Puisi-Puisi Eddy Pranata PNP

PERAHU TELAH JAUH BERLAYAR
– adri sandra

dan cuaca bertarung dengan tebing karang, perahu meluncur
dilambung-lambung gelombang
: “serabut usia bersimbiosis dengan gemerlap rembulan!”

sorot mata berkaca-kaca, edelweis remuk dalam genggaman
perahu telah jauh berlayar
bertahun menerabas sunyi laut, kabut, angin asin deras berkesiur,
dan cahaya cinta yang hilang
: “masa silam kita simpan dan kita nyalakan di bilik sejarah rahasia!”

mata-jiwa mengerjap perih
di tanah darat perjalanan berbatu, berliku-liku
ada ribuan cemas
kehilangan jiwa paling setia

tangan waktu memanjang
membuhul jarak masa lalu
dengan tali simpul maut

seribu cerita
seribu kecupan
menjelma kubangan air mata
doa paling wangi dihilirkan
: “lukisan camar patah kedua sayapnya di dinding
perahu kian berlumut!”

o, bilah-bilah sunyi
bergemeretap di antara riak gelombang, serbuk edelweis
taburkan ke liang luka, perahu kian jauh berlayar, o, kesetiaan!
: “dalam bilik sejarah, ini kisah kasih
serupa irisan sembilu!”

engkau tinggalkan seribu cerita
engkau berikan seribu kecupan
di rimbun gemerlap rembulan
perahu kian jauh berlayar
: “kesetiaan berlumur air mata.”

 

SEIRIS SENJA RASA STROBERI

di punggung bukit selalu kita bertemu
aku datang dari debur laut, engkau dari
keramaian kota– membawa getar-getar kasih

kita bercerita tentang bunga ilalang,
tentang rumpun edelweis, dan bunga liar
yang tumbuh di sekitar, lalu angin deras
berderu dari puncak bukit turun ke lembah

batu-batu menatap setiap daun jatuh dari pohon
lalu kicau burung di kejauhan bersahut-sahutan;
engkau tiba-tiba memelukku dengan sangat erat

: “apakah hatimu terbuat dari kaca?” bisikku di telingamu,
matamu mengerjap, “aku akan menjaga sepenuh jiwa
agar tak retak, tak pecah!”

sepasang kupu warna coklat keemasan terbang melintas,
hinggap di kelopak bunga liar mekar; “lihatlah!” ujarmu
seraya menunjuk, wajahmu begitu serius; “aku mau seperti
kupu-kupu itu, terbang bersama ke mana pun pergi!”

aku memelukmu, mengusap rambutmu, dan mengecup bibirmu,
o, bergetar, kenyal serupa bibir puisi

di punggung bukit, selalu kita bertemu, kita akan berpisah ketika
langit temaram, dan seiris senja rasa stroberi jatuh menerpa tubuh

: “o, seiris senja rasa stroberi, seiris senja milik kita!”

angin semilir, sepasang kupu-kupu coklat keemasan terus terbang
mengitari bukit.

 

MUSAFIR YANG MENCARI ALAMAT
DI PUNGGUNG ORANG-ORANG PAPA
-Kang Ahmad Tohari

ia telah bertahun-tahun, nyaris sepanjang usia– melangkah
di jalan sunyi dan terjal, jalan yang mendaki tegak,
menurun curam, menikung tajam, tetapi sungguh tak kenal lelah,
tak pernah jenuh pada keringat yang menetes,
ia tatap matahari dan rengkuh rembulan

daun-daun zikir, ilalang merunduk, batu-batu berdegup, angin bukit
menampar-nampar liar, ia; musafir itu– mengitari desa kecilnya lalu
menerabas keramaian kota hingga jauh, amat jauh mencari alamat
di punggung orang-orang papa, orang-orang miskin yang bertarung
dengan keras hidupnya, orang-orang tertindas dan terpinggirkan

di punggung orang-orang papa itulah, musafir itu selalu takjub,
trenyuh, dan tak jarang hingga tetes air mata– ia temukan
alamat yang selalu sangat dirindukan; rumah Allah; sejuk bercahaya

ia sujud sedalam-dalamnya, lalu duduk dengan mata berkaca-kaca,
tangannya gemetar mencatat sejarah dan kisah selama bertualang
di jalan sunyi dengan doa-doa panjang

: “aku telah abadi, memilih alamat di punggung orang-orang papa!”

kekasih, sesungguhnya, apakah ini yang dinamakan inti hidup?
setulus-tulusnya terus memungut kata-kata, menyimpulkannya
ke dalam jantung-hati!

 

KALAU ENGKAU TANYAKAN TENTANG
RASA SAKIT YANG KUTANGGUNGKAN

kalau engkau tanyakan tentang rasa sakit serupa apa
yang kutanggungkan, lebih perih dari
rasa kehilangan sekerat hati dari rongga dadaku
engkau tak akan bisa membayangkan– apalagi
sebelumnya aku telah kehilangan sebelah jiwaku
tetapi biarlah segalanya telah membuatku lebih
mengenal tuhan, arif dan menerima sepahit-segetir
apa pun kenyataan

bahwa hidup hanya petak teka-teki, yang sampai saat ini
aku mengisinya dengan huruf-huruf yang jatuh dari langit doa
dari keringat dan dari percik darah, o, dari seluruh cinta-kasih

dan di sini, di ruang tunggu sebuah rumah sakit pemerintah
yang pelayanannya sangat lambat, aku menyusun huruf-huruf
untuk meredam rasa sakit dan nyeri, sebuah teka-teki yang garis
petak-petaknya kian samar

pagi bergeser ke siang serupa sisyphus yang terengah
di kaki bukit, matanya nyalang, didorongnya lagi batu kehidupan
ke atas puncak bukit, aukh! batu itu meluncur lagi, meluncur lagi
ke kaki bukit, aku takjub: sedemikian nikmatkah peristiwa itu?

orang-orang dalam ruangan ini wajahnya dingin tak acuh
berkecamuk dengan perasaan masing-masing yang sangat
tidak nyaman; setelah diperiksa dokter entah berapa lama lagi
duduk menunggu obat, mematahkan ranting sunyi
dalam keramaian, kembali memandang petak teka-teki
yang kian memudar

kalau engkau tanyakan tentang rasa sakit serupa apa yang
kutanggungkan, kemarilah, ke ruang hatiku yang paling dalam
ada rasa rindu yang membatu, ada rasa kehilangan sedalam-setajam
terjal tebing jurang, ada puisi-puisi yang baru kutulis untukmu
yang maha-kasih; weisku!

puisi-puisi luka yang sederhana….

 

SOLILOKUI

senja gerimis
kelopak mawar gugur
daun dan duri tafakur
perpisahan selalu saja pedih
tetapi segalanya atas sentuhan
tanganNya
tak ada yang abadi
selain baris-baris puisi
solilokui; senja gerimis
kelopak mawar gugur
daun menguning
duri meruncing

: “kerjap matamu menikam rindu
tetapi hatimu sering berbohong
hanya untuk melepas rasa sakit
dan menyimpan rahasia hidupmu!”

ibarat belati
belati paling sunyi
mengiris-iris baris-baris puisi
kenapa seseorang senang sekali
berbohong? karena kepentingan-
kepentingan, karena kesulitan-
kesulitan, karena keresahan-
keresahan, karena hatinya berduri-
duri, o hatinya-berduri!

sepasang mata itu lindap
lalu darah menetes
dari kelopaknya!

 

CATATAN KEHILANGAN

tak ada lagi tawa
tak ada lagi baca puisi
tak ada lagi cerita kecil
tak ada lagi curah hati
semuanya telah ditelan ombak
dimangsa rimba, dikunyah hiruk kota
hanya elegi merayap di dinding
pagi dan malam

tak ada luka

tapi seumpama ladang
ladang kerontang
tak bisa tumbuh apa pun
seumpama laut
laut tanpa ikan dan geronggang karang
seumpama mawar
mawar tanpa duri dan daun
sempama puisi
puisi pucat pasi
seumpama batu
batu berlumut remuk
seumpama rumah
rumah pengap tiada jendela
seumpama tubuh
tubuh kurus tiada daya
seumpama pisau
pisau tumpul menikam rindu
: ini hati-jiwa hanya untukmu!

 

*Eddy Pranata PNP— adalah Presiden Penyair Banyumas Raya. Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyei (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016), Abadi dalam Puisi (2017), Jejak Matahari Ombak Cahaya (2019), Tembilang (2021).
Puisinya juga disiarkan di Majalah Sastra Horison, koran Jawa Pos, Media Indonesia, Indopos, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Medan Pos, Riau Pos, Tanjungpinang Pos, Haluan, Singgalang, Minggu Pagi, Pikiran Rakyat, Asyik.asyik.com., dll. Puisi-puisinya juga terhimpun ke dalam puluhan antologi bersama.