Puis-Puisi Amos
Dramaturgi Jumat Agung
Sementara,
anak gadis meremukan dirinya pada peti mati itu,
menaburkan tulang belulangnya pada tubuh Ayah.
Papah! Kenapa meninggal pagi ini?
Kenapa cepat, aku masih mau dipeluk, masih mau dicium Papah!
Sementara,
kita masih terjepit pada ruang,
pada detik, pada bisik,
pada bising politik.
“Pidato kenegaraan ini akan menjelaskan bagaimana proses kita menyusun duka menjadi sebuah institusi. Di mana kita buatkan jenjang kepangkatan bagi yang berduka. Ketika yang berduka akan kejar-kejaran dengan yang lain, supaya mereka bisa segera naik ke surga! Dengan sendirinya, pembangunan nasional sukses!“
Kutemukan kita,
berjalan pada trotoar,
keluar gerbang kota,
menuju pelabuhan,
menumpang compreng,
masuk lembah kelam,
masuk ngarai luka,
masuk hutan bakau,
keluar di negeri seberang,
bertemu pohon ara busuk.
Sementara,
mereka masih menjejak pada gravitasi,
pada asi, pada autopsi, pada nasi.
Kutemukan kita,
menyatu bersama tubuh-tubuh itu,
lagu lama dinyanyikan,
dengan cara baru:
Ya, itu paduan suara kekekalan!
(2023)
Menjelang Ritus
Pada jam sebelum ibadah,
dari luar gereja.
Kutemukan diri-Ku tak lagi percaya,
tapi terseok-seok mengamini Magnificat:
Sebuah doa dari calon Ibu yang tubuhnya direnggut.
Setelah direbut-Nya,
lahirlah si bayi dalam sakit dan darah,
dirawat tubuh mungil-Nya,
dibalut cinta perempuan Nazareth.
Pada waktu-Nya,
sang bayi akan mati brutal dan tragis,
pada hadapan mata sang Ibu,
tubuh mungil-Nya berantakan,
dicambuk, dirobek,
digantung Imperium!
Pada tubuh yang hancur, bagaimana caramu tetap percaya lagu lama:
Deposuit potentes de sede, et exaltavit humiles.
Aku mengayun baton stick, menjelma pada jari John Rutter:
Deposuit potentes de sede, et exaltavit humiles. Esurientes implevit bonis: et divites dimisit inanes.
(Sleman, 2022)
Perjamuan di Warung Nasi Bu Imas
Aku yang kelaparan,
tapi cuma punya lima ribu:
“Oreg, daun singkong, sambel ya, Bu”
Bu Imas menambah bakwan jagung gratis,
disiram kuah pindang tongkol yang merah.
Ia memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata:
“Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku”
Aku yang kelaparan cuma bisa bersyukur,
melahap tuntas,
piring itu kosong.
Bu Imas memberi teh panas.
Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur
lalu memberikannya kepada mereka, dan mereka semuanya minum dari cawan itu.
Sudah dua puluh tahun,
Bu Imas memasak untuk banyak orang,
setiap hari.
Jualan dari jam sembilan pagi sampai sepuluh malam, lalu cuci piring jam sebelas, Bu Imas istirahat dan harus siap-siap ke pasar lagi, jam dua subuh berangkat ke pasar, sisanya potong-memotong, merebus, dan menggoreng dari jam empat subuh.
Perjamuan itu tak pernah benar-benar berakhir:
Tak habis-habis rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi!
(Bandung, 2022)
Gerbong Enam Kereta Bengawan
“Lagi apa, masak kah?”
“8 jam ini keretanya”
“Nanti tidur ya, jam tidurnya harus bener”
Kutemukan diri-Mu,
pada mata seorang bapak yang duduk sebelahku,
dari Stasiun Lempuyangan hingga Cirebon Prujakan,
ia sibuk video call dengan istri-Nya, menemani tidur.
Karena takut ganggu penumpang lain,
telpon istri-Nya mode bisu,
sekedar ingin menatap suami,
sampai kereta ini terbang menuju negeri senja.
Istri rebahan meluk bantal,
sambil menangis,
video call terputus terus, sinyal dari 4G jadi H+.
“Jangan lama-lama dinasnya, ya. Aku benci sendiri di rumah ini”
Si suami terpaksa pergi ke Karawang, kerja, kerja, kerja!
Sampai tipes dan istri terkangen-kangen: menangislah bantal!
Kerja, kerja, kerja!
Jadi mantra terima jadi,
pokoknya, kerja, kerja, kerja!
Yang penting bisa ketemu istri (lagi) pas dapet cuti (lagi),
empat hari cuti dikurangin dua hari cuti sama dengan dua hari sayang-sayang sama istri:
Kerja 30 hari, cuti 4 hari, kangen-kangen 2 hari, perjalanan kereta api 2 hari
Diri-Mu tetap senyum menenangkan, meski besok jam 7 pagi langsung kerja di rel kereta api, check and recheck sinyal antar stasiun, jalan kaki dari Stasiun Karawang ke Stasiun Manggarai, kerja mengurus: baut rel longgar, tiang sinyal, kabel wesel, dan tetek bengek lain yang bikin capek.
Lempuyangan,
Wates,
Kutoarjo,
Kebumen,
Gombong,
Kroya,
Purwokerto,
Ciledug,
Cirebon Prujakan,
Bekasi,
Jatinegara,
Pasar Senen.
Dan sampailah kita, setelah dari stasiun ke stasiun:
Misi kita hanya menyebar cinta saat dunia terjangkit pandemi benci.
(Kereta Api Bengawan, 2022)
Tubuh, Kata: Corpus Christi
Ketika umat-Mu jadi petinggi Mahkamah Agama,
kata jadi tumpukan jerami dalam jarum,
Engkau dicari-cari pada desakan kata:
Padahal Engkau adalah keseluruhan dunia tanda titanda!
Engkau yang teks sekaligus bukan teks,
Engkau yang asing sekaligus dekat,
Engkau yang Ayah sekaligus Ibu,
Engkau yang sakral sekaligus profan.
Salib,
salib,
salib: tubuh! kata!
Terjadilah tekstualitas via Dolorosa,
maka pasukan sang perwira dan para penjaga suruhan imam menangkap-Nya.
Ia terbelenggu, ditusuk, disiksa oleh juru kunci “keilahian”,
atas nama Tuhan mereka siksa diri-Mu,
lalu mereka meludahi muka-Nya dan meninju-Nya,
orang-orang banyak ikut memukuli.
Kau ternyata tak hadir melalui kata,
tapi maha hadir menjelma gamblang jadi kata — tubuh, tubuh, tubuh itu!
(2022)
Epilog Transenden
“Eloi Eloi lama sabakhtani,
kenapa Sang Ilahi meninggalkan Aku”
Bahkan Ia sendiri menjerit ketika tubuh-Nya digantung oleh Imperium,
dalam kebejatan struktural,
dalam siksaan,
dalam invasi,
dalam jajah.
“Eloi Eloi lama sabakhtani,
kenapa Sang Ilahi meninggalkan diriku?”
Bahkan Ia menjerit ketika nyawa-Nya lebam: dipukuli suami-suami tolol yang mabuk arak, ditelanjang iblis berkostum aparatus, ditendang sepatu lars, diracun limbah, dicekik tangan kekar.
“Eloi Eloi lama sabakhtani,
kenapa Sang Ilahi meninggalkan tubuhku?”
Bahkan Ia sendiri menjerit,
menangis,
meragu,
teriak,
meminta mati.
(2023)
Sepotong Kitab Peleburan
Kupilih kisah meleburnya tubuh-Ku dalam-Mu sebagai ayat pembuka kitab ini.
Ia adalah peristiwa paling ilahiah, karena sama dengan-Nya yang melebur pada derita kita, merasuk dalam luka siapapun: tubuh-Mu,
tubuh-Ku.
Peleburan demi peleburan membuat kita kebingungan:
mana tubuh-Mu?
mana tubuh-Ku?
Semua bagian tubuh kelin-kelindan hingga kehilangan batas mana yang Aku dan yang bukan Aku.
Ratusan ayat adalah punggung, leher, dagu, bibir, ujung rambut, kulit kepala: menjadi tempat-Ku berteduh.
Didekap-Nya Aku dengan nyanyian tubuh-Mu:
Aku menjadi-Mu, Aku mengada-Mu.
Menjadi sepetak lahan penguburan-Ku:
punggung, leher, dagu, bibir, ujung rambut, kulit kepala.
Saling lebur dan benturlah kita pada tubuh satu sama lain: duka-Mu, duka-Ku,
luka-Mu, luka-Ku.
Ada ruang-ruang yang runtuh, sehingga tak ada lagi ruang-Ku dan ruang-Mu.
Pada Aku, Pada Kamu: Aku, Kamu, entah siapa, entah bagaimana, yang jelas kita merayakannya.
Ombo Kemarin, Ombo Kini
—Untuk Romo Mangun.
Kau bilang ada yang lebih menyedihkan dibanding bencana alam,
ya! Bencana politik.
Ketika beringas lars dan lengan bersenjata lebih brutal dari tsunami.
Ketika Pak Tedjo yang ingin tetap bertani malah dipukuli.
Ketika intipan mata asing pada dinding rumah lebih menakutkan daripada puting beliung.
Ketika beton lebih dimanusiakan ketimbang tua renta pemikul kayu bakar.
Ketika waduk lebih penting daripada bangku sekolah yang keropos dimakan rayap.
Kau bilang ada yang lebih menyedihkan dibanding bencana alam,
ya! Bencana politik.
Sementara itu, ada rabun huruf pada mata manusia yang konon bertuhan, tapi mata itu tak bisa mengeja huruf-huruf yang membentuk kata “K-E-A-D-I-L-A-N”:
Adakah hadir-Nya dalam ritus yang sekadar sirkus simbol dan sirkus himnal?
Sementara itu, ada ketumpulan pada nalar seorang guru besar, otaknya makin kecil karena jurnalnya diketik seorang joki. Maut datang pada mahasiswa, ia bingung kemana diri ini harus dijual untuk bayar uang kuliahnya:
Adakah didik-mendidik dalam sekolah yang menilai jiwa murid dengan nol pada rupiah?
Sementara itu, ada tikus berbulu banteng berkepala singa berlengan macan, digerogoti lahap segudang bantuan sosial. Sementara, tukang becak depan Malioboro masih teriak: “Sialan memang pandemi ini, sial!”
Sementara itu, ada tikus berbadan gajah melahap sumbangan pendidikan,
ada tikus berbulu domba melahap uang persepuluhan,
ada tikus berbaju macan melahap santunan mayat Covid-19 yang sedang menikmati kematian.
Sementara itu Romo, zamanku tak jauh berbeda dengan zamanmu. Tangisnya masih sama, jeritnya malah makin keras:
Doakan kami, Romo, doakan.
Doakan kami, Romo, doakan.
Doakan kami, Romo, doakan.
(2021)
Sesawi, Sesawi, Code
Katanya iman sebesar biji sesawi bisa memindahkan gunung. Tapi, tak bisa menghapus air mata anak yang sore tadi baru putus sekolah.
Katanya iman sebesar biji sesawi bisa memindahkan gunung. Tapi, tak bisa melegakan jiwa gadis muda yang dilecehkan.
Katanya iman sebesar biji sesawi bisa memindahkan gunung. Tapi, tak bisa mengenyangkan perut melilit karena pandemi.
Katanya iman sebesar biji sesawi bisa memindahkan gunung. Tapi, tak bisa berteriak keras pada Kamis yang selalu dipayungi langit hitam.
Katanya iman sebesar biji sesawi bisa memindahkan gunung. Tapi, tak bisa meregangkan otot buruh pabrik benang yang kelelahan dan lupa diupah.
Katanya iman sebesar biji sesawi bisa memindahkan gunung. Tapi, tak bisa membangun ulang reruntuhan jiwa di Kendeng, Tamansari, Urutsewu, atau dimanapun seperti kata Wiji: dimana-mana moncong senjata berdiri gagah kongkalikong dengan kaum cukong.
Benar katamu Romo,
seharusnya kita belajar dulu menjadi manusia, sebelum berusaha menjadi malaikat.
Lebih dulu mengimani keterasingan,
lebih dulu merasa-Nya dari pojok,
lebih dulu menyanyi-Nya dari lapar,
lebih dulu merengkuh-Nya di jalan,
lebih dulu memeluk-Nya di sudut trauma.
Aku menziarahi suara-suaramu di Code,
mengambilnya dari sungai keruh yang terhisap terik matahari,
lalu menanamkan dalam paru-paru.
Aku berjalan pada tembok,
setapak yang memanjang,
pada sisi Code: Tempatmu dahulu memelihara kesadaran, merayakan cinta, dan mengikis kepongahan.
Aku jadi ingat si pongah dari Stuttgart,
pada salah satu paragraf ia berkata: “Satu satunya hal yang kita pelajari dari sejarah adalah kita tak belajar apa-apa dari sejarah”
Maka, aku tak mau menjadi murid dari sejarah. Duduk manis dalam kelas, digurui olehnya, lalu dinilai dan mendapatkan ijazah. Membiarkan seluruh Stuttgart menertawai aku, menertawai kehendak sejarah. Tidak!
Aku ingin jadi anak kandung sejarah,
dilahirkan, dibesarkan, dan pulang kembali menapaki jejak kakimu pada ruang-waktu yang telah lalu.
(2021)
Sepuluh Februari
Pada matimu,
rekahlah baru.
Pada layu nyawa,
muncul tunas baru.
Pada henti detikmu,
panjang detak harap sang kurus,
panjang senyum Ibuk,
panjang tawa belalang di Code.
Pada matimu,
rekah hidup-hidup baru.
Romo, ajari aku menyiram bunga,
ternyata sore tadi merecup!
Ajari aku, menggemburkan dan menabur pupuk kesukaanmu:
Pada ia yang melauk menasi mimpi,
pada homili yang lupa larat,
pada iman yang kering,
pada imam yang taat konglomerat,
pada dunia kita yang sibuk berdandan,
(2021)
*Amos, menulis berbagai esai, puisi, dan karya-karya prosa.Karya-karyanya lebih banyak dipublikasikan secara online dalam platform seperti media Omong-omong.com, Salihara.org, dan media online lainnya. Selain bereksperimen dengan puisi, esai, dan medium lain, ia juga bergiat melakukan riset seputar sejarah pemikiran, sejarah seni, dan kajian poskolonial. Sehari-hari tinggal di Yogyakarta dan Jakarta.