Teologi Minjung dan Seni Drama Tari Topeng

Oleh Tony Doludea

Teologi Minjung (Korea: 민중신학, Minjung Sinhak), Teologi Rakyat muncul pada 1970-an dari pergulatan umat Kristen Korea Selatan memperjuangkan keadilan sosial. Teologi Minjung merupakan proses pengembangan hermeneutik politik Injil dalam realitas kehidupan rakyat Korea. Ini berakar kuat dalam situasi nyata dan bertumbuh dari pergumulan umat Kristen yang berada dalam sejarahnya dan berita universal Injil.

Teologi Minjung bermula setelah Perang Korea, antara 1950-an dan 1960-an, yang disebarkan di dalam gereja Protestan minoritas. Teologi ini menjadi populer pada 1970-an saat kediktatoran Park Chung Hee dan Republik Korea Ketiga (1961-1979).

Park Chung-hee (1917–1979) adalah mantan jenderal Angkatan Darat Republik Korea yang menjadi presiden Korea. Park melakukan serangkaian reformasi ekonomi yang membuat pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi Korea berkembang pesat.

Mayor Jenderal Park Chung-hee, pada tanggal 16 Mei 1961 memimpin kudeta militer dan mengambil alih kekuasaan. Pada tanggal 15 Oktober 1963, setelah dua tahun pemerintahan militer, Park terpilih sebagai presiden dan menjabat pada tanggal 17 Desember 1963.

Kemudian pemerintahan Park Chung-hee tersebut menetapkan rencana pembangunan ekonomi lima tahun dengan slogan “modernisasi tanah air” dan membangun dasar untuk pertumbuhan yang tinggi melalui kebijakan ekspor. Juga dengan gerakan Saemaul Undong, yaitu mengubah bentuk negara, dari negara pertanian yang miskin menjadi negara industri. Fenomena tersebut kemudian dikenal sebagai “Keajaiban Sungai Han”.

Maka dilakukan pembangunan nasional berskala besar, seperti Jalan Tol Gyeongbu dan kereta bawah tanah. Selain itu, diluncurkan pula chaebol, yaitu perusahaan keluarga yang didukung oleh negara, mirip dengan zaibatsu Jepang. Misalnya Hyundai, LG dan Samsung.

Pertumbuhan ekonomi Korea yang tinggi membuat dukungan pada Presiden Park sangat besar pada 1960-an. Namun dukungan tersebut mulai memudar setelah pertumbuhan ekonomi mulai melambat pada awal 1970-an. Banyak warga Korea Selatan yang tidak senang lagi dengan pemerintahan otoriter Park, kebijakan keamanan negara dan pembatasan kebebasan rakyat.

Korean Central Intelligence Agency (KCIA) adalah dinas keamanan yang memiliki kewenangan besar untuk menangkap dan menahan orang. Banyak penentang Park ditahan dan disiksa tanpa diadili. Akhirnya demonstrasi meletus di seluruh negeri.

Pada tanggal 16 Oktober 1979, perlawanan tersebut mencapai momen yang menentukan, saat kelompok mahasiswa Universitas Nasional Busan menuntut diakhirinya kediktatoran Park. Aksi tersebut segera menyebar ke jalan-jalan. Menjelang malam, sekitar 50.000 orang berkumpul di depan balai kota Busan. Beberapa kantor publik diserang dan sekitar 400 pengunjuk rasa ditangkap. Pada tanggal 18 Oktober, pemerintahan Park mengumumkan darurat militer di Busan.

Pada hari itu juga protes menyebar sampai ke Universitas Kyungnam di Masan. Sekitar 10.000 orang, sebagian besar pelajar dan para buruh, bergabung dalam demonstrasi tersebut. Kekerasan dengan cepat meningkat. Serangan dilancarkan ke kantor polisi dan kantor partai berkuasa. Pada malam hari, jam malam di diberlakukan di Masan.

Suh Nam Dong (1918-1984), seorang perintis Teologi Minjung ini mencatat dua peristiwa merupakan bentuk akumulasi pengalaman penindasan rakyat Korea. Yaitu kematian Kim Kyong-suk dan kasus Bruder Oh Won-choon.

Kim Kyong-suk adalah seorang gadis berusia 21 tahun, anggota komisi eksekutif Persatuan Buruh T.H Company (T.H Trade Union). T.H Company adalah perusahaan yang memproduksi rambut palsu (wig). Pada tanggal 9 Agustus 1979, Kim mati tertembak, saat 200 buruh wanita perusahaan itu mengelar aksi demostrasi di depan gedung Partai Demokratis Baru (New Democratic Party). Mereka menuntut partai penguasa ini memberikan solusi yang adil terkait upah mereka yang tidak dibayarkan oleh perusahaan.

Sementara Bruder Oh Won-chun adalah anggota Dewan Federasi Keuskupan Andong dari Asosiasi para Petani Katolik (the Andong Diocese Federation of Catholic Farmers’ Association). Bruder Oh Won-chun adalah pegiat gerakan perjuangan hak-hak kaum petani, khususnya terkait tuntutan ganti rugi kerusakan lahan pertanian kentang manis. Pada tanggal 5 Mei 1979, ia ditangkap oleh pihak keamanan dan dimasukkan dalam tahanan isolasi dengan kondisi yang amat memprihatinkan.

********

Teologi Minjung berusaha memberikan pemandangan baru mengenai peran kekristenan di Korea melalui penafsiran Alkitab dari sudut pandang rakyat miskin, tidak mampu dan menderita. Teologi Minjung merupakan suatu etos praktis untuk memperjuangkan keadilan, kesetaraan dan kebebasan.

Teologi Minjung berusaha mengungkap tatanan struktural politik, ekonomi dan masyarakat Korea. Menguak pelanggaran hak asasi manusia, diskriminasi dan marginalisasi rakyat Korea. Pada saat yang sama Teologi ini bertindak untuk membangun martabat rakyat dengan cara menyembuhkan penderitaa sakit dan luka mereka.

Para pegiat Teologi Minjung percaya bahwa konteks kehidupan Korea itu dalam bahyak hal mirip dengan cerita-cerita Alkitab. Bahwa Allah secara jelas berada di pihak mereka yang miskin dan tertindas.

Orang yang miskin dan tertindas itu adalah para petani yang terusir dari lahan pertaniannya, nelayan, buruh pabrik yang dipaksa bekerja dalam keadaan tidak manusiawi, penduduk kota miskin yang berjuang untuk hidup di wilayah kumuh yang tiba-tiba digusur, buruh harian, tukang, gelandangan, pengangguran, pengasong, pedagang keliling dan kaki lima, sopir, tukang ojek, pembantu rumah tangga, pemulung, pengemis, pengamen, preman, pelacur, mucikari dan lainnya.

Untuk itu Teologi Minjung berusaha mengakui dan menghargai hak dan kedudukan mereka yang diberikan Allah itu, sehingga kedudukan dan hak tersebut dibangkitkan dan diwujudnyatakan serta dialami sepenuhnya oleh rakyat. Sebagaimana Yesus menerima dan bersahabat dengan para pelacur, pemungut cukai dan para pendosa. Meskipun untuk itu Ia harus membayar harga, yaitu dengan nyawa-Nya sendiri.

Teologi Minjung memiliki tiga titik berangkat, yaitu melawan fundamentalisme Kristen Protesten Korea, melawan kediktatoran pemerintah dan berusaha menyatukan tradisi Kristen dan Korea yaitu proses ‘cultural indigenization’ atau ‘Koreanization’ kekristenan.

Menurut Suh Nam Dong (1918-1984) inti Teologi Minjung adalah refleksi atas perasaan Han rakyat Korea. Han adalah sebuah istilah socio-psikologis, yang menunjukkan perasaan menderita seseorang yang tertekan, baik oleh dirinya sendiri maupun penindasan dari orang lain. Perasaan penderitaan dan penindasan yang tanpa harapan sama sekali semacam ini ada dalam hati setiap orang Korea yang tertindas. Han adalah perasaan gusar, sedih, marah, tertekan, tak berdaya, jengkel, pahit dan lain sebagainya. Perasaan ini bercampur dengan harapan terhadap masa depan yang lebih baik.

Namun di sisi lain, Han adalah perasaan kehendak gigih untuk hidup orang-orang yang lemah itu. Kegigihan ini melahirkan kecenderungan untuk melakukan revolusi sosial sebagai perlawanan atau pemberontakan atas keadaan yang menindas mereka.

Sementara Dan dalam Teologi Minjung merupakan jawaban atas Han kaum minjung. Dan adalah untuk mengatasi Han. Kata Dan berarti “memotong”. Dan meliputi dua dimensi, yaitu penyangkalan diri dan memutus belenggu lingkaran Han. Secara personal adalah penyangkalan diri dan secara sosial adalah memotong lingkaran setan balas dendam.

Untuk itu orang yang tertindas melepaskan diri dari impian-impian segala kehidupan yang nyaman dan mudah. Lingkaran mimpi-mimpi borjuis kecil. Inilah revolusi yang harus diwujudkan sehingga khayalan itu berakhir.

Dan berfungsi untuk mencegah munculnya sifat destruktif Han dan lingkaran setan balas dendam. Karena jika Han kaum minjung meledak tak terkendali akan bersifat destruktif. Mereka akan membenci, membunuh dan membalas dendam pada para penindas mereka tanpa henti.

Proses Dan ini mencakup empat tahap. Pertama, Shichonju yaitu menyadari Allah dalam hati, sehingga malalui kesadaran ini orang terdorong untuk memuliakan Allah. Kedua, Yangchonju yaitu membiarkan kesadaran Ilahi tumbuh dalam diri seseorang. Ketiga, Haengchonju yaitu melaksanakan perjuangan untuk mewujudkan Allah dan mempraktikkan apa yang dipercayai ada dalam Allah. Tahap ini menandai perjuangan untuk mengalahkan ketidakadilan dunia dengan kekuatan Allah. Keempat, Sangchonju yaitu mentransendensi kematian dan kehidupan sebagai sebuah pejuang yang dibangkitkan untuk rakyat atau hidup sebagai minjung pemenang, yang rendah hati dan dibangkitkan mengatasi kematian. Dalam tahap ini orang mengalahkan ketidakadilan dengan mentransendensi dunia.

Namun hermeneutika Teologi Minjung tersebut kelihatannya hanya memperhatikan budaya homosentris saja, bukan tentang keabsolutan dan transendensi Allah dan kebenaran-Nya. Teologi Minjung memusatkan diri hanya pada “sekarang, saat ini” saja, bukan masa depan atau kehidupan kekal manusia, bukan Allah dan bukan keadaan esensial manusia.

Teologi Minjung menempatkan manusia, kaum minjung sebagai subyek Kitab Suci, subyek sejarah dan subyek Gereja. Sehingga Teologi Minjung telah keluar dari batas ortodoksi teologis. Karena minat terbesarnya bukanlah Allah dan Yesus Kristus dalam Kitab Suci, melainkan pembebasan dan humanisasi kaum minjung saja.

Misalnya, Suh Nam Dong membedakan gagasan tentang dosa, dari sudut pandang Kristen tradisional dan Han yang terbentuk melalui pengalaman nyata kaum minjung. Bagi Suh, teologi Kristen tradisional yang memandang dosa sebagai suatu masalah antara Allah dan umat manusia tersebut dianggapnya tidak mendasar. Karena menurutnya dosa dan penghukuman itu merupakan pemberian label dari para penguasa kepada mereka yang lemah dan pihak yang menentang mereka. Sehingga tugas utama Teologi Minjung itu adalah membebaskan minjung dari Han, sebab hal ini lebih berarti daripada pengampunan dosa oleh Allah.

Teologi Minjung menolak peran Gereja Kristen sebagai perantara penebusan dan pertobatan yang tercermin dari ideologi hirarki penguasa rohani, sebagaimana diajarkan oleh Teologi Barat. Maka Teologi Minjung mengutamakan peran Gereja untuk mengungkap penderitaan dan pembebasan rakyat, serta suatu pelayanan di mana rakyat menemukan kebebasannya dan keselamatan dalam proses membangun identitas dirinya.

Tugas Teologi Minjung adalah mengenali Han dan menyediakan jalan untuk “meringankan” hal tersebut. Ini melibatkan penggabungan Teologi Minjung dengan Hanp’uri. Yaitu melepaskan Han melalui Kut, sebuah ritual shamanisme, yang tujuan secara umum di antaranya untuk menghadirkan kesejahteraan umum, hingga membantu perjalanan jiwa orang yang telah meninggal. Hanp’uri terdiri dari tiga proses, yaitu orang harus berbicara dan mendengar tentang Han, ia harus menyebutkan masalahnya dan situasi yang tidak adil itu harus diubah melalui tindakan.
Pendekatan inkulturasi dalam teologi para teolog Minjung itu dilakukan dengan memperhatikan cerita-cerita rakyat, tari topeng dan pengharapan-pengharapan mesianik rakyat, yaitu gabungan mesianisime Budha Maitreya, agama Donghak dan Iman Kristen. Para teolog Minjung menggunakan unsur-unsur budaya-religius setempat ini sebagai titik kontak untuk mengembangkan sebuah “teologi pembebasan”. Sebagai hasil perjumpaan dan dialog antara realitas historis dengan segala konteks kulturalnya, iman Kristiani dan inter-religius.

Inilah salah satu model teologi Gereja Asia yang merindukan sebuah teologi yang dibangun atas dasar kekhasan Asia, yaitu kemiskinan, multi-kultural dan multi-religius.

Menurut mereka Teologi Minjung mampu memberi contoh dalam menghadirkan sebuah teologi kontekstual khas Gereja lokal. Teologi Minjung merupakan suatu proses dialektis yang rumit antara Han dan Dan di dalam kehidupan manusia. Pembebasan dan pembaharuan sosial berjalan dalam ketegangan dialektis dengan pembebasan dan pembaharuan spiritual. Keduanya saling mengandaikan.

Tugas hermeneutis dasar Teologi Minjung bukanlah menafsirkan teks-teks Kitab Suci dalam terang situasi dan konteks Korea. Tetapi menafsirkan pengalaman penderitaan kaum minjung Korea dalam terang teks Kitab Suci. Menurut mereka ini tidak berarti bahwa minjung lebih penting dari Kitab Suci, namun hanya mau menegaskan bahwa minjung adalah titik awal dari sebuah hermeneutika biblika.

Sumber Teologi Minjung bertitik tolak dari pengalaman penderitaan, kemudian pengalaman itu direfleksikan dalam terang Kitab Suci. Lalu membentuk sebuah teologi melalui perjumpaan dengan tradisi lokal khususnya berkaitan dengan gerakan-gerakan mesianik lokal. Akhirnya teologi ini mendorong berkembangnya teologi yang mengusung tema pembebasan.

Mesianisme Teologi Minjung itu menyiratkan sosok mesias yang berasal dari rakyat dan dimiliki oleh rakyat, karena ia adalah bagian dari rakyat. Mesias itu sebenarnya adalah rakyat itu sendiri, yaitu Minjung. Rakyat adalah sang mesias yang tengah menanggung penderitaan dan memikul dosa dunia ini. Minjung adalah subjek yang sekaligus berfungsi sebagai mesias.

Kim Yong Bock (1938-2022) membedakan antara mesianisme kekuasaan politik dengan mesianisme hamba. Mesianisme kekuasaan politik adalah suatu usaha pembebasan yang bertumpu dan mengandalkan pada kekuatan politik, sedangkan mesianisme hamba berpusat pada pelayanan. Rakyat berjuang demi kebebasan dengan semangat melayani.

Oleh sebab itu mesias yang adalah rakyat ini harus selalu siap melayani sesamanya. Rakyat hanya akan menjadi subjek sejarahnya apabila mampu menolak godaan penggunaan dan penumpukan kekuasaan politik dalam memperjuangkan kebebasannya itu. Rakyat yang sedang menderita ini harus berjuang untuk membebaskan diri dengan melawan kekuatan-kekuatan jahat dengan cara melayani, yaitu menanggung penderitaan sebagai seorang pembebas yang berani menolak bujuk rayu kekuasaan politik. Terus berjuang dalam ketegangan antara yang sudah dan yang belum, juga antara Han dan Dan.

Secara mendasar gagal atau berhasilnya suatu gerakan mesianisme itu terletak pada proses penyadaran, bahwa setiap orang itu adalah mesias bagi dirinya sendiri, sesamanya dan dunianya. Karena TUHAN Allah sendiri telah mengidentifikasikan diri-Nya itu dengan orang miskin, menderita, malang dan orang yang paling hina (Matius 25: 40 dan 45). Bahkan Allah telah memasrahkan kekuasaan-Nya baik di dunia maupun di sorga itu (Matius 16: 19 dan 18: 18) kepada orang percaya untuk dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar daripada yang Ia sendiri pernah lakukan (Yohanes 14: 12). Ini adalah harta karun yang tersembunyi yang harus dibagikan dalam setiap gerakan mesianisme.

Teologi minjung menempatkan pengalaman manusia sebagai titik tolak refleksinya. Refleksi atas pengalaman penderitaan rakyat Korea yang terungkap dalam bahasa mereka yang khas, yaitu bahasa Han dan seni yang memadukannya dengan refleksi biblis.

Han adalah perasaan kalah, mundur dan ketiadaan, yang dapat disublimasikan dalam bentuk eskpresi-ekspresi artistik yang hebat. Syair-syair kuno Korea, Pansori dan tari topeng (Talchum), merupakan bentuk sublimasi artisitik Han yang lemah dan hilang harap itu.

********

Secara teoritis, Teologi Minjung merupakan langkah-langkah untuk mewujudkan teologi kontekstual Asia dengan metodologi teologis: “See, Judge and Act”. Pada tahap “See” Teologi Minjung melihat realitas penderitaan kaum minjung, tidak hanya dalam pengalaman konkret saat ini, tetapi juga dalam sejarah yang diwariskan dalam bentuk cerita, Pansori, tari topeng (Talchum). Cerita memiliki peran penting dalam budaya-budaya Asia. Tahap “Judge” Teologi Minjung membantu merefleksikan dan menafsirkan pengalaman itu dalam terang Kitab Suci, seperti Kisah Keluaran, nubuatan Nabi Amos-Mikha dan kisah mesianis Yesus Kristus. Tahap “Acts” Teologi Minjung mencoba membuat langkah-langkah konkret untuk memperjuangan demi membebaskan minjung yang miskin dan tertindas.

Minjung adalah orang-orang yang berusaha dan berjuang membebaskan diri dari kesengsaraan, meskipun perjuangan mereka itu seringkali justru membawa kesengsaraan yang jauh lebih berat. Perjuangan Minjung ini bersumber dari Han, yaitu suatu perasaan tak berdaya, kesedihan, kebencian, dendam, amarah, kerinduan akan pembebasan dan kehidupan yang bercampur-aduk. Perjuangan gigih Minjung yang didasari oleh Han ini diungkapkan dalam bentuk sastra, puisi, cerita, lagu, gerak tubuh dan tari topeng (Talchum).

Talchum Korea ini merupakan salah satu cara untuk mencapai pembebasan secara pribadi. Tari topeng ini dimainkan dengan musik dan percakapan, bahkan dialog dengan para penonton. Terdiri dari banyak satir, lelucon kasar dan kata-kata jorok yang berkaitan dengan seks. Tari topeng ini menampilkan berbagai bentuk emosi seperti kesedihan, kebahagiaan dan kecaman terhadap para penguasa.

Tema-tema tari topeng ini antara lain mengenai ritual upacara, biksu yang murtad, kaum bangsawan yang jatuh misikin, cinta segitiga dan kehidupan sehari-hari rakyat jelata. Ceritanya biasanya berkisar dari kehidupan para rahib yang memiliki sifat buruk, juga para bangsawan yang perilakunya konyol dan bodoh. Mereka digambarkan dengan sifat yang tidak baik dan dijadikan bahan tertawaan.

Talchum adalah pertunjukkan tradisional Korea yang dimainkan oleh beberapa orang yang mengenakan topeng dan kostum. Talchum merupakan sendratari topeng yang berasal dari Korea Utara dan juga digunakan sebagai nama umum untuk keseluruhan jenis tari topeng di Korea.

Ciri khas tari topeng Korea Utara ini adalah gerakannya yang lincah dan cepat, serta mengenakan selendang panjang di tangan. Tokoh yang dimainkan antara lain delapan biksu berwajah hitam, biksu kepala, orang muda dan orang tua, bangsawan dan nenek Miyal.

Kesenian ini berkembang sejak abad ke-18 di wilayah provinsi Hwanghae, Korea bagian utara. Dalam perkembangannya dipengaruhi oleh berbagai jenis kesenian dari daerah-daerah lain di Korea. Sebagian besar tari topeng yang terkenal berasal dari kota-kota seperti Yangju, Bongsan, Tongyeong dan Suyeong.

Kesenian ini mencapai masa kejayaannya pada abad ke-20, saat dipentaskan di berbagai acara penting, seperti ulang tahun, pengangkatan pejabat baru dan kunjungan tamu asing. Biasanya kesenian ini dimainkan juga pada hari besar, seperti hari Dano setiap tanggal 5 bulan ke-5 kalender Imlek.

Asal mula Talchum diperkirakan berawal dari upacara agama memohon panen yang baik dan kesejahteraan rakyat desa. Talchum berasal dari kesenian yang berkaitan dengan Shamanisme, hiburan (gisaeng), kelompok seni petani ataupun kombinasi ketiganya. Tarian ini biasanya dipentaskan di halaman sebuah rumah besar atau di pasar untuk menarik perhatian warga.

Namun ketika kelas pedagang mulai muncul pada 1700-an, unsur satiris dalam tari topeng semakin kuat dan berani. Seni pertunjukan yang awalnya bersifat religius, bergeser menjadi media untuk mengungkapkan rasa ketertindasan mereka, dengan cara mengejek atau mengkritik para penindas mereka.

Pertunjukan Talchum diiringi musik yang dimainkan oleh kelompok musik petani. Ada 9 jenis alat musik, yakni haegeum (rebab bersenar 2), geomungo (kecapi 6 senar), gayageum (kecapi 12 senar), hyangbipa (mandolin), genderang besar, genderang panjang, piri (suling) dan 2 taepyeongso (terompet).

Topeng Korea disebut Tal, tetapi juga dikenal dengan sebutan lain seperti chorani, gamyeon, gwangdae, talbak dan talbagaji. Topeng Korea memiliki kain hitam yang tersambung dibelakangnya untuk melapisi kepala atau sebagai rambut hitam.

Tari topeng terdiri dari 11 adegan. Namun ada tiga adegan penting yang berkaitan dengan minjung, yaitu Nojang (Biksu Budha Tua), Tiga Yangban (tiga orang bangsawan) dan Miyal Halmi (Wanita Tua Miyal).

Nojang adalah sebuah kritikan terhadap agama yang cenderung bersifat spiritualitas kuno dan agama metafisis yang jauh terpisah dari dunia nyata, sehingga tidak bermakna dan tidak produktif bagi rakyat.

Kisah Tiga Yangban adalah kritikan terhadap kehidupan Kelas Yangban. Kelas elit penguasa yang menganggap dirinya terpelajar, terhormat dan terpisah dari dunia fana rakyat jelata. Namun, dalam kisah ini mereka digambarkan sangat bodoh dan konyol. Mereka begitu menikmati dunia mereka sendiri, dalam suatu sistem yang memberikan keistimewaan dan pujian khusus kepada kedudukan mereka. Sikap ini membuat mereka buta terhadap kenyataan dunia nyata.

Kisah Miyal-Halmi menggambarkan seorang perempuan tua yang mencari suaminya, setelah terpisah selama bertahun-tahun karena perang di pulau Cheju, tempat tinggal mereka dulu. Kisah ini mengungkapkan kenyataan dunia kekuasaan bangsawan yang memerintah, sekaligus kritik terhadap penindasan laki-laki terhadap kaum perempuan.

Para pemimpin yang cerdas dan licik untuk mencegah pecahnya pemberontakan, biasanya memanipulasi dan mencuci otak kaum minjung dengan mengadakan pertunjukan tari topeng, yang berarti menyalurkan perasaan minjung yang terpendam.

Mereka juga mengalihkan perhatian kaum minjung supaya perwujudan harapan mereka itu hanya dapat terjadi di “dunia lain”, bukan di dunia ini. Ini membuat kaum minjung menjadi pasif dan terjebak oleh pengharapan utopis.

Padahal Talchum merupakan sarana untuk mentransendensi pengalaman kaum minjung. Dalam dan melalui tari topeng ini, rakyat mengalami dan mengekspresikan sebuah transendensi kritis melampaui dunia ini dan menertawakan absurditasnya.

Pengalaman transendensi itu akan membangun sikap bijaksana dalam diri kaum minjung dan membentuk daya tahan untuk terus hidup dalam dunia yang tidak menghargai martabat mereka. Kesadaran bahwa dunia yang ada sekarang ini memang tidak berpihak kepada mereka. Namun mereka mampu mengatasi dunia itu dan mereka mampu menanggung beratnya kehidupan di dunia ini dengan humor yang baik, tanpa harus jatuh ke dalam keputusasaan. Pengalaman ini akan memberi kekuatan bagi kaum minjung untuk berjuang demi perubahan dan kebebasan.

Melalui tari topeng tersebut rakyat jelata mampu meluapkan Han-nya itu. Sementara jati dirinya tetap aman terkedok di balik topeng-topeng itu. Gerakan tarian ini kuat, penuh semangat dan berani. Bahasanya kasar dan penuh sindiran dengan konotasi seksual tanpa tedeng aling-aling.

Dalam pertunjukan tari topeng ini penari dan penonton sama-sama menyindir, mengejek dan mengolok-olok kekuasan menindas yang diwakili oleh para Biksu Budha dan kaum ningrat Kongfucius yang korup itu.

Melalui pentas lawakan dan lelucon terhadap golongan yang berkuasa itu rakyat jelata tertawa geli. Melalui gelak tawa ini minjung dapat meluapkan perasaan Han-nya itu, yang selama ini tertimbun dan terpendam dalam.

Dalam gelak tawa itu minjung mampu membangun sikap kritis untuk terus bertahan berjuang dalam suatu pengharapan akan masa depan yang lebih baik.

Tarian topeng ini adalah ungkapan atas kegigihan dan hasrat minjung untuk tetap bertahan hidup. Dalam tarian topeng rakyat memperoleh pembaharuan dan kebangkitan semangat hidup, meskipun mereka akan tetap menjalani kehidupan yang malang.

Pertunjukkan kesenian ini dianggap sebagai perwujudan teater tradisional dan dipentaskan di seluruh Korea. Orang Korea sangat menyukai Talchum, karena banyak menyampaikan pesan-pesan moral dan menceritakan tentang kehidupan dan permasalahan sehari-hari mereka.

 

*Penulis adalah Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia.

—————–

Kepustakaan

Byung-Mu, Ahn. Stories of Minjung Theology: The Theological Journey of Ahn Byung-Mu in His Own Words. SBL Press, Atlanta, 2019.

Chung, Paul S. Constructing Irregular Theology: Bamboo and Minjung in East Asian Perspective. Brill Academic Pub, Boston, 2009.

Elwood, Douglas J. Teologi Kristen Asia, tema-tema yang tampil ke permukaan. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2006.

Kim, Hiheon. Minjung and Process: Minjung Theology in a Dialogue with Process Thought. Peter Lang, Lausanne, 2008.

Küster, Volker. A Protestant Theology of Passion: Korean Minjung Theology Revisited. Brill Academic Pub, Boston, 2010.

Lee, Jung Young. An Emerging Theology in World Perspective: Commentary on Korean Minjung Theology.‎ Twenty Third Publications, New London, 1988.

Lee, Kwang Hee. Evaluation of Minjung Theology from the Reformed Position: Critique of Its Religious Ground Motive. Westminster Theological Seminary, Philadelphia, 1990.

Lee, Sang Taek. Religion and Social Formation in Korea: Minjung and Millenarianism. Walter de Gruyter, Basel, 1996.

Lee, Song-Chong. The Role and Meaning of Religion for Korean Society. Mdpi AG, Basel, 2019.

Suh, David Kwang-sun. The Korean Minjung in Christ.‎ Wipf and Stock, Eugene, 2000.

Yewango, A. A. Theologia Crucis di Asia : Pandangan-Pandangan Orang Kristen Asia Mengenai Penderitaan dalam kemiskinan dan keberagaman di Asia. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996.

Yong Bock, Kim. Minjung Theology: people as the subjects of history. The Commission on Theological Concerns, Singapore, 1981.

Yong Bock, Kim. Messiah and Minjung: Christ’s Solidarity with the People for New Life. Christian Conference of Asia Singapore, 1992.