Afrizal-Malna

Seni dan Negara (Modernisme di Halaman Belakang) (Bagian 1)

Oleh Afrizal Malna

Apa yang menarik mengikuti tulisan Aminudin TH. Siregar: “Takjub Ajoeb: Kepada Bung Hendro Wiyanto” dan tanggapan Hendro Wiyanto: “Jurus Gerhana Aminudin TH. Siregar”, adalah bagaimana sejarah bekerja dalam wilayah rasionalisme dan keyakinan. (Mungkin ini juga tidak tepat). Ia seperti hantu yang bersemayam pada batas sejarah sebelum dan setelah Tragedi 1965. Bermain dalam politik pembacaan (penafsiran) sebagai hegemoni literasi: Sebelum 65 dengan konstruksi politik nasionalisme revolusioner yang terpimpin (Soekarno), dan setelah 65 dengan konstruksi politik pembangunan yang sentralistis (Suharto). 

Batas itu (Tragedi 65), sebuah persepsi yang bekerja dalam medan representasi politik dan budaya yang tidak terlihat, bahkan melampaui batas lain yang lebih terkini, yaitu Reformasi 1998 yang, bisa jadi lebih kompleks. Era yang kemudian menandai seni rupa kontemporer dan performance art di Indonesia; menyurutnya wacana di sekitar seni lukis maupun fine arts. Walau 80 % lebih perupa kontemporer kita bermain dengan medium lukisan.

Bagaimana politik “mendefinisikan” seni, sangat terlihat pada sikap penguasa dalam “memvandal” mural di beberapa kota yang merespon kebijakan pemerintah (terutama di sekitar pandemi Covid 19) dengan menghapusnya. Kebijakan yang kemudian menjadi trending dan viral. Memposisikan mural pada dramaturgi politik bahwa seni tidak ada, yang ada adalah negara selalu baper setiap menghadapi kritik dari rakyatnya sendiri. 

Vandalisme negara atas mural tidak semata-mata “memainkan cat tembok” di ruang publik, dan menegaskan fakta bahwa ruang publik adalah milik negara. Melainkan juga bagaimana negara tidak peduli dengan gagasan yang mampu menjadikan ruang publik sebagai ingatan bersama dalam konteks politik pandemi melalui mural. Ketika negara menghapus mural, yang hilang tidak hanya karya. 

Grafiti ‘Tuhan Aku Lapar’

Grafiti ‘Tuhan Aku Lapar’ di Tigaraksa, Tangerang, sebelum dihapus petugas (Dok.istimewa/Instagram). Mural sepanjang 12 meter yang merespon kebijakan PPKM. (Sumber: https://news.detik.com/berita/d-5657189/viral-grafiti-tuhan-aku-lapar-di-tangerang-dihapus-ini-kata-polisi)

Mural setelah dihapus

Mural setelah dihapus (23 Juli 2021). (Sumber: https://tangerangnews.com/kabupaten tangerang/read/36018/Sempat-Viral-Mural-Tuhan-Aku-Lapar-di-Tigaraksa-Tangerang-Langsung-Dihapus)

Tapi juga gagasan, keberanian, kreatifitas, dan ingatan bersama tentang kota. Mural dengan tulisan “tuhan, aku lapar”, tiba-tiba menjadi perhatian publik luas setelah mural ini dihapus. Tulisan “tuhan, aku lapar” ini, bila hanya tertulis sebagai puisi dalam sebuah antologi, tidak akan menjadi provokatif dibandingkan setelah menjadi mural sepanjang 12 meter di Tigaraksa, Tangerang. Dan dihapus pada 23 Juli 2021. 

Lukisan S. Sudjojono: “Maka Lahirlah Angkatan ‘66”

Lukisan S. Sudjojono: “Maka Lahirlah Angkatan ‘66”, 1966.

Kenapa lukisan S. Sudjojono “Maka Lahirlah Angkatan ‘66” tidak divandal oleh negara? Karena lukisan itu tidak berada di ruang publik? Karena lukisan itu milik kolektor? Lukisan S. Sudjojono ini merupakan sebuah jurnalisme politik dengan pesan yang jelas. Tidak menciptakan hantu sejarah. Tubuh lukisan memantulkan kembali seluruh jargon-jargon politik untuk menumbangkan Orde Lama dalam sebuah ruang yang baru. Yaitu ruang di jalan Thamrin yang massif menyampaikan saling berkelindannya relasi kuasa dan kapital. Ruang dengan sosok generasi muda bermimik lugu yang menggunakan warna-warna ideologis (kuning dan merah), serta celana jeans lusuh yang digulung tidak rapi. Sosok generasi muda yang dijadikan topeng perubahan dan juga mungkin sebagai korban dari sebuah dramaturgi politik.

Lukisan itu jadi salah satu premis utama dalam tulisan Aminudin TH. Siregar. Namun premis ini terkesan segera tenggelam, karena Aminudin menempatkannya sebagai bagian dari esai Joebaar Ajoeb (“Gerhana Seni Rupa Modern Indonesia”) yang masih menggunakan kekuasaan dalam menilai karya seni dalam konteks seni rupa sebelum dan setelah 1965. Hal yang membuat Hendro Wiyanto segera melihat bahwa esai Aminudin ini menjadi terlalu sibuk memperpanjang gerhana seni rupa dan mengaburkan pemahaman “historiografi penyadaran” sebagai wawasan sejarah progresif yang ditawarkan Aminudin dalam tulisannya.

Kedua tulisan itu (Kompas 30 Mei dan 13 Juni 2021) memunculkan banyak tanggapan. Dalam tulisannya, Aminudin TH. Siregar menghadirkan beberapa istilah, nama-nama maupun judul karya seperti ini: negara, museum, insitusi seni, pasar, webinar; kurator, kritikus; lukisan palsu, seni rupa kontemporer, seni rupa modern indonesia; pandemi, mabuk; Noto Soeroto, Raden Saleh, Joebaar Ajoeb, Soekarno, Basoeki Abdullah, S. Sudjojono, A.D. Pirous, Soebandrio, John Berger, Astri Wright, Kenneth M George; “Gerhana Seni Rupa Modern Indonesia”, “Maka lahirlah Angkatan ‘66”, “Mentari Setelah September 1965”, “historiografi penyadaran”. 

Sementara Hendro Wiiyanto menghadirkan beberapa istilah, nama-nama maupun judul karya seperti ini: insitusi seni, pasar, webinar; kurator, kritikus; lukisan palsu, seni rupa kontemporer, seni rupa modern indonesia; Joebaar Ajoeb, Soekarno, Basoeki Abdullah, S. Sudjojono, Affandi, A.D. Pirous, John Berger, Basuki Resobowo, Brita L. Miklouho-Maklai, Semsar Siahaan, Dede Eri Supria, Djoko Pekik, Jim Supangkat, GM. Sudarta, Hardi, Moeljono, Lucia Hartini, Wijaya Herlambang; “Gerhana Seni Rupa Modern Indonesia”, “Maka lahirlah Angkatan ‘66”, “Mentari Setelah September 1965”, “historiografi penyadaran”, “Menguak Luka Masyrakat”; patron, humanis, tempo doeloe, Manusia Baru Indonesia; seni patung, non-mimesis; Lekra, Bung Besar. Ketik miring merupakan istilah, nama-nama maupun judul karya yang sama digunakan Aminudin. 

Kedua indeks tulisan itu memperlihatkan orientasi yang berbeda antara tulisan Aminudin (sebelum 65) dan tulisan Hendro (setelah 65 atau sejarah tidak tunggal), karena Aminudin menempatkan esainya terkesan sebagai penilaian atas seni rupa masa kini melalui perspektif esai Joebaar Ajoeb.

Munculnya sosok Noto Soeroto dalam tulisan Aminudin TH Siregar, membuat saya tertarik mengikuti polemik ini melalui sebuah “garis waktu Mooi Indië ” sebagai jejak sejarah yang mungkin ada gunanya untuk kita melihat kembali modernisme seni yang kita lalui. Mooi Indië mendasari pembentukan seni modern Indonesia sebagai cermin sejarah. Garis waktu ini awalnya saya buat untuk program Sardono W. Kusumo yang akan membuka art space yang dikelolanya di Kemelayan, Solo, Oktober 2020; kemudian menjadi salah satu bagian dalam buku saya (“Kandang Ayam, Korpus Dapur Teks”, dan “Racun Tikus: Seni, Wabah, Bencana dan Perang, Diva Press, Yogyakarta, 2020). Dan saya kembangkan untuk kebutuhan tulisan ini. 

Istilah Mooi Indië mulai dipakai dalam reproduksi lukisan pemandangan karya Du Chattel. Diterbitkan di Amsterdam, 1930. Sudjojono mempopulerkan istilah ini pada 1939, sebagai seni lukis yang menggambarkan pemandangan di Hindia Belanda yang serba indah, damai, romantis, namun berlangsung dalam lingkungan kolonial.

Dalam seni lukis, terdapat empat irisan Mooi Indië: 1. Seniman-seniman dari luar negeri (F. J. du Chattel, Manus Bauer, Nieuwkamp, Isaac Israel, PAJ Moojen, Carel Dake, Romualdo Locatelli); 2. Seniman Belanda kelahiran Hindia Belanda (Henry van Velthuijzen, Charles Sayers, Ernest Dezentje, Leonard Eland, Jan Frank); 3. Seniman lokal (Raden Saleh, R. Abdullah Suriosubroto, Basoeki Abdullah, Wakidi, Mas Pirngadi); 4. Seniman peranakan Tionghoa (Lee Man Fong, Oei Tiang Oen dan Biau Tik Kwie). (lihat Akmalia Rizqita: “Masuknya Romantisisme dan Pengaruhnya Terhadap Seni Lukis Indonesia”, https://www.academia.edu).

Mooi Indië memberikan sudut pandang khas sebagai evaluasi atas Timur dan Barat: “Barat… mengutamakan jasmani sehingga lupa akan jiwa. Akalnya dipakainya menaklukkan tenaga alam. Ia bersifat Faust, ahli pengetahuan (Gothe), yang mengobarbankan jiwanya, asal menguasai jasmani. Timur mementingkan rohani. Sehingga lupa akan jasmani. Akalnya dipakainya mencari jalan mempersatukan dirinya dengan alam. Ia bersifat Arjuna yang bertapa di Indrakila” (Sanusi Pane dalam Achdiat Karta Mihardja (ed.), ePolemik Kebudajaan, Balai Pustaka, 1948).

Posisi biner timur-barat memunculkan paradoks maupun “politik asosiasi” yang berkelindan pada tokoh-tokoh Mooi Indië seperti Noto Soeroto, Du Perron maupun generasi terakhir seperti Hans Vervoort yang lahir di Magelang, 1939. Black-mail Sudjojono atas Mooi Indie menitipiskan peran Mooi Indië sebagai pembentukan seni modern di Hindia Belanda yang tidak hanya berlangsung dalam seni lukis, tapi juga sastra, film, seni pertunjukan, arsitektur. Garis waktu ini usaha untuk memetakan titik-titik penting Mooi Indië dalam perspektif Hindia Belanda.

Mooi Indië diapit oleh banyak gelombang sejarah besar: bencana, perang dan wabah. Berada di antara Perang Diponegoro (1825-1830), awal Cutuurstelsel (1830), meletusnya Gunung Krakatau (1883), wabah Flu Rusia (1889), Politik Etis Hindia Belanda (1901), Perang Dunia I (1914-1918) dan wabah Flu Spanyol (1918).

Garis waktu Mooi Indië dan modenisme di halaman belakang

1817  
Auguste Antoine Joseph Payen: “The Great Postal Route near Rejapolah”,

Auguste Antoine Joseph Payen: “The Great Postal Route near Rejapolah”, 1828. Koleksi Rijksmuseum Amsterdam. 

Antoine Auguste Joseph Payen (1792- 1853) seorang pelukis naturalis Belgia. Lahir di Brussel dan meninggal di Tournai. Datang ke Hindia Belanda tahun 1817, dan tinggal di Bogor. Ditunjuk sebagai pelukis untuk Natural Sciences Commission dibawah Prof. Caspar Reinwardt. Payen ditugaskan Raja Belanda William I untuk membuat serangkaian lukisan lanskap Hindia Belanda. Saat berada di Hindia Belanda pada tahun 1819, Payen bertemu Raden Saleh yang berusia delapan tahun dan menjadi mentor pertama Raden Saleh melukis. Raden Saleh akan mengikuti Payen ke Eropa tiga tahun setelah kepergian Payen dari Jawa pada tahun 1826 (kini Taman Ismail Marzuki).

1829
Raden Saleh Sarief Bustaman Saleh

Raden Saleh Sarief Bustaman Saleh: “British marine vessel in heavy weather”, 1840. https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas: Raden_Sarief_Bustaman_Saleh-British_marine_vessel_in_heavy_weather.jpg

Raden Saleh Sjarif Boestaman (1807-1880) tahun 1829 ke Belanda untuk belajar melukis. Lima tahun pertama, ia belajar melukis potret dari Cornelis Kruseman dan tema pemandangan dari Andries Schelfhout. Ia juga pernah belajar di Dresden, Jerman, dengan status tamu kehormatan Kerajaan Jerman, dan diteruskan ke Weimar (1843). Ia kembali ke Belanda tahun 1844. Selanjutnya ia menjadi pelukis istana kerajaan Belanda. Tahun 1851. Raden Saleh kembali ke Hindia bersama istrinya, setelah 20 tahun menetap di Eropa. Dia bekerja sebagai konservator lukisan pemerintahan kolonial. Ia membangun rumah di sekitar Cikini yang didasarkan atas istana Callenberg. Dengan taman yang luas, kemudian sebagian besar dihibahkan untuk kebun binatang dan taman umum pada 1862 (kini menjadi Taman Ismail Marzuki).

1853

Lie Kim Hok lahir di Bogor, Jawa Barat, 1 November 1853, meninggal di Batavia, 6 Mei 1912. Seorang perintis Sastra Melayu-Tionghoa (1875 -1895). Lie menempuh pendidikan formal di sekolah-sekolah misionaris dan pada 1870-an. Tjhit Liap Seng (Bintang Toedjoeh), dianggap sebagai novel Melayu Tionghoa pertama. Lie menerbitkan Sair Tjerita Siti Akbari, diadaptasi dari Sjair Abdoel Moeloek, bercerita tentang seorang wanita yang menyamar sebagai lelaki untuk membebaskan suaminya dari Sultan Hindustan yang menangkapnya saat menyerang kerajaan mereka. Juga menerbitkan buku tata bahasa Malajoe Batawi, pada 1884. Pada 1900, ia menjadi anggota pendiri organisasi Tionghoa, “Tiong Hoa Hwe Koan”.

1900

H. Kommer menerbitkan novel “Tjerita Nji Paina: Satoe Anak Gadis jang Amat Setia. Satoe Tjerita Amat Indahnja, jang Belon Sebrapa Lama Soedah Terdjadi di Djawa Wetan”. Novel ini pertama kali diterbitkan oleh A.Veit & Co. di Batavia. Novel ini dianggap sebagai kritik terhadap kolonialisme Belanda.

1901
Conrad Theodore van Deventer

Conrad Theodore van Deventer. Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki

Conrad Theodore van Deventer (1857-1915) seorang ahli hukum Belanda dan tokoh Politik Etis. Pada 1899 Deventer menulis dalam majalah De Gids, “Een Eereschuld” (Hutang kehormatan) pemerintah kepada rakyat Hindia Belanda. Tulisan ini memicu lahirnya “politik etis” di Hindia Belanda dengan tiga agenda utama: irigasi (pertanian), transmigrasi (kependudukan), dan pendidikan untuk rakyat Hindia Belanda.

1902
Gedung Nederlandsch Indische Kunstkring di Batavia

Gedung Nederlandsch Indische Kunstkring di Batavia. Maarten van der Bent. https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas: Bataviasche_Kunstkring_2012.jpg

Nederlandsch Indische Kunstkring didirikan pemerintah Hindia Belanda. Adalah lembaga kebudayaan yang akivitasnya sangat menonjol pada tahun 1920an. Diposisikan sebagai pusat semua Kunstkring yang tersebar di Batavia, Bandung, Surabaya, dan beberapa kota besar lain. Kunstkring beranggotakan seniman-seniman Belanda atau Eropa yang berdiam di Indonesia. Pameran pertama menampilkan karya-karya pelukis Belanda kelahiran Indonesia. Ruang-ruang yang luas dipergunakan untuk pertunjukkan musik dan ceramah. Perpustakaan menyediakan buku-buku kesenian untuk kalangan umum. Tahun 1936 dibuka museum yang menyajikan lukisan-lukisan berkelas internasional yang dipinjam dari berbagai museum di Eropa, seperti karya Marc Chagall, Van Gogh dan Picasso. Pameran arsitektur pertama di Indonesia diselenggarakan pada 1925.

1906
Noto Soeroto menari di Den Haag

Noto Soeroto menari di Den Haag, Maret 1916 Foto: Koleksi: Joss Wibisono via gatholotjo

Noto Soeroto saudara sepupu Ki Hadjar Dewantara. Penyair Jawa pertama yang karyanya dikenal dalam ranah sastra Belanda. lahir di Yogyakarta, 1896, meninggal di Solo, 1951. Tahun 1906 Noto ke Belanda, mengikuti pendidikan hukum Universitas Leiden. Ayahnya Pangeran Notodiredjo, putra Paku Alam V. Noto di antara orang-orang Indonesia yang menghendaki “de eendracht van Nederland en Indië” (persatuan Belanda dengan Hindia), mengangkat rakjat Indonesia dari keterbelakangan, berakar pada pandangan Politik Asosiasi. Gagasan Noto ini tampak pada buku biografinja, vol moeite enstrijd, Raden Mas Noto Soeroto, Javaan, dichter, politicus 1888-1951 (KITLV Uitgeverij, Leiden). Ia menulis 7 kumpulan puisi dalam bahasa Belanda. Memperlihatkan perbedaannya dalam memandang bahasa Indonesia sebagai bahasa yang masih muda untuk pengucapan sastra.

1908
balai-poestaka

Sumber:https://bimasatriaputra.wordpress.com/2015/02/01/balai-poestaka-dan-sastra-pinggiran/

Balai Poestaka (Commissie voor de Volkslectuur) didirikan pemerintah Hindia Belanda. Douwe Adolf Rinkes sebagai direktur Komisi Bacaan Rakyat ini. Lembaga ini berkontribusi pembentukan bahasa Melayu sebagai lingua franca, dan lahirnya Poedjangga Baroe.

Soetomo

Soetomo. https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Berkas:Soetomo.jpg&filetimestamp=20091228103738&

Soetomo mendirikan Boedi Oetomo.

1910
Film Onze oost

Film Onze oost. Sumber: https://www.esquire.com/nl/mantertainment/a32385756/de-oost-film/

Film Onze Oost. M.H. Metman membuat film dokumentasi Onze Oost (Timur Kita). Film yang awalnya dibuat untuk membatasi pengaruh film-film Amerika ini, namun kemudian berpengaruh datangnya turis-turis Eropa ke Hindia Belanda.

1914
Perang Dunia I

Perang Dunia I. http://www.hoodedutilitarian.com/wp-content/uploads/2010/09/

Perang Dunia I pecah. Perang yang mulai menggunakan teknologi canggih. Henk Sneevliet mendirikan organisasi sosialis untuk para pekerja pelabuhan di Surabaya, Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV). Terbit karya Mas Marco Kartodikromo, Mata Gelap, di Bandung, dan memimpin majalah Doenia Bergerak.

Max Dauthendey seorang penyair dan pelukis Jerman. April 1914, Max melakukan perjalanan ke Papua, Sumatera Utara, Batavia, Garut kemudian Malang. Di Garut, Max tinggal di Cisurupan, lingkungan perkebunan teh Gunung Papandayan. Kota yang terkenal indah pada masanya, pernah dikunjungi Charlie Chaplin dan Pablo Neruda. “Unter dem grossen Warringinbaum” merupakan salah satu novel Max yang ditulis di Garut, 1915. Beberapa karyanya terinspirasi dongeng-dongeng Jawa. Max meninggal di Malang, 1918 setelah Perang Dunia I meletus. Max lahir di Wurzburg, Jerman, 25 Juli 1867. Dalam surat-surat yang ditulis untuk istrinya, ia memperlihatkan kekagumannya atas alam dan kebudayaan Jawa sebagai sorga, di tengah rasa bosan atas kehidupan Eropa. Dan mengutuk seluruh kolonialisme di dunia.

indonesischen Tänzers, Raden Mas Jodjana

Porträt des indonesischen Tänzers, Raden Mas Jodjana. Foto von Eduard Wasow

Raden Mas Jodjana (1893–1972) lahir di Yogyakarta, adalah kerabat keraton sultan, sekaligus keraton Bupati Madiun. Pada tahun 1914 ia pergi ke Belanda bersama pewaris takhta Djokja, yang kemudian menjadi pangeran Hamengkoe Buwono VIII [1921-39]. Dia belajar di Leiden, Jodjana mendaftar di Sekolah Dagang Rotterdam. Melibatkan dirinya dalam menari sambil menyempurnakan musik, melukis, memahat, dan mengukir. Ia menjadi salah satu penari profesional Jawa yang langka di Eropa. Bergaul dengan banyak seniman dan intelektual di Eropa. Dan sebagai guru di Akademi Seni Drama di Amsterdam. Membentuk Centre Jodjana.

1916
Hugo Ball Reciting the Sound Poem, Karawane

Hugo Ball Reciting the Sound Poem, Karawane, at the Cabaret

Dada. Pertunjukan Hugo Ball, Reciting the Sound Poem, Karawane, at the Cabaret, Zurich. Tumbuhnya gelombang gerakan Dada dalam dunia seni, bersama karya Marcel Duchamp (1887-1968), “Fountain” (1917).

1917
Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV)

Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV). (idsejarah.net)

Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Hindia Belanda di Surabaya.

1918
Dead Mother, 1910 karya Egon Schiele

Dead Mother, 1910 karya Egon Schiele, Museum Leopold, Wina. (foto Afrizal Malna)

Flu Spanyol wabah global yang diberitakan memakan banyak korban, termasuk di Hindia Belanda. Lukisan Egon Shiele di atas, representasi dari wabah. Seniman Wina ini juga mati karena wabah.
Dunia I berakhir di tengah berkecamuknya wabah.

1919
Gereja Pohsarang di Kediri

Gereja Pohsarang di Kediri. Dibangun oleh arsitek Henri MacLaine Pont. https://id.quora.com/

Henri MacLaine Pont selesai merancang Techsnische Hoogeschool Bandung (THB), Sekolah Tinggi Teknik di Bandung, 1919 (ITB). Pont telah melahirkan arsitektur Indisch, mema-dukan unsur Nusantara ke dalam langgam arsitektur barat. Terlihat pada bentuk atap bangunan Aula Barat dan Aula Timur THB yang mengacu pada bangunan Minangkabau, bentuk ruangan mengadopsi Pendopo Jawa. Pont lahir di Jatinegara (Meester Cornelis), 1885 – meninggal di Den Haag, 1971. Pont di antaranya meran-cang Stasiun Poncol di Semarang, Stasiun Tegal dan Gereja Puhsarang di Kabupaten Kediri. Sumbangannya terbesar adalah mengubah arsitektur kolonial di Hindia Belanda yang sebelumnya terlalu Eropa centris, dan pen-deskripsiannya mengenai konsep tata kota ibukota Majapahit di Trowu-lan. Tahun 1925 mendirikan Museum dan Pusat Penelitian Arkeologi Trowulan. 

1921
Isaac Israels: Javanese Dancer.

Isaac Israels: Javanese Dancer. https://www.sothebys.com/en/articles/isaac-israels-the-dutch-impressionist-in-java

Isaac Israëls muncul sebagai eksponen terkemuka Impresionisme Amsterdam, dan tokoh terkemuka di antara generasi “Tachtiger” atau “Angkatan Delapan puluh” yang membawa pembaruan seni di Belanda. Israëls berlayar ke Batavia pada bulan Oktober 1921, banyak bepergian – mengunjungi Borobudur, Kraton di Surakarta, Bali, dan tinggal di Batavia. Isaac Lazarus Israëls lahir di Amsterdam, 3 Februari 1865 – meninggal di Den Haag, 7 Oktober 1934. adalah pelukis Belanda. Hingga akhir hayatnya, Israëls menciptakan lukisan bergaya impresionisme dengan warna-warna cerah dan cemerlang. Bersahabat dengan Raden Mas Jodjana.

1922
Ki hadjar Dewantara

Ki hadjar Dewantara. https://nurdayat.wordpress.com/2008/03/13/ki-hajar-dewantara-1889-1959-sosok-yang-keras-tapi-tidak-kasar-2/ki-hadjar-muda/

Ki hadjar Dewantara mendirikan sekolah Taman Siswa di Yogyakarta.

Novel Sitti Noerbaja: Kasih Tak Sampai, karya Marah Roesli. Diterbitkan oleh Balai Poestaka. Marah Roesli lahir di Padang, Sumatra Barat, 7 Agustus 1889 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 17 Januari 1968. Sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka. ibunya berdarah Jawa, keturunan Sentot Alibasyah. Sebagai dokter hewan, Marah Rusli menekuni profesinya hingga pensiun pada tahun 1952 dengan jabatan terakhir Kepala Dokter Hewan.

1923
Walter Spies, “Balinese legend”, 1930.

Walter Spies, “Balinese legend”, 1930.

Walter Spies datang ke Jawa, menetap di Yogyakarta tahun 1923. Ia yang per-tama kali memperkenalkan notasi angka untuk gamelan di keraton Yogyakarta. Pindah ke Ubud, Bali, 1927. Di bawah perlindungan raja Ubud, Cokorda Gede Agung Sukawati, Spies banyak berkenalan dengan seniman lokal. Ia memberikan pengaruh pada perkembangan seni lukis di Bali. 10 Mei 1940, semua orang Jerman di Hindia Belanda tidak mendapatkan perlindungan hukum dan ditangkap polisi kolonial, sebagai rangkaian Prang Dunia II. Menggunakan kapal Van Imhoff, Spies dikembalikan ke Jerman. Pada 19 Januari 1942 kapal itu diserang oleh pesawat Angkatan Laut Kekaisaran Jepang, tenggelam di samudera Hindia. Sekian banyak tahanan tewas, termasuk Walter Spies.

1924
Tan Malaka.

Tan Malaka. https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:TanMalaka_ DariPendjara_ed3.jpg

Tan Malaka menerbitkan buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia).

1925
Semaun

Semaun. https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Berkas:Semaoen.jpg&filetimestamp=20061130041841&

Semaun mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI).

1926
Willem Frederik Stutterheim

Willem Frederik Stutterheim

Sekolah AMS (Algemene Middlebare School), jurusan sastra timur (Oostersch letterkundige) merupakan sekolah multikultural pertama di Hindia Belanda, dibuka di Solo. Dipimpin arkeolog Willem Frederik Stutterheim. Sekolah yang melahirkan tokoh-tokoh lintas suku: Dr. Prijono, Dr. Tjan Tjoe Siem, Armijn Pane, Achdiat K. Mihardja, Mohammad Yamin, Amir Hamzah, J.E. Tatengkeng. RadenTumenggung Yasawidagda dan Poerbatjaraka salah satu pengajar di sekolah ini.

Dewi Dja bersama bintang Hollywood

Dewi Dja bersama bintang Hollywood, Claudette Colbert. Foto: dok. biografi Dewi Dja. https://news.detik.com/x/detail/intermeso/20170721/ Dardanella-Dari-Sidoarjo-Keliling-Dunia/#

Opera Dardanella adalah kelompok sandiwara yang didirikan di Sidoarjo, pada tanggal 21 Juni tahun 1926. Didirikan oleh Willy Klimanoff (A. Piedro). Seorang berdarah Rusia yang lahir di Penang, Malaysia. Kelompok sandi-wara Dardanella adalah rombongan kelompok kesenian pertama di Indonesia yang memiliki reputasi internasional. Pernah mentas di berbagai negara, dari Roma hingga kota-kota di Amerika. Kehadirannya merupakan bagian dari tumbuhnya seni pertunju-kan modern di Hindia Belanda awal abad 20 seperti Opera Miss Riboet maupun Miss Tjitjih. Dewi Dja merupakan primadona kelompok Opera Dardanella.

1928

“Soempah Pemoeda” Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. “Soempah Pemoeda” adalah keputusan Kongres Pemuda Kedua diselenggarakan 27-28 Oktober 1928 di Batavia.

Mohammad Hatta

Mohammad Hatta. KITLV / Royal Netherlands Institute

Mohammad Hatta menyampaikan pidato Indonesia Merdeka (Indonesie Vrij) dalam sidang pengadilannya di Belanda.

1929
“Panen Padi” karya Rudolf Bonnet

“Panen Padi” karya Rudolf Bonnet, 1952. Koleksi Presiden Soekarno

Rudolf Bonnet setelah sempat berkunjung ke Pulau Nias, tiba di Bali pada bulan Januari 1929. Johan Rudolf Bonnet lahir di Amsterdam, 30 Maret 1895 – meninggal di Laren, Belanda, 18 April 1978. Setelah dua bulan tinggal di Tampaksiring, dia pindah ke Peliatan di sebuah paviliun yang disewanya dari seorang kepala desa di Peliatan. Oleh punggawa tersebut dia diperkenalkan antara lain Walter Spies serta pangeran kerajaan Ubud Tjokorda Gede Raka Soekawati dan Tjokorda Gede Agoeng Soekawati (raja Ubud pada masa 1931-1950). Mereka menjadi sahabat dekat, dan saat Spies pindah ke rumah baru di Campuhan, Bonnet menggunakan kediaman Spies di Ubud untuk mendirikan studio lukisnya di sana. Bonnet banyak mendapat penghargaan dan dia menjadi ikon kesenian di kalangan masyarakat Bali.

1930
Soekarno

Soekarno. Fotograaf Onbekend / DLC. Nationaal Archief

Soekarno melakukan pembelaan, Indonesia Menggoegat, di gedung Landraad, Bandung. 

Soetan Takdir Alisjahbana

Soetan Takdir Alisjahbana

Awal “polemik kebudayaan”, dari tulisan Soetan Takdir Alisjahbana, “Menoejoe Masjarakat dan Keboedayaan Baroe”.

Fredericus Jacobus van Rossum du Chattel

Fredericus Jacobus van Rossum du Chattel, “Indonesian landscape”, kolleksi Rijksmuseum Amsterdam

Istilah Mooi Indie mulai muncul di Amsterdam dalam reproduksi lukisan Hindia Belanda karya F.J. Du Chattel. Fredericus Jacobus van Rossum du Chattel lahir pada tanggal 10 Februari 1856 di Leiden. Dia belajar di Royal Academy of Fine Arts di Den Haag. Dari 1908 hingga 1911 dan dari 1914 hingga 1917 ia melakukan perjalanan ke Hindia Belanda, di mana ia melukis lanskap Hindia. Du Chattel meninggal pada 10 Maret 1917 akibat kecelakaan saat singgah di Yokohama. Beberapa karyanya dalam koleksi Gemeentemuseum The Hague. Rijksmuseum Amsterdam juga memiliki beberapa karyanya.

1932
Adrien Jean le Mayeur de Merpres

Adrien Jean le Mayeur de Merpres “Women with Offerings “ (Sumber https://www.christies.com/en/lot/lot-6046878)

Adrien-Jean Le Mayeur de Merpres lahir di Brusel, 9 Februari 1880 – meninggal di Ixelles, 31 Mei 1958. Seorang pelukis dari Belgia. Ia tiba di Singaraja, Bali dengan perahu pada tahun 1932. Le Mayeur menyewa sebuah rumah di banjar Kelandis, Denpasar, tempatnya berkenalan dengan penari legong Ni Nyoman Pollok yang berusia 15 tahun, kemudian menjadi model lukisannya. Pada tahun 1956, Bahder Djohan, Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia saat itu mengunjungi Le Mayeur dan Ni Pollok di rumahnya, terpesona dengan karya pelukis itu. Kemudian mengusulkan untuk melestarikan rumah mereka dan seisinya sebagai museum. Sejumlah karya Le Mayeur yang menggunakan Ni Pollok sebagai model dipamerkan di Singapura untuk pertama kalinya tahun 1933.

1933
Lee Man Fong

Lee Man Fong: “Pedagang Rujak”. https://en.wahooart.com/@@/AQZJCY-Lee-Man-Fong-Rojak-Seller

Lee Man Fong (1913-1988) lahir di Tiongkok. Mendapatkan pendidikan di Singapura. Tahun 1933 ia pergi ke Indonesia. Pada masa Perang Dunia II ia ditawan Jepang, setelah Indonesia merdeka, Lee menjadi pelukis istana. Tahun 1964 ditunjuk oleh Presiden Soekarno untuk membuat buku berjudul “Lukisan-Lukisan dan Patung Koleksi Presiden Soekarno dari Republik Indonesia”. Kumpulan lukisan Lee diterbitkan dalam buku Lee Man Fong: Oil Paintings, volume I dan II oleh museum Art Retreat, ditulis oleh Agus Dermawan T. 

Basoeki Abdullah

Basoeki Abdullah, “Bunda Maria versi Jawa”. Sumber: Kemendikbud. https://indonesia.go.id/

Fransiskus Xaverius Basuki Abdullah lahir di Surakarta, 1915 – meninggal di Jakarta, 1993. Pernah diangkat menjadi pelukis resmi Istana Merdeka. Kakeknya seorang tokoh Pergera-kan, Doktor Wahidin Sudirohusodo. Pendidikan diperoleh di HIS Katolik dan Mulo Katolik di Solo. Tahun 1933 memperoleh beasiswa belajar di Akademi Seni Rupa (Academie Voor Beeldende Kunsten) Den Haag. Pada masa Pemerintahan Jepang, Basuki bergabung dalam Gerakan Poetra (Pusat Tenaga Rakyat) yang dibuat Jepang, dan mengajar seni lukis. Murid-muridnya antara 

Poedjangga Baroe, majalah sastra berbahasa Melayu, terbit bulan Juli 1933 hingga Februari 1942. Majalah didirikan oleh Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sutan Takdir Alisjahbana. Berperan dalam pembentukan bahasa Indonesia dan sastra modern Indonesia menjelang berakhirnya kolonialisme Belanda

1935

Charles Edgar du Perron lahir di Jatinegara (Meester Cornelis), 1899 – meninggal di Bergen, 1940. Kawan dari Ernest Douwes Dekker. Karyanya yang terkenal Het land van herkomst (Tanah Asal usul), terbit 1935. Garis politiknya simpatik kepada kegiatan nasionalisme Indonesia. Ia berteman dengan Sutan Syahrir dan kerap menyerang penulis yang anti-nasional di majalah Kritiek en Opbouw. Du Perron dikenal dekat dengan sastrawan Poedjangga Baroe. Pada 12 Agustus 1939 Eddy du Perron dan keluarganya bermigrasi ke Belanda. Di Indonesia dia dianggap orang asing, sementara di Belanda dia merasa asing. Bagian dari generasi yang hilang di antara dua tanah air yang membingungkan karena perubahan peta politik; seperti juga dialami Rob Nieuwenhuys maupun Hans Vervoort.

1936
“Boma and Kesna”

“Boma and Kesna”. Koleksi Puri Lukisan Museum. foto Jorge Láscar

Pita Maha perkumpulan pelukis Bali yang didirikan 29 Januari 1936 oleh Cokorda Gede Agung Sukawati, I Gusti Nyoman Lempad, Walter Spies dan Rudolf Bonet. Perkumpulan ini menumbuhkan gaya dan gerakan seni lukis Bali yang berbeda. Bermula di desa Ubud, kemudian menyebar ke daerah lainnya di Bali. Seni lukis ini berakar dari seni lukis klasik tradisional Bali, kemudian mendapatkan sentuhan seni lukis Barat, memiliki corak dan gaya tersendiri.

1937
S. Sudjojono dan Basuki Abdullah

S. Sudjojono (kiri) dan Basuki Abdullah (kanan). Foto: Djawa Baroe, 1 Mei 1943. https://historia.id/

Persagi & Mooi Indie. Dalam tulisannya di Majalah Keboedajaan dan Masjarakat, Oktober 1939, Sudjojono melakukan kritik pada seni lukis Mooi Indië: “Benar Mooi Indië bagi si asing, yang tak pernah melihat pohon kelapa dan sawah, benar Mooi Indië bagi si turis yang telah jemu melihat skyscapers mereka dan mencari hawa dan pemandangan baru, makan angin katanya, untuk menghembuskan isi pikiran mereka yang hanya bergambar mata uang sahaja”. Tahun 1937, Sudjojono mendirikan Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia (Persagi), sebagai bagian dari perjuangannya mewujudkan seni lukis Indonesia. Menurut Onghokham dalam tulisannya “Hindia yang Dibekukan: Mooi Indië dalam Seni Rupa dan Ilmu Sosial,” dalam majalah Kalam, edisi 3, 2005, Sudjojono akhirnya juga melukis mooi indie, karena mazhab ini sangat kuat berakar di masyarakat. Selain itu, salah satu sebabnya adalah patron Sudjojono pada masa pascakolonial, yakni Presiden Sukarno, adalah seorang kolektor dan patron utama mazhab mooi indie. Persagi diketuai oleh Agus Djaya.

 

*Afrizal Malna. Penyair dan Pengamat Seni.