Bambang Bujono

Margiono

Oleh Bambang Bujono

“Mas Bambu berdoa saja, saya sudah minta tulung Pak Kiai di Kediri, supaya membantu kita,” kata Margiono di depan Mabes Polri, sehabis kami di”wawancarai” polisi.

Perkaranya, Majalah D&R membuat kover gambar Soeharto sebagai “king” di kartu skop. Margiono, salah seorang petinggi di Grup Jawa Pos “pasang badan” sebagai pemred D&R, karena wartawan D&R tak ada yang memenuhi syarat sebagai pemred menurut ketentuan PWI. 

Soeharto Kover Majalah D&R

Gambar Soeharto sebagai “king” pada kover Majalah D&R, Maret 1998. (Sumber Foto: https://id.wikipedia.org)

Hari itu rupanya “wawancara” polisi yang terakhir. Karena sesudah itu tak ada lagi panggilan “wawancara”, sampai Soeharto mengundurkan diri, 21 Mei 1998. Suatu ketika saya bertemu orang Departemen Penerengan di “Media Indonesia”. Saya tanya, apakah perkara D&R akan diteruskan.. Soalnya, Departemen inilah yang melaporkan kover D&R tersebut. “Kata Mabes, perkara dianggap kadaluarsa karena pokok soalnya sudah tidak berfungi,” jawab dia. Saya langsung ingat Margiono, alhamdulillah, batin saya.

Margiono sepanjang jadi pemred “pasang badan” begitu ikhlas. Bahkan menurut saya bangga. Sesudah kover “King Soeharto”, D&R tidak kendor, katanya suatu ketika.

Pertama kali ia dipanggil Mabes Polri, kami bertemu. “Apa polisi tidak tahu bahwa Anda hanya pemred pura-pura?”  tanya saya. “Tahu sekali,” katanya. “Tapi saya tak mau berdebat soal itu. Yang namanya  legal formal, pemred yang tertulis di mazhet itu yang harus bertanggyng jawab.”

Margiono

Margiono (Sumber Foto: www.ayoindonesia.com)

“Apa yang Anda katakan ke polisi?”

“Saya katakan, pemred ada di kantor atau tidak, apa pun yang terjadi di kantor dan dicetak di majalah, ya itu tanggung jawab pemred.”

Ia benar. Saya sudah mencoba menjelaskan ke polisi bahwa saya yang bikin kover itu dan Margiono tidak tahu apa-apa, karena datang di kantor D&R saja hampir tidak pernah. D&R cuma pinjam nama. Pak polisi cuma tersenyum (ah, dia masih tersenyum, artinya perkara tidak berat ini, saya berharap).

“Kita proses saja, soal itu biar pengadilan yang memutuskan,” katanya.

Entahlah, hidup memang bukan lorong yag lurus, dan di zaman modern kini, “kejutan” rupanya masih ada. Mungkin Pak Kiai di Kediri (saya lupa nama beliau) doanya diterima Yang Maha Kuasa. Mungkin keikhlasan Margiono mendapatkan imbalan. Yang jelas ia tak lagi dipanggil polisi, dan kemudian sempat menjadi ketua PWI.

Kami tak pernah bertemu setelah pertemuan di depan Mabes Polri. Mungkin, lorong kami berbeda…..

Selamat jalan Mas Margiono, sampai bertemu.

Pasar Minggu, 11.11 WIB, 1 Februari 2022

 

*Penulis adalah mantan wartawan Majalah D&R