Tjahjono-Widijanto

Wayang Krucil Sriguwak Ngawi: Kesenian Mancanegari Yang Terabaikan

Oleh Tjahjono Widijanto

Kebudayaan Jawa di Jawa Timur menurut Suripan Sadi Hutomo (1986: 390) memiliki ciri khas, yakni sangat dinamis dan kerakyatan. Berkaitan dengan pembagian wilayah kebudayaan, kebudayaan di Jatim menurut Koentjoroningrat dibagi menjadi dua wilayah kebudayaan, yaitu (1) daerah kebudayaan mancanegari (daerah kebudayaan pesisir timur di Surabaya, dan (2) kebudayaan tanah sabrang wetan. Daerah kebudayaan mancanegari terbagi dua, yaitu manacnegari barat yang melingkupi Madiun dan sekitarnya, dan mananegari timur yang meliputi Kediri dan sekitarnya. Berdasarkan pembagian itu, wilayah Ngawi termasuk daerah kebudayaan mancanegari barat.

Sebagai salah satu kantong kebudayaan Jawa, Ngawi memilki banyak seni tradisi dan folklore yang terengah-engah digerus zaman, salah satu diantaranya ialah wayang krucil di Dusun Sriguwak Desa Selopura kecamatan Pitu. Dusun ini berada di sebelah utara Kabupaten Ngawi di dekat perbatasan wilayah Blora. Sebenarnya penyebaran wayang krucil ini tidak hanya ada di Ngawi tetapi juga dahulu dapat dijumpai di Nganjuk, Tuban dan Kediri. Di beberapa tempat, wayang krucil sering disebut sebagai wayang klitik, karena terbuat dari bahan kayu yang pipih dengan ukuran kecil sehingga bila dimainkan menimbulkan suara “pating klithik(sama dengan suara kayu-kayu kecil yang beradu satu sama lain).

Wayang krucil berbentuk dua dimensi dan pipih, berbahan kayu (tetapi tidak sama dengan wayang golek) dan tidak memakai cempurit. Berbeda dengan wayang kulit (wayang purwa), kalau wayang kulit satu tokoh memiliki satu nama dengan karakter masing-masing, dalam wayang krucil satu wayang dapat berganti-ganti peran sehingga namanyapun dapat berganti-ganti. Dalam wayang krucil hanya dibedakan empat tipe tanpa nama, yaitu wayang bambangan (ksatriya), kapandhitan, punakawan, dan sabrangan (antagonis). Sehingga satu wayang krucil bambangan bisa sebagai tokoh Damarwulan, Anglingdarma, Umarmaya, dan sebagainya.

Wayang Krucil Sriguwak Ngawi

Foto Wayang Krucil (1)

Menurut sejarah wayang, wayang krucil merupakan wayang wasana (wayang akhir) setelah wayang madya dan wayang purwa. Menurut James R.Brandon, pencipta wayang krucil adalah Raden Pekik dari Surabaya pada tahun 1648 (1571 Caka), dengan bunyi sengkalan watu tunggangane buta widadari. Wayang krucil Sriguwak ciri-ciri bentuk anatominya lebih halus (terutama dalam pahatan kaki), dan lebih bersifat halus dan tenang dibanding dengan wayang krucil di daerah lain.

Wayang krucil di berbagai daerah memiliki beberapa unsur kesamaan yaitu (1) spontanitas, yang tampak dalam gerak-gerik dalang krucil yang penuh improvisasi, suluk/sendhon/ada-ada yang spontan menurut adegan; (2) kesederhanaan, hal ini tampak pada gerak-gerik wayang, bahasa Jawa yang tidak terlampau halus/rumit, tata pentas (tanpa blencong, dan gamelan yang sederhana; dan (3) egaliter, tampak pada hubungan yang akrab antara dalang, pengrawit dan penonton. Pada saat pementasa berlangsung sering terjadi komentar-komentar spontan (saur manuk) antara dalan dan penonton. Kesederhanaan ini juga tampak dengan tidak adanya layar (kelir) yang menjadi batas dalang dan penonton.

Walaupun memiliki kesamaan dengan wayang krucil di daerah lain, wayang krucil Sriguwak juga memiliki karakter yang khas, yakni tidak banyak mendapat pengaruh wayang purwa. Wayang krucil Sriguwak antawacana dan gerakannya lebih halus. Dibandingkan dengan wayang krucil di Nganjuk misalnya, gerakan dfalang wayang krucil Sriguwak lebih tenang, sedangkan wayang krucil di Nganjuk dalangnya cenderung bergerak dramatis dan agak berlebih-lebihan. Wayang krucil Sriguwak juga lebih taat pada pakem wayang krucil asli. Hal ini tampak pada gendingnya yang bertahan pada “krucilan”, laras miring dan seseg, sedangkan wayang-wayang krucil di daerah lain sudah menggunakan perangkat gamelan lengkap pelog-slendro sehingga nadanya tidak berkhas “krucilan” lagi. Gending-gending wayang krucil Sriguwak juga khas krucilan kuno, misalnya gending mangkok, playon, dan  pacarcina yang mengutamakan gambang yang dinamis dan bersifat “saut-greget yang sigrak. Dalam pagelerannya wayang krucil Sriguwak tidak m,enggunakan gunungan (kayon) tetapi menggunakan dhadak merak sebagai ganti gunungan. Dan yang paling istemewa, menurut Dr. Setyo Yuwono Sudikan (2001) dalang wayang krucil Sriguwak dalam menampilkan adekan “golekan dan tari tokoh wanita cina lebih hidup dan indah dibanding dengan dalang wayang krucil di daerah lain.  

Tradisi wayang krucil di Sriguwak berlangsung secara turun temurun dan cenderung merupakan pagelaraan sacral (ritual) yang berkait dengan upacara sedekah bumi atau untuk keperluan nadar. Kesakralan wayang krucil Sriguwak ini terwujud dalam pagelaran yang tanpa menghadirkan waranggana, wayang-wayang yang dikeramatkan (tidak boleh dibuka selain oleh dalangnya), dan gemelannya yang walaupun hanya terdiri dari empat macam dapat terdengar sampai jauh. Karena “kesakralan” itu sampai saat ini perangkat gamelan dan wayang-wayang krucil Sriguwak ke manapun dipentaskan tidak boleh dinaikkan kendaraan tetapi harus dipikul.

Wayang Krucil Sriguwak Ngawi

Foto Wayang Krucil (2)

Dalang wayang krucil Sriguwak generasi terakhir adalah Sumadi yang kesehariannya adalah seorang tukang kayu. Sebagai dalang wayang krucil, Ia mendapat hak-hak istimewa dari desa seperti dibebaskan dari kerja bakti, bebas membayar sumbangan (iuran) desa, dan bebas jaga malam. Sebagai gantinya  ia wajib mendalang  wayang krucil dalam upacara bersih desa (nyadran) setahun sekali tanpa harus menerima honorarium.

Perangkat gamelang yang digunakan Dalang Sumadi saat mementaskan wayang krucil Sriguwak amat sederhana dan setia mempertahankan gamelan asli wayang krucil (krucilan). Gamelan krucilan ini terdiri dari kendhang, kempul, kenong berlaras nada 1,6,5, dan gambang laras  pelog bem (laras miring). Dalam pagelerannya dalang Sumadi hanya dibantu lima pengrawit yaitu Sumiyanto, Sudiyono, Sarmo, Kamiran dan Sukidi yang semuanya sudah berusia lanjut, hal ini tentu saja sangat berbeda dengan pertunujan wayang purwa (kulit) yang memerlukan banyak para pengrawit.

Dalam pengambilan cerita, wayang krucil Sriguwak dapat mengisahkan lima kategori cerita, yaitu  (1) Sejarah (misalnya cerita Untung Surapati,  Aryo Penangsang, Trunajaya, dsb),  (2) Cerita Babad (misalanya babad Pati, Babad Demak, Babad Panaraga, dsb), (3) Serat Menak (misalnya: Umarmaya, Umar Madi, Amir Hamzah, dsb), (4) Panji (misalanya: Kuda Waneng Pati, Panji Jayeng Tilam, Kethek Ogleng, Panji Semirang,  dsb), dan (5) cerita carangan (gubahan) Dalang Sumadi sendiri yang bercorak mistis-kebatinan, misalnya lakon Iman Sejati-Sejating Iman.

Sebagai salah satu wujud atau hasil kebudayaan, kondisi perkembangan wayang krucil Sriguwak Ngawi saat ini sangat menyedihkan karena hampir tidak lagi memiliki pendukung riilnya, baik pendukung aktif maupun pendukung pasifnya. Pendukung aktif yang terdiri dari pelaku budaya atau seniman kreatifnya nyaris punah karena meskipun dalang wayang krucil Sriguwak masih ada namun sulit untuk mencari pewarisnya. Di sisi lain masyarakat sekitarnya sebagai pendukung pasifnya sudah pula berpaling dari bentuk kesenian ini.

Selain itu ada banyak faktor lain, baik internal atau eksternal yang mengancam keberadaan wayang krucil Sriguwak. Faktor internal itu berupa (1) bentuk wayang krucil Sriguwak yang statis dan tidak inovatif akibat adanya asumsi kesakralan (misalnya, tidak boleh ada waranggana, tidak boleh penambahan unsure gamelan karena dianggap mengurangi kesakrala, dan tidak boleh memasukkan tembang-tembang baru yang populer di masyarakat), (2) sifatnya yang baku, dan (3) para pelakunya sudah berusia lanjut dan regenerasi yang terputus.

Wayang Krucil Sriguwak Ngawi

Foto Wayang Krucil (3)

Sedangkan faktor eksternal yang turut menggelontor wayang krucil Sriguwak ke kepunahan antara lain berupa (1)  seni mendalang wayang krucil tidsak diajarkan di sekolah formal atau Institus Seni, walaupun banyak sekolah seni pedalangan namun tidak ada yang sedikitpun melirik seni pedalangan wayang krucil, (2) profesi dalang wayang krucil dianggap sebagai “wahyu” sehingga tidak mungkin dipelajari orang lain. (3) desakan seni modern dan budaya massa, (4) anggapan masyarakat bahwa wayang krucil tidak dapat mengungkapkan nilai-nilai budaya baru yang serasi dengan perubahan zaman, dan (5) tidak ada sama sekali perhatian pemerintah daerah terhadap wauyang krucil Sriguwak. Karena dianggap tidak memberikan keuntungan material seperti seni-seni tradisional lainnya yang bernilai pariwisata  (seperti misalnya: campur sari), Pemerintah Daerah Kabupaten Ngawi tidak pernah mempromosikan terlebih memperlakukannya sebagai salah satu aset pluralisme budaya.

******

*Penulis adalah penyair dan esais. Tinggal di Ngawi, Jawa Timur.