Tony Doludea

Masih Berlangsungkah Gerhana Allah? Kontemplasi atas Relasi Aku-Engkau dan Yang Jahat Bersama Martin Buber

Oleh Tony Doludea

Pagi-pagi sekali, seorang tentara mengetuk pintu kediaman Martin Buber (1878–1965). Serdadu itu telah berjalan kaki, jauh dari Austria di sebelah Timur untuk sampai ke rumah Buber di Jerman. Ia minta waktu kepada Buber untuk dapat berbincang tentang masalah yang sedang menekannya. Buber dengan sopan mempersilahkannya duduk dan meletakkan jam kantongnya di atas meja. Buber menanggapi dengan sabar pertanyaan yang diajukannya. 

Pelajaran penting diperoleh oleh Buber dari peristiwa tersebut, bahwa keesokan harinya ia mendengar kabar bahwa orang itu telah bunuh diri. Buber merasa terpukul karena telah gagal mendengarkan (listen) meskipun telah mendengar bunyi (hear) perkataan orang tersebut. Permasalahan sesungguhnya bukannya tidak terungkap dalam percakapan dengan serdadu itu. Namun Buber tidak membuka diri dalam perbincangan tersebut, sehingga tidak dapat menangkap dan memahami isi hatinya.  Buber terlibat dalam relasi Aku-Itu (I-It) dengan serdadu yang malang itu. Ia tidak memperlakukannya sebagai seorang pribadi, sebagai subjek.

Martin (Ibrani: Mordechai) Buber lahir di Wina Austria pada 1878 dalam lingkungan keluarga Yahudi Ortodoks. Ada dugaan Buber masih terkait dengan garis keturunan Raja Daud melalui Rabbi Meir ben Isaac Katzenellenbogen (1482–1565). Namun ia melepaskan diri dari adat dan tradisi agama Yahudi itu dan pada 1898 bergabung dengan gerakan Zionist. Zionisme sebagai gerakan sosial dan pengayaan rohani.

Foto Martin Buber

Foto Martin Buber (1) (Sumber foto: www.pinterest.com)

Pada 1903 Buber masuk Hasidim, sebuah gerakan kebangkitan rohani Yahudi. Di 1904 ia keluar dari gerakan Zionist dan mencurahkan perhatiannya untuk belajar dan menulis buku.  Buber melihat bahwa kehidupan Hasidic itu menekankan kehadiran Allah yang tanpa syarat. Sehingga tidak dapat dipisahkan dan dibedakan antara kehidupan biasa sehari-hari dengan pengalaman rohani.

Di awal 1920-an, Martin Buber melakukan advokasi dwi-negara (binational) Yahudi-Arab, dengan menyatakan bahwa orang Yahudi harus menyerukan “keinginan untuk hidup damai bersama dan bersaudara dengan orang Arab dan membangun sebuah negara republik bersama, di mana kedua bangsa ini memiliki kesempatan membangun secara bebas”.

Sejak dini Buber telah membaca karya-karya Immanuel Kant, Søren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche. Buber belajar Filsafat dan Filologi di Universitas Wina, pada musim dingin 1897-98 dan 1898-99 di Universitas Leipzig, kemudian 1899 di Universitas Zürich dan dari 1899-1901 di Universitas Berlin. Pada 1930 Buber diangkat menjadi professor kehormatan di Universitas Frankfurt am Main. Pada 13 Juni 1965 Buber meninggal di Talbiya, Yerusalem Israel.

Dalam buku I and Thou (1923) Buber menyatakan bahwa kemanusiaan sedang menderita sakit. Manusia tidak dapat dapat lagi menyentuh ontological orientation, yaitu keberadaan fundamental yang terdalamnya, yang hanya dapat ditemukan dalam relasi dialogis Aku-Engkau (I-Thou). 

Bagi Buber pada dasarnya umat manusia memiliki dua sikap dalam menanggapi dan berhubungan dengan dunianya, yaitu relasi Aku-Itu (I-It) dan Aku-Engkau (I-Thou). Relasi Aku-Itu adalah sebuah hubungan yang bersifat instrumental. Aku berelasi kepada sebuah objek atau benda di hadapannya, termasuk kepada seorang manusia, sesamanya. Sebuah objek yang dapat dipikirkan, diketahui, dialami, diingini, diperalat dan dimanipulasi untuk dapat memenuhi keinginan dan kepentingannya.

Hubungan seperti itu secara intrinsik tidaklah buruk dan memang merupakan suatu bagian produktif dalam kehidupan manusia. Namun bagi Buber di dalam relasi tersebut terdapat masalah, yaitu hilangnya hubungan jenis lain yang lebih mendasar bagi kehidupan umat manusia, yaitu relasi Aku-Engkau. Sebuah relasi yang tidak instrumental namun bersifat timbal-balik dan bersifat kebersamaan. Tanpa Aku-Itu memang seseorang tidak dapat hidup, tetapi siapa pun juga yang hidup hanya dengan Aku-Itu, bukanlah manusia.

Perbedaan antara relasi Aku-Itu dengan Aku-Engkau itu terletak pada nilai dan makna Aku sebagai seorang manusia bagi orang lain yang terlibat dalam relasi tersebut. Relasi Aku-Engkau saling memberi dampak dan pengaruh kepada mereka. Hubungan Aku-Engkau, Aku tidak berusaha memikirkan, mengetahui, mengalami, mengingini, memperalat dan memanipulasi Engkau untuk dapat memenuhi keinginan dan kepentingannya. Namun Aku ada bersama Engkau dan tidak ada jarak yang memisahkan, meskipun Aku dan Engkau tetap dua pribadi yang berbeda. 

Dalam relasi Aku-Engkau manusia mengungkapkan keberadaannya sebagai manusia secara menyeluruh utuh, dan otentik. Manusia sungguh-sungguh hidup sepenuhnya, bermakna dan mencinta. Sebaliknya relasi Aku-Itu tidak memberi dampak karena Aku bertindak pragmatis dalam ketertutupan, keterbatasan, keterasingan dan keterpisahan. Meskipun demikian, seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan tinggal lama dalam relasi Aku-Engkau dan harus kembali tenggelam ke dalam relasi Aku-Itu. Namun peristiwa Aku-Engkau yang sekejap itu telah mengubah dirinya dan berdampak jangka panjang. 

Peristiwa sesaat itu sesungguhnya abadi dan menjadi sumber makna serta nilai bagi dirinya dan kehidupannya secara menyeluruh. Akibat peristiwa itu seseorang tidak dapat kembali lagi ke keadaannya yang lama. Peristiwa itu telah membuka dirinya kepada dunia yang selama ini tersembunyi, yaitu bahwa semua Engkau itu adalah Engkau dan bukan Itu. Peristiwa sesaat itu mengubah sikap dan perilakunya karena sejak dari saat itu ia akan memperlakukan Engkau sebagai Engkau, meskipun dalam relasi Aku-Itu dan ia akan selalu siap menjadi Engkau bagi orang lain. Orang ini akan menjadi saksi dan bukti  relasi Aku-Engkau.

Dalam konteks tradisi Kitab Taurat (Perjanjian Lama) keadaan seperti Ini dapat menunjuk pada peringatan pemazmur: “Tetapi umat-Ku tidak mendengarkan suara-Ku, dan Israel tidak suka kepada-Ku.” (Mazmur 81: 12 dst.) Allah berbicara kepada manusia tetapi manusia tidak memiliki telinga yang dapat mendengar dan tidak memiliki kata-kata untuk menanggapi-Nya. Perjanjian Lama juga mencatat tanggapan ilahi terhadap relasi Aku-Itu: “Pada waktu itu murka-Ku akan bernyala-nyala terhadap mereka, Aku akan meninggalkan mereka dan menyembunyikan wajah-Ku terhadap mereka, sehingga mereka termakan habis dan banyak kali ditimpa malapetaka serta kesusahan. Maka pada waktu itu mereka akan berkata: Bukankah malapetaka itu menimpa kita, oleh sebab Allah kita tidak ada di tengah-tengah kita?“ (Ulangan 31: 17)  

Dalam buku Eclipse of God (1952) Buber menggambarkan bahwa permasalahan yang terjadi dalam kehidupan manusia modern ini bukan karena Allah itu tidak ada atau sudah mati, melainkan karena adanya hubungan yang tidak tepat antara manusia dengan Allah.

Dalam konteks ini Buber menjelaskan lebih lanjut di bagian awal bahwa biasanya Filsafat dimulai dengan seperangkat pernyataan yang salah; bahwa kesadaran manusia itu berjarak dan terpisah dari kenyataan dunia luar dan bahwa yang mutlak itu dapat ditemukan di dalam yang universal. Namun sebaliknya, Buber lebih cenderung kepada yang religius, yang didapatkan dalam relasi dari perjanjian antara yang mutlak dengan yang partikular. Jika Filsafat menunjuk kepada keberadaan yang terpecah-pecah, maka religi menunjuk kepada keberadaan utuh menyeluruh.

Gerhana Allah merupakan sebuah metafora yang kuat karena menjelaskan pergumulan yang dihadapi umat manusia untuk mengenal Allah. Dunia telah terkunci dalam perangkap kemustahilan terhadap yang transenden. Kesadaran manusia akan Allah kabur, tergerhana dan terpisah dari cakrawala teistik, sakral dan penuh pesona. Krisis dunia modern bukan utamanya karena disorientasi moral atau hilangnya iman tradisional agama, namun Gerhana Allah. Kabur dan kegelapan membuat manusia kehilangan arah dan meningkatkan bahaya kehancuran bagi dirinya.

Menurut Buber ada tiga hal penting di sini, yaitu: Pertama, ketidakmampuan manusia melihat Allah tidak berarti Allah itu tidak ada. Seperti matahari tetap ada meskipun terhalang oleh bulan ketika gerhana matahari terjadi. Kedua, memandang keberadaan Allah itu bukanlah masalah psikologis belaka, seperti melihat matahari ketika gerhana terjadi, juga bukan masalah penyesuaian mata manusia untuk melihatnya. Ketiga, seperti bulan menghalangi matahari itu tidak akan menghancurkan kenyataan keberadaan matahari, demikian juga gerhana Allah yang menghalangi hubungan manusia dengan Allah.

Yang menghalangi hubungan manusia dan Allah di dunia modern ini adalah kuatnya sikap instrumatalitas dan pemujaan kefaedahan yang mengubah manusia menjadi objek juga di antara benda-benda lainnya. Sikap ini terungkapan dalam Utilitarianisme, sebagaimana dikatakan oleh Jeremy Bentham (1748-1832): the greatest happiness of the greatest number that is the measure of right and wrong. Gerhana Allah adalah manusia tidak dapat melihat (recognize) atau mendengar (respond to) Allah. 

Menurut Buber Allah adalah “Engkau Yang Utama”. Allah adalah kenyataan transeden teragung yang menopang hidup manusia. Gerhana Allah adalah redupnya kemungkinan bagi manusia untuk mengalami hidup dalam relasi dengan kenyataan agung ini. Gerhana Allah adalah juga gerhana manusia.

Buber tidak hanya hendak menolak “allah para filsuf” secara umum, namun juga secara khusus para filsus Yahudi neo-Kantian seperti Hermann Cohen (1842–1918). Cohen, yang meneruskan Moses Maimonides (1138–1204) itu bersikares bahwa penggambaran antropomorfisme Alkitab tentang Allah tersebut harus ditolak. Melanjutkan Maimonides dan Immanuel Kant (1724–1804), Cohen tegas bahwa manusia hanya dapat mengenal Allah melalui pikirannya, Allah adalah sebuah gagasan ideal dalam pikiran moral praktis manusia.

Buber juga tegas mengatakan bahwa Allah bukan sebuah gagasan ideal atau suatu prinsip dasar metafisis. Allah adalah suatu kehadiran yang menjumpai dan menyapa manusia di dalam ruang dan waktu khusus. Peristiwa perjumpaan itu berbeda daripada peristiwa-peristiwa lainnya dalam hidup manusia. Suatu perjumpaan, pewahyuan dan pengejahwantaan yang tidak dapat ditangkap melalui konsep abstrak, namun hanya dapat dilukiskan secara antropomorfis. 

Dasar pendapat tersebut adalah peristiwa ketika TUHAN menjumpai Musa, berupa semak duri yang menyala di tanah yang kudus dan menyapanya: “Akulah Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub… Firman Allah kepada Musa: “AKU ADALAH AKU”. Lagi firman-Nya: “Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu.” (Keluaran 3: 2-14). Ungkapan “AKU ADALAH AKU” (Ibrani: eheye asher eheye) tidak memaparkan tentang hakikat esensial Allah, tetapi menegaskan bahwa Allah selalu hadir dan menyertai. TUHAN Allah datang menjumpai Musa bukan untuk menerangkan esensi hakiki-Nya secara filosofis, namun membuktikan bahwa TUHAN itu selalu ada bersama-sama mereka, TUHAN tidak minta Musa untuk percaya kepada sesuatu tentang Allah berdasarkan penjelasan rasional. Namun Allah mengatakan supaya Musa percaya Allah karena Allah selalu ada bersama-sama dengannya, karena beriman kepada Allah bukan sebuah bukti bahwa Allah itu ada. 

Gerhana Allah terjadi karena manusia terlalu mengagungkan pikirannya. Iman kepada Allah itu bukan ranah pembuktian rasional, namun perjumpaan dengan-Nya. Orang tidak beriman karena tidak berjumpa dengan TUHAN Allah. Buber menegaskan lagi bahwa pikiran dunia modern telah menghalangi kemungkinan manusia untuk berjumpa dan bersama-sama dengan Allah. Iman (Ibrani: emunah) bukanlah percaya secara membabi-buta bahwa sesuatu itu benar. Namun iman lebih kepada mempercayai seseorang tanpa dapat memberikan bukti rasional yang cukup mengapa ia percaya kepada orang tersebut. Buber mengaitkan iman dan moral: “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” (Mikha 6: 8) Namun Buber tidak dapat memberikan alasan yang jelas mengenai masalah “yang baik dan yang buruk” dalam keadaan tertentu, meskipun ia tetap tegas bahwa manusia harus sadar bahwa setiap saat selalu ia berdiri di hadirat pengadilan ilahi.

Sejarah manusia sedang membuktikan bahwa relasi Aku-Engkau semakin menciut ditelan oleh relasi Aku-Itu. Filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi telah mematikan relasi Aku-Engkau tersebut. Namun Buber tidak menerima pandangan yang suram mengenai masa depan umat manusia seperti itu, Karena menurutnya, semakin banyak bahaya, maka semakin banyak juga anugerah dicurahkan untuk keselamatan manusia.

Dalam keadaan seperti itu Buber masih melihat ada peluang, yaitu seseorang harus juga mencintai Yang Jahat, karena Yang Jahat itu bahkan mengharapakan untuk dicintai juga. Tentu saja ungkapan Buber ini bersifat simbolik, dalam konteks secara konsisten menjawab persoalan bahwa Yang Baik itu dapat dimaksimalkan bukan melalui penolakan atau penaklukan terhadap Yang Jahat, tetapi melalui transformasi Yang Jahat, dengan menggunakan kekuatan tenaga dan semangatnya justru untuk melakukan Yang Baik.

Buber menyebutkan beberapa jenis Yang Jahat dalam dunia modern ini, yaitu kurangnya tujuan hidup manusia dan masyarakat modern, pemahaman yang salah atas individualisme dan kolektivisme, tidak hadirnya komunitas yang benar dan dualisme roh dan tubuh, yang ideal dan yang nyata, lembaga dan perasaan. Yang Jahat ini hanyalah sebagian dari gangguan terdalam dalam diri manusia, yang terkait dengan ada tidaknya relasi dirinya dengan benda, manusia dan Allah.

Ada empat jenis Yang Jahat dalam zaman modern ini: kesepian, meningkatnya instrumentasi akibat berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merasuk dalam nilai hidup manusia, meningkatnya kesadaran akan gangguan jiwa karena perkembangan ilmu psikologi dan merosotnya kehidupan manusia secara besar-besaran akibat negara totaliter.

Buber percaya bahwa Yang Jahat bukanlah suatu yang hakiki, melainkan hanya gelora gairah yang kacau atau tak terarah. Menurut Buber ada cara untuk dapat menebus Yang Jahat, yaitu dengan mengikuti sifat dasarnya. Jika ia sebagai yang tidak memilliki tujuan, maka ditebus dengan menemukan tujuan melalui melayani Allah dengan menggunakan “dorongnya” itu. Jika ia sebagai tidak adanya keutuhan pribadi dan terpecah antara yang ideal dan yang nyata, maka ditebus melalui “menguduskan hal biasa sehari-hari”. Jika ia sebagai tidak adanya relasi, maka ditebus dengan memperbaharui hubungan dengan Allah dan manusia.

Foto Martin Buber

Foto Martin Buber (2) (Sumber foto: dadaweb.de)

Pandangan seperti ini muncul karena keyakinan bahwa manusia itu pada dasarnya bebas untuk melakukan apa saja dan dapat diarahkan kepada Allah. Memang Allah dapat memberikan cobaan dan ini nyata. Tetapi Allah tidak memaksakan manusia menyerah pada godaan itu dan jika Ia melakukan itu maka ia menghianati kebebasan yang diberikan Allah kepadanya. Karena manusia itu bebas untuk melakukan Yang Jahat sebagaiaman juga melakukan Yang Baik. Pelayanan tertinggi manusia bagi Allah adalah menyerahkan dorongan Yang Jahat itu kepada-Nya melalui perbuatan kasih.

Orang yang melakukan hal tersebut lebih bernilai daripada mereka yang berhasil mengalahkan dan menyingkirkan dorongan Yang Jahat itu tanpa menfaatkannya. Mereka memang pemenang atas Yang Jahat, namun orang tadi telah menebus Yang Jahat dan menggunakannya untuk kebaikan. 

Mereka yang berhasil menaklukkan Yang Jahat itu telah mengurbankan gairahnya, yang sesungguhnya dapat diarahkan untuk Yang Baik. Gairah ini merupakan bagian yang tanpanya tidak ada perbuatan yang dapat berhasil, ia adalah bagian yang hanya perlu diarahkan supaya darinya Kerajaan Allah dapat dibangun.

Manusia harus melayani Allah menggunakan dua dorongan tersebut, yaitu kejahatan dan kebaikan, sehingga dia menjadi utuh dan hatinya murni. Orang seperti ini suci bukan karena secara rohani murni, tetapi karena ia telah menyatukan roh dan tubuh, sinar surgawi dan api dunia. Buber menyebut penyatuan ini “fenomen langka abadi dan menentukan”

Pagi-pagi sekali Martin Buber menyambut seorang tentara masuk ke rumahnya. Ia meletakkan jam kantongnya di atas meja. Buber dengan sopan dan sabar mendengar bunyi (hear) perkataan keluh-kesah orang tersebut. Kedua manusia ini terlibat dalam relasi Aku-Itu, yang kemudian disebut sebagai gerhana manusia, yaitu Gerhana Allah. Buber memperlakukan serdadu ini hanya sebagai benda, objek untuk didengarkan dan ditanggapi, tidak ada kebersamaan, timbal balik dan kasih. Untuk itu ada harga yang harus dibayar, yaitu kematian. Yohanes mengatakan: “… karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya… Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya.” (I Yohanes 4: 20-21). 

Melalui peristiwa Aku-Itu, yaitu Gerhana Allah tersebut Buber justru mendapat lawatan dan perjumpaan ilahi, yang olehnya ia mendapatkan pencerahan. Gerhana yang menggelapkan namun sekaligus memiliki kekuatan mencerahkan bagi mereka yang mendapatkan rahmat dan anugerah serta berupaya menggunakan kegelapan tersebut untuk melayani Sang Engkau. 

Tidakkah pengalaman Martin Buber ini sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari orang saat ini? Orang berrelasi dengan memperlakukan sesamanya sebagai objek, benda atau alat. Memanipulasi sesamanya manusia itu demi pemenuhan syahwat politik, harta kekayaan dan pengakuan? Memperlakukan TUHAN Allah sebagai pelayan untuk memperoleh keselamatan kekal surgawi, rejeki, jodoh, kekuatan, kesehatan dan umur panjang? Bukankah ini gerhana manusia, Gerhana Allah? 

Buber hendak mengajak orang untuk mau menyingkap kegelapan gerhana ini dengan menebusnya. Gerhana ini telah menerangi Martin Buber, kegelapan ini adalah sesungguhnya sinar bagi orang yang terrahmati dan yang berusaha menebus Yang Jahat: kebencian, permusuhan, keserakahan dan kesombongan dengan menggunakan daya dorongan kegelapan Yang Jahat itu menjadi perbuatan kasih melalui relasi Aku-Engkau. Yohanes melanjutkan “”Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya? Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.” (1 Yohanes 3: 17-18). Gerhana ini adalah suatu peristiwa ajaib, kegelapannya itu adalah cahaya Allah yang bersinar cemerlang. Orang yang terpapar oleh-Nya adalah juga kegelapan yang menyinari sesamanya manusia. 

————

Kepustakaan

Buber, Martin. The Writings of Martin Buber. Meridian Books. The World Publishing
Company, Cleveland and New York, 1956.

Buber, Martin. I and Thou. Charles Scribner’s Sons, New York, 1970.

Buber, Martin.  Eclipse of God. Princeton University Press, Princeton and Oxford, 2016.

Cohen, Arthur. Martin Buber. Bowes & Bowes, London, 1957.

Friedman, Maurice S. Martin Buber: The Life Of Dialogue. The University Of Chicago Press, Chicago Illinois, 1955.

*Penulis adalah Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia.