“Heraldic Woman” dan Gana: Sebuah Perbandingan

Oleh Seno Joko Suyono

1

“…The heraldic woman never really occupied an important place in the art of the west .This may have been because the image was a hybrid accidentally formed and found no firm footing in classical art in the subsequent Christian Tradition. Only on the fringe of Europe and the Near East did it have a chance of surviving and even there it lost much of its exhibitionistic character..”

Pasasi di atas saya ambil dari artikel panjang Douglas Fraser : The Heraldic Woman: A Study in Diffusion. Artikel Fraser ini dalam studi antropologi merupakan salah satu artikel yang dianggap penting. Fraser melihat hampir di semua budaya material suku-suku primitif atau kebudayaan kuno manapun (terutama di Asia, Afrika, Iran, Amerika Latin) terdapat sebuah lambang atau simbol yang menampilkan figur seorang wanita telanjang yang diapit secara simetris oleh dua makhluk lain (bisa manusia atau binatang atau makhluk kahyangan atau monster).

Simbol itu dipahatkan atau ditampilkan dari mulai totem-totem, perisai, hiasan perahu, desain motif lintel (balok di atas pintu atau jendela) bahkan sampai tubuh sarkofagus.  Posisi  kaki wanita tersebut terbuka lebar sehingga rahim, genital  atau vulvanya terlihat jelas (bahasa Jawa: mengangkang). Sebuah posisi yang disebut Fraser sebagai ekhibisionis dan erotik. Posisi itu merupakan common prototype.  Fraser menamakan  lambang itu dengan sebutan: Heraldic Woman.

Sesuai dengan anak judul artikelnya:  A Study in Diffusion, Fraser menganggap kemunculan Heraldic Woman  bukanlah jenis kemunculan universal yang di mana-mana secara serentak diekspresikan oleh berbagai kalangan suku primitif atau masyarakat pra sejarah secara bersamaan melainkan hasil dari sebuah persebaran atau difusi. Ia menampik pendapat yang mengatakan fenomena lahirnya Heraldic Woman adalah sebuah fenomena polygenesis. Para antropolog anti-difusi menurut Fraser menganggap lambang Heraldic Woman adalah sebuah gejala atau fenomena umum pada masyarakat kuno yang biasa membuat gambar-gambar berdasar imitasi terhadap alam. Fraser mengatakan bila Heraldic Woman adalah lambang universal mengapa di kawasan  Timur Dekat (Near East)  simbol Heraldic Woman baru muncul pada tahun 1000 SM? Sementara ikon wanita sendiri di masyarakat purba Timur Dekat itu  sudah ada sejak tahun 6000 SM. Dan sosok makhluk-makhluk yang berada di kanan kiri Heraldic Woman sudah dimiliki masyarakat kuno Timur dekat sejak tahun 3000 SM. Mengapa  kombinasi antara ikon wanita dan makhluk-makkhluk itu baru terjadi setelah ribuan tahun?

Teori Fraser tentang persebaran Heraldic Woman ini oleh Richard I Anderson disinggung dalam bukunya Art in Primitive Societies. Anderson menampilkan pendapat dan riset Fraser untuk mengimbangi  teori adanya simbol universal yang bertolak dari psikoanalisa Freud dan Carl Gustav Jung. Freud dan Jung ,keduanya memiliki gagasan tentang adanya ketidaksadaran yang laten tapi aktif dalam diri manusia. Freud kita ketahui berbicara tentang mimpi-mimpi erotik, obsesi-obsesi seksual yang dihubungkannya dengan sesuatu yang direpresi jauh di dalam ketidaksadaran. Bagi Freud gejala-gejala demikian adalah gejala universal.  Para antropolog yang menggunakan teori Freud maka dari itu berpandangan bahwa berbagai macam ikonografi suku-suku primitif bertema erotik sebagaimana Heraldic Woman adalah ikonografi universal. Demikian juga bila memakai teori Jung. Sebab Jung berpendapat simbol-simbol agama adalah jenis ketidaksadaran kolektif. Anderson berpendapat penelitian Fraser tentang adanya Heraldic Woman membuat penjelasan  universalisme semacam itu kurang memadai.

Berkaitan dengan teori penyebaran Heraldic Woman ini menarik untuk diamati pendapat Fraser yang menyatakan bahwa munculnya Heraldic Woman di kepulauan Pasifik, Asia dan Indonesia adalah karena pengaruh yang dibawa kebudayaan Dongson. Kepulauan Pasififik, Asia dan Indonesia menurut Fraser di samping kawasan Amerika Latin seperti Ekuador, Meksiko dan Peru pada era preKolumbia adalah kawasan-kawasan yang pada kesenian masyarakat Neolitiknya paling banyak ditemukan simbol-simbol Heraldic Woman. Ikon-ikon mirip Heraldic Woman menurut Fraser dapat ditemukan dari Minahasa, Pulau Rote sampai Asmat. Ikon-ikon demikian muncul dalam hiasan tameng, relief atau ornamen rumah adat sampai kuburan. “Dongson influence penetrated beyond Indonesia into Ocenia and new world,” tulis Fraser.

2

Saya tertarik untuk membandingkan antara Heraldic Woman dan Gana yang banyak menjadi hiasan relief di candi-candi kita. Heraldic Woman dan Gana adalah dua hal yang berbeda. Namun bila selintas kita melihat relief-relief Gana yang ada di candi-candi kita, kita bisa teringat  Heraldic Woman. Itu karena posisi tubuh keduanya ada yang cenderung hampir senada. Terutama posisi kakinya. Ada beberapa posisi kaki Gana.Tapi umumnya posisi kaki Gana  adalah terbuka lebar-lebar dalam model seperti jongkok. Kedua tangan Gana selalu digambarkan terangkat seperti menopang sesuatu.

Dalam pantheon Hindu,  Gana adalah makhluk penjaga kahyangan. Ia termasuk dewa rendahan. Ia bukan makhluk utama . Bahkan dalam buku seperti Iconography of Minor Hindu and Buddhist Deities yang membahas dewa-dewa sekunder di pengarcaan Hindu dan Budhisme Mahayana, Gana pun tidak dimasukkan.  Sosok Gana bertubuh kerdil dan gemuk. Gana sesungguhnya adalah raksasa kerdil. Gana merupakan pengikut Siwa. Gana dkenal  menjadi pasukan utama Ganesha, putra Siwa jika berlaga di medan perang.

Selain sebagai prajurit tempur, Gana sering ditampilkan sebagai makhluk cebol penyangga dunia. Tidak disebut jelas jenis kelamin Gana. Apakah Gana makhluk berkelamin pria atau wanita, atau keduanya atau tanpa kelamin. Tapi kemungkinan besar berkelamin jantan karena dia adalah termasuk prajurit. Yang jelas Gana adalah makhluk yang menopang alam semesta. Meski tubuhnya pendek, bontot ia dianggap kuat menahan beban berat di atas. Itulah sebabnya posisi tangan Gana selalu menyangga ke atas.  Gana sering menjadi ornamen-ornamen dalam percandian kita. Dalam sebuah candi bisa ditampilkan ornamen berupa perulangan gambar-gambar Gana. Gana, tapi tidak hanya digambarkan dalam bentuk relief di candi-candi melainkan dipahatkan pula pada yoni, dengan posisi menyangga carat Yoni.Pada beberapa candi letak Gana ditempatkan pada sudut-sudut yang srategis seolah ia pasak yang menopang banggunan candi.

Baik di candi-candi masa klasik tua di Jawa Tengah  maupun  klasik muda di Jawa Timur, ornamen sosok Gana dapat kita temukan dengan berbagai variasi dipahat sebagai relief dekoratif yang diletakkan antara kaki candi sampai atap candi. Relief-relief Gana tersebut ada yang sederhana penggambarannya, ada yang detail. Yang menarik meski asal usul Gana dari konsep teologi Hindu, ornamen Gana tidak hanya kita temukan pada  candi-candi Hindu saja. Motif Gana juga bisa kita temukan pada candi-candi Budha. Candhi Budha pertama di Jawa Tengah yaitu Candi Kalasan yang dipersembahkan untuk Dewi Tara misalnya telah menampilkan motif Gana. Juga  Candi Sewu dan Candi Sojiwan. Sementara pada candi-candi Hindu, motif Gana sudah dapat ditemukan sejak Candi  Dieng, Candi Gedong Songo, Candi Prambanan, Candi Morangan,  Candi Barong, Candi Sambisari, Candi Ijo. Di Jawa Timur candi-candi di Kediri seperti Candi Surawana, Candi Tegawangi serta Candi Penataran di Blitar dan Candi Jawi di Pasuruan  juga memiliki motif Gana yang menarik.

Gaya penggambaran Gana yang ada dalam candi-candi kita  disebut-sebut  berbeda dengan gaya penggambaran Gana di India. Unsur-unsur asli Indonesia turut mempengaruhi penggambaran dan ekspresi wajah Gana. Pada titik inilah kita bisa masuk dalam kemungkinan adakah unsur-unsur Astronesia atau Dongson sebagaimana yang dilihat Fraser membentuk ikon-ikon Heraldic Woman di Indonesia juga mempengaruhi penggambaran Gana?

Dalam dunia Kakawin Jawa sendiri , Gana misalnya dideskripsikan dalam Kakawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung dari zaman Kediri. Siwaratrikalpa berkisah tentang pemburu bernama Lubdhaka. Pekerjaannya hanya membunuh binatang. Suatu hari dalam perburuannya yang tak mendapat mangsa, karena hari telah malam ia naik pohon agar tidak diterkam binatang buas. Di atas pohon supaya tidak mengantuk dan terjaga terus, dia memetik satu persatu daun pohon dan menjatuhkannya ke kolam di bawah pohon. Tanpa diketahuinya daun-daun pohon yang dijatuhkannya tepat  menyentuh sebuah lingga yang ada di tengah kolam. Siwa sangat senang karena merasa dipuja oleh Lubdhaka. Tatkala Lubdhaka mati, karena sehari-hari pekerjaannya hanya membunuh binatang, dewa maut Yama ingin mengambil roh Lubdhaka ke neraka. Namun Siwa menghalang-halangi. Siwa dalam Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung itu kemudian mengutus para Gana untuk membawa roh Lubdhaka ke surga . Siwa memerintahkan Gana untuk menyelamatkan roh Lubdhaka untuk dibawa ke surga. Dalam konteks ini maka Gana juga menjadi makhluk yang mengantar roh orang yang dikasihi oleh Siwa ke surga. Karya Mpu Tanakung ini menurut Prof A.teeuw dkk yang membahas naskah ini maka disebut naskah religius.

Dalam konteks religius dan kemungkina adaptasi lokal atas bentuk Gana di ataslah saya tertarik membandingkan antara Gana dan Heraldic Woman. Seperti di katakan di atas Gana memiliki beberapa posisi kakinya. Ada kalanya Gana dipahat dengan sikap duduk dengan posisi satu kaki menyiku dengan telapak kaki sebagai penahan beban sikap. Ada kalanya Gana dipahatkan duduk jongkok dengan pinggul hampir menyentuh tanah yang disebut Kukutasana. Ada kalanya sikap duduknya di atas dua betis.  Namun pada umumnya Gana digambarkan dengan posisi kedua kaki jongkok, setengah mekangkang. Saya tertarik membandingkan posisi kaki Gana yang demikian dengan posisi kaki Heraldic Woman, terutama soal kelamin. Apakah sosok Gana juga mengekspos kelamin sebagaimana Heraldic Woman? Kalau betul apa kemungkinan maknanya?

Sebelum membahas perbandingan ini lebih dulu saya akan membahas fungsi kelamin dalam Heraldic Woman sebagaimana dipahami Fraser. Mengapa rata-rata mengekspose vagina atau genitalnya? Apa maknanya? Pembahasan ini dimaksudkan agar bisa lebih jelas mengetahui kemungkinan persamaan dan perbedaan dengan makna posisi  Gana.

3

Seorang peneliti Max-Planck Institute bernama Christa Sutterlin dalam artikelnya berjudul: Universals In Ritualized Genital Display Of Apotropaic Female Figures pernah membahas bagaimana sosok-sosok patung berbentuk laki-laki atau perempuan telanjang di Kamerun, Kongo dan Pantai Gading (dan bagian Afrika lainnya)  yang mempertontonkan kemaluannya (genital) sesungguhnya merupakan patung-patung penolak bala. Dalam alam pikir masyarakat pedalaman Afrika, patung-patung dengan alat kelamin yang diekspos  dipercaya dapat menangkal roh-roh jahat.  Hal demikian dalam istilah antropologi disebut: Apotropaic. Apotropaic (diambil dari bahasa Yunani apotropaios) berarti kekuatan magis untuk mengusir roh-roh jahat.

Yang menarik Sutterlin juga menyebut fungsi Apotropaic demikian juga dilihatnya banyak terdapat dalam patung-patung neolitik Indonesia dan Melanesia. Sebuah patung dari kawasan Lembata, Flores yang berbentuk sosok laki-laki bermimik kuat tengah berdiri  dan kedua tangannya memegang kemaluannya yang tegak ke atas menurutnya pada dasarnya adalah patung Apotropaic. Patung dari Lembata itu merupakan patung pengusir arwah-arwah pengganggu sekaligus sebuah jimat untuk spiritual healing. Sutterlin melihat banyak patung Apotropaic dari wilayah Indonesia, wajah-wajahnya dibuat menyeramkan. Ekspresi mukanya meneror. Matanya mendelik dan giginya bertaring. Patung-patung pelindung rumah di Bali dan Timor menunjukkan ciri-ciri demikian.

Fungsi Apotropaic demikianlah yang sebenarnya juga dikemukakan oleh Douglas Fraser saat membahas Heraldic Woman. Patung-patung perempuan yang menampilkan genitalnya secara terbuka menurut Fraser selain merupakan lambang patung kesuburan juga sesungguhnya memiliki funsi sebagai penangkal roh jahat.  Di kawasan Sepik, Papua Nugini misalnya Fraser mencontohkan terdapat patung perempuan tak berambut yang disebut Dilukai. Posisi kaki perempuan ini mengangkang. Kedua kakinya menjulur lurus rata tanah ke samping kanan dan kiri. Genital patung itu terpampang menyolok.  Ekhibisionis. Dilukai ukurannya monumental. Besar. Patung ini. menurut Fraser selain menampilkan simbol fertilitas atau kesuburan  juga berfungsi sebagai patung magis yang memproteksi warga dari serangan-serangan sihir atau musuh-musuh mereka.

Di masyarakat Sepik Papua Nugini maka dari itu menurut Fraser  gambar-gambar Heraldic Woman dengan kaki mengangkang ditampilkan di mana saja mulai dari perisai atau tameng-tameng perang mereka, rumah-rumah adat, lambung-lambung perahu mereka bahkan di rak-rak tengkorak kepala suku. Menurut Fraser posisi Heraldic Woman   senantiasa en face –menatap ke muka. Sering gambar-gambar yang mengapit Heraldic Woman juga erotik. Sebuah relief Heraldic Woman dari Palau misalnya diapit oleh relief  laki-laki dengan kemaluan menjurai.

Yang menarik Fraser juga mengamati Waruga di Minahasa. Waruga adalah kubur batu di Minahasa. Di Minahasa ada tradisi kuno jenasah tidak dimakamkan di dalam tanah melainkan ditaruh dalam kubur batu. Waruga berasal dari dua kata. Waru berarti rumah. Sedang ruga berarti badan. Mayat dalam Waruga diletakkan di peti berupa sebongkah batu besar berbentuk kotak yang bagian tengahnya di beri  ruang. Di ruang itulah  jenasah disemayamkan. Peti mayat batu itu kemudian ditutup dengan tutup berbentuk atap rumah (segi tiga  bubungan rumah ) yang terbuat dari batu juga. Banyak tutup batu di Minahasa diberi hiasan relief manusia, hewan dan tummbuhan. Dari risetnya, Fraser menemukan disebuah atap rumah Waruga  dipahat dengan menyolok dan berukuran relatif besar simbol Heraldic Woman. Wanita dengan kaki mengangkang. Dia melihat lambang itu digunakan untuk meliundungi yang mati sekaligus mengaitkan yang mati  dengan fertilitas.

Bukan hanya di Minahasa. Fraser juga melihat relief Heraldic Woman juga terdapat di kuburan kuno  Toraja dan dolmen-dolmen di Kalimantan.  Fraser menulis: “The Minahasa Tomb is, then, a cosmic structure expressing the sacred status of the deceased who is in harmony with the universe and also the benefits of fertility that stem from this role. Exhibition of the genitalia by both male and female figures on the tombs here as in so many parts of Indonesia probably had also an apotropaic function.” Lebih jauh Fraser menulis: “In the primitive areas of South East Asia and Indonesia which never experience classical ideas directly, nudity and sex played a constant part in fertility and funeral rites. Figure of nude man and woman appear onb wedding ceremonial, mortrary costumes and on sacred architecture in Sumatra, Sumba, Borneo.”

Seperti halnya dengan Christa Sutterlin di atas, Fraser juga melihat banyak patung-patung Apotropaic di Indonesia digambar dengan wajah menyeramkan. Ia menyebut patung menyeramkan tersebut dengan istilah Gorgon. Gorgon adalah kisah dari mitologi Yunani untuk menamakan makhluk perempuan menakutkan yang sering memiliki  lidah terjulur. Fraser melihat ekspresi patung-patung menyeramkandi Indonesia  sama sekali asal usulnya bukan berasal dari India. Fraser dalam hal ini menulis: “It is not clear when Gorgon like faces first appeared in the art Indonesia but numerous scholar have suggested that the grosteque mask of Borneo,Sumatra, Jawa, Bali ultimately from chinnese source since the mask are found in the earliest Hindu-Buddhist monuments of Java and not of India.The long tongued face probably reached Indonesia sometime after the 4th or 3rd century B.C but before the beginning of the Hindu period…”

4

Untuk membandingkan Gana dan Heraldic Woman, marilah kita mengunjungi Candi Ngawen di Muntilan. Candi Ngawen adalah Candi Budhis dari abad 8, dibangun masa Syailendra. Candi ini terdiri dari lima buah candi kecil . Dua candi terlihat merupakan candi utama sementara tiga candi lainnya merupakan candi apit. Hanya satu candi (candi utama no empat dari arah kiri) yang bisa direkonstruksi mendekati utuh. Pada candi ini terdapat patung Buddha tanpa kepala dengan posisi duduk Ratnassambhawa. Sementara candi lainnya hanya tinggal tubuh dan  kaki-kaki saja. Candi pertama malah tinggal puing-puing saja.

Bila kita mengunjungi Candi Ngawen  kita bisa melihat batu-batu candi yang belum  direkonstruksi diletakkan dan ditumpuk-tumpuk di samping taman candi. Yang menarik bila kita seksama mengamati batu-batu yang belum kembali dipasangkan atau disatukan dengan  candinya itu kita melihat terdapat batu-batu yang bermotifkan Gana. Bagi saya namun melihat Gana yang ada di batu-batu Candi Ngawen sekilas mengingatkan akan  Heraldic Woman. Sebab posisi jongkoknya demikian terbuka. Dan terutama wajahnya (dengan pipi yang gembil) cenderung lembut, mata terpejam dan bibir cenderung senyum, dan rambut terlihat panjang lebih menyerupai wajah seorang wanita daripada laki-laki. Sosok Gana itu juga diapit oleh hiasan sulur-suluran mengingatkan bahwa relief-relief Heraldic Woman seperti diutarakan Fraser juga secara simetris diapit oleh gambar-gambar lain.

   

Foto-foto relief Gana di Candi Ngawen

Relief Gana juga bisa lihat dipahat di Candi Sambi Sari. Pada Candi Sambi Sari relief Gana dipahat pada bagian muka tangga menuju candi utama. Gana ini diletakkan di bawah makara. Gana ini digambarkan gemuk berjongkok dengan kedua tangan diangkat. Dia memiliki rambut seperti topi. Dia mengenakan anting besar. Gana ini seolah menahan beban makara. Tangannya menunjang berat makara. Pada kedua sisi Gana ini tergambar lonceng menggantung. Sementara Gana di Candi Kedulan dipahat pada bagian atas pintu gerbang candi. Candi Kedulan adalah candi yang baru direkonstruksi. Pasangan Gana di bagian atas pintu masuk Candi Kedulan ini digambarkan berjongkok dengan mengenakan ikatan kain penutup kelamin.

 

Foto-foto relief Gana di Candi Sambi Sari

Foto Gana menyanggah makara di tangga masuk di Candi Sambi Sari

 

Foto relief Gana di Candi Kedulan

Tiga model relief Gana di Candi Ngawen, Sambi Sari dan di  Kedulan ini agaknya bisa mewakili gaya Gana yang dipahat pada candi-candi masa klasik tua di Jawa Tengah. Umumnya di Jawa Tengah, Gana digambarkan dengan sikap khas, yakni posisi tangan menyangga, jongkok dengan  ekspresi biasa atau tersenyum. Di Candi Mendut akan tetapi Gana dilukiskan dengan satu kaki sikap jongkok dan satu ditekuk. Sementara Gana di Candi Barong, Candi Ijo dan Candi Prambanan dipahat dengan ekspresi menyeramkan. Mulut Gana itu  menyeringai dan bertaring. Di Prambanan, Gana juga digambarkan memiliki rambut lurus panjang hinga mengesankan makin nyeramkan di prambanan.

Yang menarik penelitian Agus Haryanto berjudul: Penggambaran Gana pada Candi-Candi di Jawa timur Abad 13-15 M mengidentifikasi dari sekian relief Gana di Jawa tengah ada satu relief Gana yang memperlihatkan alat kelamin yaitu Gana yang dipahat di Candi Barong. Menurut Agus ini berbeda dengan Gana yang dilukiskan di candi-candi Jawa Timur. Dari hasil analisa Agus rata-rata Gana di Jawa Timur diperlihatkan alat kelaminnya. Relief Gana di Candi Jawi yang dipahatkan di bagian bawah candi misalnya, tampak alat kelaminnya. Relief Gana di Candi Jawi semuanya dalam posisi menyangga namun tidak kedua tangan menyangga hanya satu tangan menyangga dan satu tangan lainnya memegang lutut. Gana di candi Jawi ditampilkan gemuk, berperut buncit, posisi kepala tegak menghadap ke depan, alis melengkung berpilin, mata bulat melotot. Dalam pengamatan Agus, alat kelaminnya ada yang  mengarah ke atas dan ada yang kekanan.

Sementara Gana pada Candi Penataran ditampilkan pada candi induk. Gana ditampilkan seluruhnya menyangga bingkai candi. Alat kelaminnya juga  terlihat jelas. Gana digambarkan dalam posisi sikap badan duduk jongkok, tubuh gemuk perut buncit .Rambut ikal dan ekspresinya menyeramkan. Variasi mata terbuka dan terpejam. Akan halnya Gana di Candi Tegawangi  dipahat pada bagian kaki candi dan diletakkan dalam panil. Gana ini ditampilkan di tiap sisi kaki candi sebelah utara, timur dan barat dan selatan. Gana di Candi Tegawangi terlihat memiliki variasi bentuk. Ada yang mengenakan perhiasan raya dan ada yang sederhana.  Ada yang duduk jongkok tertutup dengan tangan memegang lutut dan alat kelamin terlihat.Ada yang tungkai kaki bawah digambarkan agak miring juga dengan alat kelamin terlihat.

Yang menarik adalah penggambaran Gana di sisi selatan Candi Tegawangi. Gana ini dalam posisi jongkok dan sikap tangan menopang. Tapi di diapit oleh dua mahkluk yang lebih kecil dan bentuknya menyeramkan. Makhluk di sebelah kanan Gana terlihat dalam sikap sedang berlari menjauhi Gana. Tubuhnya gemuk , tidak mengenakan hiasan. Sementara makhluk yang sebelah kiri posisinya berdiri dengan posisi kaki digambarkan menyamping.  Matanya bulat, telinganya panjang dan gigi bertaring. Pada sisi timur , Gana ditampilkan duduk jongkok dan tangan memegang lutut. Pada sisi utara, Gana juga ditampilkan didampingi dua makhluk yang lebih kecil. Makhluk sebelah kanan tidak mengenakan pakaian, perutnya buncit, wajahnya menyeramkan dengan mata bulat, bertaring dan bertelinga panjang. Menurut Agus yang menonjol alat kelamin makhluk ini digambarkan besar dan panjang.Sementara makhluk di sebelah kiri menggunakan kalung dan bersanggul, matanya melotot dan wajah menyeramkan. Akan halnya Gana pada Candi Surawana, Gana dipahatkan pada bagian kaki di empat sudut : sudut barat daya, sudut tenggara, sudut timur laut, sudut barat laut. Gana di sudut-sudut candi ini menurut saya dekoratif tapi menyeramkan. Posisinya yang berada di sudut candi merupakan posisi strategis. Seolah membingkai candi.

Foto relief Gana di Candi  Surawana, Kediri

5

Dari uraian di atas dapat ditarik perbandingan. Bahwa baik Heraldic Woman dan Gana yang dalam posisi jongkok lebar terutama di candi-candi Jawa Timur sama-sama menampilkan alat kelamin. Baik di Jawa Tengah maupun Jawa Timur Gana banyak ditampilkan dengan wajah menyeramkan dan menunjukan kelamin. Pada titik ini kita bisa teringat analisa Fraser yang mengatakan bahwa patung-patung alat kelamin yang terbuka pada kebudayaan neolitik Indonesia yang dipengaruhi Kebudayaan Dongson merupakan simbol penolak bala dan merupakan alat untuk mengusir roh-roh jahat.

Tradisi penggambaran wajah Gana yang menyeramkan dan mempertontonkan alat kelamin sendiri tidak popular di India. Pada titik ini dapat diajukan hipotesis bahwa penggambaran relief Gana terutama di Jawa Timur Sesungguhnya sebagaimana fraser melihat patung-patung dan simbol-simbol telanjang Heraldic Woman diresapi oleh pengaruh Dongson atau Astronesia. Di India wajah Gana cenderung  juga seperti bayi. Dan ekspresi tingkah lakunya selain dalam posisi menyangga sering dipahatkan dalam keadaan riang gembira bermain musik dan meniup flute. Sementara sebaliknya, di Jawa Timur ekspresi gana menyeramkan. Masuk akal bila ekspresi itu untuk menolak bala.

Di Jawa Timur sendiri juga ditemukan sebuah yoni di  daerah Jebuk, Kalangbret, Tulung Agung, Jawa Timur yang dihiasi dengan Gana. Pada titik ini jelas Gana dikaitkan dengan alat vital manusia. Gana sebagai pengikut Siwa pada dasarnya memiliki korelasi dengan lingga-yoni                                

Seluruh Foto-foto oleh Yono Ndoit

 *Penulis seorang kerani biasa.Tinggal di Bekasi.