Pengharapan Pada Akhir Zaman Dalam Sastra Apokaliptik Israel

Oleh Tony Doludea

Sekitar paruh kedua tahun 90-an Masehi, Rasul Yohanes dibuang oleh pemerintah Romawi di bawah Kaisar Domitianus (51-96 M) ke Patmos, sebuah pulau kecil saat ini letaknya di wilayah Turki. Yohanes diasingkan karena telah menyebarkan firman Allah dan bersaksi tentang Tuhan Yesus Kristus. 

Yohanes hidup di pulau terpencil itu dan menjalani kerja paksa di sana. Namun ia tetap dapat mendengar suara Allah, merasakan dan mengalami kehadiran Allah.

Pada suatu waktu, Yohanes mendapatkan penyingkapan ilahi, yaitu wahyu Allah. Kemudian Ingmar Bergman (1918-2007), sineas Swedia itu mengangkatnya ke dalam layar perak dengan judul The Seventh Seal (1957). Cerita tentang usaha manusia mengakali dan meloloskan diri dari Sang Kematian. Film ini menjadi klasik di dunia perfilman dan telah mengantar Bergman menjadi sutradara terkenal.

Yohanes menuliskan penyataan ilahi itu dalam Kitab Wahyu katanya, “Aku melihat Anak Domba itu membuka meterai yang pertama dari ketujuh meterai dan aku mendengar mahluk pertama dari keempat makhluk itu berkata dengan suara bagaikan bunyi guruh, “Mari!” Aku melihat seekor kuda putih dan orang yang menungganginya memegang sebuah panah dan kepadanya dikaruniakan sebuah mahkota. Lalu ia maju sebagai pemenang untuk merebut kemenangan.” (Wahyu 6)

Ketika Anak Domba itu membuka meterai yang kedua, Yohanes mendengar makhluk yang kedua berkata, ”Mari!” Maka majulah seekor kuda merah padam dan orang yang menungganginya dikaruniakan kuasa untuk mengambil damai sejahtera dari atas bumi, sehingga manusia saling membunuh dan kepadanya dikaruniakan sebilah pedang yang besar.

Ketika Anak Domba itu membuka meterai yang ketiga, Yohanes mendengar makhluk yang ketiga berkata: ”Mari!” Maka datanglah seekor kuda hitam dan orang yang menungganginya memegang sebuah timbangan di tangannya. Ada suara di tengah-tengah keempat makhluk itu berkata: ”Secupak gandum sedinar dan tiga cupak jelai sedinar. Tetapi janganlah rusakkan minyak dan anggur itu.”

Ketika Anak Domba itu membuka meterai yang keempat, Yohanes mendengar suara makhluk yang keempat berkata: ”Mari!” Maka ada seekor kuda hijau kuning dan orang yang menungganginya bernama Maut dan kerajaan maut mengikutinya. Kepada mereka diberikan kuasa untuk membunuh seperempat dari penduduk bumi dengan pedang dan dengan kelaparan dan sampar dan dengan binatang-binatang buas yang di bumi.

Ketika Anak Domba itu membuka meterai yang kelima, Yohanes melihat di bawah mezbah jiwa-jiwa mereka yang telah dibunuh oleh karena firman Allah dan oleh karena kesaksian yang mereka miliki. Mereka berseru dengan suara nyaring, ”Berapa lamakah lagi, ya Penguasa yang kudus dan benar, Engkau tidak menghakimi dan tidak membalaskan darah kami kepada mereka yang diam di bumi?” 

Kepada mereka masing-masing diberikan sehelai jubah putih dan kepada mereka dikatakan, bahwa mereka harus beristirahat sedikit waktu lagi hingga genap jumlah kawan-kawan pelayan dan saudara-saudara mereka, yang akan dibunuh sama seperti mereka.

Yohanes melihat, ketika Anak Domba itu membuka meterai yang keenam, sesungguhnya terjadilah gempa bumi yang dahsyat dan matahari menjadi hitam bagaikan karung rambut dan bulan menjadi merah seluruhnya bagaikan darah. 

Bintang-bintang di langit berjatuhan ke atas bumi bagaikan pohon ara menggugurkan buah-buahnya yang mentah, apabila ia digoncang angin yang kencang. Maka menyusutlah langit bagaikan gulungan kitab yang digulung dan tergeserlah gunung-gunung dan pulau-pulau dari tempatnya. 

Raja-raja di bumi dan pembesar-pembesar serta perwira-perwira, orang-orang kaya serta orang-orang berkuasa, semua budak serta orang merdeka bersembunyi ke dalam gua-gua dan celah-celah batu karang di gunung. 

Mereka berkata kepada gunung-gunung dan kepada batu-batu karang itu, ”Runtuhlah menimpa kami dan sembunyikanlah kami terhadap Dia, yang duduk di atas takhta dan terhadap murka Anak Domba itu.” Sebab sudah tiba hari besar murka mereka dan siapakah yang dapat bertahan?

Ketika Anak Domba itu membuka meterai yang ketujuh, maka sunyi senyaplah di sorga, kira-kira setengah jam lamanya. Lalu Yohanes melihat tujuh malaikat berdiri di hadapan Allah dan kepada mereka diberikan tujuh sangkakala. 

Lalu datanglah seorang malaikat lain dan ia pergi berdiri dekat mezbah dengan sebuah pedupaan emas. Kepadanya diberikan banyak kemenyan untuk dipersembahkannya bersama-sama dengan doa semua orang kudus di atas mezbah emas di hadapan takhta itu. 

Maka naiklah asap kemenyan bersama-sama dengan doa orang-orang kudus itu dari tangan malaikat itu ke hadapan Allah. Lalu malaikat itu mengambil pedupaan itu, mengisinya dengan api dari mezbah dan melemparkannya ke bumi. Maka meledaklah bunyi guruh, disertai halilintar dan gempa bumi.

Demikianlah Yohanes menerima wahyu Yesus Kristus, yang dikaruniakan Allah kepada-Nya dan oleh malaikat-Nya yang diutus-Nya, yang kemudian disingkapkan oleh hamba-Nya itu. Supaya hamba-hamba-Nya tahu tentang apa yang harus segera terjadi. 

Pewahyuan itu juga mengingatkan bahwa mereka yang membacakan dan mendengarkan kata-kata nubuat tersebut dan yang menuruti apa yang ada tertulis di dalamnya adalah orang yang berbahagia. Sebab waktunya sudah dekat.

********

Kata apokaliptik berasal dari kata kerja Yunani, yaitu apokalyptein, artinya “menyingkapkan” dan “mewahyukan”. Apokalipsis berarti pewahyuan atau penyingkapan.

Kata apokaliptik merupakan istilah teknis yang digunakan oleh Gereja Kristen mulai abad II Masehi untuk menunjukkan suatu jenis sastra yang erat hubungannya dengan Wahyu kepada Yohanes.

Sastra Apokaliptik adalah jenis tulisan mengenai penyataan ilahi yang dihasilkan oleh tradisi Israel antara 250 SM dan 100 M. Kemudian diambil alih serta dipertahankan oleh Gereja Kristen. 

Pada awalnya, tulisan apokaliptik dibuat untuk menghibur dan meneguhkan para pembaca yang sedang mengalami kesengsaraan dan penderitaan yang hebat. Bahwa peristiwa-peristiwa gelap dan berat itu merupakan bagian dari rencana ilahi.

Umat Allah bertanya mengapa mereka harus mengalami penderitaan sedemikian hebat? Mengapa orang-orang jahat justru hidup makmur dan bahkan tidak menderita? Mengapa orang-orang saleh dan setia kepada Allah justru mengalami penderitaan? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang kemudian dijawab dalam tulisan-tulisan apokaliptik.

Oleh tulisan apokaliptik tersebut para pembaca dikuatkan supaya dapat tetap teguh dalam iman, meskipun menghadapi kesulitan-kesulitan zaman itu. Memang, keadaan umum yang melatarbelakangi tulisan-tulisan apokaliptik itu adalah penganiayaan dan penderitaan yang sangat hebat.

Tulisan-tulisan apokaliptik muncul ketika suara kenabian tidak lagi terdengar. Bahwa ada suatu rentang waktu di mana Allah tidak lagi mengutus nabi-nabi-Nya untuk bernubuat kepada umat Israel. Kurun waktu di mana Allah tidak menyatakan sesuatu yang baru kepada umat-Nya.

Secara tradisional, periode ini mencakup kira-kira empat ratus tahun, sejak masa pelayanan Maleakhi (420 SM) sampai munculnya Yohanes Pembaptis pada awal abad I Masehi.

Zaman itu sangat kejam. Keselamatan yang dijanjikan Allah melalui seorang perantara, Juruselamat Mesianis tidak juga kunjung tiba. Namun sederetan raja non-Israel telah memerintah umat Allah, bukan Allah sendiri. Bahkan pada zaman Antiokhus Epifanes (168 SM) orang Israel dilarang beribadah dan mereka yang setia pada imannya menderita secara mengerikan. 

Untuk mengisi kehampaan ini, muncullah tulisan-tulisan apokaliptik tersebut. Tulisan-tulisan itu menyajikan penyataan-penyataan Allah yang menerangkan penyebab berkuasanya kejahatan dan membuka tabir rahasia sorgawi, serta menjanjikan kedatangan Kerajaan Allah dengan segera bagi orang-orang yang mengalami penderitaan tersebut.

Tulisan-tulisan tersebut mengungkapkan suatu pengharapan bahwa harinya akan segera tiba, di mana Allah akan membarui karunia kenabian, sebagai suatu tindakan pendahuluan atas kedatangan Kerajaan Mesianis Allah. 

Sastra apokalipitik mencakup pokok yang luas, mempunyai kebutuhan khusus untuk memberikan gambaran sampai sekecil-kecilnya mengenai kawasan sorgawi, mengenai sejarah Israel serta nasib dunia dan setiap orang yang tinggal di dalamnya. Juga menegaskan bahwa semua itu telah disingkapkan sebagai penyataan yang diterima langsung dari Allah melalui mimpi atau penglihatan atau melalui malaikat-malaikat yang diutus.

Sastra apokaliptik adalah tulisan mengenai penyataan ilahi, yang diberitahukan dengan cara-cara tertentu secara klise dan menyingkapkan rahasia-rahasia tertentu, yang menyatakan cara-cara Allah berhubungan dengan umat manusia dan dunianya.

Sastra apokaliptik menngunakan lambang, simbol dan gambaran antara lain, realitas khayali dan mimpi yang gaib dan menakjubkan. Misalnya, binatang dengan tanduk yang panjang, ular naga yang menyembur api, bintang-bintang yang berjatuhan, orang-orang berkuda yang misterius, angka-angka, gunung gaib, sungai suci, gempa bumi yang menghancurkan, raksasa-raksasa yang menakutkan, anak-anak setan, malaikat, mahluk surgawi, persalinan yang dahsyat, pertanda-pertanda di sorga dan di langit. Gambaran mengenai malapetaka dahsyat yang akan terjadi.

Kata apokaliptik juga digunakan sebagai kata sifat, sesuai pandangan religius yang terdapat dalam sastra ini. Sifat-sifat tersebut berasal dari pengembangan unsur-unsur yang terdapat dalam nubuatan para nabi. Unsur-unsur itu antara lain, dualisme, yaitu mengembangkan pertentangan antara zaman sekarang dengan zaman akan datang. Zaman ini penuh kejahatan dengan zaman yang akan datang, yaitu zaman Kerajaan Allah.

Kerajaan Allah sama sekali tidak terpisah dari sejarah dunia yang sedang berjalan ini. Hanya berbeda karena penderitaan, kekerasan dan kejahatan dihapuskan oleh kuasa Allah. 

Kedatangan zaman baru itu seutuhnya berada dalam tangan Allah, manusia tidak dapat mempercepat atau memperlambatnya. Zaman kejahatan harus menempuh jalannya dan kerajaan Allah harus menunggu kesudahan zaman ini. 

Sementara pada zaman kejahatan ini, Allah telah menarik pertolongan-Nya kepada umat-Nya.  Sehingga kejahatan menjadi tanda tanya besar yang tidak memiliki jawaban, kecuali harapan akan kedatangan zaman baru.

Meskipun demikian, sastra apokaliptik tidak tegas mengenai masalah moral dan tidak memberitakan penghukuman Allah atas umat-Nya, seperti yang telah dilakukan oleh para nabi. Masalahnya umat Israel benar, namun masih saja menderita secara tidak sepatutnya. 

Dari sisi yang lain, sastra apokaliptik mengandung gagasan eskatologi yang dicirikan oleh perenungan-perenungan khas mengenai “hal-hal terakhir” dan penghakiman ilahi yang akan segera datang.

Kata eskatologi berasal dari kata Yunani, yaitu eskhatos, artinya “akhir” atau “terakhir”, dan logos, artinya “Firman” atau “ajaran”. Maka eskatologi berarti pengetahuan mengenai hal-hal terakhir atau tentang akhir zaman. Secara umum eskatologi tidak hanya menyangkut nasib orang perorang, tetapi meliputi seluruh sejarah umat manusia. 

Karakteristik dasar gambaran nubuat tentang masa datang adalah masa itu akan datang karena Allah menghendakinya. Maka orang harus berharap kepada Allah saja, sehingga ia dapat mengerti secara benar mengenai masa datang itu. 

Tujuan eskatologi adalah penyelamatan dari Allah yang terangkum dalam kalimat yang selalu diulang, “Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku”.

Yang diinginkan Allah bagi umat-Nya adalah suatu ciptaan baru. Ciptaan itu haruslah sesuatu yang baru, karena telah sampai pada titik di mana tatanan dunia yang lama tidak dapat lagi bertahan. Allah menjadikan segala sesuatu baru, langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu dan lautpun tidak ada lagi.

Allah akan menghapus segala air mata dari mata mereka dan maut tidak akan ada lagi, tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita. Sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu. Orang yang haus akan diberi-Nya minum dengan cuma-cuma dari mata air kehidupan. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka. Maka tidak akan ada lagi laknat.

Di sana tidak akan ada lagi malam, maka tidak diperlukan cahaya lampu dan cahaya matahari. Sebab Tuhan Allah akan menerangi mereka dan mereka akan memerintah sebagai raja sampai selama-lamanya. 

Dalam gambaran yang bersifat nubuatan mengenai masa depan tersebut, terlihat bahwa Allah memakai seorang perantara, Mesias. Melalui dan di dalam perantara ini kenyataan tatanan yang baru itu akan terwujud.

Sedangkan pengadilan Allah adalah tindakan pembenaran, yang sedemikian rupa sehingga, si pelanggar hukum dan si korban mendapat ganti rugi. Pengadilan ilahi merupakan tindakan penyelamatan yang dikerjakan Allah. Yaitu penyelamatan Allah untuk memulihkan kembali tatanan ciptaan yang telah jatuh dan rusak, melalui hukuman di satu pihak dan penyelamatan di pihak yang lain.

Sementara kematian merupakan simbol kebinasaan akibat dosa, pemberontakkan, sekaligus merupakan bagian dari kebinasaan itu sendiri. Maka maut bukanlah bagian yang wajar dari dunia, tetapi sesuatu yang bertentangan dengan maksud-maksud baik Allah.

Orang mati turun ke Sheol, dunia orang mati yang berada di bagian bumi yang paling bawah. Namun Sheol bukan suatu lokasi, tetapi adalah eksistensi, yang pada dasarnya bertentangan dengan Allah. 

Di Sheol tidak ada kelangsungan hidup. Orang yang berada dalam Sheol ini adalah bayang-bayang dari orang yang mati itu. Di situ orang mendapat perhentian bersama-sama nenek moyang mereka.

Maka kematian akan diikuti oleh kebangkitan orang mati. Kebangkitan orang mati, sesuai dengan kitab Daniel yaitu kepercayaan pada seuatu yang melampaui kematian, yang diungkapkan sebagai ‘jiwa yang kekal’ dalam bentuk ‘tubuh yang dibangkitkan’. 

Tubuh kebangkitan itu sesuai dengan Kerajaan Allah, ke dalam mana orang mati dimasukkan. Tubuh jasmaniah untuk kerajaan di bumi dan tubuh rohaniah untuk kerajaan sorgawi. Pada saat penghakiman, tubuh akan berubah menjadi tubuh-tubuh rohani yang cocok dengan lingkungan sorgawi.

Beberapa kitab yang diakui sebagai sastra apokaliptik, yaitu Daniel (abad VI SM), I Henokh (3 SM-1 M), Ezra/II Esdras (100 M), II Barukh (awal abad II M), Apokalipsis Abraham (abad I–II M), III Barukh (abad II M) dan Kitab Wahyu (akhir abad I M).

********

Lalu Yohanes juga melihat seekor binatang keluar dari dalam laut, bertanduk sepuluh dan berkepala tujuh. Di atas tanduk-tanduknya terdapat sepuluh mahkota dan pada kepalanya tertulis nama-nama hujat. Binatang yang ia lihat itu serupa dengan macan tutul, kakinya seperti kaki beruang dan mulutnya seperti mulut singa. 

Naga itu memberikan kepadanya kekuatannya dan takhtanya dan kekuasaannya yang besar. Maka tampaklah satu dari kepala-kepalanya seperti kena luka yang membahayakan hidupnya, tetapi luka yang membahayakan hidupnya itu sembuh. Seluruh dunia heran, lalu mengikut binatang itu. Mereka menyembah naga itu, karena ia memberikan kekuasaan kepada binatang itu. Mereka menyembah binatang itu, sambil berkata: “Siapakah yang sama seperti binatang ini? Siapakah yang dapat berperang melawan dia?” 

Binatang itu diberikan mulut yang penuh kesombongan dan hujat; kepadanya diberikan juga kuasa untuk melakukannya empat puluh dua bulan lamanya. Lalu ia membuka mulutnya untuk menghujat Allah, menghujat nama-Nya, kemah kediaman-Nya dan semua mereka yang diam di sorga. 

Ia diperkenankan untuk berperang melawan orang-orang kudus dan untuk mengalahkan mereka. Kepadanya diberikan kuasa atas setiap suku dan umat dan bahasa dan bangsa. Semua orang yang diam di atas bumi akan menyembahnya, yaitu setiap orang yang namanya tidak tertulis sejak dunia dijadikan di dalam kitab kehidupan dari Anak Domba, yang telah disembelih. 

Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar! Siapa ditentukan untuk ditawan, ia akan ditawan. Siapa ditentukan untuk dibunuh dengan pedang, ia harus dibunuh dengan pedang. Yang penting di sini ialah ketabahan dan iman orang-orang kudus.

Kemudian Yohanes melihat seekor binatang lain keluar dari dalam bumi dan bertanduk dua sama seperti anak domba dan ia berbicara seperti seekor naga. Seluruh kuasa binatang yang pertama itu dijalankannya di depan matanya. Ia menyebabkan seluruh bumi dan semua penghuninya menyembah binatang pertama, yang luka parahnya telah sembuh. 

Ia mengadakan tanda-tanda yang dahsyat, bahkan ia menurunkan api dari langit ke bumi di depan mata semua orang. Ia menyesatkan mereka yang diam di bumi dengan tanda-tanda, yang telah diberikan kepadanya untuk dilakukannya di depan mata binatang itu. Ia menyuruh mereka yang diam di bumi, supaya mereka mendirikan patung untuk menghormati binatang yang luka oleh pedang, namun yang tetap hidup itu. 

Kepadanya diberikan kuasa untuk memberikan nyawa kepada patung binatang itu, sehingga patung binatang itu berbicara juga dan bertindak begitu rupa, sehingga semua orang, yang tidak menyembah patung binatang itu, dibunuh.

Ia menyebabkan semua orang, kecil atau besar, kaya atau miskin, merdeka atau hamba, diberi tanda pada tangan kanannya atau pada dahinya. Tidak seorangpun yang dapat membeli atau menjual selain dari mereka yang memakai tanda itu, yaitu nama binatang itu atau bilangan namanya.

Yang penting di sini ialah hikmat. Siapa yang bijaksana, baiklah ia menghitung bilangan binatang itu, karena bilangan itu adalah bilangan seorang manusia, dan bilangannya ialah enam ratus enam puluh enam.

Kemudian Yohanes mendengar suara, “Siapa yang berbuat jahat, biarlah ia terus berbuat jahat; siapa yang cemar, biarlah ia terus cemar. Siapa yang benar, biarlah ia terus berbuat kebenaran; siapa yang kudus, biarlah ia terus menguduskan dirinya!” (Wahyu 22)

——————

Kepustakaan

Bullock, C. Hassell. Kitab Nabi-Nabi Perjanjian Lama.
Gandum Mas, Malang, 2002.

De Heer, J.J. Wahyu Yohanes. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2015.

Dyrness, William. Tema-Tema Dalam Teplogi Perjanjian Lama.
Gandum Mas, Malang, 1990.

Hagelberg, Dave. Tafsiran Kitab Wahyu dari Bahasa Yunani.
Penerbit Andi, Yogyakarta, 2021.

Murphy, Frederick J. Apocalypticism in the Bible and Its World.
Baker Academic, Grand Rapids, 2012.

Russell, D. S. Penyingkapan Ilahi: Pengantar Ke Dalam
Apokaliptik Yahudi. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993.

Van Daelan, David H. Pedoman Ke Dalam Kitab Wahyu Yohanes. BPK
Gunung Mulia, Jakarta, 1994.

*Penulis adalah Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia