Puisi-Puisi Sarah Monica

Menyongsong Maut

Malam kering
malam persetubuhan para bintang 

di sudut beku keremangan
anggur mengorbankan
tetes terakhirnya
larut dimangsa lidahku
pun lidahmu. 

Mabuk masih menjerat kita
dalam penjara yang sama 

melayangkannya lebih tinggi
dari dunia alam mimpi
lebih senyap dari nafas kematian. 

Cinta adalah pertaruhan jiwa-jiwa
demi melampaui takdir
menyulap duka
dari wajah suci kerinduan. 

Bilamana aroma candu kian surut
bangkit!
bergegaslah! 

Bahwa di pintu mata kita
tuhan bersaing sesama tuhan
perang membunuh perang lainnya
dan manusia;
sang pencipta yang haus darah. 

Aku dan kau
hanyalah anak-anak waktu
tulang-belulang sejarah
dari api keangkuhan dan ketamakan.
Langit melahirkan cinta
tapi cinta menumbalkan segenap nilai. 

Dalam pertempuran ini
pengetahuan menjelma
maut yang menyusup
menghantui hari-hari sakral kita
mempertanyakannya dari gaung keabadian. 

 

Kematian Puisi 

Demi waktu
Tuhan dan bapak segala tuhan
di ronta tubuhmu
aku mengembara.

O, pusara keheningan
dalam jagat kesombongan ini
kesepianku mengiris dirinya sendiri.

Dunia tanpa api suci
tak sanggup lagi
menanggungkan beban puisi.
Berhala-berhala terbakar
berserak di liang mata penyajak.

Kunyanyikan doa, namun sirna
angkasa telah runtuh tak berupa
tenggelam bersama surga kaum beriman.

Tiada lagi puisi
tercipta dari derita dan hasrat kemurnian
dari perselingkuhan liar langit dan belukar.
Yang tersisa hanya kata-kata hampa,
usang, dan terbiar.

 

Sarah Monica 

Segalanya adalah tanya.

Di malam-malam menangis
di jalan-jalan panjang kerinduan
pergilah dalam pencarianmu
terbakarlah di palung dadamu.

Kau merasuki masa lampau
mencandu hikmah di bibir peristiwa.

Mata tempatmu belajar berbahasa
memenjarakanmu dalam semu
belantara segala nafsu.

Perjalananmu, Sarah Monica
menjauhi diri
demi mendekati keabadian,
mencuri misteri
dari bisik batu dan kebisingan,
mengintip kartu-kartu takdir
yang dimainkan Tuhan
lalu kau tertawakan.

 

Menerbangkan Doa

Dengan puisi ini
aku menerbangkan doa
pada pemilik masa
darimana seluruh duka berasal
dan menjadi kekal.

Aku memohon dalam sekarat
agar waktu tidak lagi melintas
dalam lorong jiwa
menahan mereka yang kucinta
pergi dalam rapuh usia.

Di kesunyian yang menyelinap
dalam hari-hari pengap
aku terus meminta
agar dunia berhenti tumbuh
dalam kebun hatiku
melindungi kuncup bunga
demi menemukan cahaya.

Segala yang berjalan pun menjelma
dalam waktu Sang Kuasa
menggiringku untuk selalu singgah
di rumah-rumah tanya.

Hidup selamanya permenungan
yang disetubuhi gairah
dan buas peristiwa.
Memasuki tanpa henti,
tanpa mampu memilih.

 

Pertanda Alam

Barangkali kita masih terlelap
saat angin utara berhembus
mengutus para malaikat maut
berjaga atas tiap nama
dalam cengkeraman corona.

Inilah realita kuasa
alam menebar pertanda
gelombang amarah wabah
ruang dan waktu terhenti
kita tenggelam di sungai misteri
lebih asing dari pada mimpi.

Wajah peradaban muram
lelah menyambut kematian
atau sekarat dalam kemiskinan
masa depan kian buram
di reruntuhan ambisi dan angan.

Lantas hidup ditafsirkan ulang
tuhan dirindukan
di tengah kemalangan
kita, manusia,
tercekat nafas
terguncang di batas
waras.

 

Dimensi Mimpi

Di malam tanpa detak waktu
bantal dan selimut bersatu
melumpuhkan ku
tapi sukmaku mengembara
memendar dalam udara.

Hening begitu genting
benda-benda menatap asing
di ruang yang terus mengembang
bersama kelebat bayang.

Suara-suara berkuasa
tanpa rupa,
 gema berbicara
tanpa kata,
tanda mengunci makna,
hampa berlapis hampa.

Ayat-ayat merambat
pada dinding jiwa
tak ada lagi sekat
antara sadar dan gila.

Maut, jangan mendekat!

 

Laylatul Qadar

Bulan bintang bersujud
di gigir angkasa
mata air dari mata melesak
ke pusara alam raya
malam mengheningkan cipta
memainkan gugus ritus
persembahan seribu bulan.

Dengar, o, dengar!
Nadi bumi bergetar
oleh tarian memutar
ruh-ruh pemabuk abadi
pertapa gila yang merindu
merengkuh segara hakiki.

Senyap lindap menyelinap
dalam doa terpanjat
jiwa runtuh lantak
di tubir azab dan harap.

O, luruhlah cahaya
ke pengap dada!

Bogor, April 2022/Ramadan 1443 H

 

Di Puncak Batu Karang

Adakah air matamu menggenang
lantaran rindu tak menemukan jalan pulang?
ketika tubuh peristiwa berlalu lalang
tiap peraduan dan persimpangan
hanya merekam jejak kehilangan.

Langit bercermin pada kilau lautan
tempat segala rahasia tersimpan
adakah kekasih menanti di dermaga keabadian
lantaran ombak jiwa tak mampu menggapai tepian?

Betapa panjang angan-angan
menembus merombak peradaban
sedang pasir waktu takkan
berhenti dalam genggaman.

Betapa di puncak batu karang
ada yang lekat memandang
kematian yang siap menerjang
menguntit dalam bayang-bayang.

Bogor, Februari 2023

 

*Sarah Monica. Penulis esai dan puisi; Mahasiswa Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia; Pengurus Pusat LESBUMI NU.