Gerhana, Korona, dan Masa Depan

Oleh Siti Adiyati Menyenangkan membaca kisah suara burung atau saur manuk di media ditengah kondisi pandemi yang tanpa henti ini. Seakan ada kehidupan debat ditengah area PASTI (Pasar Satwa dan Tanaman Hias) yang tersohor menjadi tempat hiburan warga tanpa kelas di kota seniman Yogya. Debat yang akan terus bergulir saling sambut dan saling silang dalam […]

Jangan Sampai Salah Alamat

Oleh Yuswantoro Adi Ijinkan saya memulai tulisan ini dengan membalas tuduhan saudara Hendro Wiyanto berjudul Sesudah “Pameran Imajiner” yang menyebut tulisan saya di Kompas kemarin sebagai sebuah tanggapan yang dangkal. Sekadar informasi, saya ini seorang pelukis, bahwa kemudian sesekali menulis adalah untuk membagi apa yang saya tahu. Bukan mengajak orang lain untuk ikut menyelam bersama dalam sebuah […]

Seni dan Negara (Modernisme di Halaman Belakang) (Bagian 2)

Oleh Afrizal Malna Batas-batas sejarah sebagai fiksi politik Batas-batas sejarah merupakan sebuah titik yang kita buat untuk membangun tubuh sejarah yang berbeda pada babakan-babakannya. Kita tidak pernah melihat batas ini sebagai sebuah fiksi. Kadang ia menjadi batas ideologis yang membeku, tempat bersemayamnya hantu-hantu. Batas-batas itu selalu menarik ketika terjadi penafsiran baru, munculnya perspektif baru, atau […]

Seni dan Negara (Modernisme di Halaman Belakang) (Bagian 1)

Oleh Afrizal Malna Apa yang menarik mengikuti tulisan Aminudin TH. Siregar: “Takjub Ajoeb: Kepada Bung Hendro Wiyanto” dan tanggapan Hendro Wiyanto: “Jurus Gerhana Aminudin TH. Siregar”, adalah bagaimana sejarah bekerja dalam wilayah rasionalisme dan keyakinan. (Mungkin ini juga tidak tepat). Ia seperti hantu yang bersemayam pada batas sejarah sebelum dan setelah Tragedi 1965. Bermain dalam […]

Sesudah “Pameran Imajiner” (2)

(Untuk Aminudin TH Siregar, Asmujo J. Irianto dan Yuswantoro Adi) Oleh Hendro Wiyanto Sanento tidak sempat menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri pameran “Kebudayaan” Indonesia (di) Amerika Serikat (KIAS, 1990-1991). Kita tentu tidak bisa bertanya kepadanya, apakah pameran imajinernya cocok dengan apa yang dihadirkan oleh para kolega seni rupanya dalam agenda yang berlangsung berbulan-bulan itu. Termasuk […]

Sesudah “Pameran Imajiner” (1)

(Untuk Aminudin TH Siregar, Asmujo J. Irianto dan Yuswantoro Adi) Oleh Hendro Wiyanto Alangkah kaya-raya khazanah yang tidak kita ketahui dengan terang perihal seluk-beluk masa silam seni rupa Indonesia. Saya memaksudkan masa silam sebagai teks-teks budaya, yang —di luar perbincangan umum seni rupa Indonesia yang paling dominan di masa kini—tersembunyi di berbagai ranah keilmuan lain. […]

Memanen Buah-buah Cendekia di Sekitar Kita

(Sekedar tanggapan untuk Aminudin TH Siregar; dan supaya ia mulai menulis lagi…) Oleh Danuh Tyas Pradipta 1 Berangkat dari “surat” Aminudin kepada Hendro, sepotong ungkapannya menarik minat saya. Syahdan katanya, “Bahwa sejauh ini kita gagal panen buah cendekia yang mustahak”. Pikir punya pikir, mungkin ada benarnya juga; rasa-rasanya tidak ada isu yang menjadi perbincangan menarik dan […]

Pelajaran dari Mooi Indië dan Produksi Pengetahuannya

(Tanggapan untuk Syarif Maulana, Dwihandono Ahmad, dan Nurman Hakim) Oleh Chabib Duta Hapsoro Kita tahu bahwa Auguste Antoine Joseph Payen (1792-1853) adalah guru melukis Raden Saleh (1811-1880). Eksistensi dia yang lain adalah sebagai pelukis Kerajaan Belanda untuk menemani ekspedisi sains di Hindia Belanda pada dekade pertama abad 20. Payen beserta dua bersaudara Adrianus Johanes Bik […]

Seandainya Bung Tinggal di Sala

Oleh: Albertus Rusputranto P.A. Saya membaca tulisan Ucok1 (Aminudin TH Siregar), mas Hendro Wiyanto, mas Yuswantoro Adi dan mas Asmudjo J Irianto yang “berpolemik” di koran Kompas kemarin. Dekade awal 2000-an saya sering mengikuti tulisan-tulisan seni rupa yang dimuat di koran Kompas (biasanya pada terbitan Minggu). Dan, maka, saya waktu-waktu itu juga jadi pernah membaca […]

Benarkah Sistem Seni Rupa Kita Makin Baik?

(Sebuah Catatan Untuk Polemik) Oleh: Ugo Untoro Persoalan seni rupa yang akhir-akhir ini diperbincangkan mungkin bisa dilihat dari sistem pendidikan seni rupa di Indonesia. Contohnya adalah pendidikan seni rupa di ASRI (kini Institut Seni Indonesia), Yogyakarta.  Kalau kita melihat kembali silabus pendidikan di ASRI pada tahun-tahun awal berdirinya, berbagai mata kuliah seperti filsafat, psikologi, metodologi […]