Ziarah Yoga di India, Sebuah Catatan

Oleh Yudhi Widdyantoro

“The mind is the vital link between the body and the consciousness. The individual can live with awareness, discrimination, and confidence only once the mind is calm and focused. Yoga is the alchemy that generates this equilibrium”

(BKS Iyengar: “Yoga: The Path to Holistic Health”, hal. 26)

Berita kematian BKS Iyengar saya baca lewat akun Facebook Willy Yoga. Teman sesama pengajar yoga di Jakarta ini menulis status berita duka itu pada 20 Agustus 2014 sekitar pukul 10:35. Belum ada info lengkap pemicu kematiannya dan pukul berapa beliau yang oleh murid-muridnya sering disebut Guruji ini terakhir kali menghembuskan napas.

Foto BKS Iyengar

Segera setelah itu, banyak berita yang lebih komplet saya baca. Dan status Facebook teman-teman yoga, praktisi atau guru yoga dari berbagai style atau tradisi menuliskan tiga huruf keramat: R.I.P. Ekspresi kedukaan atas kematian. Sejenak saya hening. Berdoa untuk Guruji yang ternyata saat meninggalnya karena ada problem dengan salah satu organ dalam sistem pernapasan. Sedikit terheran, sekaligus juga menyadari tentang arti kefanaan, ketidak-kekalan: bahwa guru yoga, sehebat apapun, sesehat apapun, adalah juga manusia, bisa sakit, bisa mati. Ingatan saya melayang ke 10 tahun sebelumnya.

Sebelum saya melanjutkan kenangan dan kesan personal pada Guruji, saya akan mengulas sedikit tentang Iyengar Yoga dan juga Guruji dalam lintasan sejarah. Bagaimana konstalasi Iyengar Yoga dalam dunia peryogaan, serta bagaimana korespondensi atau relasi murid yoga, atau praktisi pada umumunya dengan seorang guru dan ajarannya termasuk yang akan diulas.

Kalau kita bicara sejarah perkembangan yoga modern, bisa dikatakan dimulai sekitar tahun 1800 ketika orang dari dunia Barat mulai mengoksplorasi dan menggandrungi seni hidup dari Timur. Mereka membawa, mengembangankan dan mengemasnya yang akhirnya menjalar ke suluruh pelosok dunia.

Dalam Hatha Yoga, salah satu jalan yoga, sendiri banyak sekali aliran, sesuai dengan penekanannya masing-masing si “pengembang” atau kelompok latihan tersebut. Sekadar menyebutkan, adalah Hatha Yoga yang klasik; Iyengar Yoga; Ashtanga Yoga yang sebagian orang menyebut dengan Power Yoga, seperti yang dilakukan oleh Madonna; Anusara Yoga; Jivamukti Yoga, dimana Sting atau Christy Turtlington suka berlatih di studionya di New York, Amerika; ada juga Bikram Yoga; dan sekarang yang sedang naik daun, yaitu Power Swing Acro Yoga, untuk sekadar menyebut beberapa, dengan mengingat, tentunya masih banyak lagi dan akan akan ada lagi style yoga yang baru. Namun semuanya ada dalam bingkai Hatha Yoga, suatu jalan yoga dengan latihan asana, pose sebagai ‘menu utama’, masing-masing eksis dengan kekhasannya sendiri-sendiri, dan bisa jadi ada interrelated-nya kalau ditarik ke belakang, ke Krishnamacarya, maha guru, guru of guru, guru dari tiga guru besar: Shri Patabhi Jois, guru besar Ashtanga Yoga; BKS Iyengar, guru besar Iyengar Yoga, dan TKV. Desikachar, guru besar Vinny Yoga, atau ke sebelum Krishnamacharya, yaitu, Swami Svatmarama yang pertama kali memerkenalkan asana yoga, dan mundur lagi ke the one and only, Patanjali – yang walaupun TIDAK mengajarkan asanas, tapi Yoga Sutra-nya menjadi landasan, atau dasar filosofi bagi pemahaman akan keberadaan yoga sampai sekarang. Atau malah, jauuuuh ditarik ke sebelumnya, para resi, guru pembabar Veda, Brahmana, Upanishad, Purana sebelum ada Yoga Sutra of Patanjali. Masing-masing guru dan tradisi atau style-nya pasti ada pengaruh dari guru-guru sebelumnya, atau malah tumpang tindih, overlapping dengan guru-guru sebelumnya. Dari sini terlihat, ada yang ajeg, tetap, yaitu ajaran tentang konsep kemenyatuan yoga, union body, mind and soul sejak sebelum Patanjali dan kesadaran akan adanya perubahan, seperti terlihat pada tiga aliran berbeda dari satu guru yang sama di generasi murid-murid Krishnamacarya. Tapi yang jelas, anatara Shri Patabhi Jois, TKV Desikacahr, dan BKS Iyengar akur-akur saja, tidak ada yang meng-claim siapa yang lebih dulu, yang paling asli sesuai dengan ajaran Krishnamacarya dan karenanya merasa lebih otentik. Yoga sepertinya bergerak secara paradoksal, antara ke-pakem-an dan kreativitas.

Iyengar Yoga

Dari demikan banyak style dalam Hatha Yoga yang seperti disebutkan di atas, atau dimanapun Anda berlatih saat ini, sedikit banyaknya mendapat pengaruh dari BKS. Iyengar, demikian dikatakan dalam artikel di Yoga Journal, October 2005. Mungkin ini berlebihan, tapi Majalah Time edisi tahun 2005 memasukkan nama BKS. Iyengar ke dalam salah satu dari 100 orang yang sangat berpengaruh di dunia. BKS Iyengar tinggal, belajar, dan mengajar di Pune, India. Sistem latihan Iyengar Yoga memberi penekanan pada presisi (precise), ketepatan dan proper allignment pada setiap gerakan (poses)-nya untuk mendapatkan keseimbangan dan kekuatan. Iyengar Yoga berbeda dan unik dibanding style lainnya karena dalam latihannya sering menggunakan alat-alat bantu (props), seperti balok, tali, rope di dinding, selimut, kursi, horse yang semuanya digunakan untuk membantu peserta latihan dalam memaksimalkan kemampuannya, selain meminimalkan atau menghindari risiko cedera. Dan dari sini, maka apa yang sering disampaikan oleh guru ataupun praktisi Iyengar Yoga, bahwa kesehatan fisik, penyembuhan penyakit, akan didapatkan.

Perjalanan Hidup Guruji, Mr. Iyengar

BKS. Iyengar lahir pada 14 Desember 1918 di Bellur, India Selatan dengan nama Bellur Krishnamachar Sundararaja (B.K.S) Iyengar dari keluarga petani, yang sejak kecil badanya sudah lemah karena sakit influenza, malaria, typhoid, dan tuberculosis. B.K.S. Iyengar mulai tahun 1934 belajar yoga dari saudaranya yang bernama T. Krisnamacharya seorang master yoga, “Bapak Modern Yoga” yang kemudian mulai menjadi instruktur di Yogashala. Atas undangan Dr. V.B. Gokhale seorang ahli bedah di Pune pada tahun 1973 untuk mengajar di The Deccan Gymkhana, beliau mulai belajar lebih dalam dan mengembangkan yoga untuk therapy dengan menggunakan alat bantu. Setelah satu tahun beliau menikah dengan Ramamani, pada 1944 lahirlah anaknya yang bernama Geeta yang sekarang menajadi Director di Ramamani Iyengar Memorial Yoga Institute, di Pune India dan dikenal sebagai penulis buku Yoga : A Gem for Women. Kemudian pada 1949 lahirlah anak kedua yang diberi nama Prashant yang sekarang menjadi Wakil Direktur di Institute beliau. BKS Iyengar mengajar Sri J. Krishnamurti pada tahun 1948 dan persahabatan tersebut berlanjut sampai dengan 20 tahun kemudian. Pada 1952 BKS Iyengar bertemu dengan Yehudi Menuhin yang kemudian mengundang untuk mengajar di Switzerland yang merupakan awal dari perjalanan BKS Iyengar memperkenalkan yoga di dunia Barat. Pada tahun 1955 mulai mengajar di National Defence Academy in Khadakvasia, India dan mengajarkan cara Headstand pada Ratu Elisabeth dari Belgia yang sudah berusia 80 tahun. Dan pada tahun yang sama BKS Iyengar untuk pertama kalinya ke Amerika memenuhi undangan Rebekah Harkness dari Standard Oil dan Life magazine mendokumentasikan perjalanan panjangnya.

Kemudian pada tahun 1966 BKS Iyengar menerbitkan buku dengan judul Light on Yoga yang kemudian menjadi bibble atau “kitab suci” bagi orang – orang yang ingin mempelajari yoga. Buku ini telah terjual lebih dari 1 juta copy. The Inner London Education Authority pada 1971 meminta kepada Iyengar supaya mengeluarkan sertifikat untuk instruktur iyengar yoga. Pada tahun 1973 istrinya, Ramamani meninggal dunia dan sampai dengan sekarang tidak menikah lagi. Di tahun yang sama juga untuk pertama kali studio Iyengar Yoga buka di Amerika tepatnya di Ann Arbor, Michigan, YMCA. Pada tahun berikutnya 1974 Iyengar Yoga Institute of San Fransisco di buka, kemudian Iyengar meresmikan Ramamani Iyengar Memorial Yoga Institute pada tahun 1975 di Pune untuk mengenang istrinya yang sudah meninggal lebih dahulu. Iyengar mengembangkan asana dan pranayama secara mendalam yang kemudian pada tahun 1981 mengeluarkan sebuah buku dengan judul Light on Pranayama. Tiap tahun banyak orang yang tertarik dengan Iyengar Yoga yang kemudian mengadakan workshop untuk pertama kalinya pada tahun 1984 dengan title Iyengar Yoga Convention in San Fransisco dengan peserta sebanyak 800 orang, yang kemudian setelah San Fransisco di susul kota Boston pada tahun 1987, San Diego pada tahun 1990 dan Ann Arbor 1993 mengadakan convention yang sama.

Foto buku Light on Yoga

Dengan perkembangan Iyengar Yoga yang sangat pesat di Amerika, maka didirikan sebuah asosiasi yang bernama Iyengar Yoga National Association of the United States (IYNAUS) dengan Marry Dunn sebagai president pertama yang sekaligus pendiri asosiasi tersebut. Pada tahun 1993 Iyengar menerbitkan buku Light on the Yoga Sutras of Patanjali, dan pada 2001 The Path to Holistic Health yang sangat berguna bagi therapy penyakit, karena pada 1977 Iyengar memfokuskan memberikan pelajaran pengetahuan untuk medical di dalam kelas. Pada 1999 Perdana Menteri India A.B. Vajpayee mengunjungi Iyengar di institutenya di Pune, India. Secara resmi pada tahun 2003, “Iyengar” masuk di dalam entry kamus Oxford English Dictionary, dan pada tahun berikutnya 2005 Mr Iyengar sebagai “one of the 100 most influential people in the world” oleh Time magazine. Pada tahun ini juga Iyengar menerbitkan buku ke-enam dengan judul Light on Life dan kemudian ke Amerika untuk “media tour Light on Life 2005” dan juga mengunjungi Colorado untuk Yoga Journal Convention in Estes Park. Sampai dengan 2005 tercatat sebanyak 529 instruktur bersertifikat Iyengar Yoga yang telah mengajar di segala penjuru Amerika di 268 kota di Amerika. Tentunya sampai 2014 ini lebih banyak, tidak terkecuali di Indonesia.

Foto BKS Iyengar melatih yoga

Kenangan Pribadi pada Mr. Iyengar

Perkenalan saya dengan yoga jalannya melingkar. Melalui pencarian belajar meditasi. Adalah untuk meningkatkan daya konsentrasi, dengan alasan utama ingin mengakselarasi penguasaan ‘ilmu tenaga dalam’ dari perguruan bela diri tangan kosong silat yang saya tekuni sebelumnya. Logika penghubunganya adalah bayangan para meditator yang tenang dan image resi India dengan “kesaktian” dan kemampuan superstitious-nya. Maka, pergilah saya ke Pusat Kebudayaan India (waktu itu di Jalan Imam Bonjol, depan kantor Komisi Pemilihan Umum sekarang). Setelah saya sampaikan niat saya itu, Profsor GD Sharma bilang: “setelah belajar asana yoga ini, kira-kira tiga bulan berlatih, Anda juga akan bisa bermeditasi.” Saya tidak tau apa-apa tentang yoga, dan ternyata kelas yang saya duga untuk belajar meditasi itu adalah kelas yoga. Ya, yoga asana. Beberapa saat sejak pertama kali berlatih yoga yang dimulai pada Februari 1991 saya membaca buku Light On Yoga dengan mendapat copy dari kawan Jonathan Nawilis. Bagi pemula yang curious ingin tahu lebih dalam apa itu yoga, penjelasan filosofis di bab satu buku itu bagi saya sungguh memukau. Ditulis dengan bahasa yang bernas namun kaya makna konotatif. Dengan generous beliau menyertakan arti kata bahasa Sanskrit di halaman akhir, serta glosarium untuk memudahkan pencarian konteks kata. Walaupun bagi saya sedikit lucu untuk pembabakan buku, yaitu adanya bab Appendix, koq seperti sakit usus buntu, namun isinya sangat bermanfaat, adaah “Curative Asana for Diseases”, yaitu bagaimana yoga dapat menjadi sarana terapi. Bagi saya yang mulai datang berlatih dengan membawa banyak keluhan, baik fisik, yaitu derita hepatitis dan migraine plus insomnia yang parah, serta problem mental psikis karena bad-temper karena karakter pribadi yang sepertinya keras menuntut dan ambisius, dua bab itu sungguh melegakan bagi dahaga saya untuk hidup sehat dan nyaman. Lebih lengkap, buku itu juga diperkaya dengan foto-foto asana atau postur yoga yang masif, serta contoh membuat program latihan yang sistematis dan terstruktur.

Walau demikian lengkap, buku pertama Guruji ini menyisakan satu pertanyaan bagi saya. Lewat bukunya, beliau mengatakan bahwa yoga adalah salah satu dari enam sistem filsafat India. Penjelasan tentang yoga jelas TSM, terstruktur, sistematis, dan masif, tapi sama sekali tidak menyinggung lima sistem yang lainnya. Bagaimana mempelajari sitem filsafat lainnya agar pemahaman yoga saya lebih lengkap, itulah tantangan yang merepotkan saya, sehingga harus membongkar buku-buku filsafat timur lama, ikut kuliah filsafat lagi, mengukuti kelompok-kelompok kajian untuk melengkapi kosumsi atau asupan “mind” atau batin, seperti datang ke diskusi di Teofosi Society, di Kelompok Krishnamurti, termasuk kerap ikut retret meditasi Vipassana, karena saya pikir di kelas-kelas di studio yoga pada umumnya, tentunya mereka lebih belajar mengolah raga, tidak mengolah jiwa.

Sementara saya terus giat berlatih yoga asanas di Jawaharlal Nehru Indian Cultural Center (JNICC), hampir setiap hari, karena kebetulan proyek tempat saya bekerja, Proyek Koperasi Listrik Pedesaan sedang menurun load kerjanya. Saya sadari, saya norak dan kemaruk belajar yoganya ketika itu. Waktu itu peserta di kelas antara 5-10 orang yang umumnya expatriate. Mungkin karena saya pernah menari jawa ketika remaja yang membuat badan saya sedikit lebih lentur dibanding bule-bule itu, seperti ketika buat pose squat, jongkok, dan juga latihan silat yang membantu menguatkan otot, syaraf, dan tulang di tubuh, di kelas saya relative leading sehingga oleh guru sering diminta demo, dan menjadi acting teacher. Sambil sekali-sekali diminta menggantikan Profesor GD Sharma, guru yoga pertama saya itu, di kelas, jika dia berhalangan, saya mencari tahu untuk bisa berlatih langsung dengan BKS Iyengar di India. Setelah dapat alamat dari center, mulailah saya berkirim surat via pos, semacam surat lamaran untuk menerima saya menjadi muridnya. Belum ada email atau internet ketika itu, apalagi facebook.

Cukup senang saya mendapat surat balasan dari Ramamani Iyengar Memorial Yoga Institute, Pune, India, walaupun tidak berarti mendapat jawaban “iya” untuk segera bisa belajar disana. Adalah Pandurang Rao, sekretaris pribadi Mr Iyengar yang menjawab surat saya, untuk atas nama Guruji dengan anjuran untuk masih perlu belajar lagi. Keponakan saya yang punya hobby koleksi perangko selalu senang tiap kali saya mendapat surat atau kartu pos dari luar negeri, ikut girang dengan ketambahan koleksinya, yaitu perangko dari India.

Tahun-tahun berikutnya, setelah saya merasa sudah belajar lagi, kembali saya layangkan surat ke Pune, dan hampir selalu dapat jawaban yang sama: “sabar, belajar lagi ya…”. “Kerinduan” ingin bertemu dan beruguru langsung dengan seseorang yang sangat dihormati, adalah seperti dalam puisi-puisi kerinduan Amir Hamzah pada Tuhan-nya, “Rindu rasa, rindu rupa…”. Dalam masa “kerinduan” itu, beruntung saya mengenal dan berlatih Iyengar Yoga, yang setahu saya, ketika itu, hanya ini satu-satu-nya di Indonesia, guru dan center yang menjalankan tradisi Iyengar Yoga. Adalah dengan Olop Arpipi di Seminyak, Bali. Setelahnya cukup kerap saya terbang ke Bali untuk berguru dengan Olop – yang dari sana, bertambah juga pembelajaran saya pada guru-guru dalam lineage Iyengar tradition ini, sekadar menyebut: Patricia, Judith Adank, John Leebold, Carole Bellargeon, mostly di Bali, yang membuat Bali sebagai rumah kedua saya. Pembelajaran saya pada Iyengar Yoga bukan hanya pada yang jelas-jelas mengaku atau dikenal sebagai guru Iyengar Yoga tetapi juga ke yang sudah tidak memakai label itu, walau sebelumnya lama mengajarkan Iyengar Yoga, seperti ikut kelas intensif Donna Farhi di Auckland, New Zealand, dan Desiree Rumbough, guru bersertifikat Anusara Yoga. Atau yang mengaku guru Iyengar Yoga, tapi diragukan ke-Iyengar-an karena sudah tidak pernah lagi sowan ke Pune, seperti dengan Ann Barros, mengingat ada ketentuan dari RIMYI (menurut penuturan Mr Chandru, alias Soni, dan Mr Pandu sebagai admin di RIMYI) bahwa jika guru Iyengar Yoga dalam dua tahun tidak datang berlatih ke Pune, maka dia tidak berhak lagi menyandang nama sebagai guru Iyengar Yoga. Sebagai pengetahuan rules and regulation suatu tradisi, bagi saya ini menjadi catatan yang penting, tapi karena saya tidak peduli dengan sertifikasi, tidak peduli pada siapa asal ada hubungannya dengan Iyengar. Tentu saja harus saya akui bahwa ajaran mereka sangat berpengaruh dalam cara saya beryoga, barlatih sendiri dan juga dalam mengajar di kelas. Di antara masa itu saya juga mengambil teacher training untuk sertifikasi International Yoga Alliance 200 jam dari Yoga Arts-nya Lousia Sears dan team, seperti Kaz Taupan, Jessie Chapman yang lebih dekat ke tradisi Ashtanga Yoga, dan Lance Schueler yang, katanya guru Iyengar Yoga, atau guru ke-Iyengar-Iyengar-an, sementara sangat tidak mudah untuk menjadi guru bersertifikat Iyengar Yoga. Namun demikian, buku pegangan wajib di TT Yoga Arts itu adalah buku BKS Iyengar: Light On Yoga! Dalam TT ini bertemu Meghan Peppenheim yang kelak menjadi founder Bali Spirit Festival dan Yoga Barn di Ubud, dan menjadi berkawan baik dengan Judy Chapman, penulis kesehatan holistik, sebagai sesama peserta.

Kesimpulan saya sementara ketika itu, Iyengar Yoga bagus, kalau tidak dibilang sangat bagus dan perlu untuk mengetahui “bagaimana seharusnya” pose-per-pose dikerjakan, yaitu bagaimana si guru akan menerangkan dengan detail ketika murid sedang ber-asana-ria, bagaimana kerja secara fisiologis tubuh dan juga fungsi anatomis, bagaimana otot dikerjakan, dan kemana arah pergerakannya. Dan itu terus didiktekan, kata per-kata-oleh si guru, sambil murid-murid diam dalam bergerakasana. Terkesan sangat teknis, dan “mengharuskan” pikiran aktif bekerja, berpikir untuk focus pada instruksi si guru. Dengan ini pikiran menjadi lebih kuat untuk berkonsentrasi pada tubuh. Waktu terus berlalu, Iyengar Yoga jadi menu latihan selalu.

Tibalah 2002 saya berkesempatan ikut event berskala internasional, yaitu World Social Forum di Mumbai. Di sela-sela acara, saya sempatkan datang dan berlatih satu kelas di Iyengar Yoga Shala di Mumbai. Oleh petugas admin di sini, saya diberi cara untuk mencapai RIMYI di Pune lewat jalan darat. Selain itu, sebelum berangkat, kawan pengajar yoga di Rumah Yoga, Ira memberi kontak kawannya ketika dia belajar di Jerman yang warga Pune, Vaibab yang punya usaha perhotelan dan konstruksi. Saya pikir cukup aman bekal untuk sampai di Pune.

Selesai Forum Sosial Dunia itu, rombangan delegasi Indonesia, teman-teman aktivis ornop, organisasi non-pemerintah atau LSM mampir ke kantor Konjen RI di Mumbai. Kami diterima baik oleh Bapak Mustajab, konsul jenderal. Tidak disangka, sungguh kebetulan, dan tidak saya sangka bahwa konsul jenderal adalah anggota SUBUD, kelompok persaudaraan kejiwaan yang saya pernah terlibat menjadi anggota. Saya diperkenankan untuk menginap. Mengobrol akrab sebagai saudara dengan keluarganya. Staf Pak Mustajab juga memberi nama-nama dan nomer kontak mahasiswa Indonesia yang sedang study di Pune. Salah satunya Achmad Hazairin, dosen di Universitas Jambi yang studi lanjutan jurusan ekonomi.

Menginap semalam, hari berikutnya, seharian saya diajak keliling kota Mumbai, sementara banyak kawan lain kembali ke tanah air, atau melanjutkan perjalanan. Lusanya pagi-pagi, sambil mengantar Yenny Rosa Damayanti ke stasiun kereta untuk ke Varanasi, saya diantar ke pemberhentian bus yang akan mengantar ke Pune.

Sampailah saya di Pune. Pune bisa dibilang Mekah, Yerusalem, atau Roma, atau kota sucinya Iyengar Yoga. Kota impian. Dijemput Vaibab, saya diantar ke hotel milik keluarganya. Ternyata hotel itu berbintang empat, sangat mewah untuk ukuran backpacker yang memang benar miskin seperti saya. Semalam menginap. Cukup semalam, dan saya berusaha keras mencari penginapan yang murah. Esoknya saya datang sowan ke “junjungan”, Guruji Mr Iyengar di Institute. Tanpa ada rekomendasi dari guru, hanya surat jawaban dari RIMYI, dan tanpa ada janji, saya nekad untuk belajar. Sesungguhnya ini terlarang, tapi saya memberanikan diri agar bisa ikut berlatih bersama guru-guru top yang datang dari berbagai belahan dunia – yang saya yakin, di negaranya masing-masing mereka adalah guru yang disegani, guru-guru bersertifikat Iyengar Yoga. Untuk sementara, atas bentuan Achmad akhirnya saya mendapat ruang di asrama mahasiswa Pune University, sambil berusaha cari apartemen di dekat institute untuk dating kunjungan berikut-berikutnya.

Memasuki kompleks bangunan yang teduh di jalan Harekrishna Mandir, terlihat bangunan institute yang berbentuk seperti pyramid. Di pintu ada tulisan cukup besar :”Guru adalah wakil Tuhan di bumi. Guru lebih utama dari pada orang tua karena guru adalah sumber utama ilmu.” Ada aroma ajakan penghormatan pada sosok guru yang berlebih, sehingga menimbulkan kejadian yang unik dan lucu yang membuat saya tertawa sendiri dalam hati. Adalah kontradiksi batin ini. Karena bekas-bekas pelajaran filsafat Barat yang saya dapat ketika kuliah, sungguh memperbesar ego saya. Credo dari Descartes yang menandai filsafat modern: “Cogito Ergo Sum, Saya Berpikir Maka Saya Ada” membuat segala hubungan yang tak logis dan tak jelas, adanya kekuatan di luar “diri sendiri”, seperti pengkultusan individu dan segala turunannya, feodalistik, perendahan eksistensi diri akan dinegasikan. Tapi, di hadapan Guruji saya jadi keder, ngeri. Seperti tak sadar diri, ketika bertemu, ketika beliau berjalan, saya menyambut menghampiri, melakukan namaskar, sambil merunduk, menyentuh kakinya. Ini yang membuat saya ketawa sendiri dalam hati, suatu perasaan yang campur aduk, antara rasa hormat yang dalam padanya dangan ego yang tidak ingin merendahkan diri karena menolak pengkultusan individu. Dalam hati saya bilang: “Mampus loe yud…” ha ha ha…

Setiap hari, dari penginapan di kampus, atau dari apartemen, saya jalan kaki ke institute sekitar 20-25 menit. Melewati taman di kampus dan di kompleks perumahan. Pada taman-taman yang saya lewati ada beberapa orang yang latihan yoga berama, juga ada yang duduk-duduk ber-yoga ketawa (laughter yoga). Terkadang saya sempatkan berhenti 5-10 menit untuk memperhatikan aktivitas mereka itu. Pemandangan ini kelak menjadi inspirasi saya membuat Yoga Gembira, yoga di taman di Jakarta.

Kekaguman saya pada Guruji ada di banyak ruang di institute. Di perpustakaan di lantai lebih bawah, di suatu sudut, setiap hari saya jumpai beliau sedang membaca. Tanpa kacamata, membaca dengan serius dan tekun tanpa terganggu lalu-lalang orang. Pada dinding lantai dua yang luas yang dipakai untuk kelas advance, terpasang banyak foto dirinya dalam beragam pose yoga yang saya ingini juga bisa begitu. Sementara di lantai tiga, ruangan untuk kelas intermediate dengan ukuran yang lebih kecil, ada juga foto-foto walau tidak sebanyak ruang latihan utama. Di lantai paling atas, adalah ruang mandir, pura atau tempat persembahyangan. Setiap hari beliau menyempatkan melakukan ritual. Ada patung Hanuman dan Patanjali. Beliau orang yang sangat religius. Ruang yang dianjurkan untuk tidak dimasuki (tapi sekali saya nekad diam-diam menyelinap masuk).

Singkat cerita, hampir dua tahun sekali saya menyepatkan diri belajar di RIMYI, Pune. Ada tiga kali ke sana, dengan konsekwesi sepanjang tahun, tabungan saya hampir tercurah untuk tujuan itu. Salah satunya dalah ketemu dengan Riana Singgih – yang di kemudian hari menjadi guru Iyengar yang masyur di tanah air ini; membangun Iyengar Yoga Indonesia, dan menjadi ketua Asosiasi Iyengar Yoga Asia Pasific, dan telah melahirkan guru-guru Iyengar Yoga di Indonesia lewat program teacher training-nya. Dia mengutarakan niatnya untuk membuka studio Iyengar Yoga di Jakarta dan meminta saya untuk membantunya.

India adalah negeri yang kaya budaya, sayang kalau ke sana hanya untuk satu maksud tujuan, bahkan untuk hanya urusan yoga, tanpa mau mengenal sejarah, budaya, alam dan masyarakatnya, juga seni dan makananya. Bahkan, di antara waktu sebulan belajar di RIMYI, pernah mengikuti weekend program di OSHO Ashram. Sebuah pengalaman icip-icip dan hidup bersama pengikut seorang yogi guru meditasi –yang lebih dkenal sebagai Sex Guru. Biasanya setelah satu bulan belajar yoga, saya sempatkan untuk sebulan lagi, bahkan lebih untuk jalan-jalan, berkelana, ngglandang. Dalam tiga kali ke India, traveling, yang mungkin lebih menjadi obesi saya ketimbang yoga-nya, atau minimal sama pentingnya. Setiap ke India setelah selesai urusan peryogaan, traveling selalu berbeda destinasi dengan mendapatkan pengalaman yang beragam pula. Pernah ke Ajanta dan Elora di Aurangabad, satu malam perjalanan kereta dari Pune, situs Buddhist – biara di gua kars yang gigantic. Pernah juga mengunjungi Kaivalyadama Yoga School, sekolah yoga yang tua yang punya yoga hospital, rumah sakit yoga-nya dalam satu kompleks di Lonavla, daerah pegunungan di tengah-tengah antara Mumbai dan Pune. Kali lain, bergembel-ria di Varanasi, Isipathana, dan sekitarnya. Gagal trekking di pegunungan Darjeeling karena terserang flu berat dan ISPA (infeksi saluran pernapasan atas) dari Varanasi, tapi jading ngendon lebih lama di Bodhgaya, yang sehari-hari seperti orang “sakit”, gila, jalan antara penginepan di Tibetan Monastery dan duduk meditasi di bawah pohon bodhi, jalan-jalan keliling kota kecil itu – yang disebari biara dari macam-macam Negara Buddhist. Pernah juga belajar pertanian organic di School of Sustainable Living, nyantrik soal-soal lngkungan hidup, pembangunan yang lestari, sustainable development dengan Dr Vandhana Siva dan Dr Wolfgang Sach di suatu organic farm di Dehradun, di state Uttaranchal, di kaki pegunungan Himalaya. Dan, least but not last: perjalanan ke Nepal dan Tibet, termasuk trekking di Anapurna.

Kembali ke kehidupan di Pune. Latihan yoga di RIMYI bukan diajari lagi oleh Guruji sendiri, tapi oleh anak-anaknya, Geeta dan Prashant, serta murid-murid yang telah diberi kepercayaan untuk mengajar di kelas intermediate. Ada dua waktu latihan dalam satu hari, yaitu pagi dan malam. Sementara anak-anaknya memimpin latihan, Guruji sibuk latihan sendiri di pojok. Hanya sekali-sekali beliau masuk menginterupsi, memberi arahan jika dirasanya perlu. Ada juga satu kelas di siang hari, mulai pukul 14 yang disebut self-practice yang disini Guruji juga latihan, sambil secara khusus melatih cucunya yang dikader dan diproyeksikan akan meneruskan trah The Iyengars dalam melestarikan Iyengar Yoga. Dalam satu hari kami hanya diperkenankan ikut satu kelas, namun kami dapat menjadi observer, duduk di pinggir untuk belajar ketika guru mengajar. Untuk menjadi observer bukanlah gratis, harus bayar, walau tidak semahal kursus satu bulan. Demikian juga untuk ikut Medical Class-nya Geeta. Namun tidak bayar lagi untuk ikut kelas pranayama, latihan pernapasan-nya Geeta di setiap Kamis malam. Semua pernah saya coba ikuti, termasuk menonton Kids Yoga di Sabtu atau Minggu pagi. Kecuali di kelas Kids Yoga dimana guru akan bercerita setelah latihan asana – yang di sini anak-anak diperkenalkan legenda India, seperti Mahabharata atau Ramayana, dan macam-macam cerita tentang resi dan orang suci yang dakaitkan dengan yoga, dan di sini masuk juga filosofi, atau kelas pranayama, sementara kelas lainnya adalah kelas yang sangat concern dengan olah tubuh, bagaimana cara mencapai asanas yang “sempurna”. Setiap latihan dilakukan dengan serius. Disiplin keras bak kamp militer dengan guru adalah komandan jenderal. Mungkin karena luas ruangan dan agar pikiran tetap terjaga, setiap instruksi dilakukan dengan suara keras, seperti orang marah-marah. Tidak jarang ketika meng-adjust, memperbaiki gerakan murid, si guru harus memukul. Sering saya sadari, di jeda berasana, ketika murid diam karena guru menjelaskan lebih detail tentang suatu asana, ada timbul pikiran yang mengomentari perasaan saya yang mempertanyakan, bahwa sepertinya yang ditulis di buku Light On Yoga, khusunya tentang Ahimsa, non violence malah bertentangan dengan omongan dan tindakan si guru. Terkadang, untuk hiburan sesaat dan mendamaikan keresahan perasaan saya itu, saya berkata dalam hati, mungkin karena saya tidak tahu watak dan karakter pada umumnya orang India sehinga saya berpendapat demikian. Hari-hari dalam periode Pune, atau saat-saat saya berlatih di RIMYI, terkadang saya juga berpikir bahwa concern yang berlebihan pada alignment, kesempurnaan tubuh ketika ber-asana membuat ada aspek lain di dalam diri kita yang menjadi kurang diperhatikan. Bahwa ada “ruang kosong” yang perlu dibiarkan tetap suwung, kosong karena memang kita tidak bisa menjangkauanya. Bahwa ada juga aspek otonom, kemandirian, dan kebebasan dari dunia tubuh dan hidup secara keseluruhan, karena kita tahu bahwa eksistensi diri kita selain tubuh ada juga batin, pikiran, rasa atau mind. Seperti pasangan yang tak terpisahkan raga dan jiwa, jasmani dan rohani. Mengolah disiplin tubuh adalah mengolah disiplin kehidupan, tapi bukan disiplin militer melainkan disiplin kewajaran kehidupan, seperti hukum alam.

Tubuh kita merekam dengan jelas sejarah perjalanan olah karsa, olah jiwa, olah pikir dan olah raga, serta segala informasi yang masuk ke indra-indra di diri ini. Tidak ada yang lebih empirik sifatnya dalam hal belajar, dari pada mempelajari tubuh ini. Mengolah tubuh dengan sendirinya akan membawa seseorang pada pengalaman konkret bagaimana tubuh berelasi dengan semua hal di luar sang diri ini. Semua ada bekas dan tandanya di tubuh, baik yang jelas, dan juga yang samar-samar. Dan ini menjadi modal untuk kita bersikap. Harus disadari bahwa pada akhirnya yang hendak dicapai lewat tubuh adalah memang sikap hidup.

Mengolah tubuh sejatinya adalah mengolah kesadaran. Sadar bahwa jiwa dan raga, rohani dan jasmani tidak terpisahkan. Ketika pikiran aktif, diproyeksikan ke luar, memperhatikan dengan detail, tapi kurang memperhatikan “yang di dalam”, seperti gejala tubuh, rasa, sensasi, dan reksi atas rasa-rasa itu, sangat mungkin akan timbul konflik batin. Umum diketahui bahwa sangat erat hubungan antara gejala tubuh, seperti kesadaran itu dengan budaya, yaitu bagaimana kita bersikap. Mungkin itulah kenapa guru-guru di Pune sana menjadi terkesan galak bak jenderal militer kombatan. Outfit dan instruksi, serta sikap sepertinya seragam.

Foto suasana berlatih di Yoga Institute BKS Iyengar

Selain belajar Iyengar Yoga, saya “mengembara” mempelajari style atau jenis yoga yang lain. Ada yang cukup serius seperti Anusara Yoga, atau yang sekadar mencoba seperti Bikram Yoga, Kundalini Yoga, Swing Yoga, Acro Yoga. Atau yang lebih intens dengan mengikuti program teacher training, seperti Yin Yoga, yaitu ketika saya belajar pada Paul Grilley, Sarah Power, dan Victor Chng. Semua perjalanan itu tetap seperti batu tapal atau halte, bukan terminal akhir. Saya sendiri tidak tahu dimana dan kapan sampai terminal akhir itu. Tapi harus saya akui bahwa kalau cinta atau pacaran, mungkin Iyengar Yoga ini seperti cinta pertama saya. Sayang, sialnya, untuk urusan yoga, dan segala perjalanan spiritual ini saya tidak pernah mau “menikah”. Kalau boleh memilih, saya ingin “telanjang”, tanpa “baju” atau label. Tidak ingin dikenal sebagai praktisi atau guru suatu style tertentu. Biar orang lain yang mendefinisikan sendiri tentang yoga saya. Mengurangi kerja pikiran, seperti dalam penjelasn Guruji BKS Iyengar dalam Light On Yoga ketika menjelaskan tentang meditasi, yaitu ketika tubuh, rasa, dan segala sensasi istirahat tertidur, namun pikiran dan kesadaran tetap terjaga. Sadar sepenuhnya, tidak ada lagi batas antara kita, sebagai subyek yang mengamati dan obyek yang diamati, terus mengalir sehingga terjadinya fusi, keterpaduan, kemanunggalan antara “diri” sendiri dengan alam semesta, universal soul yang dari sini akan dicapai Samadhi, liberation, pembebasan, sebagai “tujuan” tertinggi dari yoga.

Seperti yang saya dapat dari retret meditasi Vipassana dan membaca Freedom from The Known-nya Krishnamurti bahwa keadaan Samadhi ini hanya bisa dicapai ketika “sang diri”, ego ini drop, ketika pikiran pasif. Jadi segala ajaran, pengetahuan dan sosok yang menimbulkan kemelekatan, attachment harusnya juga dilepaskan. Sementara dalam setiap latihan di institute ini pikiran saya dituntut untuk aktif berpikir. Saya merasa ada kontradiksi dalam batin ini. Tapi, harus diakui sekali lagi, dalam hal kosha atau lapisan terluar yaitu tubuh, untuk belajar asanas, latihan seperti di Institute ini perlu untuk memberi fondasi yang kokoh, sthiram.

Well, sebagaimana cinta pertama, terkadang ada rasa ingin mengenang, seperti membuka album foto lama ketika “kami pacaran”. Menulis kenangan ini pada hakekatnya seperti membolak-balik album kenangan dengan “pacar lama” itu. Ada suasana romantis di sini. Rasa romantik, rasa sayang itu saya tulis di akun resmi Iyengar Yoga Shala International sebagai respek seorang murid (mungkin murid murtad?) yang pernah menimba ilmu padanya, pada Guruji, di hari kematiannya. Inilah ungkapan bela sungkawa saya: “How fortunate that he devoted his life to making certain there were thousands of seeds planted, through his teaching, that we might forever reap the rewards of his knowledge and understanding. Go gently sweet guru… Knowing you made such a beautiful difference.”

Selamat jalan Guruji. Sembah sungkem. Namaskar!

 

*Penulis adalah instruktur yoga.

 

Bibliografi

– B.K.S. Iyengar: “Light on Yoga”, Schocken Books, New York, 1966
– B.K.S. Iyengar: “Light on Yoga Sutra Patanjali”,
– B.K.S. Iyengar: “Astadala Yogamala”, Volume 1.
– Jennie Bittleston: “Secret of Yoga”, Dorling Kindersley, UK, 2001
– The Consciese of Indian Philosophy
– Integral Yoga, Dr Shri Aurobindo
– Freedom from The Known, J. Krishnamurti
– David Coulter: “Anatomy of Hatha Yoga”, Body and Breath, Inc, USA, 2001
– Sharon Gannon and David Life: “Jivamukti Yoga”, Ballantine Books, New York,
– Christy Turlington: “Living Yoga: Creating a Life Practice”, Hyperion Books, New York, 2002
– Lucy Lidell: “The Book of Yoga – The Sivananda Yoga Center”, Ebury Press, London, UK, 1983
– Yoga Journal. October 2005
– Donna Farhi: “Bringing Yoga into Life”,