Puisi-Puisi Agus R. Sarjono

Surat Pembaca

Redaksi yang terhormat,
izinkan saya menyampaikan keluhan
dan sedikit saran. Burung bangau
di tepi danau itu sudah sembilan malam
mencangkung sendirian, hingga katak
dan ikan-ikan tak berani bercinta
padahal purnama begitu indahnya.

Juga di tepi padang, sekuntum kembang
tersedu-sedu sendirian, sembilan lambaian
yang lalu tepat di tikungan jalan
ke arah hutan. Jingga kelopaknya terbiar
di sela belukar tanpa ada yang peduli
padahal setiap hari ia menghias diri
dengan embun pagi.

Saya sarankan agar remang rembulan
yang mengambang sendu
di sudut kolam itu disandingkan saja
dengan rusa remaja yang termangu
sendirian di tepian hutan, padahal
para pemburu sudah lama berlalu
membawa rusa jantan kasmaran
yang rubuh tersambar peluru.

Demikian surat saya, semoga ada
manfaatnya bagi pembaca
maupun sepasang kupu-kupu
yang terjebak di kaca jendela kamar,
padahal cuaca di luar
begitu nyaman, sejuk, segar.

 

Surat Lamaran

Perkenalkan nama saya sendu
dengan satu dua keriangan.
Saya terampil menangani lara
kenangan-kenangan tersisa,
dan mengemas melankolia.

Adapun kehampaan, rasa kosong
dan sia-sia, serta yang berkaitan
dengan ratapan, dapat saya tangani
sebagai tambahan pekerjaan.
Tentu untuk ini saya perlukan
tunjangan tambahan: sepotong senja
dengan sebaris tipis warna jingga.

Saya ajukan lamaran ini sepenuh hati
dan mohon kiranya dapat diterima.
Sebagai lampiran, saya sertakan di sini
segaris luka lama: pedih dan abadi
dari cemas dukana tiada bertepi.

 

Surat Marsinah

Ah sudahlah,
apa lagi yang hendak saya katakan
bukankah semua sudah diputuskan.
Adapun perkara hukum dan keadilan
tentu saja semua milik majikan.
Hak buruh bukankah selalu diberikan
yakni setahun sekali beroleh hiburan
untuk berdemo besar-besaran.
Selebihnya adalah rutin
didera kerja serupa mesin:
merana, kuyu, pucat, miskin.
Meski kami hemat dan rajin
kami dikutuk tak bisa lain.

Ah sudahlah,
mungkin kalian anggap saya masa silam
dari sebuah rezim yang kelam
sebelum demokrasi bersemi
memekarkan kembang-kembang politisi
yang makmur, bising, dan berseri
berdebat seru di koran dan tivi
memaksakan ruang sidang yang nyaman
sembari mengotak-atik anggaran.
Siapa yang masih peduli
pada perkara buruh pabrik arloji
yang hidup apalagi yang mati.
Tentu saja untuk perkara-perkara begini
tak ada harapan dapat komisi.

Ah sudahlah.

 

Surat Breyten Breytenbach

Seperti apa sesungguhnya negerimu?
Dari puisimu aku mencium semacam aroma
Afrika Selatan. Tentu tak ada apartheid di sana,
tentu berlainan pula masalahnya, tapi kurasa
negeri kita sesungguhnya masih bersaudara
setidaknya punya ibu yang sama,
yakni airmata. Kau hanya tersenyum
ngungun, seperti biasa. Tapi kutahu
matamu berkata: sejauh menyangkut airmata
bukankah seluruh negeri dan umat manusia
punya ibu yang sama? Hanya ayah-ayah kita
saja yang berbeda: yang anggun, sabar
atau yang gemar bersengketa.
Kitapun berhenti membicarakannya
lantas bercakap hangat tentang sastra
di sela makan malam dan jadwal festival.
Pernakah kau berharap karya kita abadi
atau setidaknya tetap dibaca, dan agak kekal?
Kurasa sejauh ibunya sama, harapan itu ada,
karena anak-anak airmata yang rindu
bisa melihat wajah sang ibu di sana.
Tapi, seperti negara, sastra
punya ayah berbeda-beda
hingga sosok sang ibu tak selamanya
bisa hadir leluasa. Maka anak-anak airmata
yang piatu, akan belajar membisu
terbiar, sangsai, sendu. Seperti apa
sesungguhnya negerimu? Maaf,
tak seharusnya kutanyakan lagi
hal itu, karena kutahu
kau hanya akan tersenyum,
ngungun, sangsai, hampa
seperti biasa.

 

Surat Wasiat

Dengan sadar dan tanpa paksaan
Saya, Sejarah Silam, mewasiatkan:
Bahwa sisa-sisa senjata yang tersebar
di sekitar Jüterbog, Banda Aceh, Papua
maupun tempat-tempat di antara
keduanya, harap rapat di simpan. Bahkan
dipamerkan pun sebaiknya jangan.
Karena anak-anak yang belum dewasa
suka tergoda main perang-perangan
agar disebut pahlawan. Jangan tertawa!
Jangan diabaikan! Ini sudah pernah kejadian
yakni saat ayah saya, Sejarah Silam Sr, lupa
mewasiatkan hal serupa di Afganistan,
Yaman, Syria dan segala tempat
di antaranya, hingga dunia kembali
dan kembali lagi dengan rajin
memproduksi janda dan anak yatim.
Adapun sisa harta simpanan: sedu-sedan,
debu bakaran, erang luka,
jerit ketakutan di zaman perang,
harap digunakan sebagaimana mestinya
bagi kemashalatan umat manusia,
khususnya mereka yang papa
dan tak putus dirundung derita.

 

Surat Emily

Di saat-saat kerinduan, entah mengapa
justru bulu hidungmu yang selalu kukenang.
Kini sudah panjang, tentunya, jika kutarik
kencang, akankah jarak antara aku
dan hidungmu, dan matamu, dan senyummu,
bisa lebih dekat, bisa lebih rapat?

Saat aku bekerja atau menyiapkan sarapan
bagi anak-anak, kau suka melintas, telanjang,
begitu saja, lalu menghilang. Apakah ikan
dan burung-burung di sana berpasangan?
Jangan tergoda, sayangku, bukahkah perlu
sesekali manusia bersendiri? Bukankah justru
hanya jika sendiri, serigala jantan yang sunyi
baru bisa melolongkan puisi
ke cerlang rembulan?

Dari sini selalu kukenangkan dengkurmu
selembut gumam serangga malam.
Jaga kesehatan, seperti kita menjaga cinta
biar senantiasa awet muda melintas zaman.
Tetaplah girang, dan cepat pulang.

 

*Agus R. Sarjono, menulis puisi, cerpen, drama, novel, kritik, dan esai. Ia mendapat Hadiah Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) dari Pemerintah Malaysia (2012) dan Sunthorn Phu Award dari Pemerintah Thailand (2013) untuk lifetime achievement di bidang sastra. Mantan redaktur majalah Horison (1997-2013) dan Ketua Dewan Kesenian Jakarta (2003-2006) ini adalah dosen Jurusan Teater ISBI Bandung, Pemimpin Umum Jurnal Sajak, dan Pemimpin Redaksi Jurnal Kritik. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, Inggris, Perancis, Belanda, Finlandia, Portugis, Serbia, Kurdi, Arab, China, Korea, Vietnam, Thailand, dll. Ia pernah menjadi sastrawan tamu di IIAS Leiden, Heinrich-Böll-Haus, Langenbroich, dan ilmuwan tamu Universitas Bonn. Bersama Berthold Damshäuser menjadi penerjemah dan editor Seri Puisi Jerman. Buku puisinya Gestatten, mein Name ist Trübsinn (2015) terbit di Berlin.