Di Hadapan Bahasa

Oleh Mahwi Air Tawar

Di hadapan bahasa, manusia menemukan kuasanya sekaligus kelemahannya. Bahasa tak hanya menjadi alat pemersatu suatu bangsa, tapi bahasa bisa juga menjadi pemecah belah. Hal ini bisa kita lihat yang terjadi belakangan, betapa kekuatan bahasa baik yang disampaikan lewat tulisan maupun lisan mampu mengubah seseorang yang semula lembut hati tiba-tiba menjadi orang paling garang, demikian juga sebaliknya.

Indonesia dengan segala kosa-bahasanya dari berbagai ragam rumpun bahasa, tak sekadar menjadi alat ataupun identitas sebuah bangsa yang membanggakan, namun kekayaan kosa-bahasa daerah itu menjadi jalan masuk mengenali karakter manusia Indonesia secara utuh. Lebih-lebih di tengah bertumbuh-kembangnya teknologi, berbiak pula gaya menyampaikan dan menarasikan.

Apakah dengan segala tumbuh-kembangnya teknologi, berikut bahasa yang menyertai; kosa-bahasa kesatuan Indonesia akan tercerai berai? Lalu bagaimana dengan peribahasa (bahasa) daerah?

Sejatinya pertanyaan di atas tidak penting dikemukakan, toh itu akan sama halnya dengan moang buja ka tengah tase’. Artinya, apa yang kita lakukan hari ini hanya akan menjadi keniscayaan jika kosa-bahasa (peribahasa) daerah tetap dibiarkan merana di hadapan teknologi, berikut perkembangan bahasa.

Bagaimana pun, teknologi yang berkembang begitu pesat dan canggih berakibat pada perubahan pola komunikasi (bahasa), baik dengan sesama maupun dengan semesta lingkungan. Akibatnya lebih jauh berupa pengedepanan sikap pragmatis-utilitarianis, materialis, dan hedonis di tengah masyarakat, yang akhirnya bermuara pada pemiskinan spiritual. Hidup keseharian kita dihadapkan pada berbagai keniscayaan dan pilihan: memilih nilai baru atau tetap mempertahankan nilai lama yang konvensional.

Di era teknologi seperti yang kita jalani dan atau kita rasakan sekarang ini, seseorang untuk mengetahui apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya atau bahkan dengan tetangganya tak perlu datang dan meleburkan diri sebagaimana dahulu, tapi cukup membuka “barang  ajaib” gadget maka kita akan tahu apa yang terjadi dan diam-diam kita akan melewatinya dengan membuka informasi lain.

Terkait dengan ruang dan jarak, Suminto A. Suyuti dalam sebuah pertemuan memaparkan, kita cenderung menjadi semakin telegenik. Artinya, jarak sebagai salah satu aspek penting dalam tegur-sapa kemanusiaan makin diabaikan. Tatap-muka antar sesama menjadi satu hal yang dinomor-sekiankan. Tidak mengherankan jika terjadi pula pelucutan ikatan-ikatan primordial yang semula dijunjung tinggi dalam kekerabatan, keagamaan, dan persahabatan. Hubungan antara suami-istri, anak-orangtua, antar sahabat, antar tetangga menjadi satu hal yang tidak dipentingkan lagi.

Senada dengan apa yang disampaikan Suminto di atas, Wittgenstein menegaskan, bahwa ketika bahasa dituliskan menjadi sebuah teks, maka orang yang diajak bicara melalui teks tulisan tersebut sebenarnya bukan berhadapan dengan pembicara, tetapi sudah beralih berhadapan dengan teks. Di sinilah, awal mula miskomunikasi dengan keberadaan gadget. Teks bisa ditafsrikan sedemikian rupa oleh pembaca, sehingga bisa menimbulkan multi-makna, yang bisa sesuai dengan pembuat teks dan bahkan secara mayoritas sangat subyektif, yaitu penafsiran teks berdasarkan dugaan atau perkiraan masing-masing individu (pembaca).

Kosa-bahasa berikut peribahasa yang menyertai kehidupan manusia Indonesia tak bisa lepas dari lingkungan dan hubungan sosial di mana peribahasa itu tumbuh. Bahasa berikut kebudayaan tumbuh tidak hanya semata-mata sebagai alat untuk menyampaikan informasi kepada orang lain, tapi dalam setiap bahasa, peribahasa khususnya terkandung nilai, ajaran berikut ajakan kepada orang lain tidak hanya memperbaiki sikap dalam pergaulan sehari-hari tetapi juga berpikir dan merenunginya. Misalnya dalam peribahasa Jawa terkait dengan kehidupan bermasyarakat: adigang, adigung, adiguna (Orang yang menga ndalkan kekuatan, kedudukan, dan kepandaian). Membaca, menyimak, dan mendengarkan peribahasa tersebut kita tak hanya sekadar memberi nasihat agar dalam bermasyarakat tidak melulu mengandalkan kekuatan, kedudukan, apa lagi kepandaian. Tapi juga pengalaman dan keberhati-hatian dalam bersikap, sehingga dalam hidup setiap tindakannya tak bertumpu pada yang dimilikinya yang merasa kuat, kuasa, dan pandai. Tapi lebih dari itu, seseorang juga mesti memikirkan perangkat-perangkat lain, misalnya etika sehingga tindakannya tak membuat orang lain tersinggung dan merasa digurui.

Terkait dengan peribahasa di atas, di Madura ada sebuah peribahasa yang berbunyi: pacacana padana suara kelap (kalau berbicara seperti suara petir). Artinya, bila petir bergemuruh terlebih dahulu hampir bisa dipastikan tidak akan turun hujan. Peribahasa di atas kerap disampaikan oleh orangtua kepada anak-anaknya agar dalam pergaulan dan mengerjakan sesuatu tidak perlu banyak bicara, tapi yang lebih penting adalah mewujudkan apa yang dipikirkan.

Saya tidak tahu apakah peribahasa-peribahasa di atas masih berlangsung dan atau disampaikan dalam kehidupan sehari-hari ketika melihat seseorang yang kerap bicara tapi tak bisa mewujudkan apa yang dibicarakannya?

Kosa-bahasa berikut peribahasa biasanya disampaikan dalam suasana riang gembira, sehingga tak seorang pun merasa tersinggung dan merasa digurui, namun seseorang yang mendapat “teguran” dengan sendirinya akan berpikir, yang kemudian buah dari hasil pemikirannya diwujudkan dalam pergaulan sehari-hari. Jika tidak, peribahasa pacacana padana suara kelap akan melekat dan menjadi “identitas” dalam dirinya, sehingga dalam setiap perjumpaan ia akan disambut begini: “Itu orang bicaranya seperti petir datang. Hati-hati kena sambar.” Pertanyaannya, siapa yang mau mendapatkan julukan yang tidak menyenangkan itu?

 Nasihat berikut pesan moral yang terkandung dalam peribahasa senantiasa mengalir dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari (masa lalu?). Sebaliknya, kita akan merasa sulit untuk menemukan hal semacam di atas dalam kehidupan masa kini, yang segalanya bersandarkan dan hampir setiap kita menyandarkan segenap pikiran, hubungan sosial pada gadget. Bila demikian hampir mustahil komunikasi yang baik kemudian akan berdampak pada hubungan yang harmonis, juga perdamaian diwujudkan.

Bagaimana pun, menjadikan hubungan yang harmonis yang kemudian berdampak pada perdamaian hampir mustahil diwujudkan jika sepenuhnya menjadikan teknologi sebagai sandaran, sementara pada saat bersamaan mengabaikan simpul-simpul kekuatan kosa-bahasa yang merupakan kekuatan dari tegak dan berdirinya perdamaian di negeri kita tercinta, Indonesia.

*Penulis adalah penyair dan penulis buku