Budaya Dong Son Di Kawasan Danau Sentani Papua

Oleh Hari Suroto

Danau Sentani memiliki luas 25,5 km2 atau sekitar 9.630 ha dan kedalamannya bervariasi sampai mencapai 140 m. Masyarakat Sentani bermukim di tepi Danau Sentani dan pulau-pulau di Danau Sentani.

Meskipun lokasi pemukiman danau cukup terbatas, hubungan dengan masyarakat luar danau tidak terputus. Hubungan itu, pada umumnya merupakan hubungan dagang. Akibat yang terjadi dari hubungan itu adalah terjadinya pertukaran budaya. Budaya yang dianggap sesuai dengan kondisi komunitas itu diterima sebagai budaya materi mereka. Budaya materi dari luar, pada umumnya dibuat dari bahan yang tidak ditemukan di suatu lingkungan komunitas. Keberadaan budaya materi dari luar itu dapat digunakan untuk menggambarkan hubungan komunitas danau masa lampau dengan komunitas lain yang hidup di luar komunitas itu (Nitihaminoto, 2008:83).

Setelah kemunduran jaringan Lapita sekitar 2500 tahun lalu, ada bukti-bukti konkrit tentang transaksi antara Asia Tenggara, Indonesia dan Papua. Barang yang dijadikan komoditi transaksi adalah benda berbahan perunggu. Benda-benda perunggu tersebut diproduksi di tempat yang saat ini merupakan wilayah bagian utara Vietnam, antara 2400 atau 2100 tahun yang lalu (Muller, 2008:82).

Benda-benda arkeologi dari Dong Son sangat beraneka ragam. Hal itu tampak sama jelasnya pada artefak-artefak kehidupan sehari-hari ataupun peralatan suatu ritus yang rumit sekali. Perunggu adalah bahan pilihan. Kapak dengan selongsong, ujung tombak, pisau belati, mata bajak, topangan berkaki tiga, dengan bentuknya yang kaya dan indah. Semua benda itu, atau hampir semuanya, diberi hiasan terkadang secara mewah. Bentuk geometri merupakan ciri dasar dari kesenian tersebut: jalinan, arsir-arsir, segitiga, terutama spiral yang tepinya dihiasi dengan garis-garis yang bersinggungan. Namun, jika kita membicarakan bentuk-bentuk figure, kita harus mengagumi kekuatan ekspresi yang berhasil diungkapkan, walaupun gayanya seperti agak mekanis (Groslier, 2007:50).

Foto Danau Sentani, Papua 

Himpunan-himpunan tinggalan arkeologis Dong Son sangat penting karena benda-benda logam paling awal yang ditemukan di Asia Tenggara pada umumnya bercorak Dong Son. Benda perunggu gaya Dong Son ditemukan secara luas di daratan Asia Tenggara dan Cina bagian selatan, tetapi kesamaan corak dan bahan-bahannya, terutama nekara, menunjukkan pengaruh yang kuat bengkel-bengkel logam Dong Son di Vietnam utara pada waktu itu (Bellwood, 2000:390).

Kecerdasan budaya Dong Son yang tercermin dalam ketrampilan membuat bentuk-bentuk nekara, situlae (ember kecil), kapak, serta penggunaan teknik cetak lilin-hilang Vietnam bagian utara merupakan pusat metalurgi perunggu yang membawa pengaruh besar di kawasan Asia Tenggara (Bellwood, 2000:391).

Tradisi orang Sentani tidak mengenal pembuatan peralataan berbahan perunggu. Temuan artefak perunggu yang bahannya tidak terdapat di lingkungan situs, dan tidak diproduksi di sebuah situs, mengindikasikan  bahwa artefak tersebut berasal dari luar.

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui asal usul dan latar belakang keberadaan artefak perunggu di kawasan Danau Sentani. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan, dalam tulisan ini digunakan metode deskriptif kualitatif.

Sentani memiliki potensi sumberdaya alam yang sangat beragam dan melimpah. Potensi sumberdaya alam ini berupa hasil hutan maupun hasil laut. Hasil hutan yang terkenal dari pulau ini adalah pala yang terdapat di Kepala Burung, kopra dan kayu masoi yang terdapat di hampir seluruh pesisir Papua. Selain itu, hutan Papua juga terdapat fauna endemik yang sangat terkenal, sehingga orang-orang berbondong-bondong ke pulau ini untuk memburunya. Fauna ini adalah burung cendrawasih (paradiseidae). 

Lokasi Situs Yope, yang merupakan Teluk Yope, bekas hunian jaman prasejarah di Danau Sentani, Papua. (Foto dok Peneliti Balai Arkeolog Papua)

Bukti hubungan Papua dengan luar ditemukannya artefak perunggu. Suatu hal yang mustahil adalah apabila masyarakat Dong Song mengadakan hubungan dagang secara langsung dengan Papua. Jadi dapat diasumsikan bahwa masuknya artefak perunggu ke Papua adalah dengan cara melalui serangkaian perantara yang termasuk dalam suatu jaringan perdagangan dari  barat ke timur.

Alasan utama yang dapat diterima berkaitan dengan kehadiran artefak perunggu di Papua adalah karena adanya perdagangan. Menurut Munoz (2009:44), jadi sangat mungkin bahwa melalui penutur Austronesia kerajinan-kerajinan logam ini mulai menyebar begitu luas melalui selatan dan mencapai Indonesia pada kira-kira 300 SM.

Mungkin banyak dari benda perunggu eksotik ini tidak langsung tersebar tetapi lama setelah tarikh pembuatannya. Melalui jaringan perdagangan cengkeh, pala dan rempah-rempah lainnya di negeri-negeri kecil di Semenanjung Malaysia dan Indonesia barat pada awal sejarah (Bellwood, 2000: 402-03).

Kemampuan Papua yang konsisten menghasilkan komoditas yang khas, sehingga selalu dibutuhkan dan menempati posisi penting dalam perdagangan internasional. Papua memiliki daya tarik karena menyediakan komoditi yang langka, yaitu bulu burung cenderawasih. Temuan artefak perunggu di Kawasan Danau Sentani membuktikan bahwa di wilayah ini terdapat penguasa yang mampu mendatangkan benda bermartabat dari luar wilayah kekuasaannya. Mereka adalah orang-orang yang mampu mengerakkan anak buahnya untuk berburu burung cenderawasih yang dibutuhkan di pasaran internasional. Komoditas ini diperdagangkan secara beranting oleh para pelaut-pedagang Austronesia.

Terkait dengan kepemilikan benda perunggu di Sentani yang dimiliki oleh tokoh adat tertinggi atau disebut ondoafi, hal ini terait dengan hanya ondoafi saja yang berhak memakai hiasan kepala burung cenderawasih. Menurut Bellwood (2000:403) benda perunggu sebagai benda penanda kedudukan sosial dalam masyarakat pemimpin adat.

Secara linguistik bahasa Sentani dikelompokan dalam fila non-Austronesia, tetapi di Kawasan Danau Sentani terdapat ciri budaya Austronesia, diantaranya pembuatan gerabah di Kampung Abar, sistem kepemimpinan ondoafi yaitu sistem kepemimpinan yang diwariskan secara turun-temurun, tradisi kunyah pinang, tradisi minum cairan sadapan pohon kelapa, dan tradisi menghias tubuh dengan tato.

Papua dikenal oleh dunia luar karena memiliki komoditas endemik yaitu burung cenderawasih dan kayu masoi. Hubungan Papua dengan dunia luar melalui serangkaian pelayaran-pelayaran perdagangan.

Benda-benda perunggu yang terdapat di Papua, diperkirakan merupakan komoditas dagang yang dibawa oleh penutur Austronesia untuk dipertukarkan dengan komoditi unggulan Papua. Komoditi ini berupa bu­rung cenderawasih, kulit buaya, hasil laut, dan kayu masohi. Selain berfungsi sebagai komoditi dagang, benda perunggu ini diperkirakan juga berfungsi sebagai ”benda bermartabat” yang dipersembahkan untuk pemimpin lokal setempat.

Walaupun artefak perunggu di kawasan Danau Sentani berjumlah relatif sedikit, dianggap langka, serta hanya dimiliki oleh ondoafi (penguasa adat), dapat dipakai untuk menjelaskan kegiatan pemberian hadiah tersebut.

Benda-benda perunggu yang ditemukan di Papua tentu merupakan barang-barang yang diimpor, yang tidak bisa dibuat sendiri oleh penduduk dari daerah-daerah tempat benda-benda itu sekarang ditemukan. Fungsi benda-benda perunggu ini sebagai alat upacara, sim­bol kekuasaan, dan status sosial seseorang.

Kapak corong tipe umum (socketed bronze axe) pernah ditemukan di Pulau Asei dan Kwadeware, saat ini disimpan di Koninklijk Instituut voor de Tropen, Belanda. Kapak upacara (ceremonial axe), fragmen kapak upacara tipe Rote (kapak monstrans), mata tombak, dan tangkai belati (Soejono, 1963:46).

Artefak perunggu kemungkinan besar diartikan sebagai barang yang tinggi harganya secara instrinsik mupun secara moral. Perlakuan seperti itu disebabkan karena kelangkaan barang, asal barang serta harga barang. Akibatnya, kepemilikan barang tertentu dapat menaikkan status golongan seseorang. Selain itu, ada kemungkinan lain bahwa barang tertentu yang seharusnya difungsikan sebaga barang keseharian dapat berubah menjadi barang ideo dan sosioteknik (Nayati, 1995: 98-99).

Pemberian hadiah merupakan hal yang menguntungkan bagi penguasa karena mendapatkan simbol status sosial yang istimewa dan hanya dimiliki oleh orang tertentu saja (Nayati, 1995: 99). Adanya pemberian hadiah merupakan bagian dari usaha untuk mendapatkan rasa aman bagi pemberi, sebagai alat untuk mempererat hubungan perdagangan secara langsung, dan juga untuk mempererat hubungan sosial (Lewis, 1976).

Di Kawasan Pasifik ditengarai berkembangnya suatu sistem pertukaran yang bersifat redistribusi. Pertukaran tersebut melibatkan elite masyarakat di suatu pihak, dan warga masyarakat kebanyakan di pihak yang lain. Dalam berbagai rujukan, elite masyarakat yang diaksud sering disebut dengan istilah big men. Big men memiliki otoritas untuk mengatur atau mengarahkan kegiatan kaumya (subordinat) (Malinowski, 1992). 

Salah satu bentuk perilaku ekonomi yang paling awal dalam kebudayaan adalah pertukaran (exchange). Dari segi proses, pertukaran adalah penyebaran benda secara keruangan, dari individu ke individu lain, dan dari satu kelompok ke kelompok lain (Earle, 1982). Studi pertukaran mencoba untuk selalu dapat memahami proses yang berlangsung dalam pemindahan barang dari satu tangan ke tangan lain dan dari satu kelompok manusia ke kelompok manusia yang lain.

Lonceng-lonceng dan bejana pipih termasuk dalam suatu tradisi pencetakan logam pada milenium pertama Masehi yang tidak berkembang di Vietnam, tetapi mungkin asal-mulanya memperoleh teknologi itu dari Vietnam (Bellwood, 2000:408).

Akibat terjadinya pengenalan benda dan teknologi perunggu dari luar ke Kepulauan Indo-Malaysia yang cukup cepat, muncul pusat-pusat pembuatan logam setempat. Situs-situs arkeologi di Jawa, Sabah dan Kepulauan Talaud telah ditemukan sisa-sisa cetakan (bagian dari cetakan setangkup atau bivalves) yang dipakai untuk membuat kapak tembaga dan perunggu. Semua bukti itu cukup kuat untuk menunjukkan adanya pencetakan logam di situs-situs itu, dengan bahan mentah yang mungkin diperoleh setempat atau diimpor, selama awal pertengahan milenium pertama Masehi (Bellwood, 2000: 405).

Artefak perunggu yang ditemukan di kawasan Danau Sentani, merupakan bukti perdagangan jarak jauh dengan Indonesia bagian barat. Keberadaan artefak ini di Danau Sentani tentu saja tidak dibawa langsung oleh orang Dong Song, tetapi oleh jaringan perdagangan Nusantara. Jenis perdagangan yaitu barter. Kemunginan artefak perunggu ini tidak dibuat di Dong Song tetapi dibuat di Indonesia, karena situs-situs arkeologi di Bali, Jawa, Sabah dan Kepulauan Talaud pernah ditemukan alat cetak perunggu.  Selain itu kapak perunggu Asei dan Kwadeware mirip dengan tipe kapak Rote.

Persebaran artefak perunggu di Sentani, terjadi pada awal Masehi. Hal ini berdasarkan pertanggalan di situs pemukiman Yomokho yaitu  ± 2590 tahun yang lalu. Persebaran artefak perunggu di Sentani bersamaan dengan kehadiran manik-manik, gelang kaca.  Motif-motif yang terdapat pada artefak perunggu diaplikasikan pada ukir-ukiran Sentani.

————–

DAFTAR PUSTAKA

Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.

Earle, Timothy K. 1982. Prehistoric Economics and the Archaeology of Exchange. New

York: Academic Press.

Groslier, Bernard Philippe. 200. Indocina: Persilangan Kebudayaan. Jakarta: Kepustakaan

Populer Gramedia.

Lewis, I M. 1976. Social Anthropology in Perpective: the Relevance of Social Anthropology.

Cambridge: Cambridge Unversity Press.

Malinowski, B. 1922. Argonauts of the Western Pacific. London: Routledge and Keegan Paul.

Muller, Kal. 2008. Introducing Papua. Daisy World Books.

Munoz, Paul Michel. 2009. Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung

Malaysia. Yogyakarta: Mitra Abadi.

Nayati, Widya. 1995. Kegiatan Perdagangan: Suatu Penjelasan Berdasarkan Teori Simbolis.

Berkala Arkeologi Tahun XV-Edisi Khusus-1995. Balai Arkeologi Yogyakarta. Hlm.96-104.

Nitihaminoto, Gunadi. 2008. “Studi Permukiman Danau Pengembangan dan Pemberdayaannya di Indonesia” dalam Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi IX. Jakarta: IAAI. Hlm. 78-88.

Soejono, R. P. 1963. Prehistori Irian Barat dalam Koentjaraningrat dan Harsja W. Bachtiar

(eds.), Penduduk Irian Barat. Jakarta: Penerbitan Universitas. Hlm. 39-54.

*Penulis adalah peneliti di Balai Arkeologi Papua