlahnya karena dalam beberapa puisi kedua partisipan wacana itu mengacu pada partisipan wacana yang sama, yakni aku lirik puisi.

Diksi lain yang mengacu pada akukamu sebagai aku lirik puisi juga terdapat dalam diksi penyair. Dalam buku ini terdapat lima judul puisi yang menyertakan diksi penyair, “Di Meja Penyair” (2015: hal. 60), “Lautan Penyair, 1” (2018: hal. 82), “Lautan Penyair, 2” (2018: hal. 83), “Doa Sang Penyair” (2018: 90), dan “Doa Sang Penyair” (2018: 94). Sementara itu, diksi penyair terdapat dalam larik puisi pada tujuh puisi berikut: “Hizib Sang Petapa” (2010: hal. 11), “Batu Cincin” (2015: hal. 43), “Di Meja Penyair” (2015: hal. 60), “Lautan Penyair, 1” (2018: hal. 82), “Lautan Penyair, 2” (2018: hal. 83), “Doa Sang Penyair” (2018: 90), dan “Di Kebun Penyair” (2020: hal. 94).

Bagaimana aku lirik puisi memandang diri sendiri sebagai penyair? Barangkali, sintagma puisi yang menyertakan diksi penyair dapat menggambarkannya. Berikut ini disertakan hal tersebut (tabel 1).

Sintagma Puisi yang Menyertakan Diksi Penyair
Judul Puisi Judul Puisi
“Hizib Sang Petapa” //Tak ada jalan pintas bagi seorang penyair, sindir/Batu akik sambil memeluk  bulan di perutnya/Tanpa ketabahan kau akan pingsan  ditenung kata-kata/…//.
“Batu Cincin” //Sepanjang abad kau bergulingan/Memabuki mantra juga kata-kata/Namun terkadang, segalanya menghilang/Di ruang hampa.  Hatimu penyair/Mungkin sebening batu cincin//.
“Di Meja Penyair” //… Kau mesti terampil memilih/Beragam bahan yang betapa terhamparnya di negri ini/Sebuah negri di mana ribuan penyair menanti diberkahi//.
“Lautan Penyair, 1” … //Bahwa lautan kata yang hendak kau arungi itu/Mungkin lebih ganas dari laut yang membentang di matamu//.
“Lautan Penyair, 2” //Setiap kata adalah  gelombang/Yang menerjang di laut ingatan

Seperti isyarat lain, kelepak angina/Derai hujan dalam batin// … //Bersyair itu bukanlah sekadar fasih/Merenangi permukaan air

Tapi seluruh jiwamu mesti menyelam/Ke dalam diri hingga ke dasar kehidupan/Memburu mutiara yang dipendam hening lokan//.

“Doa Sang Penyair” //Tak ada pelaut sejati/Sebelum tubuh mewujud perahu/Yang sanggup menempuh derita/Dengan pelayaran mautnya//Sebelum sanggup menyelam/Jauh ke dalam tubuh/Hingga menemukan ruh

Dari kalimat yang ditulisnya//.

“Di Kebun Penyair” //Akulah petani/Yang berkebun dalam diri/Mengolah sunyi, mencangkul waktu/Menanam harapan/Di ladang-ladang kepedihan//Akulah resah jiwa/Tahun-tahun pergulatan/Mengolah tanah warisan/Yang tak pernah terpetakan/Dalam daftar kekayaan/Orang-orang kebanyakan//.

 

Dari ketujuh sintagma tersebut terdapat analogi atas penyair sebagai petapa, pelaut, dan petani. Selain itu, beberapa puisi menganalogikan penyair dengan pembordir, seperti terbaca dalam puisi “The Embroider Blues” (2011: hal. 23), “Pembordir” (2013: 32), dan “Belajar Membordir” (2014: 40).  Analogi tentang penyair dalam ketujuh sintagma ini akan berhubungan dengan kata benda pada poin berikutnya.

Persepsi Ruang

Kata konkret bumi, langit, dan laut cukup intens ditemukan dalam buku ini. Ketiga kata konkret ini memiliki dua hubungan, yakni 1) hubungan spasial sebagai latar tempat dan waktu aku lirik membersamai peristiwa dan tema (atau konflik) dan 2) hubungan filosofis sebagai pandangan hidup atas berbagai nilai yang diakrabi aku lirik puisi.

Kata bumi terbaca empat kali dalam buku. Dalam puisi “Hizib Sang Petapa” pasangan bumi-langit (dan segala yang menyertainya) terbaca sebagai tanda-tanda yang “Masih saja dibayangi kabut hitam”. Namun, hubungan pasangan tersebut sekaligus juga adalah persamaan dalam perbedaan. Dalam puisi  “Tarian Keris” kata bumi menjadi metafora dari visi (pandangan ke depan) aku lirik puisi atas kepenyairannya: //Aku adalah keras baja yang ditambang doa-doa/Digali dari kedalaman diri, pikir juga hati/Ruh terpadat anasir-anasir kehidupan/Semedi besi-besi yang dipendam inti bumi//.

Diksi langit terbaca sebanyak 18 kali. Kata ini cenderung menarasikan bagaimana visi tersebut dapat dicapai. Penurunan visi ke dalam misi terbaca dalam puisi  “Menafsir Laut dari Sebuah Pesisir” (hal. 89): //Selembar peta telah dibentang langit/Untuk dibacakan deretan mantranya/Tapi melulu tersesat di pertamsilan yang dikeramatkan//…//Dari pesisir ini aku becermin pada langit yang membentang/Membaca kembali deru ombak di balik kata-katamu//.

Tentu saja, visi (aku adalah keras baca…digali dari kedalaman diri) dan misi (membaca kembali deru ombak di balik kata-katamu) kepenyairan aku lirik puisi diwujudkan dalam orientasi-diri, dalam tindakan-tindakan fisis-biologis, simbolis, bahkan magis. Sebanyak 27 sintagma yang menyertakan diksi laut dan kata turunannya menggambarkan hal tersebut. Orientasi diri terbaca lugas dalam puisi “Sang Pelaut 1” (hal. 49):

//…/Di matamu melulu laut yang biru/Ombak berkejaran dengan waktu hingga ke tepi pesisir itu/Seperti perahu doa-doa dilayarkan.//…//Seperti laut hidup melulu gulungan ombak/Ombak adalah hakikat. Jika kau lelah melawan arusnya/Hanyutkan tubuhmu. Ibarat peselancar, menarilah di sana/Pelaut sejati tak pernah putus asa kala badai datang/Pun tiada lupa diri kala laut lengang/Angin adalah hasrat yang berkelebat/Mungkin serupa dayung bagi pelayaranmu/Pelaut sejati tak hanya piawai merenangi diri/Tapi  mahir pula menyelami isi hati//.

Penutup

Sebagai penutup ulasan, beberapa catatan dapat menjadi pijakan kita dalam membaca ulang buku ini. Hal ini merupakan konsekuensi atas teks puisi yang selalu mengelak selesai untuk ditafsirutuhkan. Pertama, sebagai sebuah ritual, diksi hizib terbaca sampai dengan tahun 2015 dan diksi perjalanan terbaca sampai tahun 2018. Sementara itu, tematik puisi-puisi pada rentang waktu 2019—2020, dapat dianggap residu tematik hizib perjalanan.

Kedua, aku lirik puisi juga merepresentasikan visi, misi, dan orientasi kepenyairan. Visi sejajar dengan tesis (sebuah keyakinan atas jalan kepenyairan), misi sejajar dengan antitesis (persepsi aku lirik puisi pada ruang-ruang yang dibangun diksi bumi, langit, dan laut), dan orientasi-diri sejajar dengan sintesis (beranalogi dengan metafora petapa, pelaut, petani, dan pembordir yang menyubstitusi aku lirik puisi sebagai Sang Pelakon sekaligus Pejalan). Tentu saja, diksi bordir dan kata turunannya hadir bukan sekadar analogi atas aku lirik puisi dan identik dengan penyair, melainkan juga sisi kehidupan yang lekat dengan penghidupan (senyatanya) penyair dalam mencari nafkah.

Terakhir, sintesis apa yang dihasilkan aku lirik puisi dalam menghayati hizib perjalanan? Dalam puisi “Hizib Sang Petapa” aku lirik puisi menganalogikan sekaligus mengorientasikan diri pada kata benda batu:

 

Aku menyerupai keteguhan batu wulung
Yang dihuni anasir-anasir ghaib
Sedang rajah langit dan bumi
Masih saja dibayangi kabut hitam

Tak ada jalan pintas bagi seorang penyair, sindir
Batu akik sambil memeluk  bulan di perutnya
Tanpa ketabahan kau akan pingsan  ditenung kata-kata

 

Barangkali, ini adalah bencana atau bahaya besar yang dihadapi aku lirik puisi. Puisi menjadi semacam ritual hizib yang terus-menerus dihayati layaknya menghasilkan batu akik –atau malah semacam dengan ritual tolak bala atas berhala diri. Bagaimana tutupan kisahnya? Barangkali juga, puisi penutup yang menyertakan diksi orkestrasi dapat menggambarkan sintesis bernada konklusif  dari aku lirik puisi:

 

Aku terus bernyanyi seirama gendang takdir
Yang didendang detak jantungku

(“Orkestrasi 1”, 2020:97)

 

Mangkubumi

 

*Nizar Machyuzaar aktif di organisasi Mata Pelajar Indonesia, Sanggar Sastra Tasik, Teater Ambang Wuruk dan Gelanggang Sasindo Unpad. Karya tulisnya telah dimuat di Laman Artikel Badan Bahasa Kemdikbud, Koran Tempo, Pikiran Rakyat, Bandung Pos, Kabar Priangan, dan beberapa portal berita digital. Sedangkan karya buku puisinya diantaranya adalah: buku puisi bersama Doa Kecil (1999), buku puisi tunggal Di Puncak Gunung Nun (2001), dan buku Kumpulan Puisi Bersama Muktamar Penyair Jawa Barat (2003). Terbaru, esai ulasan puisi dimuat di artikel laman Badan Bahasa Kembikbud.go.id berjudul (e)M-(e)L Acep.