Nota Lima Kompetisi Bupati dan Wali Kota (Catatan dari Hari Pers Nasional)

Oleh Agus Demarwan T

Anugerah Kebudayaan Bupati dan Wali Kota (AKBW) yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia Pusat telah berlangsung 5 kali. AKBW diadakan pertama kali pada 2016, yang mendapuk Abdullah Azwar Anas (Bupati Banyuwangi), Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung), Dedy Mulyadi (Bupati Purwakarta), Ki Enthus Susmono (Bupati Tegal), Ali Yusuf (Wali Kota Sawahlunto), Hugua (Bupati Wakatobi), Wilheminus Foni (Pejabat Bupati Belu), dan Jimmy F Eman (Wali Kota Tomohon) sebagai pemenang. Namun pemilihan yang dilakukan para wartawan secara incognito, dengan sistem pembacaan berita, data dan telusuk fakta lapangan itu, terhenti beberapa tahun. 

Pada akhir 2019 (untuk 2020) AKBW dimulai lagi dengan cara baru. PWI menyebarkan ajakan kepada para bupati (yang di Indonesia berjumlah 416) dan para wali kota (berjumlah 98) untuk berkompetisi. Para peserta yang berkehendak ikut diminta mengirimkan portofolio (portefeuille) dalam bentuk proposal dan video. Portofolio itu berisi curiculum vitae, catatan visi, aspirasi, gagasan dan data daerah mutakhir. Dengan yang terpenting tentu soal program, pelaksanaan program, dokumentasi faktual hasil program, yang semua berkait dengan tema : kebudayaan. Oleh karena penyelenggara perhelatan ini institusi pers, maka para peserta juga diminta mempresentasikan pencapaiannya dalam menggunakan literasi media (cetak atau digital) sebagai alat sosialisasi programnya. 

AKBW versi PWI Pusat

Trofi Abyakta (Sangkerta : maju, berkembang tanpa batas) untuk AKBW versi PWI Pusat. (Foto: Penulis)

Konten spesifik

Lalu dalam setiap tahun berpuluh-puluh portofolio diterima oleh Panitia. Dari puluhan itu lantas terseleksi sekitar 10 kepala daerah, yang diposisikan sebagai finalis. Menarik, masing-masing portofolio itu memiliki konten spesifik. Lantaran setiap kabupaten dan kota di Indonesia mempunyai karakter penduduk sendiri, adat budaya sendiri, sifat geografi sendiri, dan cara pengelolaan tersendiri.

Para bupati/wali kota finalis lalu diundang ke Kantor PWI Pusat di Jakarta. Dan secara bergantian (dengan mengenakan busana adat) mereka melakukan presentasi di hadapan dewan juri yang terdiri dari Atal S Depari (Ketua PWI Pusat), Dr Nungki Kusumastuti (antropolog, seniwati), Dr Ninok Leksono (akademikus, jurnalis), Yusuf Susilo Hartono (wartawan, seniman), dan Agus Dermawan T (pengamat kebudayaan). 

Dihitung dengan AKBW-PWI 2016, sudah ada 48 bupati dan wali kota yang terjunjung sebagai pemenang. Mereka menerima trofi dalam upacara khusus yang berkait dengan Hari Pers Nasional (HPN). Untuk 2023, trofi diserahkan di Medan pada 9 Februari 2023 dalam acara puncak HPN, yang dihadiri Presiden Joko Widodo, dan disaksikan oleh sekitar 4000 tamu.

Para penerima Anugerah Kebudayaan Bupati/Wali Kota di panggung HPN, Medan, 9 Februari 2023. (Foto : Chandra).

Penyerahan trofi AKBW-PWI Pusat dalam upacara Hari Pers Nasional 2023 di Medan.(Foto : Dokumentasi PWI)

Selama penyelenggaraan tahun 2020, 2021, 2022 dan 2023 banyak hal mengesankan yang perlu dicatat. Pada 2020 misalnya, yang memenangkan wali kota Airin Rachmi Diany (Tangerang Selatan), Ibnu Sina (Banjarmasin), AS Thamrin (Baubau). Juga bupati Anang Syakhfiani (Tabalong), Badingah (Gunung Kidul), Danny Missy (Halmahera Barat), Indah Putri Adriani (Luwu Utara), Soekirman (Serdang Bedagai) dan Umar Ahmad (Tulangbawang Barat).

Seperti yang diperkirakan dewan juri, para bupati/wali kota selalu menarik dalam presentasi, dengan mengajukan konten yang seringkali mengejutkan. Meskipun dalam penulisan proposal sebagian besar terjebak dalam format “legal formal”, sehingga kurang enak dibaca. 

Wali Kota Medan M Bobby A Nasution (tengah) bersama dewan juri AKBW 2023 : Dr Ninok Leksono, Agus Dermawan T, Yusuf Susilo Hartono, Dr Nungki Kusumastuti, Atal S Depari. (Foto: Penulis)

Dalam presentasi itu keunikan berbagai daerah berusaha diangkat. Dan setiap bupati/wali kota tampak sekali menguasai hal ihwal kebudayaan di daerahnya. Mereka punya kiat inovatif untuk pemeliharaan, pengembangan, pemajuan dan pemanfaatan segala unsur kebudayaannya. Dan semua itu berhilir pada hasrat : menjadikan kebudayaan daerah sebagai spirit utama pembangunan di wilayahnya. 

AKBW-PWI 2021 memenangkan wali kota IB Rai Dharma (Denpasar), Tjhai Chui Mie (Singkawang), Bima Arya Sugiarto (Bogor), Ika Puspita (Mojokerto), M Taufan Pawe (Pare-pare), Dedy Yon Supriyono (Tegal), Hendrar Prihadi (Semarang), serta bupati Hermin Yatim (Banggai), Karna Sobahi (Majalengka), Dony Ahmad Munir (Sumedang).

Sudah diikrarkan sejak lama bahwa bupati/wali kota adalah jabatan yang sangat vital dan serius, karena mereka diposisikan sebagai ujung tombak dari pemajuan sebuah bangsa. Mungkin karena merasa vital dan serius itu, portofolio yang mereka ajukan sebagian bernuansa “ketegangan”. Hal itu terbaca di berbagai sisi, yang kelihatan diupayakan hadir sangat resmi, dengan bahasa yang berusaha mempengaruhi, menggebu, dalam catatan yang bisa memakan puluhan halaman. 

Namun demikian portofolio itu tetaplah hadir menarik. Para bupati/wali kota tampak memperhatikan benar aspek inti penyajian, seperti tata kalimat, struktur serta model portofolio. Sementara semua yang literer itu dibungkus lay out dan desain yang kelihatan sekali diupayakan estetik. Bagi juri, penyajian portofolio yang terstruktur dengan visual indah adalah bagian dari kebudayaan. Apalagi semua itu diiringi dengan penyajian video ihwal kebudayaan daerah, yang umumnya digarap dengan sinematografi bagus, dan kelihatan dikerjakan oleh videografer profesional.

Yang menyenangkan, di balik portofolio yang terkesan “hidup-mati” tersirat kesukacitaan. Itu terlihat dari upaya mereka dalam menciptakan metoda, sistem dan sekaligus motto dan propaganda secara populer. Dari yang kecil (tapi penting) dalam bentuk perkataan, sampai yang besar dalam wujud pergerakan. 

Seorang bupati menyosialisasikan idenya lewat akronim jenaka. Seperti Dekat (Desa kabeh terang), Peri (Perempuan berdikari), Bersuling (Berjamaah subuh keliling). Ada yang melontarkan semboyan SMART, singkatan dari : Sehat – Maju – Agamis – Ramah – Terampil. Yang lain lagi menuliskan motto : JUARA, singkatan dari : Jujur – Unggul – Adil – Religius – Aman. Semangat bermain-main seperti ini syahdan dalam psikologi sosial ditengarai sebagai penggerak dari kegembiraan bekerja dengan gairah berguyub ria. 

Pemenang AKBW 2022 adalah wali kota Fadly Amran (Padang Panjang), H Helmi Hasan (Bengkulu), Gibran Rakabuning Raka (Surakarta). Juga bupati Suprawoto (Magetan), Yuhronur Efendi (Lampongan), Hj Nina Agustina (Indramayu), Musyafitin (Sumbawa Barat),  La Bakri (Buton), dan Hendra Lesmana (Lamandau). 

Budaya sandang, pangan, papan

Tahun 2023 AKBW menawarkan pilihan tema lebih mengerucut : inovasi dan pengembangan sandang, pangan dan papan dengan basis kebudayaan dan kearifan lokal. Di sini bupati/wali kota dipersilakan memilih satu di antaranya. Tentu ideal apabila ada peserta yang mempresentasikan prestasi pencapaian atas ketiganya. Dengan pilihan tema khusus itu mereka punya peluang untuk fokus. Hal ini melahirkan rincian penjabaran pada saat presentasi di depan dewan juri. Dan semua rinci itu secara umum disampaikan dengan baik. 

Yang mengesankan, daya tarik semua itu diberangkatkan dari landasan konsepsi budaya lokal. Pangan misalnya, dibudidayakan dengan dasar-dasar kearifan setempat. Sesampai di hilir produk itu lantas didistribusikan dengan ragam kemasan artistik dan bercitra seni daerah, sehingga cocok untuk pasar lokal. Selanjutnya menjadi produk khas ketika ditawarkan di pasar nasional. Papan, seperti program “Dandan Omah” untuk masyarakat miskin, dibangun dengan semangat gotong royong yang liat. Dan omah (rumah) diwujudkan dalam bentuk arsitektur/interior yang tak lari dari gaya papan masyarakat setempat. 

Bupati Serdang Bedagai (Sumatera Utara) Darma Wijaya yang mengajukan topik cetak sawah Gerakan Sawah Mandiri. (Foto: Penulis)

Bupati Malang (Jawa Timur) HM Sanusi membanggakan produk pangan pada saat presentasi. (Foto: Penulis)

Sedangkan sandang dikembangkan segala aspeknya dengan visi tradisional, meski dengan sentuhan masa kini. Sehingga motif klasik dipertahankan, motif baru yang kekinian diasimilasikan. Desain busana tradisional dilestarikan, desain kontemporer juga diperkenalkan. Bupati/wali kota yang berfokus kepada sandang kelihatan ingin menggamit generasi muda lokal untuk total terlibat. Sehingga ada wali kota yang menerbitkan “semboyan” San Sanwira – Satu Kelurahan Satu Sentra Kewirausahaan. Generasi muda dianggap ujung tombak menuju kancah internasional.

Kabupaten Pesawaran (Propinsi Lampung) menawarkan topik kain Sulam Jelujur, sandang yang keindahannya diinternasionalisasi. (Foto: Penulis). (Foto: Penulis)

Bupati Sleman (Jawa Tengah), Kustini Sri Purnomo menawarkan kreasi Batik Parijotho Salak. Ruang presentasi mendadak seperti butik. (Foto: Penulis)

Dengan tema spesifik itu, tampilan AKBW 2023 terasa ramai dan berwarna-warna. Apalagi presentasi mereka menghadirkan aneka produknya dalam display. Sehingga ruang sidang mendadak seperti butik, pada jam lain jadi toko makanan kemasan, pada saat lain berubah jadi warung dan mini market. Bahkan jadi ruang pameran hasil bumi dengan memajang kelapa, jeruk sampai bawang merah. Sayang buah durian tidak dihadirkan.

Para pemenang AKBW 2023 adalah wali kota M Bobby Afif Nasution (Medan), Eri Cahyadi (Surabaya), serta bupati Kustini Sri Purnomo (Sleman), Darma Wijaya (Serdang Bedagai), H Muhammad Wardan (Indragiri Hilir), H Acep Purnama (Kuningan), Andri Warman (Agam), H Usman Sidik (Halmahera Selatan), Dendi Ramadhona (Pesawaran), HM Sanusi (Malang).

Soal korupsi

Pada sesi presentasi dari tahun ke tahun itu hampir semua bupati/ wali kota  – sebagian besar bergelar master dan doktor – faham ihwal konten dan bahkan hafal sejarah tata-aturan pemerintah. Misalnya tentang Undang-undang Cagar Budaya (benda dan takbenda) No 11/2010 yang merupakan pengembangan dari UU No 5/1992. Tentang UU No 5/2017 yang berbicara Pemajuan Kebudayaan. Tentang IPK (Indeks Pembangunan Kebudayaan), instrumen untuk memberi gambaran kemajuan pembangunan kebudayaan, dan menjadi basis formulasi kebijakan dalam koordinasi lintas sektor. Bahkan mereka tahu benar bahwa IPK itu mengacu kepada konsep Culture Development Indicators (CDIs) yang diterbitkan UNESCO. Tapi apakah pengetahuan dan pemahaman menuntun kinerja kebudayaannya, tentulah belum tentu. Itu lantarannya dewan juri menelaah dengan teliti.

Dalam rangkaian kompetisi seringkali tersampaikan pertanyaan ini kepada bupati dan wali kota : 

“Banyak pengamat sosial mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi kebudayaan bangsa Indonesia. Bagaimana pendapat Anda mengenai pernyataan ini? Apakah benar sikap koruptif berkorelasi dengan sikap budaya? Bagaimana menghubungkan atau memisahkan korupsi dengan kebudayaan?”

Semua bupati/wali kota menjawab dengan fasih, dan menyatakan bahwa korupsi tak akan mendapat tempat di ranah budaya. Namun kenyataannya, dari 48 bupati dan wali kota berkebudayaan itu, dua di antaranya tercokok Komisi Pemberantasan Korupsi! Dua nama itu sengaja tidak dicantumkan dalam artikel ini. *

Agus Dermawan T. Juri Anugerah Kebudayaan Bupati dan Walikota PWI Pusat 2020, 2021, 2022, 2023. Penulis buku “Perjalanan Turis Siluman : 61 Cerita Budaya dari 61 Tempat di 41 Negara”.