Tanah Tumpah Darah: Teater Perjalanan pada Situs Ekstrim

Review Pertunjukan

Oleh Dendi Madiya

Seberapa jauh tubuh seseorang bisa mendekati situs-situs ekstrim dengan sebuah niatan tertentu atau kesengajaan?

Pasangan seniman, Irwan Ahmett dan Tita Salina, menjejakkan kaki mereka di Gunung Anak Krakatau dimana perbatasan antara bahaya, kegentingan dan keselamatan terasa tipis. Irwan berjalan sambal memanggul dua jerigen air, melangkah kepayahan dengan tubuh memberat, menapaki hamparan pasir yang menurun dan menanjak. Nafas Tita yang terngah-engah terekam dalam video, ditingkahi deru angin Gunung Anak Krakatau yang menerpa tubuh mereka.

Irwan Tita adalah pasangan seniman yang seringkali mendatangi situs-situs ekstrim untuk mengobservasi alam, merekam perubahan-perubahan, tragedi-tragedi, mengintervensi dan diintervensi orang-orang yang dijumpai sepanjang perjalanan. Narasi yang mereka presentasikan kerap menghantarkan keterhenyakkan.

Adegan di Gunung Anak Krakatau itu merupakan salah satu bagian dari performance Tanah Tumpah Darah yang mereka gelar di Ruang Toeti Heraty, Taman Ismail Marzuki-Jakarta, 2 Februari 2024. Performance ini bertumpu pada materi video dan lecture, termasuk visualisasi melalui drone yang merupakan kecenderungan bahasa ekspresi mereka dalam penyajian ulang efemeralitas teater perjalanan mereka. Video menjadi medium untuk memperpanjang atau mengekalkan kesementaraan peristiwa, bahkan pada bagian-bagian tertentu video mampu seolah-olah mengirim penonton ke lokasi kejadian.

Lanskap-lanskap yang mereka masuki membuat tubuh mereka menjadi teramat kecil dalam bentangn alam ekstrim. Mereka tak ubahnya seperti kutu yang merangkak pelan dalam gurun limbah pertambangan emas di Timika. Visualisasi yang dihasilkan melalui drone dengan ilustrasi musik yang nelangsa dari Tesla Manaf menggarisbawahi absurditas kerusakan demi kerusakan dan seseorang demi seseorang berjalan di atasnya. Aura yang memancar dari sini adalah pesimisme. Yang tersisa untuk dikonsumsi orang tinggal kerusakan demi kerusakan.

Performance Irwan Tita dalam situs ekstrim mengandung teriakan, kecemasan, permainan sekaligus ketakberdayaan setelah lelah berdaya dalam menempuh sekian jarak perjalanan. Ada stimulus yang merangsek masuk ke dalam tubuh mereka dari ekstrimitas lanskap yang rusak. 

Irwan berlari menceburkan tubuh ke dalam semburan air yang dipompa dari saluran irigasi kecil pada sebuah lahan gundul yang membentang luas dan melompong. Tita menggerogoti buah pinang dan membuat tiruan muncratan darah di atas permukaan gurun limbah Timika. Irwan menumpahkan air dari jerigen ke lembah berasap Gunung Anak Krakatau seperti ingin memadamkan kemarahan alam. 

Pada sisi lain, performance mereka dalam situs ekstrim seperti mengandung juga semacam kepasrahan untuk ditelan alam yang nowhere. Situs-situs ekstrim itu berada di sebuah lokasi sekaligus terasa entah dimana seperti pulau reklamasi.

Situs ekstrim yang terkandung di dalamnya kondisi ekstrim suka menghadirkan keberhadiran subjek-objek yang unik, spesifik dan mengejutkan yang menentukan kisah perjalanan Irwan Tita selanjutnya serta memberikan hilmah-hikmah tertentu. Persahabatan dengan Wati, seekor beruk yang dirantai di pesisir utara Jakarta yang berujung pada kematian Wati setelah primata itu diserahkan kepada pihak berwenang telah melahirkan permenungan tentang komparasi antara orang dengan binatang. Apakah pada kondisi-kondisi tertentu lebih mudah berkomunikasi dengan binatang ketimbang dengan orang?

Hingga sampailah mereka pada sebuah kapal yang membawa mereka dan orang-orang ke Papua. Ini adalah ketegangan lain dari jemari kering bernama Indonesia yang bisa terbakar oleh hanya percikan api. Ketegangan, konflik dan kekerasan rasial, antar golongan dan agama bisa menjalar dengan mudah, cepat, membekas, menguap atau menggenang. Ada keributan yang melahirkan ketegangan pada kapal itu yang membuat kamera video menjadi sensitif untuk beroperasi di tengah-tengah orang banyak pada situasi demikian, bahkan para penumpang itu menghindari kontak mata satu sama lain. Identitas ras masih menjadi jarak yang menganga di antara orang-orang yang sulit untuk ditiadakan.

Tindakan merekam adalah hal yang signifikan dalam praktik artistik Irwan Tita yang selalu stand-by dengan peralatan rekam. Mata mereka sendiri adalah kamera yang sensitif menangkap momen-momen, memindai lanskap, hingga mengamati mahluk-mahluk mikroskopis. Selain itu, tubuh mereka juga tentu merupakan media perekam tersendiri. Telemetri tubuh menjadi sebuah istilah yang mereka gunakan untuk kemampuan tubuh dalam menyimpan, mengingat, memindai dan mengukur fenomena. Tubuh Irwan Tita menyimpan hawa panas Gunung Anak Krakatau, memindai situs-situs ekstrim dengan ragam karakteristiknya.

Irwan Tita adalah seniman-seniman yang mudah mengobrol dengan orang-orang yang mereka jumpai dalam perjalanan. Interaksi dengan orang-orang ini pada tahap selanjutnya bisa mencapai level pertemanan dimana mereka biasanya akan bertemu kembali pada perjumpaan-perjumpaan berikutnya setelah waktu bergulir sekian lama. Di sinilah terjadi pertukaran pengetahuan, pertukaran pengalaman, hingga menempuh perjalanan secara bersama-sama. Irwan Tita memiliki kemampuan untuk hadir secara cair di tengah orang-orang ini. Kamera Irwan Tita pada momen-momen tertentu bisa berpindah tangan dioperasikan oleh anak-anak kecil yang mengambil gambar sesuka hati mereka.

Narasi tentang bintang jatuh yang mendarat di area transmigrasi yang menjadi pembuka performance ini mendapat kawannya yang dinarasikan sebagai penutup performance, yaitu bintang kejora. Pasangan seniman Irwan dan Tita telah mengumpulkan pembendaharaan narasi dari setiap perjalanan dan praktik riset mereka. Narasi-narasi yang jarang hadir pada banyak tempat, pada banyak perbincangan. Narasi-narasi yang dibincangkan dengan hangat dalam lingkaran-lingkaran tertentu.

Diskusi diadakan setelah performance dan lebih terpancing untuk membincangkan sejarah kekerasan pada jalur-jalur yang dilewati oleh perjalanan Irwan Tita dari barat ke timur Indonesia ini. Andreas Harsono sebagai narasumber diskusi memaparkan sejarah kekerasan Indonesia yang terjadi secara periodik. Diskusi yang dimoderatori oleh Gita Hastarika ini juga melibatkan respon penonton yang berujung pada pertanyaan, apakah bangsa ini mampu meniadakan kekerasan dalam sejarah berikutnya ke depan?

*Dendi Madiya. Pernah di Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta.