Yuswantoro Adi

Jangan Sampai Salah Alamat

Oleh Yuswantoro Adi

Ijinkan saya memulai tulisan ini dengan membalas tuduhan saudara Hendro Wiyanto berjudul Sesudah Pameran Imajineryang menyebut tulisan saya di Kompas kemarin sebagai sebuah tanggapan yang dangkal. Sekadar informasi, saya ini seorang pelukis, bahwa kemudian sesekali menulis adalah untuk membagi apa yang saya tahu. Bukan mengajak orang lain untuk ikut menyelam bersama dalam sebuah ketidaktahuan. Itulah sebabnya saya mencoba menulis secara sederhana agar mudah dibaca. Adakah ini yang disebut sebagai dangkal atau pendangkalan?

Pendangkalan adalah usaha mengurug (menambal dengan tanah) sebuah kedalaman agar tidak sedalam sebelumnya. Sementara yang saya lakukan adalah dan hanyalah mengubah berat jenis sebuah tulisan agar ia menjadi terapung dan terlihat jelas di permukaan air yang dalam serta barangkali terlanjur keruh itu.

Penyebutan bahwa Seni Rupa Indonesia baik-baik saja bukan sekadar optimisme berupa kontra narasi atas dua penulis sebelumnya, melainkan juga sebuah harapan. Doa lebih tepatnya. Maaf sengaja saya tuliskan semacam pembelaan ini di depan supaya di paragraf selanjutnya cukup rasional tak lagi emosional.

Tentu semua orang paham bahwa tulisan Hendro Wiyanto (HW) memiliki kedalaman. Beberapa pembaca, termasuk saya, cukup megap-megap berusaha menyelaminya. Alhamdulillah dengan susah payah akhirnya dapat memahami bahawa sesungguhnya tulisan itu mengajak kita untuk memahami seluk-beluk terlebih dahulu. Pemahaman akan seluk-beluk itu diimajinasikannya akan membawa ke Seni Rupa Indonesia yang baik-baik saja sebagaimana yang dicitakan bersama dan setidaknya sempat saya sebutkan di tulisan terdahulu.

Mari kita baca ulang kedalaman tulisan yang terdiri dari dua bagian itu agar arah ke kebaikan dan atau perbaikan Seni Rupa Indonesia tak lagi salah alamat. Namun sebelumnya, akan lebih selamat jika kita paham benar seluk-beluk apa penyebab salah alamat. Ada tiga sebab utama, yakni; 1. Salah tulis alamat. 2. Alamat tujuan sudah pindah atau tidak dikenal. 3. Kesalahan petugas pengiriman/jasa kurir. Tentang tiga ini akan saya uraikan di bagian lain tulisan ini.

Tulisan panjang HW dimulai dengan kekagumannya atas seluk-beluk masa silam Seni Rupa Indonesia. Selanjutnya bicara tentang Cemeti, Jim Supangkat, Sanento Yuliman termasuk tentang “Manifesto Seni Rupa Indonesia Baru 1987” yang disebutnya sebagai definisi seni rupa terpanjang di dunia. Juga soal salah paham soal isme dan seterusnya. Kemudian melalui Sutan Takdir Alisyahbana, ia mulai masuk tentang betapa pentingnya untuk “tahu seluk-beluk” menuju masyarakat kebudayaan baru tanpa mengalami malapetaka kejahiliyahan baru. Dan ditutupnya, meski tidak diletakkan di paragraf terakhir, dengan kutipan sekaligus penjelasan sebuah esai “Pameran Imajiner” dimuat pada sebuah kolom di majalah Tempo di tahun 1990 yang ditulis oleh Sanento Yuliman.

Di alinea terakhir Hendro Wiyanto malah banyak menyinggung Ucok (Aminudin Th Siregar), Asmudjo Jono Irianto dan saya dari tulisan (di Kompas) sebelumnya. Namun sedikit tentang itu sudah saya jawab di awal tulisan ini bukan?

(Mohon maaf jika ada catatan yang terlewat, sebab memang sungguh panjang tulisan bagian pertama tersebut)

Di bagian kedua, yang tidak kalah panjangnya, HW membukanya dengan sebuah penyesalan yang menyebut betapa Sanento tak sempat menyaksikan Pemaran Kebudayan Indonesia di Amerika Serikat (KIAS; 1990–1991). Sembari mempertanyakan apakah pameran tersebut mencocoki dengan imajinasi Sanento? Pameran ini dan proyek seni rupa selanjutnya, Europalia 2017 -2018 misalnya, diistilahkannya sebagai “tamu kebudayaan yang terhormat.” Lalu justru dinegasi lagi; apa artinya jadi tamu?

Sekali lagi ia menyebut penyesalan, kali ini tentang Bambang Bujono yang lupa masalah “sepele” kemudian ditegaskan dengan: Ketidakcocokan antara teks dan kejadian pada satu era dalam sejarah Seni Rupa akan menuntun orang lain menuju “gerhana.” Pun ia mempersoalkan dikotomi inklusif – eksklusif, agen dan bukan agen.

Itulah yang membawanya kembali kepada gagasan “Pameran Imajiner” yang diyakininya tetap mungkin membawa kita sampai ke sini. Termasuk Paviliun Indonesia di Biennale Venesia, Italia 2013 yang “sakti” itu. Pameran ke-sakti-an itu relevan dengan pameran angan-angan ala Sanento, asal mengandalkan strategi yang lebih dari sekadar pengakuan atau panggung internasional.

 

Sakti: The Indonesian Pavilion (2013)

Sampul katalog “Sakti: The Indonesian Pavilion” (2013).

Ditutup, kali ini benar di alinea terakhir, dengan ajakannya untuk melakukan secara keroyokan dari banyak bidang ilmu lengkap dengan ahlinya. Itu pun masih mensyaratkan terlebih dahulu pemahaman akan seluk-beluk.

* * *

Sebagaimana saya janjikan di muka, mari kita periksa, yang pertama dari tiga. Adakah kesalahan penulisan alamat? Pameran Imajiner Sanento dapat dipastikan sebagai sebuah data dan fakta yang benar, sebab ia tertulis dan dapat dilacak. Pertanyaannya—sebenarnya sempat ditanyakan sendiri oleh HW—apakah pameran mahabesar yang tidak disaksikan sendiri oleh yang bersangkutan, sudah benar cocok dengan imajinasi beliau?

Mulai dari KIAS, Biennale Venesia, Europalia hingga kelak Documenta yang Ruang Rupa terlibat di dalamnya adakah buah dari atau lanjutan atau terjadi karena faktor adanya “Pameran Imajiner” sebelumnya? Atau ia terjadi karena kebetulan semata? Sebab lain?

Mural tentang documenta 15

Mural tentang documenta 15 di sebuah toko di pusat kota Kassel. (Sumber: haz.de.)

Pernyataan berlanjut pertanyaan naif ini sama sekali tak bermaksud menafikan ketokohan serta kepintaran juga kebenaran seorang Sanento Yuliman. Bermaksud mewacanakan kembali adakah “patokan” beliau sudah benar-benar kita pakai? Secara bersama? Untuk tujuan yang sama?

Mungkin tak semua sepakat dengan pilihan diksi saya. Terutama untuk kata bersama dan tujuan yang sama. Namun  apa pun itu, rasanya tak akan terlalu jauh dari sebuah alamat yang ingin kita tuju: Seni Rupa Indonesia yang baik-baik saja. Sehat, bregas, waras.

Kita harus terlebih dahulu memastikan bahwa seluk beluk tentang hal di atas terjawab dengan jelas. Tanpanya atau tanpa pengawasan dan pemeriksaan ketat atas kebelumjelasannya, bisa jadi malah menuntun kita ke penulisan alamat yang salah.

Yang kedua, prinsip dan protokol kehati-hatian selanjutnya wajib dilaksanakan untuk memeriksa yang kedua. Kepastian alamat, apakah masih di sana atau sudah pindah, dikenal atau tidak?  Seni Rupa Indonesia itu tidak atau belum jelas identifikasinya. Ada begitu banyak versi dan definisinya. Ada yang menuduhnya hanya memusat dan melupakan pinggirannya. Modernisme, kontemporer, otonom, kolektif, begini, begitu dan seterusnya. Lebih celakanya kita justru sering berkelahi gegara perbedaan menentukan standar yang berangkat dari ego prespektif masing-masing. Barangkali benar kita butuh “historiografi penyadaran” sebagaimana usulan Ucok dan akan semakin benar jika dilengkapi dengan “tahu seluk-beluk”nya HW.

Lalu, dari mana memulainya?

Tidak mudah mengingat bahwa ternyata dalam ekosistem, ada yang menyebutnya medan seni, juga art world, gelanggang dan entah apa lagi (lihat, betapa untuk penyebutan satu istilah saja kita belum bersepakat) belum punya persamaan persepsi apalagi pemahaman yang sama akan Seni Rupa Indonesia. Negara Republik Indonesia sempat membuat Kongres Kebudayaan, namun rasanya bukan mengarah kepada sebuah konsensus atau kesepakatan khusus tentang seni rupa. Dan jangan terlalu berharap pula akan ada rumusan tertentu dari lembaga resmi negara.

Dengan kata lain, harus orang seni rupa sendiri yang melakukannya. Demi menjawab pertanyaan klise, “Akan dibawa kemana Seni Rupa Indonesia?” Tentu bukan memproklamasikan satu rumusan tunggal apalagi memakai standar yang kaku. Namun sebaiknya tetaplah ada tatanan atau aturan main, lebih mudahnya katakanlah sebagai etika yang merupakan kesepakatan dan komitmen bersama para penyangga kepentingan (stake holder). Pun jika bukan itu caranya, apabila masing-masing punya itikad baik yang sama maka ia akan bisa terbentuk secara alami. Dan karena sifat kesenian yang selalu dinamis, bukan tunggal apalagi kaku melainkan bisa berubah, menyesuaikan kondisi, sejauh perubahan itu masih merupakan kesepakatan juga. Jika ini tercapai, maka kepastian alamat tak perlu dipertanyakan lagi.

Lalu, yang ketiga. Agar apa yang kita citakan bersama benar-benar sampai; jangan salah pilih petugas/kurir yang salah pula. Lalu siapa petugas itu? HW sempat menyebut perlu keroyokan dari banyak bidang dan ahlinya. Sepintas terlihat benar. Namun, maaf, saya meragukan efektifitas dan efensiensi kerja model keroyokan di sini.

Keroyokan sangat dibutuhkan untuk kerja sebelumnya, yaitu merumuskan apa itu Seni Rupa Indonesia. Menjamin bahwa ia telah jelas dan tegas akan dibawa kemana. Jika mereka dilibatkan lagi di sini kemungkinan tumpang tindih serta pertarungan kepentingan sulit dihindarkan.

Usulan saya untuk petugas dimaksud adalah orang, pihak dan atau lembaga profesional. Sekali lagi, harus profesional. Ada pun penugasannya ada tiga hal meliputi; praktik seni, pewacanaan dan pasar/pemasaran.

Urutannya tak harus seperti itu, bahkan sangat boleh dikerjakan bersamaan dengan petugas yang tidak sama.

Praktik seni tentu telah, sedang dan akan terus dilakoni oleh seniman profesional. Tak perlu membebani apalagi intervensi terhadap mereka dengan tugas baru. Berikan ruang dan dukungan yang memadai akan menjadikan mereka nyaman melakukan “tugasnya” membawa Seni Rupa Indonesia. Berlaku untuk seni yang otonom, kolektif dan bentukan lainnya.

Setidaknya ada dua macam pewacanan yakni berupa kegiatan pameran dan transformasi pengetahuan; tulisan, diskusi, buku serta aneka hal bersifat informatif/interaktif/partisipatif lainnya.

Sudah banyak pameran bermutu yang terselenggara hingga kita sampai di sini. Perlu lebih banyak pameran lebih bermutu agar kita sampai ke sana. Umumnya yang bermutu itu dikerjakan oleh galeri, art even organizer atau siapa pun yang memang profesional. Sekadar menyebut contoh, Artjog adalah salah satu pameran yang menasional bahkan menginternasional. Keberadaannya cukup terang untuk menunjukkan posisi Seni Rupa Indonesia. Tentu ada juga yang sejenisnya. Namun jika ingin mencapai kualitas, serahkan pada ahlinya!

Tak kurang jumlah pewacana hebat sekaligus profesional di negeri ini. Beberapa di antaranya sudah hadir di polemik Kompas berlanjut di portal Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) ini. Belum lagi yang di luar sana. Yang rajin menerbitkan buku bagus. Yang sibuk bikin webinar/zoominar/club house dan aneka acara bincang berbobot. Yang jadi jurnalis dan wartawan setia pada seni rupa. Dan seterusnya. Bayangkan seandainya kaum cerdik pandai ini bersatu menyuarakan persatuan menuju alamat yang satu. Wow…

Wow bisa berubah wujud jadi waduh apabila tidak tertib menuruti rambu. Rambu pertama, gunakan buah pikir Sanento dan pemikir lain sebelum kita sebagai acuan. Jangan jadikan ia (pemikiran itu) sebagai tujuan. Sebab era dan lingkup permasalahanya sudah jauh berbeda. Rambu kedua, penugasan rangkap berpotensi berbahaya. Selain membuatnya gagal fokus juga mengandung resiko laku koruptif. Apa boleh buat, kesenian tak mungkin menghilangkan subyektivitas.

Tentang pasar. Mohon maaf saya mengaku tidak ahli soal pasar dan pemasaran. Namun saya percaya jika ada “barang bagus” pasti pasar akan datang dengan sendirinya. Pun sebaliknya jika pasarnya bagus maka hanya barang bagus yang tersedia. Ah, jadi ingat kelakar seorang Nasirun, pelukis paling profesinal sak-Indonesia. Pada sebuah reriungan penuh canda beliau bersabda, “Ketika Tuhan menciptakan pelukis, pasti tak lupa menciptakan kolektor”

***

Yogyakarta, 19 Agustus 2021

(Saya bahagia berhasil menuntaskan tulisan ini tepat sehari setelah Republik Indonesia berulangtahun yang ke 76. “Kok sehari, dua hari yang betul, bukankah kita merdeka pada tanggal 17 agustus 1945?” Betul bangsa Indonesia merdeka pada tanggal 17. Baca lagi Teks Proklamasi; “Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaanya….”

Tapi jangan lupa Republik Indonesia baru ada tanggal 18, bersamaan diresmikannya UUD 1945. Semoga informasi yang mungkin terlihat sepele dan sederhana ini membantu kita mengingat dan memahami seluk-beluk)

*Yuswantoro Adi. Pelukis yang Menulis Seni Rupa.