Prawoto, Maruto,Tambunan dan lain lain: Kisah Sebuah Integritas

Oleh Imran Hasibuan

Dalam kesederhanaan di usia republik yang masih sangat muda, integritas bersinar terang dalam parlemen Indonesia, institusi politik utama. Sinar integritas itu memancar dari sikap dan tindakan para politisi parlemen masa itu.

Salah satunya adalah Prawoto Mangkusasmito, seorang politisi terkemuka Masjumi. “Siapa takut hidup melarat, ia gampang lupa daratan”. Itulah ucapan yang kerap dilontarkan Prawoto Mangkusasmito.

Ketika dimasa awal kemerdekaan dan berkecimpung sebagai wakil rakyat di Badan Pekerja Komisi Nasional Pusat (BP KNP), Prawoto memang dikenal dengan kesederhanaan yang mendekati fakir.

“Kecil- kurus- pucat- sederhana, seperti galibnya seseorang yang tidak memusingkan kesempatan mendapatkan apa-apa dari revolusi, Prawoto menggunakan waktunya untuk membongkok meneliti tiap-tiap rencana undang-undang, mencari-mencari disela-rajut undang-undang itu segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung dapat memperkuat kedudukan partainya, yaitu Masjumi,” demikian Subekti, seorang wartawan parlemen dari Kantor Berita Antara menggambarkan sosok sang politisi dalam buku Skets Parlementer (PENA Djakarta, 1950).

Pribadi Prawoto (lahir di Grabag, Magelang, 4 Januari 1910) mengesankan serba sederhana. “Sejak ‘zaman kedaulatan’ ini sadja badannya agak gemuk sedikit, meskipun ia masih djuga tergolong orang kurus.

Dari daerah gerilya ia mendapat suatu hadiah, yaitu satu janggut (jenggot) yang rupanya ia pelihara betul-betul, sehingga mukanya yang kurus dibelah atasnya dihias dengan peci hitam itu laras benar dengan muka seorang kiai. Lebih-lebih pula karena ia sekarang ala Mangunsarkoro, acapkali memimpin sidang Badan Pekerja dengan memakai sarung,” tulis Subakir.

Tekun dan pekerja keras, itulah kunci utama kesuksesan karir Prawoto Mangkusasmito di parlemen—baik di masa BP KNP, parlemen Republik Indonesia Serikat, hingga parlemen di tahun 1950-an.

Dalam tempo singkat, hanya beberapa tahun, dari seorang anggota yang tidak begitu “terlihat”, Prawoto akhirnya bisa menjadi acting Ketua Badan Pekerja, menggantikan Mr. Assaat yang didaulat menjadi acting Presiden RI di akhir tahun 1949.

Menariknya, agak berbeda dari anggota fraksi Masjumi lainnya, Prawoto tidak memberikan kesan seorang yang fanatik Islam. Seperti dicatat Subakir, caranya mengemukakan pendapat supel, misalnya ia tidak akan mau mengatakan sesuatu aliran dengan kata-kata “aliran yang tidak ber-Tuhan”. Dengan begitu, pendapat Prawoto lebih bisa diterima anggota fraksi lain di parlemen.

Sebagai anggota parlemen, Prawoto banyak jasanya dalam pekerjaan menyusun undang-undang. Salah satunya yang cukup monumental adalah Undang-undang Pokok Pemerintahan daerah yang intinya menyerakan kepemiminan pemerintahan daerah sehar-hari kepada suatu Dewan Pemerintahan Daerah yang anggota-anggotanya dipilih dari anggota DPR di daerah setempat.

Sebagai pimpinan fraksi Masjumi, partai yang ikut dalam koalisi pemerintah dalam kabinet…., pembelaan Prawoto terhadap hasil-hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) dalam sidang Komite Nasional ke 6 (Desember 1949) merupakan yang terbaik.

Ia menegaskan bahwa “…hasil KMB lebih baik dari Perjanjian Linggarjati, dan meskipun di dalamnya masih banyak soal yang meminta pengorbanan perasaan, tetapi kekurangan itu masih dapat dikejar kembali. Undang-Undang Sementara RIS janganlah dipandang sebagai dokumen juridisch, tetapi hendaknya sebagai ikatan potensi politik yang dapat dibuat menjadi pegangan guna perjuangan selanjutnya”.

Lawan utama Prawoto dalam perdebatan soal hasil KMB tak lain Maruto Nitimihardjo, satu-satunya wakil Partai Murba di Badan Pekerja KNP. Maruto dikenal dengan sinismenya.

Puncak sinisme itu terjadi saat perdebatan hasil KMB itu, dimana ia menyindir keras pemerintah RI, bahwa mencapai dan menyetujui hasil-hasil KMB adalah sama artinya dengan “andermans zaak dienen” (menjadi budak), dan dengan tambahan keterangan: “sayangnya, dalam hal ini saya tidak punya pengalaman”.

Sebagai pribadi, Maruto Nitimihardjo (lahir di Cirebon, 26 Desember 1906) sendiri tidak kalah sederhana. Bahkan, bisa dikatakan ia lah anggota Badan Pekerja KNP yang paling sederhana: sederhana pada pakaiannya, sederhana pada “verschyning”, dan sederhana pula rokoknya—kelobot atau daun kawung yang digulung sendiri.

Di parlemen, Maruto termasuk kategori politisi “pendiam”, jarang berbicara atau mengemukakan pendapat. Tapi, justru pada “diam”nya itu terletak kekuatannya. Sebab, manakala ia berbicara biasanya mendapat perhatian penuh dari sidang perlemen maupun pemerintah.

Dan kalau sudah berbicara tentang sesuatu hal, biasanya ia telah mempunyai keterangan dan data secukup-cukupnya. “Ada lagi kekuatan Maruto, yaitu dalam berdebat ia tidak suka menuruti sesuatu inval yang didapatnya seketika itu juga, seperti yang tidak jarang dilakukan sementara anggota lain. Dengan begitu, Maruto tidak gampang terjebak,” catat Subakir.

Maruto bukan termasuk golongan jago berpidato. Tapi, ia lebih cenderung seorang pejuang politik yang ulet. Tentang keuletannya ini terlihat dalam perjuangannya agar para tahanan Tan Malaka dan kawan-kawan dibebaskan.

Hal itu selalu dilontarkannya dalam setiap ada kesempatan bicara di sidang Badan Pekerja KNP. Dalam mengejar cita-cita politiknya, Maruto lebih mendasarkan pada kekuatan politik yang rill, daripada kemampuan berpidato di parlemen.

Tokoh yang juga “berjuang sendirian” dalam fraksinya adalah Mr. Albert Mangaratua Tambunan (lahir di Tarutung, Tapanuli, 1911), ya karena memang ia satu-satunya anggota Fraksi Parkindo di Badan Pekerja KNP. Tapi, menariknya, justru ia menjabat kedudukan yang banyak sekali di parlemen.

Ia, misalnya, menjadi Ketua Panitia Hukum, yang pekerjaannya meninjau soal-soal teknis rencana undang-undang yang akan dimajukan ke persidangan Badan Pekerja KNP. Juga menjadi Ketua Panitia Persiapan, anggota seksi Kemasyarakatan Dalam Negeri, anggota Panitia Politik yang didalamnya duduk pimpinan-pimpinan fraksi (yang boleh disebut merupakan penasehat bagi delegasi Indonesia) untuk perundingan KMB– dan setelah KMB tercapai, ia menjadi ketua panitia pencalonan anggota parlemen RIS. Disamping itu, ia juga masih bertugas sebagai anggota Panitia Pemilihan Umum.

“Tambunan adalah seorang yang suka bekerja, orang yang memandang tugasnya dengan kesungguh-sungguhan, seperti kesungguhan kalau ia setiap Minggu pagi mengepit injil ke gereja,” tulis Subakir.

Sebagai anggota yang terkemuka di Badan Pekerja, Tambunan jarang berbicara. Tapi, kalau ia berbicara sangat diperhatikan oleh peserta sidang, tidak saja karena pendapatnya hasil dari pertimbangan yang yang teliti, juga dalam banyak hal pendapatnya dipandang sebagai kehendak umat Kristen, karena ia adalah satu-satunya wakil gerakan Kristen (waktu itu belum ada perwakilan Katolik).

Cara Tambunan berbicara dan berdebat sederhana dan correct, begitu pula cara ia mengemukakan pendapat tidak berlebihan dan tidak kurang. Pengetahuannya luas dan kepalanya selalu dingin, sehingga bombasme atau overdondering tidak akan mempan padanya.

Jasa Tambunan dalam Badan Pekerja, sebagai Ketua Panitia Hukum dan Panitia Persiapan, terutama dalam menyelesaikan undang-undang hukum ketentaraan, yaitu mengubah peraturan militer Hindia Belanda dan disesuaikan dengan kebutuhan dan bentuk serta jiwa negara Republik Indonesia.

Selama di parlemen, Tambunan juga mencurahkan perhatian kepada undang-undang pokok pendidikan di sekolah-sekolah negeri, yang menurut pendapatnya merupakan inti dari keinginan semua aliran politik.

Ia juga pernah mengetuai komisi Badan Pekerja untuk meninjau kemungkinan penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) karena ia menilai instansi itu tidak dapat dikontrol oleh parlemen. Tapi, usahanya itu gagal, karena DPA dilindungi pasal 16 UUD 1945.

Dari Partai Nasional Indonesia (PNI) salah satu jagoan parlemennya adalah Mr. Sujono Hadinoto (lahir di Blora, 28 Juni 1920). Meski masih terbilang muda, Ketua Fraksi PNI di Badan Pekerja KNP itu pernah menjadi “momok” semua kementerian dengan mosinya yang menggemparkan, yaitu meminta dilakukannya rasionalisasi di semua kementerian: mengenai susunannya maupun mengenai penempatan orang secara tepat, the right man in the right place. “Sesudah adanya mosi Sujono itu, kata-kata dan arti rasionalisasi seolah-olah menjadi mode dalam Badan Pekerja,” tulis Subakir lagi.

Memang Sujono dikenal sebagai seorang terpelajar. Ia lancar berbicara dan berdebat. “Tapi, sayangnya—mungkin karena prinsip rasionalitas—ia tidak memusingkan irama, sehingga pembicaraannya kering dan terlalu zakelijk untuk pendengar biasa”.

Kekuatan utama Sujono terletak pada keberaniannya menyerang lawan debatnya, juga pengetahuannya yang mendalam tentang apa yang dibicarakan.

“Senjata yang terutama baginya ialah kesadarannya bahwa ia pasti lebih tahu dari lawannya berdebat. Itu merupakan senjata yang menyebabkan ia lebih kuat, tetapi sebaliknya akan memperlemah ia kalau suatu ketika berhadapan dengan lawan yang setanding”.

Meski bergelar meester in derechten, minat Sujono yang utama sebagai anggota parlemen adalah masalah-masalah ekonomi. Dan dalam perdebatan mengenai masalah ekonomi dengan wakil pemerintah, ia hampir selalu menang. Apalagi di masa itu situasi ekonomi negari memang dalam kondisi susah.

Tokoh muda yang juga dikenal sebagai orang parlemen yang tangguh adalah Subadio Sastrosatomo (lahir di Pangkalan Brandan, 1919). “Meski orangnya masih muda, tetapi Subadio adalah pejuang parlementer yang tertua, karena terus menerus sejak dibentuknya Badan Pekerja KNP, bulan Oktober 1945, ia menjadi anggotanya. Kemudian pada waktu penyerahan kedaulatan kepada RIS, ia menjadi anggota parlemen sementara”, demikian Subakir mencatat. Keanggotaan Subadio di Badan Pekerja KNP mewakili Partai Sosialis, kemudian Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Di masa awal terbentuknya Badan Pekerja KNP, Subadio lah yang berinisiatif menyusun Undang-undang No. 1/1945, undang-undang yang pertama kali dibikin oleh Republik Indonesia sebagai negara merdeka. Undang-undang itu mengatur tentang Komite Nasional Daerah, sebagai syarat mutlak mendemokratiskan pemerintahan di daerah.

Kemudaannya tidaklah membuat Subadio rendah diri. Ketika membahas UU No.1/1945 itu ia, yang masih berusia 25 tahun dan hanya sempat duduk di bangku kelas satu di RHS Batavia, harus berdebat dengan Menteri Kehakiman Prof. Mr. Dr. Soepomo, yang juga mahaguru hukum adat yang terkemuka.

Perdebatan antara Subadio dan Prof. Soepomo terutama mengenai dua soal. Subadio meminta agar keadaan desa dibikin modern, artinya setiap orang yang telah berumur 18 tahun sudah boleh menjadi anggota Dewan Perwakilan Desa.

Sebaliknya, Prof. Soepomo berpendirian pada hukum adat yang berada di desa, yaitu hanya orang yang mempunyai tanah yang boleh menjadi anggota. Akhirnya dicapai kesepakatan, jalan tengah, rencana undang-undang yang diusulkan Subadio itu diterima baik, tetapi dengan pengecualian: desa tidak diwajibkan masuk dalam kekuasaan undang-undang itu.

Yang menarik, dalam perdebatan itu, Prof. Soepomo menyebut Subadio sebagai “Paduka tuan anggota”. Subadio sempat terperanjat dengan sebutan hebat itu. Lantas ia menjawab dengan sebutan “saudara menteri”, yang lumayan menggemparkan masa itu. Dan sebutan “saudara menteri” itu kemudian menjadi populer dan menjadi tradisi di parlemen Indonesia.

Subadio juga pernah berdebat keras dengan dua tokoh parlemen senior: Sartono dan Mr. Maramis. Pokok soalnya tentang Peraturan Presiden No. 6 tentang susunan Komite Nasional Pusat. Mr. Sartono dan Mr. Maramis, yang bertindak sebagai oposisi pemerintahan Kabinet Sjahrir (PSI), menentang peraturan itu. Dalam suatu kesempatan, Subadio—sebagai Ketua Fraksi PSI di parlemen—menyerang: “Apakah saudara Sartono dan saudara Maramis, orang-orang tua dalam politik, tidak sadar akan arti penolakan Peraturan Presiden No. 6, yang juga berarti juga tidak setuju dengan presiden sekarang. Dan yang politis sikapnya akan menyukarkan jalannya revolusi, sebab tiada Sukarno tidak dapat kita lanjutkan revolusi ini…..”

Dengan pidato Subadio itu, Peraturan Presiden No. 6 itu dapat terus dijalankan. Hingga Badan Pekerja KNP dibubarkan, Desember 1949, Subadio tercatat sebagai poros tangguh fraksi PSI di parlemen.

Dari kalangan perempuan di parlemen/Badan Pekerja KNP, Hajjah Rangkayo Rasuna Said (lahir di Maninjau, 14 September 1910) yang dikenal berani menyuarakan aspirasinya.

“…. Selain ‘srikandi’, Nyonya Rasuna mempunyai gelar the cat. Kukunya tajam dan entah sudah berapa kali kuku itu dipakainya untuk menggaruk muka pemerintah, sehingga kadang-kadang pemerintah yang kadang-kadang merasa kesakitan pun seolah-olah menjadi ‘kater’ dan membalasnya menggaruk,” catat Subakir lagi.

Suatu kali, pernah suatu kali dalam suatu sidang Badan Pekerja, Rasuna mengkritik “kekejaman dan kurangnya kemampuan pemerintah” mengatasi kesulitan Madiun Affair.

Mendengar kritik itu, Perdana Menteri Mohamad Hatta lantas berkata: “Mengapa tidak lebih baik anggota Rasuna masuk FDR saja?!”

Bukannya kapok, dalam sidang beberapa hari kemudian, Rasuna menggaruk pemerintah lagi. “Dimana Muso sekarang?” tanyanya dengan garang. Saat itu Muso masih buron.
Hatta menggaruk balik: “Kalau anggota Rasuna tahu, tolong beritahu kami.”

Meski dibesarkan dalam tradisi Islam di Minangkabau, Rasuna Said secara terbuka menunjukkan “simpati”nya kepada kaum kiri Indonesia. Dalam suatu rapat ia mengatakan “tidak merasa ada pertentangan antara pelajaran Islam dengan pelajaran sosialisme”, dan bahwa “komunisme adalah perwujudan kehendak Islam, selain mengenai hak orang-seorang”.

Rasuna juga mencela keras tindakan-tindakan yang mempertajam “perlainan” yang ada di masyarakat, sehingga menjadi “peruncingan”. Kata Rasuna, “Keindahan masyarakat justru dalam perlainannya itu.”

Ketika dalam masyarakat dan Badan Pekerja KNP terjadi pertentangan dalam menghadapi Persetujuan Renville, yaitu antara kaum kiri yang dipelopori FDR di satu pihak, dengan kaum kanan yang dipelopori Masjumi-PNI di lain pihak, Rasuna mencoba mendamaikan pertentangan itu dengan makian yang pedas.

“Anda semua yang duduk sebagai anggota fraksi yang sedang bertengkar di Badan Pekerja ini adalah karena ‘hadiah revolusi’. Sebab kalau tidak ada revolusi yang dilakukan seluruh rakyat mustahil kita semua duduk di sini,” teriak Rasuna.

“Lantas yakinkah saudara-saudara semua bahwa dengan bertengkar terus menerus, rakyat berevolisi dan yang menyebabkan anda semua duduk di sini, akan mendapatkan keuntungan?!”

Demi mendengar perkataan Rasuna Said itu, para anggota parlemen yang bertengkar diam seketika. Tapi, pertarungan di luar parlemen terus berlangsung, hingga pecahnya Madiun Affair.

Dari catatan-catatan Subakir di bukunya, tampak jelas bahwa ditengah situasi politik yang masih chaos karena perang kemerdekaan, serta fasilitas yang seadanya, kehidupan parlemen Indonesia di masa itu sangatlah dinamis. Mengapa bisa begitu? Kata kuncinya adalah integritas para tokoh-tokohnya. Dengan integritas politik yang tinggi mereka menghidupkan demokrasi di parlemen.

*Imran Hasibuan adalah seorang Produser dan Penulis