Tak Ada Kata Selesai

Oleh Tavifrudi

Buku Antologi Puisi Chris Triwarseno

Puisi adalah salah satu bentuk karya sastra yang dihasilkan penyair melalui hasil olah pikir dan rasa. Kemudian dibentuk oleh ekspresi dan kreativitasnya yang intens.

Karena itu, puisi sering disebutkan sebagai ungkapan batin seorang penyair tentang apa yang dirasa, dilihat, dan dialaminya. Dan memahami puisi tentu bisa dari berbagai aspek dan sudut pandang. Misalnya dari aspek bahasanya, sudut pandang psikologi, keagamaan, dan sebagainya.

Demikian pula memahami puisi-puisi Chris Triwarseno, penyair kelahiran Karanganyar, alumnus Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada (UGM), yang berkarier di dunia usaha sebagai karyawan swasta, tentu kita bisa memahaminya dari berbagai aspek dan sudut pandang. Karena itu, berbagai kesan dan tanggapan pun bisa saja muncul dari para penikmatnya.

Ada 106 puisi yang Chris Triwarseno kumpulkan dari berbagai media massa yang telah menerbitkannya. Dan membaca puisi-puisi tersebut dalam bulan Ramadan 2023, di sela-sela aktivitas yang demikian padat, sepintas terliat sebagai puisi-puisi yang liar, penuh dendam, memberontak diri sendiri, namun bila ditelusuri lebih jauh dan mendalam, terkadang kita bertemu dengan suasana yang hampir sama dengan yang pernah kita jumpai pada Chairil Anwar, yaitu gelisah dan terasing. Ini misalnya tampak pada puisi “Dendam yang Mewujud Kesesatan”.

Kebaikan-kebaikan telah menjauh dariku
Aku telah terlucut dari perisai Rahmat
Pembangkangan dan kedurhakaan
Mengutuk sesat dan mewujud dendam

Puisi-puisi Chris Triwarseno penuh suasana dan mempunyai kekuatan pada kebulatan ide dan ketepatan makna yang dibangun. Dan “Aku Lirik” sering menjadi pusat utama dalam penciptaannya.

Sebagai penyair, dia memang tampak total. Ia tidak sedang bermain-main dengan kata-kata, tetapi apa yang ditulisnya adalah hasil dari sebuah kontemplasi yang berasal dari luar dan dalam dirinya. Ketotalan itu juga tampak dalam posisinya yang berdiri bersama seluruh manusia, menghadapi kehidupan, menghadapi Tuhan, menghadapi apa yang dilihat, dirasa, dikenang, dan diangankannya.

Karena itu, untuk membaca dan melebur total ke dalam puisi-puisinya, tidak hanya diperlukan pemahaman sastra dan kemampuan berkontemplasi, tetapi juga rasa kemanusiaan yang tinggi. Itu karena dalam puisi-puisinya terasa ada keterasingan eksistensial, ada kegelisahan sosial, ada keterbatasan dan keterpencilan religius.

Chris Triwarseno memang harus berjuang di tengah arus kehidupan, di mana moralitas justru mendapatkan penyelesaiannya dalam laku konkret sehari-hari, yang begitu sarat nuansa, dan kadang-kadang begitu memojokkan. Dia selalu ada dalam ketegangan yang dinamis sehingga tidak ada kata selesai untuk Chris. Tidak pernah bisa mutlak “begitu” atau “begini”, meskipun bertahun-tahun dia dididik dalam lingkungan yang serba mutlak, serba menggunakan rumus di Fakultas Teknik UGM Yogyakarta. (*).

*Tavifrudi, alumnus Sastra Undip dan Redaktur Sastra Suara Merdeka Semarang.