Sang Maestro Juga Suka Nyontek (Milad Basoeki Abdullah, 27 Januari 2023)

Oleh Agus Dermawan. T

Sampai pada “usia” yang ke 108 masih ada
rahasia Basoeki Abdullah yang belum
banyak dibuka. Dan itu adalah tentang sejumlah
lukisannya yang “meniru” karya seniman lain.

Pada suatu hari di awal 1960-an Lim Wasim mendapat pesanan melukis wanita nude dari Presiden Sukarno. Presiden menyerahkan foto hitam putih berukuran setengah kartu pos. Ia meminta Wasim melukis obyek yang ada dalam foto itu dengan gaya realis fotografis. Setelah lukisan selesai Bung Karno meminta foto itu kembali, dan lantas diserahkan kepada pematung Sulistio. Seniman ini diorder untuk mematungkan figur dalam foto tersebut dengan medium batu. Sementara diketahui, gaya model yang ada dalam foto tersebut merujuk kepada lukisan William Adolphe Bouguereau (1825-1905), seniman Prancis penerima Prix de Rome 1850. 

Lukisan Wasim, cat minyak di kanvas, berjudul “Hendak Mandi”. Patung Sulistio yang berukuran setinggi modelnya, 164 cm, diberi judul “Bergaya”. Kedua karya ini pada kemudian hari termuat dalam buku Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Sukarno. 

Pada tahun 1970 Affandi berkesempatan menonton perhelatan internasional Expo 70 di Osaka, Jepang. Dalam kesempatan itu, Affandi melukis tentang Expo 70 dan panorama Jepang. Salah satu lukisan yang dibanggakan dari serial ini adalah “After Hokusai”. Lukisan tersebut ternyata adalah pelukisan kembali dari ukiyo-e (cetak cungkil kayu) terkenal karya Katsushika Hokusai, “Ombak Besar di Kanagawa dengan Gunung Fuji” (1831). Dalam kanvas berukuran lebih dari sedepa Affandi memindahkan pemandangan dan warna Hokusai dengan gaya lukisannya yang coret-moret itu. “Saya melukis berdasarkan contoh seni cetak Hokusai. Berusaha persis. Tidak apa-apa,” kata Affandi.

Cerita di atas menunjukkan bahwa sebuah karya seni rupa (lukisan, patung dan sebagainya) tetap memiliki keabsahan meski inspirasi penciptaannya diberangkatkan dari karya orang lain. Pun ketika karya-karya itu diketahui sangat memiliki kemiripan satu dengan lainnya.

Tak ada yang baru di bawah matahari

Basoeki Abdullah (1915-1993), yang pada 27 Januari 2023 ini bermilad (berhari jadi), adalah pelukis yang mengamini bahwa : ambil-mengambil ide dari karya orang lain merupakan hal biasa. Lantaran itu tidak sedikit karyanya yang pelan-pelan mengingatkan publik (terutama kritikus dan pengamat) kepada lukisan orang lain. 

Basoeki Abdullah

Basoeki Abdullah (1915-1993). Maestro abad 20. (Sumber Foto: Penulis)

Basoeki sendiri tidak pernah mengingkari hal itu. Meskipun tentu ia akan diam saja apabila orang tidak bertanya. Dan ia akan menjawab sekadarnya apabila ada penikmat lukisannya yang curiga. Satu sikap yang mungkin sama belaka dengan perupa lain, yang memahami bahwa pungut-memungut ide adalah hal yang wajar, namun tak perlu diuar-uar.  

Pemahaman Basoeki atas keabsahan pungut-memungut ide itu disandarkan kepada kalimat bertuah yang pernah ia dengar : “Tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari”. Seleret kata-kata fatalistik yang dipetik dari ayat Anak Daud Sang Pengkhotbah, yang lengkapnya demikian :

“Segala sesuatunya adalah sia-sia. Apa gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari. Keturunan yang satu pergi dan keturunan yang lain datang, tetapi bumi tetap ada. Matahari terbit, matahari terbenam, lalu terburu-buru menuju ke tempat terbitnya lagi. Angin bertiup ke selatan, lalu berputar ke utara, terus-menerus berputar, dan dalam putarannya angin itu kembali. Semua sungai mengalir ke laut, tetapi laut tidak juga menjadi penuh. Ke mana sungai mengalir, ke situ-situ juga ia berlalu. Segala sesuatu menjemukan, sehingga tak terkatakan oleh manusia. Tapi mata tidak kenyang melihat, tapi telinga tidak puas mendengar. Apa yang pernah ada akan ada lagi. Dan apa yang pernah dibuat akan dibuat, dibuat dan dibuat lagi. Tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.”

Basoeki lalu menegaskan pada suatu kali.

“Maka segala sesuatu yang saya ciptakan, jangan pernah dikatakan itu baru. Selanjutnya, dari apa yang saya ciptakan, kemungkinan akan dialih-bikin oleh orang lain. Dan jangan pula mengaku bahwa itu baru. Namun juga tak perlu berkata-kata bahwa yang diciptakan itu tidak baru. Karena dalam seni, pungut-memungut begini disebut halus : inspirasi.” 

Pengagum Lukisan Adolfs

Berikut sejumlah contoh lukisan Basoeki yang penciptaannya diberangkatkan dari lukisan seniman lain.

Yang paling nyata adalah lukisan Basoeki “Pohon Flamboyan di Bulan Oktober”, ciptaan 1970-an (lihat buku Basoeki Abdullah-Painter of Kings, 2016). Lukisan ini lahir setelah Basoeki teringat kepada lukisan “Flamboyan” karya Gerard Pieter Adolfs (1897-1968) yang ia lihat di Istana Bogor beberapa puluh tahun sebelumnya. Bahkan ingatan itu menebalkan rasa cintanya kepada kecantikan bunga flamboyan, sehingga ia sering melukiskannya. Uniknya, komposisi dan atmosfer “Flamboyan” Adolfs tetap melekat dalam lukisan-lukisan flamboyan Basoeki. Bahkan kemiripan yang amat dekat tak bisa dihindarkan. Seperti halnya ketika Basoeki mencipta lukisan “Get in to it” pada 1979, yang nyaris merupakan pelukisan ulang (repainting) lukisan Adolfs yang berjudul “Lorong” ciptaan 1940-an. Meskipun tidak persis.

Lukisan GP Adolfs, “Flamboyan”. (Sumber Foto: Penulis)

Lukisan Basoeki Abdullah, “Pohon Flamboyan Bulan Oktober”. (Sumber Foto: Penulis)

Lukisan Basoeki Abdullah, “Get in to it”. (Sumber Foto: Penulis)

Lukisan GP Adolfs, “Lorong”. (Sumber Foto: Penulis)

Adolfs, pelukis Hindia Belanda kelahiran Semarang dan wafat di z’Hertogenboch, Belanda, memang sangat dikagumi Basoeki. Walau Basoeki tak pernah mengungkap itu kepada banyak orang. 

Pada suatu kali ia melukis sebuah kapal besar sedang berlabuh. Di sekitar kapal itu tampak para kuli yang sedang sibuk menurunkan dan mengangkuti barang. Lukisan berjudul “Sunda Kelapa” itu (koleksi Museum Seni Rupa & Keramik Fatahillah Jakarta), diilhami oleh lukisan Adolfs “Pelabuhan”, yang menggambarkan kapal besar sedang sandar di pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Tak ada kesamaan visual dalam dua lukisan itu. Tapi suasananya, dramaturgi bentuknya, kejutan komposisinya, serta penggambaran figur-figurnya memiliki hubungan batin begitu erat. 

Lukisan Basoeki Abdullah, “Pelabuhan Sunda Kelapa”. (Sumber Foto: Penulis)

Lukisan GP Adolfs, “Pelabuhan Tanjung Perak”. (Sumber Foto: Penulis)

Untuk lukisan potret, Basoeki pernah mengatakan bahwa dirinya mengagumi John Singer Sargent (1856-1915), pelukis berdarah Itali-Inggris yang bermukim di Amerika Serikat. Jejak kekaguman ini banyak muncul di kanvas Basoeki yang menggambarkan wanita selebriti dan hartawan. Maka  lukisan Basoeki “Hitam nan Klasik” yang berobyek  desainer busana dan model Poppy Dharsono, serta ”Wanita Spanyol” (koleksi Presiden Sukarno) sangat diilhami lukisan Sargent, “Elizabeth Winthrop Chanler” dan “Madame X” (koleksi Metropolitan Museum of  Art, New York).

Lukisan Basoeki Abdullah, “Wanita Spanyol”. (Sumber Foto: Penulis)

Lukisan John Singer Sargent, “Elizabeth Winthrop Chandler”. (Sumber Foto: Penulis)

Keterbukaan hati Basoeki dalam menerima pengaruh ide ini dimulai ketika berada di Belanda tahun 1930-1940. Kala itu ia banyak memungut adegan dan gestur dari lukisan-lukisan figur gerejawi klasik di Eropa. Terkadang ia mengubah figur dan setting Eropa itu menjadi figur dan setting Jawa, sehingga ciptaannya menjadi sangat berbeda. 

Dalam lukisan pemandangan Basoeki merasa banyak terpengaruh oleh karya pelukis klasik Inggris, Thomas Gainsborough (1727-1788). “Instink Gainsborough untuk mengukur komposisi alam di kanvasnya, sangat menakjubkan,” kata Basoeki. Maka Basoeki pun tak segan mengikuti jejak, bahkan menyontek ide Gainsborough. Simak “Sungai” Basoeki yang sangat dekat dengan lukisan “Landscape” (koleksi Smithsonian American Art Museum, Washington).

Lukisan Basoeki Abdullah, “Sungai”. (Sumber Foto: Penulis)

Lukisan Thomas Gainsborough, “Landscape”. (Sumber Foto: Penulis)

Tapi Basoeki tidak hanya mengambil ide dari lukisan klasik dan modern barat. Untuk lukisan yang bertema mitologi, ia dengan ringan mengambil bentuk, adegan dan gestur dari lukisan tradisional Nusantara. Simak lukisan “Pertempuran Jatayu Melawan Rahwana” (Koleksi Presiden Sukarno) yang menyadur lukisan maestro seni lukis Bali I Gusti Nyoman Lempad (1847-1978). Keberhasilannya dalam menyadur lukisan-garis menjadi lukisan realisme-potretis menunjukkan bahwa Basoeki memang seniman jenius (mengutip predikat yang diberikan oleh Sudjojono kepada Basoeki).  

Lukisan Basoeki Abdullah, “Pertempuran Jatayu Melawan Rahwana” (Sumber Foto: Penulis)

Lukisan I Gusti Nyoman Lempad, “Ramayana”. (Sumber Foto: Penulis)

Jika Maya Murka

Salah satu lukisan Basoeki yang legendaris adalah “Jika Tuhan Murka”. Atas lukisan ciptaan 1949 ini amat banyak orang yang takjub. Penggambaran Basoeki atas neraka mewakili imajinasi banyak orang, begitu komentar publik ketika melihat lukisan ini dalam pameran di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 2017.  Tapi jarang yang tahu bahwa pelukisan derita neraka ini diilhami oleh karya pelukis Inggris John Martin (1789-1854) “The great day of his wrath”. Sementara penggambaran lorong bara dan gulungan api diinspirasi lukisan Martin yang lain, “Destruction of Pompei”.

Lukisan Basoeki Abdullah, “Jika Tuhan Murka”. (Sumber Foto: Penulis)

Lukisan John Martin, “The great day of his wrath” dan “Destruction of Pompei”. (Sumber Foto: Penulis)

Basoeki mengatakan bahwa pada akhirnya orang juga akan tahu soal inspirasi lukisan itu. Tapi ia berkeyakinan, tak ada orang yang tahu : dari mana datangnya dorongan sehingga ia melukis neraka itu. Dan samar-samar ia pernah menceritakannya pada suatu kali. Begini.

Syahdan perkawinan Basoeki dan Maya (Maria Michel, berdarah Belanda) berjalan hangat dan rukun. Tetapi setelah berjalan sekitar enam tahun keceriaan perkawinan mulai menampakkan kekeruhan. Dan itu dimulai pada saat Maya menyinggung soal politik, yang menyangkut hubungan Basoeki, pemerintah Indonesia, pemerintah Jepang, dan pemerintah Belanda. Maya mengatakan bahwa Pemerintah Belanda mencurigai Basoeki sebagai diplomat bayangan, bahkan mata-mata yang merugikan Belanda, negeri yang sangat banyak membantu Basoeki. 

Semua itu berkait dengan Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada Agustus – September 1949. Di sini Basoeki dicurigai memberikan info rahasia kepada Sukarno, Rum, serta Sultan Hamid Algadrie (wakil dari Biejeenkomst voor Federal Overleg). Yang semuanya berujung pada pelemahan posisi Belanda dalam perundingan. Info tersebut jalin-menjalin dengan pembentukan Komisi Timbang Terima dari tangan Belanda ke Indonesia di Yogyakarta pada 10 Juni 1949. Peristiwa yang lantas berhubungan dengan penarikan tentara Belanda dari Wonosari, Yogyakarta, yang disaksikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.  

Di sisi lain diketahui, dalam rangka KMB itu Basoeki menggelar pameran yang bernada patriotik di Victoria Hotel, Amsterdam. Di situ wajah-wajah tokoh pejuang politik Indonesia dominan ditampilkan, dan semua dimanifestasikan dengan spirit dan aura kemenangan. Sementara tokoh-tokoh Belanda dihadirkan biasa-biasa saja.

Maya bergundah dan bertanya-tanya : bagaimana Basoeki yang pernah hidup penuh sukacita di Belanda, atas dukungan pemerintah dan orang-orang Belanda pula, bisa melakukan perlawanan diam-diam terhadap Belanda? 

Maya berkata bahwa sikap Basoeki yang melakukan “politik pelemahan” itu jadi pembicaraan di kalangan intel. Dan kasak-kusuk itu sungguh meresahkannya. Pada ujungnya wanita anggun ini mengatakan bahwa dirinya tidak bisa terus mendampingi seorang lelaki yang kaki politiknya berdiri di dua negara. Maya minta Basoeki untuk membuktikan ketidak-benaran tuduhan itu. Kalau terbukti, ia minta cerai.

Basoeki bertahan untuk tidak membuka persoalan dengan terang-terangan. Sehingga rumor politik itu bagi Maya selalu mengganggu, bagai duri yang setiap kali menyakiti. Di sisi lain Basoeki menekankan agar isu politik dibuang jauh-jauh. 

Untuk menunjukkan bahwa dirinya bukan manusia yang suka berbuat dosa dan bermain mata-mata, ia lalu menciptakan lukisan yang berkisah tentang neraka. Lukisan yang digubah di atas kanvas 200 x 300 cm itu menggambarkan sebuah lorong gua besar yang ujungnya memancarkan bara api, dengan banyak orang yang terkapar kepanasan, tapi tak mati-mati. “Kalau saya bersalah, saya akan dihukum seperti ini!” begitu Basoeki bertutur lewat lukisannya.

Peristiwa keluarga itu sedikit terkuak faktanya pada hari-hari kemudian. Pada tahun 1950, seorang penulis suratkabar Asia Raja yang memakai nama Marhaen mencatat tanda-tanda luka hati Basoeki tersebut dalam sebuah artikel, dalam kaitannya dengan pameran lukisan Basoeki Abdullah di Hotel Des Indes, 15-22 Agustus 1950, yang dihadiri secara khusus oleh Presiden Sukarno. Kutipan artikel itu berbunyi begini, dalam ejaan aslinya:

Seakan-akan keluh kesah semata jang kita dengar dari mulut Basoeki ketika ia bertjerita tentang kepahitan-kepahitan jang meliputi rumah-tangganja, jang memuntjak dengan putusnja tali perkawinan antara dia dengan istrinja, seorang wanita Belanda. Kepahitan mana sebetulnja tidak sedikit berdasar pula pada alasan-alasan psychologis jang ditimbulkan oleh adanja perselisihan politis dan militer antara bangsa Indonesia dan Belanda.

Basoeki seakan-akan ditjurigai selalu, berhubung dia adalah seorang putera Indonesia jang dipandang agak rapat perhubungannja dengan Bung Karno, seorang pemimpin jang sebelum tertjapainja hasil-hasil K.M.B dianggap sebagai seorang “rebel” dan “kolaborator” Djepang oleh umumnja orang Belanda.

Basoeki dan Maya. (Sumber Foto: Penulis)

Lukisan ini pada kemudian hari dibeli dengan “harga sahabat” oleh Presiden Sukarno. Mungkin (sekali lagi : mungkin) lantaran dalam “perjanjian Basoeki – Maya“ lukisan itu tidak boleh dijual, maka pada sisi kiri bawah kanvas tertulis kalimat persembahan, seolah-olah lukisan itu dihadiahkan kepada Presiden Sukarno.   

Namun sejauh-jauh roman-politik melatarbelakangi lukisan itu, jejak pengaruh visual lukisan John Martin jangan pernah dilupakan. *

Agus Dermawan T.

Penulis buku, “R. Basoeki Abdullah, RA – Duta Seni Lukis Indonesia” (1985) ; “Basoeki Abdulah – Sang Hanoman Keloyongan” (2015) ; “Basoeki Abdullah – Painter of Kings” (2016).