Ferdinanda

Mise-en-scene Budaya Nusantara Dalam Film Ayat-Ayat Cinta, Sang Pencerah dan Kartini

Oleh Ferdinanda*

Dalam  estetika formalis film, Mise-en-scene berkaitan dengan seluruh aspek visual yang ada saat memproduksi film atau teater. Setting, properti, lighting , kostum, akting dan sebagainya adalah sebuah kesatuan Mise-en-scene. Seorang aktor tentu dalam menjalankan adegan di sebuah scene harus berhubungan dengan seluruh unsur Mise-en-scene

Tulisan ini ingin menganalisis aspek mise-en-scane dalam film Ayat-Ayat Cinta (2008), Sang Pencerah (2010), dan Kartini (2017). Tulisan ini terutama ingin mengamati bagaimana dalam ketiga film tersebut terdapat unsur-unsur Mise-en scene yang berkaitan dengan keindahan suasana yang ada di Indonesia dan penonjolan estetika seni dan budaya lokal Indonesia. Budaya Nusantara mempunyai keanekaragaman pada setiap daerah yang ada di Indonesia. Tiga film tersebut memiliki Mise-en-scene yang menunjukkan keragaman tersebut.   

Pendekatan tulisan ini adalah pendekatan kualitatif-deskriptif. Menurut Moelong (2014), analisis deskriptif adalah mendeskripsikan fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian kemudian dianalisis dengan teori yang ada.

Mise-en-scene  Ayat-Ayat Cinta: Dari Henna sampai Tadarus

Film Ayat-Ayat Cinta merupakan film yang diproduksi berdasarkan novel yang telah dibuat oleh Habiburrahman. Film ini dikenal sebagai pembangun jiwa karena didalam ceritanya terdapat ajaran keagamaan yang tertata dengan rapi. Film Ayat-Ayat Cinta ini menceritakan seorang pemuda yang berasal dari Indonesia bernama Fahri yang melanjutkan jenjang pendidikannya di Al-Azhar, Mesir.

Dalam film Ayat-Ayat Cinta, ditampilkan adegan saat Fahri sedang melamun di tempat sekitar sungai Nill. Tak lama kemudian ia didatangi oleh Maria. Mereka berbincang kekaguman Fahri pada Mesir, khususnya Al-Azhar dan Sungai Nill.

Gambar 1: Potongan adegan film Ayat-ayat Cinta. (Sumber: Istimewa)

Setting latar tempat berlangsungnya adegan ayat-ayat Cinta tersebut yaitu di Mesir, tepatnya di sungai Nil. Dalam hal ini, latar sosial yang menonjol yaitu berkaitan dengan masyarakat Timur Tengah. Meskipun berlatar di Mesir, terdapat beberapa bangunan yang diwakafkan oleh Yayasan Abdi Bangsa di Rab’ah El-Adawea, Nasr City, yaitu Wisma Nusantara, yang mana mahasiswa atau orang Indonesia yang yang tinggal di Mesir dapat melakukan berbagai kegiatan atau aktivitas penting di Wisma Nusantara ini.

Tata rias dan kostum yang digunakan oleh Fahri adalah baju berwarna putih dan celana hitam. Make up yang digunakan olehnya teramati sangat natural. Warna kostum Maria sama dengan Fahri, yaitu berwarna putih. Hanya saja, Maria mengenakan kostum dengan sedikit terdapat corak dibajunya. Berdasarkan kostum yang dikenakan menunjukkan mereka mempunyai karakter yang cenderung sama dan tidak saling bertolak belakang. Warna kostum yang digunakan oleh Fahri dan Maria juga menunjukkan bahwa mereka mempunyai karakter yang dan sabar penyayang.

Pencahayaan dalam adegan Ayat-Ayat Cinta disini memanfaatkan cahaya natural yang berasal dari matahari secara langsung. Dengan suasana langit yang cukup cerah dan berawan menjadikan tokoh Fahri dan Maria berbincang dengan situasi yang tenang. Dalam aspek pemain dan pergerakannya, pada awalnya Fahri sedang melamun memikirkan keindahan sungai Nil dan Al-Azhar.

Meskipun film Ayat-Ayat Cinta ini mempunyai latar utama di Mesir, namun estetika budaya Indonesia juga masih ada didalam beberapa adegan pada film Ayat-Ayat Cinta. Adapun di bawah ini terdapat beberapa contoh estetika budaya Indonesia yang ada pada film Ayat-Ayat Cinta, antara lain yaitu sebagai berikut:

1. Budaya Menggunakan Henna Saat Pernikahaan

Henna merupakan alat hias yang dilakukan di bagian tubuh, biasanya pada tangan wanita. Pemakaian Henna ini dapat memberi bekas warna dan biasanya digunakan di Indonesia ketika pengantin hendak menikah. Dalam hal ini, pengaplikasiannya dilakukan dengan melukiskan menggunakan Henna ke bagian tangan dan bisa juga pada bagian kaki seorang Wanita. Penggunaan Henna ini bertujuan untuk membuat seorang wanita menjadi lebih menarik. Adanya tradisi penggunaan henna di saat pernikahan ini merupakan salah satu budaya Indonesia yang berasal dari adat Bima. Pada film Ayat-Ayat Cinta terdapat penggalan adegan saat proses pernikahan Yousef.

Gambar 2: Potongan adegan film Ayat-ayat Cinta (Sumber: Istimewa)

2. Budaya Gotong Royong

Budaya gotong royong merupakan suatu budaya yang sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Gotong royong didefinisikan sebagai suatu sikap dan perilaku seseorang yang bermoral sehingga mendorong jiwa seseorang untuk melakukan tolong menolong dalam berbagai hal untuk saling membantu dalam kehidupan sehari-hari.

Adapun contoh adegan dalam film Ayat-Ayat Cinta tentang tolong-menolong yaitu ditunjukkan ketika Paman Hulusi mengucapkan terima kasih kepada Fahri karena telah menolongnya dalam rangka sudah mempekerjakan dirinya, memberi tempat tinggal, dan memberikan biaya hidup untuknya. Paman Hulusi ini adalah seorang sopir dari Fahri. Meskipun ia seorang sopir, Fahri menganggap Paman Hulusi sebagai keluarganya. Oleh karena itu, Fahri sering memberi bantuan apabila Paman Hulusi sedang mengalami kesusahan.

3. Budaya Kebiasaan Makan Dengan Nasi

Meskipun Hamdi sedang berada di Mesir, namun pola makannya masih tetap mempertahankan ciri khas orang Indonesia. Dalam hal ini, Fahri makan siang menggunakan ayam bakar dan nasi sebagai pelengkapnya. Sebagaimana cukplikan adegan cerita berikut:

Tujuannya memang kita makan ayam bakar. Nasi ini hanya sebagai pelengkap saja untuk melestarikan budaya Indonesia. Bagi yang mau tambah nasi ambil saja sendiri. Benar nggak Mas?” sahut Hamdi

Adanya budaya kebiasaan makan dengan menggunakan nasi ini dikarenakan Indonesia merupakan suatu negara agraris, dimana dalam produksi tahunannya selalu menghasilkan padi yang cukup berlimpah. Oleh karena itu, padi diolah menjadi beras dan kemudian dimasak menjadi nasi yang bisa dimakan oleh masyarakat Indonesia. Sehingga nasi dianggap sebagai makanan pokok orang Indonesia.

4. Budaya Membaca Al-Qur’an Bersama (Tadarus)

Awalnya, budaya tadarus berasal dari tradisi Mesir, dimana Jibril memberikan tes baca Alquran dengan Nabi Muhammad SAW. Tradisi Tadarus Alquran ini merupakan adalah suatu aktivitas yang sangat dianjurkan oleh Allah. Hal ini dikarenakan Alquran dijadikan sebagai suatu pedoman hidup bagi masyarakat muslim. Tradisi tadarus yang berasal dari Mesir ini melekat di Indonesia dan dijadikan juga sebagai budaya Indonesia dan biasanya berlaku pada bulan Ramadhan.

Pada film Ayat-Ayat Cinta, terdapat penggalan adegan yang menunjukkan bahwa Fahri merencanakan kegiatan untuk membaca Alquran bersama dengan pasangannya. Adapun kutipan percakapannya antara lain sebagai berikut”

Kami lalu membuat jadwal harian untuk membaca Al-Qur’an dan tadabbur bersama. Shalat dhuha. Shalat malam

Mise-en-scene Film Sang Pencerah: Dari Nyadran sampai Ruwatan

Film Sang Pencerah ini merupakan film yang disutradarai Hanung Bramantyo.  Film Sang Pencerah mengandung makna nilai dan simbol budaya yang terdapat pada beberapa adegannya. Film Sang Pencerah ini mempunyai genre religi dan bermakna pesan ideologi. Adapun film Sang Pencerah menceritakan tentang Darwis yang pergi menunaikan ibadah haji dan mempelajari lebih dalam menganai agama Islam. Dan ketika pulang dari Mekkah, Darwis mengubah mamanya menjadi Ahmad Dahlan (Lukman Sardi) dan mulai memberikan ajaran Islam, membuka sekolah, hingga mendirikan masjid di lingkungannya.

Salah satu analisis Mise-en-scene dalam film Sang Pencerah, yaitu pada adegan saat Kiyai (Ahmad Dahlan/Darwis), Muhammad Fahrudin, Muhammad Sudja, dan Muhammad Sangidu sedang berbincang setelah 5 tahun lamanya tidak bertemu. Mereka berbicang tentang ibadah haji yang telah dilaksanakan Muhammad Fahrudin dan Muhammad Sudja. Mereka juga membicarakan bahwa beberapa diantara mereka mengganti nama sepulang ibadah haji. Hal ini dikarenakan mereka menganggap ketika sudah melaksanakan ibadah haji, artinya mereka mendapatkan sertifikat nama baru. Seperti Daniel yang mengubah mamanya menjadi Muhammad Sudja. Selain itu, mereka juga membicarakan Perkumpulan Budi Utomo.

Gambar 3: Potongan adegan film Sang Pencerah (Sumber: Istimewa)

Setting latar tempat berlangsungnya adegan di atas yaitu berada di rumah Kiyai, tepatnya di ruang tamu. Pencahayaan pada scane di atas cenderung tidak terlalu terang karena berada di dalam rumah. Terdapat bayangan tajam/keras yang terbentuk oleh tokoh Muhammad Sangidu menunjukkan terdapat bantuan pencahayaan yang berasal dari sebelah kiri cuplikan foto tersebut. Latar belakang yang tidak terlalu mencolok menjadikan penonton fokus pada keempat tokoh tersebut.

Tata rias dan kostum yang digunakan Kiyai, yakni menggunakan kaos dan sarung berwarna cream dengan motif sarung bercorak. Muhammad Fahrudin menggunakan baju koko dan sarung, lengkap dengan blangkon. Muhammad Sudja menggunakan baju koko dan sarung motif berwarna coklat muda, dilengkapi dengan blangkon. Sedangkan Muhammad Sangidu menggunakan baju koko dan sarung berwarna coklat, dilengkapi dengan blangkon. Adanya penggunaan blangkon pada ketiga tokoh ini menunjukkan bahwa mereka berasal dari suku Jawa. Sedangkan tokoh Kiyai tidak menggunakan blangkon karena ia tidak sedang bertamu, melainkan rumah itu adalah rumah Kiyai sendiri. Make up yang digunakan oleh masing-masing tokoh terlihat sangat natural.

Dari aspek pemain dan pergerakannya, keempat tokoh tersbeut duduk sering dengan membincangkan pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan. Kemudian anak Kiyai datang memberi makanan dan minuman kepada tokoh-tokoh yang sedang bertamu ini. Lalu tokoh-tokoh ini memakan makanan dan minuman yang disajikan oleh anak Kiyai.

Film Sang Pencerah mengandung banyak estetika budaya Indonesia yang terdapat dalam penggalan adegan filmnya. Adapun di bawah ini terdapat beberapa contoh estetika budaya Indonesia yang ada pada film Sang Pencerah, antara lain yaitu sebagai berikut:

1.Tradisi Nyadran

Tradisi nyadran merupakan salah satu bagian dari budaya Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah. Upacara nyadran dilakukan dengan cara membersihkan makam secara serentak yang dilakukan oleh masyarakat Jawa yang ada di desa. Selain membersihkan makam, masyarakat juga diharuskan menaburkan bunga sebagai bentuk selamatan terhadap para leluhur. Pada film Sang Pencerah, terdapat adegan dimana masyarakat menunjukkan sedang mempersiapkan upacara nyadran di lingkungan pemakaman Kauman.

Gambar 4: Potongan adegan film Sang Pencerah (Sumber: Istimewa)

Dalam adegan tersebut terdapat tempat tandu berisi sesaji: ingkung, beras merah, nasi tumpeng, pisang raja, dan sebagainya. Masing-masing tandu dipegang oleh empat orang yang berpakaian Jawa tradisional.

2. Memberikan Sesajen

Salah satu budaya Indonesia dalam aspek spiritual yang dianut oleh masyarakat Jawa yaitu sesaji. Sesaji ini dijadikan sebagai suatu sembahan terhadap Ilahi dan makhluk halus. Jika ditinjau dari segi zaman modern, tradisi ini dianggap aneh. Namun, hingga kini masih terdapat masyarakat yang menganut tradisi tersebut.  Sesajen ini mempunyai fungsi sebagai suatu perantara antara manusia dan Tuhan. Dalam hal ini, tujuan dilakukannya pemberian sesajen yaitu untuk mengharapkan keselamatan dalam kehidupan di dunia. Pada film Sang Pencerah, terdapat penggalan percakapan tentang sesajen, seperti berikut:

Maksudnya sederhana itu cukup berdoa saja, Pak. Tidak perlu dengan upacara berlebihan apalagi dengan memberikan sesajen.”

Uang buat pembuatan sesajen itu bisa dimanfaatkan sebagai sedekah bagi fakir miskin sehingga hasilnya juga akan lebih jelas.”

Merahmati itu artinya melindungi, mengayomi, membuat damai, tidak mengekang atau membuat takut umat, atau membuat rumit dan berat kehidupan Muslim dengan upacara-upacara dan sesajen yang tidak pada tempatnya.

3. Tradisi Pengajian

Pengajian adalah suatu budaya social yang ada di Indonesia dalam aspek keaamaan. Prosedur pengajian ini biasanya dilakukan oleh umat yang beragama islam. Tujuan dilakukannya pengajian yaitu untuk lebih mendekatkan pribadi kepada Allah SWT dan sebagai sumber ketenangan jasmani rohani. Pada film Sang Pencerah, terdapat adegan dimana tokoh-tokoh yang terdapat dalam gambar hendak melakukan pengajian. Adapun cuplikan percakapannya yaitu:

Jadi, kita mau mengaji apa, Kiai?” tanya Jazuli.

“Kalian maunya pengajian apa?”

“Begini, Kiyai. Biasanya kalau pengajian yang kami tahu dan selama ini kami ikuti itu bahannya dari guru ngajinya,”

4. Budaya Wayang

Salah satu seni pertunjukan sebagai budaya yang berkembang di Jawa yaitu wayang. Secara umum, pertunjukkan wayang merupakan bagian hari sisa upacara keagamaan masyarakat Jawa pada zaman kuno, dimana mereka masih mempercayai arwah-arwah leluhurnya. Oleh karena itu, dibuatlah wayang sebagai instrument dalam pemujaannya. Pada film Sang Pencerah, terdapat penggalan percakapan tentang wayang, seperti berikut:

Wayang itu asalnya bukan dari tradisi Islam, tapi dari pengaruh Hindu dan Buddha. Tapi oleh Wali Songo, termasuk Sunan Gresik leluhur kita, wayang justru digunakan sebagai alat penyebaran ajaran-ajaran Islam.”

5. Tradisi Ruwatan

Salah satu tradisi sebagai bagian dari budaya Indonesia yaitu tradisi ruwatan. Tradisi ruwatan ini merupakan suatu upacara sakral yang dilakukan dengan tujuan agar seseorang dapat melakukan pembebasan dan pembersihan terhadap hal-hal yang dianggap buruk. Oleh karena itu, dalam upacara ruwatan ini terdapat seseorang yang mengungkapkan harapan dan keinginannya untuk dapat terhindar dari berbagai cobaan atau kecelakaan yang kemungkinan hendak menimpa mereka di waktu yang akan datang. Pada film Sang Pencerah, terdapat beberapa percakapan tentang tradisi ruwatan diantaranya yaitu sebagai berikut:

Maaf, ya, Mas. Tapi menurut saya ruwatan seperti ini mubazir saja, membuang-buang dana. Saya kira mestinya dana yang ada bisa digunakan untuk kebutuhan yang lebih bermanfaat, yang benar-benar membantu masyarakat. Apalagi jika menurut Mas tadi, ruwatan itu tidak wajib. Mengapa tidak ada keberatan dari para kiai?”

Darwis, namanya juga tradisi. Kalau tradisi itu baik, tidak ada salahnya kita lanjutkan. Kalau itu kebiasaan buruk, maka harus kita hentikan secepatnya.”

6. Tradisi Padusan

Padusan merupakan salah satu tradisi yang berasal dari Jawa sebagai wujud dari salah satu budaya Indonesia. Dalam hal ini, padusan mempunyai makna membersihkan diri dari seluruh kotoran yang terdapat pada tubuh manusia, sehingga ketika melaksanakan ibadah puasa manusia berada pada keadaan suci jasmani maupun rohani. Tradisi padusan ini dapat dilakukan dengan mandi di sungai, kolam, maupun di kamar mandi. Oleh karena itu, kini dijadikan sebagai adat kebiasaan adat istiadat yang telah mendarah daging bagi masyarakat Jawa dari tahun ke tahun yang dilaksanakan sebelum pelaksanaan bulan puasa atau bulan Ramadhan. Pada film Sang Pencerah, terdapat percakapan yang berkaitan dengan tradisi padusan diantaranya yaitu sebagai berikut:

Aku bisa merasakan bahwa pembicaraan ini sudah sangat mengarah pada rencana pernikahanku dengan Walidah. Aku pun tidak pernah lupa pada sebuah peristiwa kecil yang terjadi bertahun-tahun lalu ketika Bude Nyai Fadlil menyapaku di acara padusan yang merupakan tradisi tahunan menjelang masuk bulan Ramadhan. Yang paling kuingat dari kejadian saat itu adalah keberadaan Bude bersama Siti Walidah.

Mise-en-scene  Film Kartini: Dari Gamelan sampai Tari Gatotkaca

Kartini adalah salah satu pahlawan perempuan yang ada di Indonesia. Film Kartini  menceritakan tentang kehidupan Kartini yang melakukan perjuangan terkait kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Kartini digambarkan seorang wanita yang memberontak dan tidak ragu melakukan perlawanan terhadap hal-hal yang dianggap salah olehnya. Ia adalah sosok Wanita yang teguh, berani, dan kuat.

Salah satu Mise-en-scene dalam film Kartini yang ingin saya analisis adalah  adegan saat Kartini dan seorang Belanda sedang berbincang tentang pendidikan/sekolah yang dicita citakan Kartini. Mereka  membahas terkait keadaan negeri Indonesia seandainya Kartini pergi meninggalkan negeri Indonesia.

Gambar 5: Potongan adegan film Kartini (Sumber: Istimewa)

Setting latar tempat berlangsungnya adegan di atas yaitu berada di tepi pantai. Pencahayaan pada adegan ini memanfaatkan cahaya natural yang berasal dari matahari secara langsung dengan awan yang cerah. Tidak terdapat bayangan keras yang terbentuk antara tokoh Kartini dan Tokoh Orang Belanda tersebut.

Tata rias dan kostum yang digunakan oleh Kartini yaitu pakaian kebaya berwarna abu-abu. Sedangkan orang Belanda menggunakan setelan jas berwarna hitam. Warna kostum yang digunakan kedua tokoh tersebut terlihat sangat natural. Make up yang digunakan oleh tokoh Kartini dan Tokoh Orang Belanda juga terlhat natural.

Dalam aspek pemain dan pergerakannya, mereka berjalan perlahan menyusuri tepi pantai dengan membicarakan tentang bagaimana jadinya jika Kartini dan Rama pergi meninggalkan tanah air. Ketika diamati dari sisi Pendidikan anak bangsa, Kartini merasa tidak tega. Kemudian Kartini perlahan duduk dan bersedih.

Film Kartini mengandung banyak estetika budaya Indonesia yang terdapat dalam penggalan adegan filmnya. Adapun di bawah ini terdapat beberapa contoh estetika budaya Indonesia yang ada pada film Kartini, antara lain yaitu sebagai berikut

1.Gamelan

Alat musik gamelan merupakan salah satu contoh kesenian alat musik tradisional milik Indonesia yang dapat ditemukan di berbagai wilayah seperti Jawa, Bali, Sunda dan lain-lain. Dalam memainkan gamelan, digunakan dengan cara memainkan secara bersamaan dengan alat musik lainnya agar dapat menciptakan suatu kesenian atau suara yang dapat didengar dengan keindahannya. Gamelan merupakan salah satu warisan budaya Indonesia, dimana penggunaannya yaitu untuk acara sakral, pengiring tarian, dan pertunjukan wayang. Pada film Kartini, terdapat adegan yang menyorot tentang pagelaran kesenian gamelan.

2. Tari Gatotkaca

Tari Gatotkaca merupakan salah satu warisan budaya khas Indonesia yang berkaitan dengan cerita percintaan dari tokoh wayang, yakni Gatotkaca. Adanya tarian Gatotkaca ini sudah mulai dikenal dari zaman Mangkunegara V Kesultanan Surakarta. Pada film Kartini, terdapat adegan yang menunjukkan seseorang sedang melakukan tarian Gatotkaca.

3. Menyanyikan Cublak Cublak Suweng

Cublak-cublak suweng adalah suatu lagu dolanan yang dinyanyikan oleh anak-anak dalam melakukan suatu permainan anak. Dalam hal ini, cublak-cublak suweng juga disebut sebagai suatu permainan tradisional yang asalnya dari Jawa Tengah. Cara memainkan permainan ini yaitu dilakukan dengan teman yang terdiri dari minimal 3 orang dengan salah satu orang menunduk dan orang lain membuka telapak tangan lalu meletakkannya di atas punggung seorang teman yang tadi telah menunduk. Setelah itu, anak-anak menyanyi kan lagu cublak-cublak suweng hingga selesai. Sejarah dari permainan ini yaitu karena adanya lagu cublak-cublak suweng yang berasal dari Wali Songo ketika ia melakukan penyebaran agama Islam di Jawa. Pada film Kartini, terdapat adegan yang menunjukkan anak anak dengan beberapa remaja sedang menyanyikan lagu cublak-cublak suweng.

4. Wijikan

Wijikan merupakan salah satu tradisi yang berasal dari Yogyakarta, dimana terdapat aktivitas seorang istri yang melakukan pencucian terhadap kaki suami pada acara pernikahan dengan adat Jawa. Prosedur wijikan ini dikenal juga sebagai ranupada, dimana ranu mempunyai makna air. Oleh karenanya, secara istilah memiliki arti membasuh kaki. Pada film Kartini, terdapat adegan yang menunjukkan pernikahan, dimana seorang wanita membasuh kaki calon suaminya.

*Mahasiswa S3 Program Doktoral Minat Pengkajian Seni  Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

——

DAFTAR PUSTAKA

Afriani, I. (2019). Tradisi Nyadran di Desa Ngasem Kecamatan Batealit Kabupaten Jepara. UNNES: Doctoral dissertation.

Ahmad Syarifuddin. (2004). Mendidik Anak, Membaca, Menulis, dan Mencintai AlQur’an. Jakarta: PT Gema Insani. Hlm 87.

Ajidarma, G.S. (2021). Indonesia: The Nationality in Cinema. Retrived from BWCF 2021

Ariesta, F. (2019). Nilai Moral Dalam Lirik Dolanan Cublak-Cublak Suweng. Jurnal Ilmu Budaya. Vol 7. No 2. Hlm 188-192

Darmawan, I. P. A., & Krishna, I. B. W. (2020). Konsep Ketuhanan Dalam Suara Gamelan Menurut Lontar Aji Ghurnnita. Genta Hredaya: Media Informasi Ilmiah Jurusan Brahma Widya STAHN Mpu Kuturan Singaraja. Vol 3. No 1. Hlm 33.

Ekosiwi, E. K. (2017). Permasalahan Etis dalam Estetika dan Pendidikan Filsafat Seni. Respons: Jurnal Etika Sosial, Vol 2. No 1. Hlm 22.

Haq, I. B. (2019). Henna Sebagai Komunikasi Identitas Budaya (Studi Fenomenologi Pemahaman & Pemaknaan Laki-Laki Pengguna Henna di Kampung Arab Surabaya). Jurnal Voxpop Vol 1. No 1. Hlm 98-107.

Jayadina, A. (2016). Fungsi Sosial Pengajian Bergilir di Rumah Warga. Yogyakarta: Skripsi Universitas Sunan Kalijaga.

Mahmudi, I. (2017). Islam, Budaya Gotong Royong Dan Kearifan Lokal. Jurnal Penelitian IPTEKS. Vol 2. No 2. Hlm 138-147.

Marlina, S., & Jatnika, A. (2020). Kreativitas Dan Inovasi Dalam Penyajian Tari Wayang Gatotkaca. Jurnal Makalangan. Vol 7. No 1. Hlm 124-141.

Marsaid, A. (2016). Islam dan Kebudayaan: Wayang sebagai Media Pendidikan Islam di Nusantara. Jurnal Kontemplasi. Vol 4. No. 1. Hlm. 102-130.

Nasional, F. K. (2018). Aktualisasi Nilai-Nilai Tradisi Nyadran sebagai Kearifan Lokal Dalam Membangun Budaya Damai di Giyanti, Wonosobo. JurnalProdi Damai dan Resolusi Konflik. Vol 4. No 1. Hlm 21-44.

Nurdin, B. V., & Kartini, Y. (2017). “Belum Makan Kalau Belum Makan Nasi”: Perspektif Sosial Budaya Dalam Pembangunan Ketahanan Pangan. Jurnal Sosiologi. Vol 19. No 1. Hlm 15-21.

Putri, I. P. (2017). Industri Film Indonesia Sebagai Bagian Dari Industri Kreatif Indonesia. Jurnal Ilmiah LISKI (Lingkar Studi Komunikasi), Vol 3. No 1. Hlm 14-42.

Rohma, N. (2017). Estetika Formalis Film Pohon Penghujan Sutradara Andra Fembriart. Jurnal Rekam. Vol 13. No. 1. Hlm 41-51.

Setyawati, N., Zaidah, N., & Fatimah, S. (2019). Prosesi Panggih Pada Upacara Perkawinan Adat Jawa Tengah Dalam Tinjauan Semiotik Tadeusz KowzanSasindo. Vol 7. No 1.

Sumardjo, J., Ali, M., Sutrisno, M., …, Marwati. (2010). Estetika Nusantara. Surakarta: Press Surakarta. Hlm 4.

Widyawati, K. (2014). Tradisi Ruwatan Bagi Masyarakat Dieng. Retrieved from https://media.neliti.com/media/publications/5048-ID-tradisi-ruwatan-bagi-masyarakat-dieng.pdf

Widyastutik, R. (2010). Pandangan Masyarakat Mengenai Tradisi Padusan (Studi Kasus Masyarakat Sekitar Cokro, Tulung, Klaten Mengenai Tradisi Padusan). Retrieved from file:///C:/Users/LENOVO/Downloads/Retno%20Widyastutik.K%208405032%20(1).pdf