Riwanto Tirtosudarmo

Suprapto Suryodarmo, 1000 Hari dan Selamanya (1000 Days and Forever)

Oleh Riwanto Tirtosudarmo

Perayaan mengenang 1000 hari wafatnya Suprapto Suryodarmo pada hari Sabtu 24 September 2022; sederhana, indah penuh kedamaian. Memperingati 1000 hari wafatnya sesorang, adalah tradisi Jawa yang disebut sebagai “nyewu”. Pagi itu, di bekas padepokannya, Lemah Putih, Mojosongo, Surakarta; arwahnya didoakan secara Budha, karena Suprapto Suryodarmo beragama Budha. Setelah itu, kami berjalan kaki ke makamnya, menabur bunga. Kami, keluarganya, teman-temannya dan tidak sedikit mereka yang merasa menjadi muridnya, dari dalam maupun luar negeri, bergerombol berbincang santai, sambil mengenangnya.  Kami kemudian kembali ke padepokannya yang teduh, makan bersama.

Malam harinya, di Taman Budaya Jawa Tengah, dibuka pameran dokumentasi tentang Suprapto Suryodarmo.  Melati Suryodarmo, putri sulungnya, dalam sambutan menyampaikan niatnya untuk mengumpulkan seluruh arsip dan dokumentasi tentang Pak Prapto yang masih tersebar di berbagai tempat. Apa yang dipamerkan saat itu barulah hasil upaya awal yang telah dilakukannya. Seusai sambutan, ditampilkan kolaborasi pertunjukan para seniman, sebagian dari ISI Solo, yang mencerminkan karakter berkesenian Pak Prapto, Umbul Donga. Selama pameran yang berlangsung dari tanggal 24-29 September 2022 itu diadakan workshop dan saresehan tentang berbagai hal yang menjadi ciri dan cara berkebudayaan dari Mbah Prapto.

Seperti telah banyak dikatakan teman dan kolega tidak mudah untuk mendeskripsikan dan mengkategorikan kedalam kotak mana Suprapto Suryodarmo ditempatkan. Meskipun sepertinya jelas bahwa Pak Prapto berangkat dari dunia seni ternyata sulit untuk menunjukkan jenis kesenian apa yang digeluti dan dikembangkannya. Pendidikan formal yang tidak pernah diselesaikannya, mulai dari kuliahnya di Fakultas Teknik UI di Jakarta, dan Fakultas Filsafat UGM di Yogyakarta; sebelum kemudian kembali ke kota asalnya, Solo dan berkiprah di ASKI sebagai pengajar seni gerak; memperlihatkan betapa kompleks dunia akademik yang pernah dijelajahinya.

Mungkin, seperti telah banyak diulas oleh beberapa penulis sebelumnya, pengalamannya mendalami dan mempraktekkan Yoga Vipasana dan Sumarah dianggap sangat berpengaruh terhadap pilihannya mengolah sebuah bentuk ekspresi seni meditasi gerak yang kemudian dinamakannya sebagai Joget Amerta. Dalam hal ini lingkungan terdekatnya di Solo yang merupakan pusat kebudayaan Jawa memberinya kesempatan hampir tak terbatas untuk menggali dan meresapi sebuah khazanah pengetahuan beserta tradisi masyarakat dan kebudayaannya yang telah menjadi klasik. Kemampuannya untuk “keluar masuk” dengan bebas tanpa kendala dalam sebuah peradaban yang telah tua itu, terlihat dari berbagai eksperimen yang kemudian dilakukannya, terutama dalam seni pertunjukan, seperti diciptakannya Wayang Budha, atau berbagai eksperimen seni gerak lainnya. Tidak hanya itu, Suprapto Suryodarmo juga berusaha memberi makna baru terhadap aksara Jawa, dengan mengubah susunannya sehingga menjadi relevan dengan tantangan kebudayaan hari ini dan masa depan.

Suprapto Suryodarmo

Suprapto Suryodarmo

Suprapto Suryodarmo bisa dilihat sebagai seorang Empu Jawa. Seorang yang telah mencapai tingkatan sebagai seorang Empu dalam tradisi Jawa dipandang sebagai seseorang yang telah mampu menggabungkan antara ilmu dan laku. Ia merupakan sumber pengetahuan sekaligus pamong yang bisa membawa mereka yang kemudian memilih menjadi muridnya mengakui otoritas dan karismanya sebagai guru. Upayanya untuk mengolah sebuah ekspresi gerak meditasi yang kemudian dinamainya sebagai Joget Amerta itu menarik berbagai kalangan, namun yang justru membedakan dirinya dengan para pencipta tari lainnya adalah daya tariknya bagi para pengikutnya yang berasal dari manca negara, terutama mereka yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Joget Amerta sebagai sebuah sistim budaya terbukti mampu tampil sebagai sistim yang memiliki nilai universal, lintas batas budaya, bangsa dan benua.

Joget Amerta yang diciptakannya seperti magnet yang mampu menarik minat orang-orang dari berbagai latar belakang profesi di barat untuk belajar Joget Amerta dari Suprapto Suryodarmo. Sangat jelas disini bahwa Joget Amerta bukanlah sekedar meditasi gerak biasa. Joget Amerta yang mengharuskan siapa yang ingin mempelajarinya langsung mempraktekkan gerak meditasi bebas tanpa perlu persiapan apapun, menunjukkan tidak terbatasnya kelenturan ekspresi gerak tubuh yang terkandung dalam Joget Amerta.

Gerak bebas tubuh karena itu bisa dikatakan sebagai inti dari Joget Amerta. Gerak bebas tubuh dalan Joget Amerta tidak lain adalah pengejawantahan dari kehidupan manusia yang memiliki tubuh itu (embodied lives). Gerak adalah ekspresi raga sekaligus sukma dari seorang manusia yang hidup itu. Meskipun gerak adalah esensi dari hidup namun bagi Suprapto Suryodarmo gerak tertinggi justru tercapai ketika tubuh mencapai posisi tanpa gerak. Bagi Suprapto Suryodarmo, meskipun terdengar seperti sebuah paradoks, posisi Budha dalam bermeditasi yang terlihat tanpa gerak itu adalah contoh bentuk pencapaian tertinggi dari Joget Amerta.

Rangkaian acara peringatan 1000 hari wafatnya Suprapto Suryodarmo di Solo dari tanggal 24-29 September 2022 itu telah dikemas sedemikian rupa oleh Melati Suryodarmo dan tim-nya untuk sejauh mungkin menggambarkan siapa sosok Suprapto Suryodarmo itu. Melalui berbagai media, visual, audio-visual, teks, buku-buku dan sejumlah panel poster besar yang digantung berjejer kita dapat menyaksikan foto-foto bagaimana dan dimana saja Suprapto Suryodarmo telah berkelana, berkiprah mengelilingi dunia. Nampak jelas disini bagaimana Suprapto Suryodarmo menjalankan sebuah adagium yang biasa dikenal dalam kebudayaan Jawa, sebagai “ngelmu kelakone kanti laku” (berilmu itu hanya bisa dicapai melalui tindakan). Adagium Jawa yang telah lama dikenal inipun lagi-lagi menunjukkan inti dari Joget Amerta yaitu gerak, laku, tindakan; sebagai pengejawantahan dari hidup (obah, urip).

Mungkin didasar hatinya Suprapto Suryodarmo ingin mengatakan bahwa “apa artinya semua tindakan itu perlu dilakukan?” Cita-cita atau dorongan apa yang menggerakkan semua tindakan itu? Mungkin dalam hal ini Suprapto Suryodarmo juga tidak beranjak jauh dari adagium lain dalam khazanah kebudayaan Jawa, yaitu “Memayu Hayuning Buwono”, membuat seluruh jagat alam semesta ini menjadi indah, damai dan sejahtera. Dorongan untuk menciptakan keindahan, kesejahteraan dan kedamaian alam semesta itulah yang membuat Suprapto Suryosudarmo terus bergerak bersama jaringan yang diam-diam diciptakannya melalui berbagai bentuk kegiatan bersama dalam berbagai komunitas di berbagai tempat di dalam negerinya sendiri maupun di mancanegara

Dengan strategi kebudayaan yang diprakarsainya dalam bentuk “srawung” dan “sharing”, Suprapto Suryodarmo berkiprah dari satu tempat ke tempat lain dari satu komunitas ke komunitas lain. Pada tingkat ini Suprapto Suryodarmo tidak lagi hanya seorang guru Joget Amerta tetapi juga serang aktifis, networkers, yang seperti tak kenal lelah menghubungkan seseorang dengan orang yang lain, menyambungkan satu komunitas dengan komunitas lainnya. Semua itu dilakoninya dengan keyakinan bahwa keindahan, kesejahteraan serta kedamaian harus menjadi cita-cita bersama karena hanya dengan itulah manusia menjadi manusia yang sesungguhnya, seutuhnya.

Apa yang dikerjakannya, menyadarkan manusia akan dirinya sebagai bagian dari jagat alam semesta yang hanya mampu diselamatkan jika manusia, komunitas tanpa melihat latar belakang agama, bangsa, negara serta benua untuk “srawung” dan “sharing” berdialog, berkolaborasi; menyelamatkan dan merayakan jagat raya. Betapa tepat tema yang disematkan dalam perayaan 1000 hari wafatnya itu, “Suprapto Suryodarmo, 1000 Hari dan Selamanya”.

Pulo Asem, Jakarta Timur 15 Oktober 2022.

*Riwanto Tirtosudarmo adalah peneliti.