Hans Küng: Etika Global dan Jalur Gaza

Oleh Tony Doludea

Pagi hari 7 Oktober 2023, pejuang Palestina, Hamas melakukan serangan besar-besaran terhadap Israel dari Jalur Gaza. Hamas mengklaim telah menembakkan 5.000 roket ke wilayah Israel.  

Barisan pejuang Palestina menerobos tembok pembatas dan memaksa masuk melalui penyeberangan tembok perbatasan Gaza-Israel. Mereka merangsek ke pemukiman terdekat dan instalasi militer Israel.

Penyerbuan ini mereka sebut Operasi Banjir Al-Aqsa dan menjadi pertikaian langsung pertama di wilayah Israel, sejak Perang Arab-Israel pada 1948 dulu.

Mendapatkan serangan mendadak di Hari Yom Kippur itu, Israel merasa kecolongan. Israel kemudian membalas serangan itu dengan pernyataan perang dengan melakukan Operasi Pedang Besi ke utara Jalur Gaza.

Di minggu pertama 2024, Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan serangan Israel sejak 7 Oktober itu telah menewaskan 22.435 orang di Jalur Gaza, termasuk sekitar 9.100 anak-anak dan 6.500 wanita. Di Tepi Barat lebih dari 320 orang tewas, termasuk sekitar 83 anak-anak dan lebih dari 3.800 dilaporkan luka-luka.

Korban luka-luka melebihi 57.035 orang, termasuk 8.663 anak-anak dan 6.327 perempuan. Setidaknya 7.000 orang dilaporkan hilang di Gaza.

Kondisi di Gaza, Palestina (1). (Foto: https://www.aa.com.tr)

Kondisi di Gaza, Palestina (2).  (Foto:https://www.liputan6.com)

Sementara di Israel korban tewas pada serangan Hamas itu sebanyak 1.139 orang, 173 tentara terbunuh dan 965 orang luka-luka.

Jalur Gaza dan Tepi Barat merupakan dua wilayah Palestina yang terpisah oleh wilayah Israel. Luas Jalur Gaza adalah 362 kilometer persegi, sedangkan Tepi Barat 5.640 kilometer persegi. 

Jalur Gaza terletak di antara Israel, Mesir dan Laut Mediterania. Kawasan ini dihuni sekitar 2,3 juta orang. Sementara itu, Tepi Barat terletak di timur laut yang berbatasan dengan Yordania dan sebagian besar Laut Mati. Wilayah ini ditinggali oleh 2,7 juta penduduk Palestina.

Hingga 1917 Gaza adalah bagian dari Kesultanan Ottoman. Namun saat Ottoman kalah perang, Inggris dan Turki mencapai kesepakatan mengenai Jalur Gaza dan sebagian besar wilayah Arab Asia milik Kesultanan Ottoman. Gaza dikuasai Inggris, yang juga sedang berupaya memfasilitasi pembentukan kerajaan Arab bersatu. 

Pada 2 November 1917, Arthur James Balfour (1848–1930), Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, menulis surat kepada kepada Lionel Walter Rothschild (1868–1937), seorang tokoh komunitas Yahudi Inggris.

Foto Arthur James Balfour (1848–1930). (Sumber: https://www.britannica.com)

Surat itu kemudian dikenal sebagai Deklarasi Balfour, yang memberikan dampak guncangan besar terhadap Palestina, yang masih terasa hingga saat ini.

Deklarasi itu mengikat pemerintah Inggris untuk “mendirikan rumah nasional” bagi orang-orang Yahudi di Palestina dan memfasilitasi “pencapaian tujuan itu”. Mandat Inggris ini dibentuk pada 1923 dan berlangsung sampai 1948. 

Selama selang waktu itu, Inggris telah memfasilitasi migrasi orang Yahudi, termasuk mereka yang melarikan diri dari Nazisme di Eropa. 

Namun, warga Palestina terganggu dengan perubahan demografi negara mereka itu dan penyitaan tanah mereka oleh Inggris untuk diserahkan ke pemukim Yahudi.

Pada 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui Resolusi 181, yang membagi Palestina menjadi 55% wilayahnya untuk orang Yahudi, Kota Yerusalem di bawah kendali internasional dan sisanya untuk orang Arab, termasuk Jalur Gaza.

Resolusi ini mulai berlaku pada Mei 1948, mengakhiri Mandat Inggris atas Palestina itu dan melahirkan negara Israel. Tetapi pertempuran seketika pecah, yang berujung pada perang Arab-Israel pada 1948. Pertikaian tersebut menyebabkan ratusan ribu pengungsi Palestina menetap di Jalur Gaza.

Lalu Gaza diduduki dan dikelola oleh Mesir hingga 1967, setelah penandatanganan gencatan senjata. Memang sejak 1930-an penduduk Palestina telah melakukan serangkaian perlawanan, dari Pemberontakan Arab, Pembersihan Etnis Palestina (Nakba) pada 1948, Perang 6 Hari (Naksa) pada Juni 1967, Intifada Pertama antara 1987-1993, Intifada Kedua pada 2000, Perang Jalur Gaza dari 2008, 2012, 2014 dan 2021, serta serangan Hamas ke Israel di 7 Oktober 2023 lalu itu.

********

Pada era 1980-an, Hans Küng (1928-2021) mencoba untuk menjawab pertanyaan dalam benaknya, dapatkah dunia ini damai tanpa adanya perdamaian di antara agama-agama? Jawaban Küng adalah tidak. Lalu bagaimana mengakhiri permusuhan antaragama tersebut?

Foto Hans Küng (1928-2021). (Sumber: https://www.americamagazine.org)

Tradisi agama-agama merupakan letak inti aturan moral, meskipun terlalu sering dilanggar. Namun aturan moral ini bertujuan untuk memelihara keadilan, kesetaraan dan kebebasan manusia dari kekerasan dan kejahatan.

Küng mulai menyadarkan orang bahwa selama ini agama itu tidak hanya menjadi dasar dan pemicu pertikaian di dunia ini, namun ia masih punya peran penting juga, yang tidak dapat dipenuhi oleh filsafat dan ilmu pengetahuan. Karena filsafat dan ilmu pengetahuan meskipun menerima norma moral yang tanpa syarat, namun mereka tidak dapat memberikan alasan kemutlakan dan keuniversalan kewajiban moral.

Meskipun ini tidak berarti bahwa orang yang tidak hidup dalam suatu kepercayaan kepada agama tertentu tidak dapat memiliki standar hidup moral yang tinggi.

Pengalaman tanpa syarat tentang Yang Multak itu memampukan penganut agama meletakkan kehidupan dan penderitaannya dalam suatu konteks pemaknaan yang mendalam, cakrawala sejarah yang luas dan menciptakan suatu bentuk penyangkalan bahkan pengurbanan diri yang tidak dapat ditemukan di tempat lain.

Filsafat dan ilmu pengetahuan tidak mampu menyelesaikan dengan baik masalah etis yang meminta pengurbanan diri, yang tidak mendatangkan keuntungan dan kebahagiaan sama sekali bagi diri seseorang.

Filsafat tidak memiliki kemampuan menyediakan dasar etis yang dapat mengikat semua orang di segala masa. Filsafat lebih sering berakhir pada pandangan dan nilai komunitas tertentu atau memaksakan pendekatan ideal transcendental atau pendekatan utilitarian dan pragmatis.

Maka bagi Küng, agama memiliki fungsi membuka peluang bagi sebuah masyarakat untuk melintasi seluruh perbedaan ekonomi atau intelektual. Keempat fungsi agama ini menunjukkan bahwa agama tetap menjadi bagian penting dalam dialog terkait sebuah etika global. Küng melihat:

• Agama dapat menyampaikan kedalaman dimensi khusus, sebuah cakrawala yang merangkul semua makna. Saat seseorang mengalami penderitaan, ketidakadilan, kebersalahan dan ketakbermaknaan, bahkan di hadapan kematian.

• Agama memberikan nilai tertinggi, norma tak bersyarat, motivasi terdalam dan harapan tertinggi, alasan dan tujuan bagi manusia untuk bertanggungjawab.

• Melalui simbol, ritual, pengalaman dan arah tujuan agama menciptakan rasa betah, rasa percaya, iman, kepastian, kekuatan, keamanan dan harapan.

• Agama memberikan dasar untuk menuntut dan menolak ketidakadilan, karena kerinduan bagi Yang Lain yang sedang bekerja dan tidak dapat diredakan.

Melalui etika global-nya ini Küng telah menyediakan pemahaman penting tetang bagaimana dialog antaragama itu dapat dilakukan secara murni.

Hans Küng belajar teologi di Universitas Gregorian, Roma dan pada 1957 memperoleh gelar doktor teologi dari Institut Katolik di Sorbonne. Pada 1954 ia ditahbiskan menjadi imam Katolik Roma dan mengajar di Universitas Münster (1959–1960) kemudian di Universitas Tübingen (1960–1996), di mana ia juga memimpin Institut Penelitian Ekumenis dari 1963. Pada 1962 Hans Küng diangkat oleh Paus Yohanes XXIII sebagai peritus (konsultan teologi) untuk Konsili Vatikan Kedua (1962-1965).

Hans Küng sangat dikenal karena mempermasalahkan doktrin gereja tradisional tentang infalibilitas kepausan, keilahian Kristus dan Perawan Maria, yang kemudian memicu perdebatan internasional. Pada 1979, Vatikan melarang Küng untuk mengajar sebagai teolog Katolik. Namun pada 1980 Universitas Tübingen mengijinkan ia mengajar sebagai ahli sekuler. Küng dikenal juga karena penelitiannya yang berpusat pada dialog antaragama dan upayanya untuk menyusun sebuah etika global. 

Küng mendasarkan etika globalnya itu pada dua prinsip dasar, yaitu kaidah kencana (the Golden Rule), “Segala sesuatu yang engkau kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah terlebih dahulu kepada mereka.” dan perintah untuk memperlakukan semua manusia secara manusiawi. 

Berdasarkan kedua hal itu, Küng mencatat empat komitmen arahan moral yang tidak dapat dibatalkan. Karena hal tersebut tidak berubah dan tanpa syarat saat diterapkan kepada semua manusia tanpa pengecualian.

Empat komitmen ini bukanlah rantai kekang, melainkan untuk menyediakan arahan moral. Empat arahan moral ini adalah:

1. Komitmen pada budaya tanpa kekerasan dan menghargai kehidupan.
2. Komitmen pada budaya kesetiakawanan dan tatanan ekonomi yang adil.
3. Komitmen pada budaya tenggang rasa dan kehidupan yang benar.
4. Komitmen pada budaya kesetaraan hak dan kerjasama di antara kaum laki-laki dan perempuan.

Namun keempat arahan ini dianggap suatu yang abstrak dan ideologis. Memang ini disengaja oleh Küng, karena rumusan umum tersebut akan memberi ruang bagi setiap agama untuk merumuskan ulang etika global ini dalam istilah yang bermakna bagi para pengikutnya masing-masing.

Etika global justru menuntut bahwa perbedaan antaragama itu tidak menghalangi mereka untuk menegaskan komitmen moral yang dipegang bersama. Namun etika global ini secara keras menentang semua upaya untuk menutup-nutupi perbedaan tersebut.

Menurut Küng, jika keempat aturan moral tersebut disepakati, maka ia akan memberikan dasar yang sama bagi semua agama untuk bekerja sama secara damai dalam menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan.

Bagi Küng, etika global ini tidak diusahakan untuk mencari sebuah teori moral baru, aliran moral di antara ajaran moral lainnya yang telah ada. Melainkan sebuah “ethos,” cara hidup yang dibimbing oleh aturan moral yang mampu memelihara kebersamaan manusia secara selaras.

Etika global memiliki suatu dasar religius, yang bersifat inklusif dan tidak berisi kosakata agama dan teologi secara eksplisit. Semua penganut agama harus dapat memahami garis besar panduan moral ini secara akrab dalam tradisi dan bahasa agama mereka masing-masing.

Küng mengajukan tiga motivasi bagi sebuah kesepakatan etika untuk para penganut agama dan yang tidak beragama supaya dapat bekerja sama dalam membangun etika global, yaitu:

1.Bahaya kekosongan makna, nilai dan norma telah mengancam penganut agama dan yang tidak beragama. Secara bersama mereka harus menentang hilangnya tradisi tua dan kekuaatan tradisi yang selama ini telah memberikan arahan. Krisis orientasi ini sangat fatal kedepannya. 

2. Sebuah demokrasi tanpa suatu kesepakatan awal akan menghadirkan kesulitan legitimasi nantinya. Demokrasi yang bebas harus netral dan memerlukan kesepakatan berdasarkan nilai, norma dan sikap tertentu, karena tanpanya suatu masyarakat sulit bersatu. 

3. Orang tidak akan selamat jika masyarakatnya tidak memiliki etika. Tidak ada perdamaian tanpa suatu kesepakatan untuk memecahkan pertikaian tanpa kekerasan.

Küng menyusun etika ini tidak sendirian saja, tetapi melibatkan banyak pihak termasuk jaringan para ahli, peneliti, akademisi, pemimpim agama dan mahasiswa dari berbagai tradisi dan banyak wilayah di seluruh dunia.

Kajian Küng tersebut ditujukan untuk menyebarkan etika sosial dalam skala global, sehingga perdamaian dapat diwujudkan. Maka pada 1991 “The Global Ethic Institute” didirikan di Tübingen di bawah pimpinan Hans Küng sendiri.

********

Pada Jumat, 29-12-2023 Afrika Selatan melayangkan gugatan terhadap Israel terkait tindakan genosida di Gaza ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice, ICJ). Permohonan gugatan ke ICJ itu terkait dengan dugaan pelanggaran yang dilakukan Israel berdasarkan Konvensi Genosida. Yaitu Israel telah, sedang dan berisiko terus terlibat dalam tindakan genosida terhadap rakyat Palestina di Gaza.

Afrika Selatan juga meminta Mahkamah Internasional untuk mengeluarkan putusan perintah agar Israel segera menghentikan serangannya ke Gaza.

Gugatan Afrika Selatan setebal 84 halaman itu merupakan langkah hukum pertama di mahkamah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang juga dikenal sebagai Pengadilan Dunia. 

Mahkamah Internasional merupakan pengadilan PBB yang menangani sengketa antarnegara. Seluruh anggota PBB secara otomatis menjadi anggota ICJ. Salah satu mandat ICJ adalah menggelar sengketa yang berkaitan dengan Konvensi Genosida 1948. ICJ beranggotakan 15 hakim yang dipilih oleh Sidang Umum PBB untuk periode sembilan tahun. 

Penduduk Palestina di Gaza tidak dapat mengajukan gugatan ke ICJ, karena mereka bukan negara-bangsa. Maka negara-negara lain dapat mewakili mereka. 

Namun negara-negara Barat tidak mendukung upaya Afrika Selatan itu. Amerika Serikat telah menentang kuat gugatan Afrika Selatan itu dengan menyebut bahwa hal itu “tidak berdasar” dan “tanpa landasan kebenaran apapun”.

Kantor Kepresidenan Afrika Selatan menyatakan bahwa mereka dan dunia berkewajiban untuk mencegah terjadinya genosida. Gugatan ini didasarkan pada Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (Konvensi Genosida), yang ditetapkan pada 1948 setelah Holocaust. Tindakan Israel selama serangan ke Gaza itu dianggap telah melanggar konvensi tersebut.

Menurut Konvensi Genosida PBB 1948, genosida adalah tindakan untuk menghancurkan suatu bangsa, kelompok etnis, ras dan komunitas penganut agama tertentu secara keseluruhan atau sebagian. Genosida adalah salah satu kejahatan internasional yang paling sulit dibuktikan.

Tindakan ini meliputi:

Membunuh warga suatu komunitas.
Menyebabkan penderitaan serius secara fisik dan psikologis kepada warga komunitas tertentu.
Secara sengaja menciptakan keadaan hidup yang sudah dihitung akan berujung pada pemusnahan secara fisik.
Menetapkan langkah-langkah untuk mencegah kelahiran.
Secara paksa memindahkan anak-anak dari komunitas itu ke kelompok lain.

Namun PM Israel Benjamin Netanyahu menanggapi gugatan itu dengan mengatakan bahwa Israel menunjukkan ‘moralitas’ yang tak tertandingi dalam pertikaian terebut. Israel selalu mengedepankan “moralitas” dalam aksinya di Gaza. Pemerintah Israel menyebut tuduhan Afrika Selatan itu sebagai “fitnah darah”.

PM Israel Benjamin Netanyahu. (Foto: https://www.antaranews.com)

“Fitnah darah” (blood libel) adalah tudingan kepada orang-orang Yahudi di masa lalu, bahwa mereka membunuh orang-orang Kristen dan darahnya dipakai untuk ritual keagamaan.

Pada 11 dan 12 Januari 2024 nanti, tim pengacara Afrika Selatan dan Israel akan berada di ruang sidang itu dan mata dunia akan tertuju ke sana. Pengadilan akan membuktikan ada tidaknya genosida. Diperkirakan ICJ akan memberikan keputusan mengenai permohonan ini pada akhir Januari. 

Jika ICJ memutuskan bahwa Israel melakukan genosida di Gaza, maka hal ini dapat digunakan sebagai bukti penuntutan pidana perorangan di Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court, ICC). Dan putusan terhadap Israel itu juga dapat digunakan untuk menekan negara-negara lain, pendukung Israel untuk meninjau ulang hubungan mereka dengan Israel.

ICC adalah adalah jalan terakhir ketika pengadilan domestik gagal memutuskan suatu kasus. ICC menyidangkan kasus-kasus pidana dan dapat memvonis pelaku kejahatan perang, tindak pidana kemanusiaan dan genosida. Amerika Serikat, Rusia dan Israel bukan anggota ICC.

Hans Küng telah bekerja keras lebih dari tigapuluh tahun untuk menggalakkan perdamaian dunia melalui pembangunan perdamaian di antara agama-agama besar dunia. Pada September 1993, Parliament of World Religions mensahkan The Declaration Toward a Global Ethic berdasarkan karya Küng tersebut.

Namun ketika konflik Palestina-Israel ini terjadi, dunia tidak banyak mendengar dampak produktif etika global besutan Hans Küng tersebut. Dunia hanya menyaksikan pimpinan negara dan pimpinan agama saling menyalahkan tanda hasil yang positif dan nyata. Kota-kota besar dunia diramaikan dengan para pendukung pihak masing-masing, yang meneriakkan pembelaan mereka.

Sementara korban jiwa anak-anak dan para perempuan terus berjatuhan. Tetapi orang tidak mendengar dan menyaksikan dari media apapun juga, atau bahkan terlibat langsung dalam inisiatif praktis etika global untuk menciptakan perdamaian dunia.

Nampaknya atau mungkin dunia ini lebih memilih dan lebih senang dengan kekacauan daripada mengusahakan perdamaian. Ini yang belum sempat disadari oleh Küng.

Pernah diceritakan bahwa pada suatu waktu, setelah mendengar laporan dari para malaikat dan punggawa Kerajaan Surga tentang kekacauan yang terjadi di dunia akhir-akhir ini. Allah memanggil perwakilan pimpinan agama-agama, untuk berdialog, mendengar langsung secara resmi pendangan mereka tentang perkara tersebut.

Pimpinan agama Islam mendapat kesempatan untuk menyampaikan pandangannya. Dengan sangat takzim ia berkata, “Ya Allah yang Rahman-Rahim. Ketahuliah bahwa agama kami adalah Rahmatan lil’alamin. Kehadiran kami di dunia ini sesungguhnya ditujukan untuk membawa kedamaian. Jika kaum Nasrani itu tidak ada di muka bumi ini, maka alam semesta akan selalu damai dan penuh kasih.”

Giliran pimpinan agama Kristen memberikan pendapatnya. Dengan lembut dan santun ia berkata, “Tuhan, ingatkah Engkau dengan firman Allah yang mengatakan ‘Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.’ Sesungguhnya kami ini adalah Anak-anak Allah, namun apabila orang-orang Islam itu disingkirkan dari dunia ini, maka kekacauan ini akan lenyap selamanya.” 

Seorang rabi yang sudah sangat tua, namun sangat bijak menghampiri tahta ilahi itu. Sambil tersungkur ia berkata, “Kami bangsa Yahudi adalah umat pilihan Allah. Saat dunia kacau kami adalah umat pilihan Allah. Apabila dunia aman dan damai kami adalah umat pilihan Allah. Maka, Ya Allah Yang Maha Kudus, kami tidak memiliki keinginan apapun lagi, kabulkan saja permohonan kedua saudara kami itu!”

——

Kepustakaan

Kramer, Gudrun. A History of Palestine. Princeton University Press, Princeton, 2008.
Küng, Hans. Kuschel, Karl-Josef (Eds.). A Global Ethic. The Declaration of the Parliament of the World’s Religions. SCM Press, London, 1993.
Küng, Hans. A Global Ethic for Global Politics and Economics. SCM Press, London, 1997.
Küng, H. Yes to a Global Ethic: Voices from Religion and Politics. Continuum International Publishing Group, New York, 1997.
Küng, Hans. Schmidt, Helmut (Eds.). A Global Ethic and Global Responsibilities. Two Declarations. SCM Press, London, 1998.
Küng, Hans. Global Responsibility: In Search of a New World Ethic. Wipf and Stock, Oregon, 2004.
Pappe, Ilan.  A History of Modern Palestine. Cambridge University Press, 2004.
Sabbagh, Karl. Palestine, History of a Lost Nation. Grove Press, New York, 2006.

*Penulis adalah Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia.