Amorf, Dunia Soliter Made Kaek

 Oleh Warih Wisatsana

Ini  bukan kali pertama Made Kaek berpameran tunggal, akan tetapi karya-karya yang dihadirkan pada perhelatan kini, secara stilistik maupun tematik diwarnai kebaruan. Berbeda  dengan periode-periode sebelumnya, yang lebih mengedepankan deformasi bentuk, keleluasaan eksplorasi warna, berikut kemudian mengejar dan menggali monokrom hitam putih; sekarang Kaek terlihat begitu lepas bebas merefleksikan wujud rupa yang terbilang ‘amorf ’—sesuatu yang secara visual sesungguhnya nir-bentuk seturut pandangan kita tentang realita atau kenyataan yang kasat mata.

Dengan kata lain, perupa yang juga pendiri Rumah Paros Gallery serta penggagas berbagai peristiwa pameran, melalui seri karyanya tahun 2021 ini menyuguhkan sisi lain dunia batin atau ekspresi prasadarnya. Bila karya-karya terdahulunya diliputi siratan identitas kelokalan (Bali) sebagaimana umumnya perupa-perupa yang tergabung dalam Sanggar Dewata Indonesia, seri rupa terkininya ini boleh dikata tidak lagi terbebani pesan atau pernyataan-pernyataan tentang kenyataan; sehingga yang mengemuka adalah sosok-sosok atau wujud yang tidak sepenuhnya dapat diidentifikasi sebagai rupa flora, fauna, atau manusia, bukan juga mahluk-mahluk mitologis yang berpretensi mistis-magis.

“Bad Face” 30 X 30 cm, Acrylic on canvas, 2021.

“Dancing In The Dark” 1 40 X 30 cm, Acrylic on canvas, 2020.

Ya, karya-karya amorf ini lebih tepat disebut penjelajahan abstraksi Made Kaek terhadap hal-hal  yang  bersifat esensial, mengelak dari sesuatu yang verbal atau banal. Proses sublimasi ini  berangkat dari apa yang dialami dan dipahami ketika bertemu berbagai kejadian dan menanggapinya sebagai  kreator atau perupa, yang di dalam dirinya lekat pula pengalaman pribadi sebagai mahluk individual, sosial, sekaligus spritual.

Sosok-sosok amorf itu,  sesungguhnya datang dari mana? Apakah semata luapan bawah sadar yang mengikuti naluri ekspresinya sebagai pencipta, ataukah terlahir juga melalui serangkaian daya analitis dan pergulatan teknis sebagaimana tahapan berkarya umumnya?

“Dancing In The Red Corner” 200 X 150 em, Acrylic on canvas, 2020.

“Playing In The Crowded Room” 1 50 X 50 cm, Acrylic on canvas, 2020.

“Kudeta” 30 X 30 cm, Acrylic on canvas, 2021.

“Wild Memory” 1 30 X 30 cm, Acrylic on canvas, 2021.

Menelisik lebih menukik hamparan karya seri ini, pandangan kita akan terbawa pada rangkaian bentuk yang memenuhi kanvas dengan kesan paling awal berupa ekspresi diri pencipta yang telah melepas bebas, di mana bentuk, warna, garis, berikut ruang, bukan lagi semata medium atau sarana menyampaikan sesuatu. Keseluruhan yang memenuhi bidang kanvas Kaek adalah kepaduan dan keutuhan; sebuah dunia yang unik dan otentik—guyub akrab, digenangi nuansa jenaka yang hangat dan karib. Karya-karya ini nyatalah diri Kaek yang soliter dan mempribadi, menggenapi sisi pribadi sehari-harinya yang dikenal solider; supel bergaul, ringan berbagi, dan hangat bersahabat.

“Wild Memory” 2 30 X 30 cm, Acrylic on canvas, 2021.

“Wild Memory” 3 30 X 30 cm, Acrylic on canvas, 2021

“Wild Memory” 5 30 X 30 cm, Acrylic on canvas, 2021.

“Wild Memory” 6 30 X 30 cm, Acrylic on canvas, 2021.

Bukan perkara mudah untuk meraih karya yang unik otentik dengan capaian stilistik dan estetik seperti ini. Kaek, yang dilahirkan di Denpasar, 23  Januari 1967  ini, mulanya berangkat dari langgam abstraksi, semata sebuah upaya sublimasi dari realita atau kejadian yang ditelaahnya secara pandangan langsung. Ia juga mengalami periode penciptaan hitam putih dengan men- gelola conte dan tinta cina seturut fase-fase hidupnya yang dirundung murung; mengalami sakit berkepanjangan serta dibayang-bayangi kehilangan ayah di masa muda—tecermin pada karya  seri ‘Demon’ (2004).

Fase hidup dan periode penciptaan yang dilaluinya itu  tergambar pada artikulasi rupa, ruang dan bidang pada kanvasnya; di mana kehendak diri sebagai pelukis masih terdepankan, berikut  pesan-pesan tematik yang disadari atau tidak, tak jarang malah menjadi semacam  ‘tirani estetik’ yang membatasi keleluasaan proses ciptanya.

“Wild Memory” 8 30 X 30 cm, Acrylic on canvas, 2021.

“Wild Memory” 10 30 X 30 cm, Acrylic on canvas, 2021.

“Wild Memory” 17 30 X 30 cm, Acrylic on canvas, 2021.

Melacak Jejak Amorf

Merujuk Amorf  sebagai istilah, melahirkan pengertian adanya unsur-unsur ‘wujud’ yang  bentuk sesungguhnya tidak pernah permanen; adalah zat yang hakikatnya tidak memiliki struktur baku atau amorphous (a:tidak, morf:bentuk).

“Fairy Tales Of The Night” 1 25 X 25 cm, Acrylic, rice paper on canvas, 2020.

“Dancing Without World” 1 25 X 25 cm, Acrylic on canvas, 2019.

Dalam seni rupa, kita bisa melacak jejak amorf pada  karya-karya Basquiat, perupa legendaris yang tumbuh dari jala- nan kota New York sedini rekahnya Pop Art (1960an). Bersama    mentornya, Andy Warhol, kehadiran Basquiat memang tidak lepas dari situasi kultural tahun-tahun itu. Mazhab modernis akhir kala itu tengah merajai jalanan dan galeri-galeri New York.  Karya-karya Basquiat adalah sekelumit torehan, sekilas garis, dan aneka bidang warna yang  terkesan datar  tak selesai, dengan raut muka cuek meringis. Gambar yang mengingatkan kita   pada karya anak-anak (sering hadir sebagai  amorf ) bila tidak diimbuhi nada sinis dan komentar aneh yang mencerminkan sepekikan luka atau jiwa yang meradang.

Sekilas, amorf Kaek mengingatkan pada Basquiat. Namun sebenarnya berbeda karena titik  mula ekspresi atau tendensi penciptaannya yang berlainan. Bila pada Basquait adalah   menyiratkan sekaligus menyuratkan protes sosial dari kaum hitam jalanan, korban booming   ekonomi  dan kuasa modal yang makin menepikan kaum terpinggir; pada Kaek lebih sebagai   lantunan solilokui dirinya yang soliter.

“Made Kaek” 4 t50 X 50 cm, Acrylic on canvas, 2016.

“Made Kaek” 6 t50 X 50 cm, Acrylic on canvas, 2016.

Karya-karya Kaek kali ini tidak memiliki tendensi untuk mengungkapkan pesan sosial atau  protes keadaan; karena itu warna, komposisi, dan rupa amorf nya tak tergelincir menjadi  ‘wujud’ yang terbebani pernyataan. Kanvas Kaek merupakan perayaan dunia  yang soliter—bila pun hendak dibaca sebagai pesan, semata adalah ungkapan kebebasan untuk Kebebasan itu sendiri.

Seri amorf Kaek bukan pula ragam rupa para penghayat Kubisme, yang melihat sosok atau bentuk secara menyeluruh dan serentak sehingga mengesankan wujud nyata (bukan nir-bentuk) yang terfragmentasi atau terdeformasi.

Made Kaek di depan lukisannya “Dancing In The Red Corner”

Memang, kosa rupa amorf ini bisa juga ditelusuri pada karya-karya Art Brut, dicetuskan Jean Dubuffet. Ia mengumpulkan karya Art Brut, termasuk buah cipta pasien rumah sakit jiwa Adolf   Wolfli  (1864-1930), dan melangkah lebih  jauh melahirkan Museum Collection d’Art  Brut di    Laussane, Switzerland, menampung karya Art Brut dunia, termasuk Ni Tanjung (Bali). Art    Brut mengedepankan karya seniman dengan gangguan skizofrenia. Mencerminkan pribadi  obsesif,  sosok-sosok yang ada dalam kanvas merupakan luapan naluri purba di bawah rundungan delirium.

Sedangkan seri amorf lukisan Kaek justru adalah menggambarkan capaian proses ‘ekstase’, di   mana tarikan garis, warna, dan goresan aneka rupa tetap dalam paduan kecakapan teknis yang pada ghalibnya sudah menjadi sesuatu yang organis dengan dirinya. Ekstase dalam proses cipta berkesenian ini  pada tataran tertentu seakan mirip seseorang yang tengah dirasuki delirium, namun bila para Art Brut adalah gambaran ketidaksadaran laten, sebaliknya pengalaman serupa Kaek bahkan adalah melahirkan kesadaran atau meraih kejernihan diri, gambaran  pribadi yang ringan batin.

Made Kaek di depan lukisannya “Playing In The Red Corner” bersama perupa Wayan Sujana Suklu

Lepas dari bacaan tersebut, karya-karya Art Brut itu—yang belakangan diterakan pula sebagai  Outsider Art—telah mendapat  apresiasi dan disejajarkan para maestro seni rupa umumnya. Karya-karya mereka, kaum Outsider Art dan maestro seni tersebut, disandingkan dalam pamer- an-pameran bersama yang prestisius, termasuk di Indonesia.

Foto-foto pada saat pembukaan pameran

Seri  amorf Kaek ini menandai tahapan penciptaan penuh kemungkinan dari seniman yang  berumah di kawasan seni Sukawati ini. Capaian stilistik dan estetiknya menunjukkan  kematangan tersendiri dirinya, baik sebagai perupa maupun pribadi, yang boleh dikata sudah tak muda lagi.

Kita  dapat berharap, ke depan dari tangannya lahir ragam tematik yang juga dieksplorasi seleluasa dan sebebas kreasinya dalam meraih keotentikan stilistik serta keunikan estetiknya.  Mari hayati pandang batin kita dengan karya-karya Amorf  ini, siapa tahu teraih pengalaman  kebebasan nan riang jenaka; dan kita mengalami keseharian hidup dengan lebih bahagia.

*Penulis adalah penyair dan kurator