Srihadi dan 62 Tahun Ganesha

Oleh Mikke Susanto

Di tengah pandemi covid 19 yang masih merebak, pelukis maestro yang kerap melukis Borobudur, Srihadi Soedarsono mengkreasi ulang kerja lawasnya. Logo ITB berupa Dewa Ganesha yang diciptakannya dipakai sebagai elemen utama dalam karya grafis terbaru. Dibantu oleh grafikus Devi Ferdianto yang tinggal di Ubud Bali, karya tersebut dikerjakan berbeda. Karya diproduksi dengan teknik sablon, gambar direpetisi dan dibuat berwarna-warni. Karya yang dikerjakan pada Maret 2021 di Studio BHG tersebut dicetak hanya 20 copi.

Dahulu Srihadi menciptakan logo ini bersamaan dengan kebutuhan lembaga yang nantinya ditempati sebagai institusi karier kecendekiawanannya. Pada karya grafisnya tersebut, gambar Ganesha yang dipakai adalah orisinal. Sebelum logo Ganesha disempurnakan oleh ITB pada dekade 80an, semasa rektor Prof. Hariadi P. Soepangkat, Ph.D menjabat.

“Itu adalah desain “asli pertama” karya saya, dibuat 1959. Langsung dipergunakan peresmian ITB, pada 2 Maret 1959,” ujar pelukis yang pensiun bergelar Profesor ini. Uniknya hanya berselang sebulan setelah berhasil membuat logo, Srihadi berseloroh pada saya, “Saya sendiri diwisuda 28 Februari 1959 masih terima ijazah dengan logo UI.” Jadi Srihadi adalah alumni yang justru masih memakai logo masa lalu.

Logo Ganesha menggantikan logo sebelumnya yang dipakai. Logo ketika perguruan tinggi tersebut masih bernama Faculteit van Technische Wetenschap Bandung. ITB kala itu masih menjadi bagian dari Universitas Indonesia. Lambang yang dipakai sebelumnya berupa stilasi pohon pisang kipas yang banyak tumbuh di halaman depan kampus UI Salemba, Jakarta. Bisa dikatakan, Ganesha mengakhiri eksistensi pohon pisang kipas di Paris van Java, begitulah sederhananya.

Tercetus dan terpilihnya Ganesha sebagai logo ITB, disepakati melalui pertemuan beberapa guru besar saat itu, seperti Prof. Ir. Soetedjo, Prof. S. Soemardja, Prof. Soemono, Prof, Ir. R.O. Kokasih dan lain-lain. Ide tersebut dikemukakan saat mereka berjalan-jalan menemukan arca Ganesa di sekitar kampus. Prof. Sjafei Soemardja-lah Srihadi diminta bertugas mendua-dimensikan arca tersebut. Akhirnya setelah resmi dipakai, lambang dewa ilmu pengetahuan dari mitologi Hindu tersebut baru muncul pada Kartu Tanda Mahasiswa ITB tahun ajaran 1963/ 1964.

Secara simbolik Ganesha melambangkan putra dewa Syiwa – Parwati yang sekaligus berarti sebagai dewa ilmu pengetahuan. Dari sana, lalu dikembangkan sejumlah simbol detil yang kaya akan makna. Silakan memperhatikan tasbih, gading, belalai, mangkuk dan lainnya yang muncul dalam logo tersebut.

Lalu sepenting apakah grafis “Ganesha” karya perupa bernama lengkap Prof. Kanjeng Pangeran H. Srihadi Soedarsono Adhikoesoemo, MA. dalam konteks hari ini?

Saya memandang kehadiran karya “Ganesha” (2021) untuk mengingatkan kembali peran ilmu di tengah ketegangan dan dinamika sosial, politik, dan agama. Perkara pandemi yang belum usai ini meminta para cerdik cendekia untuk berperan lebih aktif sekaligus bijak.

Sejumlah ilmuwan memang sudah bergerak membantu pandemi dan kondisi terkini. Namun, selalu saja ada perkara di luar sains yang kerap membuat gaduh. Isu politik dan ekonomi/ perdagangan (baca: kapitalisme) perlu disebut sebagai sektor lain yang membingungkan wacana sehari-hari kita kini. Perebutan dan kuasa menjadi taruhan. Antar sains bahkan justru seperti berlomba mencari celah untuk menang sendiri.

Srihadi melalui karyanya seperti memberi umpan pada saya atau publik (bila karya ini nanti dipamerkan) untuk menjalani laku dewasa dalam menyikapi kehadiran sains. Sehingga eksistensi dewa ilmu pengetahuan ini dapat diambil hikmah. Setidaknya hikmah akan hadirnya pencarian terus menerus. Dukungan dan kepercayaan masyarakat pada sains perlu ditingkatkan kembali, di tengah kepercayaan frontal pada mitos dan agama.

Padahal sains, sosial dan agama dalam diri dan konsep Ganesha menyatu. Termasuk ia memberi sumbangan kebudayaan yang hakiki. Seperti menghormati alam semesta beserta ekosistemnya. Begitulah kearifan lokal Timur mengajarkan pada kita. Dan Ganesha adalah produk kearifan lokal itu.

Tidak seperti sekarang, rasanya banyak yang memisahkan atau mengoposisikan antara ilmu dan agama secara ekstrem. Bagi yang sangat memercayai agama terkadang sampai terkesan nyaris tak memedulikan kehadiran rasio dan akal. Filsafat dinihilkan. Kepercayaan pada Tuhan dianggap hanya bisa dibuktikan tanpa sebab musabab.

Padahal kita manusia adalah makhluk yang rentan terhadap apapun. Hidup dalam zaman kondisi apapun tentu tidaklah lepas dari pelbagai pendekatan penyelesaian. Entah agama, sains, ataupun estetika jelas menjadi pilihan bersama. Bukan terus membuatnya menganga tak berkesinambungan. Jadi mari kita bertahan untuk menyeimbangkan diri dengan berbagai hal dan situasi dengan beragam pilihan.

Ganesha telah memberi manusia petunjuk untuk terus menunaikan hidup dengan ketajaman intuisi, rasio dan akal budi. Karena itulah karya “Ganesha” Srihadi ketika kembali dihadirkan secara berulang hingga 9 gambar direpetisi dalam karya ini. Bisa jadi angka 9 memang perlu dimaknai lebih lanjut.

Ini perlu ditandai pula sebagai bagian dari hadirnya kembali equilibrium antar gagasan dan pendekatan dalam menyelesaikan persoalan hidup. Bersatu padu. Semangat itulah yang mengitari pikiran saya saat pertama kali mendengar hadirnya karya grafis berukuran 70×100 sentimeter ini.

Ganesha yang telah berusia 62 tahun mestinya menjadikan hidup kita makin indah. Bukan tanpa sebab Srihadi sebagai empu menghadirkan karya lawasnya sebagai bentuk “re-kreasi”. Selalu ada tanda dan energi yang menyiratkan pesan dari legenda hidup kelahiran 1931 yang kini menikmati hari-harinya di Bandung dan Jakarta. Selamat menikmati tanda-tanda itu.

Godean, Jogja, 2021

 

*Penulis adalah Kurator, staf pengajar ISI Yogyakarta & anggota Satupena