Hardo Pusoro, Damarjati dan Saya

Oleh Agus Susilo Widodo

Pada waktu menjadi mahasiswa Filsafat UGM di tahun 70-an, Guru besar Fakultas Filsafat UGM, Prof Dr Damarjati Supadjar (almarhum) pernah mendaftarkan diri menjadi panitia sebuah simposium nasional di kampus. Salah satu pembicara di simposium itu adalah Prof Ir RMJT Soehakso pendiri Fakultas Matematika UGM .

Prof Soehakso di acara tersebut membawa tulisan dengan judul “Wulang-wulang kejawen”. Prof. Soehakso menyampaikan, setidaknya ada 4 buku yang direkomendasikan untuk di baca ketika mendalami spiritualitas Jawa yaitu serat kaca wirangi, serat madurasa, serat wewadining rasa dan serat jatimurti.

Damarjati Supadjar sangat terkesan dengan buku-buku tersebut, bahkan sampai ke Purworejo, Kebumen untuk mencari tahu lebih jauh kehidupan penulis buku-buku tersebut yaitu ki Soedjonoredjo.

Pada suatu Ketika Damarjati Supadjar mendapatkan petunjuk untuk pergi ke desa Kemanukan dimana ada sebuah padepokan yaitu padepokan Hardo Pusoro yang dikatakan sebagai sumber ngelmu dari ki Soedjonoredjo. Dan akhirnya Damarjati Supadjar pun datang ke desa Kemanukan ikut berguru dan menjadi warga Hardo Pusoro bahkan di masa tua beliau pernah menjadi ketua Paguyuban warga Hardo Pusoro.

Saya diperkenalkan dengan Hardo Pusoro oleh pak Damardjati Supadjar Ketika masih menjadi mahasiswa beliau. Dari literatur yang saya baca, ternyata Hardo Pusoro adalah paguyuban kebatinan tertua dan termasuk lima paguyuban terbesar dari segi jumlah pengikutnya di Indonesia. Tetapi banyak orang tidak tahu bahwa Hardo Pusoro masih ada penerus ilmunya sampai sekarang. Mungkin karena ajaran kawruh Hardo Pusoro bersifat eksklusif dan rahasia, sejalan dengan muatan ajaran yang merupakan pengungkapan rahasia (mistik) kehidupan.

Hardo Pusoro adalah peninggalan dari  Ki Sumocitro yang berasal dari Desa Kemanukan, Bagelen, Purworejo. Menurut sejarahnya pada, tahun 1876, ki Sumocitro diangkat sebagai Glondong (koordinator lurah) di Kemanukan, menggantikan ayah beliau. Karena permasalahan pajak dengan pemerintah Hindia Belanda, tahun 1880 R. Sumocitro melepaskan jabatan Glondong Kemanukan dan kemudian memutuskan untuk lebih mendalami kawruh kebatinan. Beberapa catatan menyebutkan sebagai aksi boikot bayar pajak yang menindas rakyat.

Tahun 1907 sudah banyak murid dan pengikut di Banyuwangi, kemudian berpindah-pindah dari pegunungan antara Malang, Blitar dan Kediri. Selanjutnya beliau aktif dalam Gerakan theosofie dan beliau pernah menjabat sebagai presiden perhimpunan theosofie hindia belanda wilayah purworejo.

Theosofie adalah organisasi trans-nasional berpusat di Amerika Serikat, yang tujuannya antara lain memperkuat inti persaudaraan antar umat manusia; serta mempelajari persamaan berbagai agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan, untuk menjembatani hubungan antara kebudayaan Barat dan Timur. 

Anggotanya terdiri dari kalangan cendekia Eropa maupun pribumi (antara lain: Rajiman Wedyodiningrat, H. Agus Salim, Ahmad Subarjo, Gunawan Mangunkusumo, Cipto Mangukusumo, Douwes Dekker {D. Setiabudi}, Suwardi Suryaningrat {Ki Hajar Dewantoro}, dr. Sutomo {pendiri Budi Utomo}, Datuk St. Maharaja, M. Tabrani, R. Sukemi {ayah Bung Karno}, Siti Soemandari, Armin Pane, Sanusi Pane, dll.). 

Tahun 1910 dibentuk paguyuban warga Hardo Pusoro di ndalem Notopradjan, Yogyakarta. Nama Hardo Pusoro sendiri dipilih atas usulan dari ki Hery Purnomo (Ki Prawiro Mijoyo) dan KGPH Notoprojo dua murid ki Sumocitro yang banyak berperan dalam perkembangan paguyuban warga Hardo Pusoro.

Kata hardo berasal dari bahasa Jawa kuno yang berarti gerak yang liar, daya yang tak teratur, atau gejolak, juga bisa berarti merajalela; sedangkan pusoro berarti mengikat atau mengendalikan. Maka, nama Hardo Pusoro dimaknai sebagai upaya pengendalian gerak/gejolak, yang berarti pengendalian hawa-nafsu. 

Sebelum saya diajak pak Damarjati Supadjar  ke Srawung Agung di padepokan Kemanukan Purworejo, saya di berikan catatan yang perlu saya  hapalkan dan pahami. Catatan tersebut adalah 14 pepacak kawruh atau pepacak ngelmu sebagai berikut ;

  1. Aja tindak rusuh tegese aja melikan
  2. Aja jahil tegese aja getingan
  3. Aja drengki tegese aja panasten
  4. Aja dahwen tegese aja openan
  5. Aja gumede tegese aja ambedakake
  6. Aja kumingsun tegese aja ngaku pinter
  7. Aja kuminter tegese aja nyacat kawruhing liyan
  8. Aja kagetan tegese aja kelu carita kang elok
  9. Aja kareman tegese aja duwe pakareman
  10. Kudu santosa ing budi tegese kudu manteb
  11. Kudu kenceng tapihe tegese. kudu sawiji tekade aja goroh
  12. Aja lemer tegese aja sugih pepinginan
  13. Aja mrengut tegese aja sugih nesu
  14. Kudu manut tegese kudu nurut pitutur kang bener.

Catatan tersebut kutulis di kertas tebal dan selalu kubawa kemana-mana, tidak saya hapal tetapi saya berusaha merasakan maknanya.  Sanguine urip iku dudu trahing kebagusan, dudu trahing kapinteran dudu trahing kasugihan nanging dumunung ing ati selamet. Sing sopo atine selamet sandang pangan ngintil dewe. (bekal hidup itu bukan penampilan, bukan kekayaan, bukan kepintaran, tetapi hati yang damai. Barang siapa berhati damai maka rejeki akan mengikuti). Saat itu saya seperti menerapkan tatanan moral baru didalam hati, juga menggeser arah pandangan hidup yang bukan hanya keluar tetapi mulai melihat kedalam diri. Sebuah pedoman yang sederhana dan mudah dipahami.

Namun ketika  sampai waktunya saya menerima wirid  (istilah untuk ilmu yang disampaikan secara lisan dari pamejang kepada murid atau warga baru) ternyata banyak bahasa-bahasa khusus yang saya kesulitan memahami, dikarenakan dalam kawruh atau ngelmunya menggunakan istilah-istilah khas dan khusus Hardo Pusoro. Tidak ada bahasa simbolis dan multi tafsir, Peristilahan digunakan secara lugas, jelas dan konsisten, merujuk pada pengertian yang sudah dipastikan.

Butuh waktu yang panjang bagi saya untuk memahami kata-kata tersebut karena beberapa kata atau istilah sudah terlanjur memiliki makna umum dalam benak saya atau makna khusus yang dipakai  dalam istilah agama misalnya. Hardo Pusoro sebenarnya bukan penghayat kepercayaan, tetapi kawruh atau ngelmu, bukan untuk sekedar di mengerti akan tetapi untuk dijalankan dan di buktikan kebenarannya. 

Belajar dan bergaul dengan kadang warga Hardo Pusoro seperti membuka sebuah dunia baru, sebuah wawasan spiritual yang kaya, unik dan menarik. Banyak cerita cerita dan kisah hidup kadang warga Hardo Pusoro yang seperti menyadarkan kita bahwa nusantara memiliki khasanah keilmuan yang tinggi dan luhur. Namun saat ini terlupakan atau terabaikan karena perhatian manusia di era modern ada umumnya lebih terpesona pada kemajuan yang sifatnya lahiriah dari pada yang batiniah.

Rahayu 

*Agus Susilo Widodo, anggota Hardo Pusoro, lulusan Fakultas Filsafat UGM.

——

Sumber bacaan

  1. Hinukartopati, Hardo Pusoro: Pengertian Kebatinan dan Hardo Pusoro, Buku Pegangan untuk Para Warga.
  2. Punto Ary Sidarta, Profil Hardo Pusoro  untuk Ensiklopedi Kepercayaan Terhadap Tuhan YME.