Tony Doludea

Cincin Gyges, Sebuah Cerita tentang Yang Adil

Oleh Tony Doludea

Pada suatu hari, seorang gembala istana kerajaan Lydia sedang merumput. Datanglah badai topan hebat. Disusul oleh gempa kuat, yang membuat bumi di situ terbelah. Gyges lalu turun ke dalam celah tersebut dan menemukan sebuah kuda yang terbuat dari perunggu, yang sebuah memiliki pintu.

Gyges membuka pintu itu dan melihat sebuah kerangka tengkorak manusia, yang mengenakan sebuah cicin emas di jarinya. Ia mengambil cincin itu dan keluar dari dalam celah tanah tersebut.

Beberapa waktu kemudian, pada saat pertemuan para gembala kerajaan, Gyges mulai memperhatikan bahwa ketika ia mengenakan cincin itu di jarinya, ia dapat menghilang. Orang-orang di sekelilingnya pun mulai berbicara seolah-olah ia sedang tidak hadir di situ. Gyges terus mencoba-coba hal itu dan selalu berhasil setiap kali memakai cincin tersebut, ia menghilang. 

Kemudian Gyges berusaha masuk ke dalam istana raja. Ketika sudah berada di dalam istana itu, dengan kekuatan cincin itu ia menggoda dan merayu ratu, tanpa dilihat oleh siapa pun juga. Gyges berhasil melakukan siasat dengan sang ratu untuk membunuh raja dan merebut tampuk kekuasaan. Perbuatan Gyges itu tidak ada yang mengetahui, ia terlindungi dan terbebas dari akibat dari perbuatannya tersebut.

Glaucon menggunakan cerita Gyges ini sebagai suatu alegori dalam perdebatan tentang Yang Adil (δικαιοσύνη, dikaiosune) dengan Sokrates. Glaucon dan Adeimantus, keduanya adalah saudara-saudara Plato, sedang mencari sebuah kesimpulan tentang masalah apakah Yang Adil itu memang lebih baik daripada Yang tidak Adil. 

Sokrates menawarkan tiga alasan mengapa hidup adil itu lebih baik daripada hidup tidak adil: (1) orang yang adil adalah orang bijak dan baik dan orang yang tidak adil adalah orang bodoh dan tidak baik; (2) ketidakadilan menghasilkan kakacauan di dalam diri seseorang, yang menghalanginya untuk dapat bertindak baik; (3) keutamaan itu merupakan suatu yang sempurna pada suatu hal yang bermanfaat dan orang yang adil hidup lebih bahagia saat dia melakukan semua yang bermanfaat bagi kebaikan jiwa manusia.

Glaucon berusaha membantah Sokrates dengan mengatakan bahwa orang berbuat adil itu semata didasarkan atas pertimbangan demi harga diri dan nama baiknya sendiri belaka. 

********

Yang Adil merupakan salah satu konsep terpenting yang diperbincangkan dalam Filsafat. Yang Adil itu dinilai sebagai keutamaan paling mendasar dari semua keutamaan, yang mengatur hubungan antar pribadi dan membangun serta memelihara tatanan masyarakat yang mapan.

Yang Adil secara umum selalu dikaitkan dengan orang yang melakukan apa yang secara moral benar, yang selalu sedia memberikan pelayanan kepada orang lain. Namun para filsuf ingin melangkah lebih jauh melampaui pemahaman dan penjelasan seperti itu. Mereka berusaha memahami, misalnya hakikat Yang Adil sebagai suatu keutamaan moral dan kualitas karakter manusia yang diharapkan oleh suatu masyarakat. Juga sejauh mana penerapan etis Yang Adil dan bagi pengambilan keputusan sosial saat ini. Meskipun demikian perbincangan mereka itu tidak pernah menghasilkan suatu kesepakatan akhir. 

********

Seluruh permasalahan mengenai Yang Adil itu sesungguhnya dimulai dalam Politeia (Πολιτεία, the Republic). Ketika Sokrates berbincang dengan Cephalus, Polemarchus dan Thrasymachus berkaitan dengan Yang Adil. Perbincangan itu terjadi di rumah Polemarchus, saat Sokrates dan Glaucon sedang berkunjung ke Piraeus untuk menghadiri perayaaan dewi Bendis oleh orang-orang Trakia di sana.

Cephalus menjelaskan bahwa Yang Adil itu adalah berkata jujur dan mengembalikan barang milik orang yang dipinjam. Sokrates menampik pernyataaan Cephalus itu dengan memberi contoh bahwa ketika seseorang meminjam pedang dari temannya yang kemudian mengamuk kesetanan, adilkah jika ia mengembalikan begitu saja pedang tersebut. 

Sementara bagi Polemarchus, anak Cephalus, Yang Adil adalah menolong teman dan bersikap keras terhadap musuh. Sokrates keberatan dengan pernyataan Polemarchus ini: (1) ini seperti memilih antara makanan atau obat? Jadi tentu saja konteksnya apa dulu? (2) orang yang adil akan tetap baik pada hal-hal yang tidak berguna dan dalam perbuatan yang tidak adil; (3) orang sering tidak tahu siapa kawan dan siapa musuhnya. Sehingga ia akan memperlakukan teman atau musuhnya itu sama-sama baik atau tidak baik. Apakah ini adil? (4) Kelihatannya tidak adil apabila memperlakukan seseorang secara tidak baik, bahkan kepada musuh sekalipun.

Sedangkan Thrasymachus menentang hasil perbincangan antara Sokrates dan Polemarchus tersebut. Baginya Yang Adil itu merupakan suatu yang bermanfaat dan menguntungkan bagi orang yang berkuasa. Yang Adil itu selalu saja berbeda-beda di bawah penguasa politik yang berbeda pula, sesuai dengan hukum yang ditetapkan dan yang berlaku. Hukum itu dibuat untuk melayani keinginan dan kepentingan penguasa. Yang Adil berarti juga menaati hukum dan peraturan yang telah ditetapkan oleh penguasa tersebut. 

Selanjutnya, Yang Adil menyiratkan kecerdasan dan karekater yang kuat sedangkan Yang tidak Adil itu tidak memiliki kedua hal tersebut. Oleh sebab itu, orang yang adil itu memiliki kecerdasan dan karakter yang kuat, sehingga tindakannya berdampak dan bermanfaat. Ia lebih bijaksana karena menyadari prinsip keterbatasan. Sementara orang yang tidak adil menunjukkan kebodohan, kepandiran dan keburukan. Karakter dan kecerdasannya lemah. Kepercayaan diri yang tanpa batas bukanlah sumber kekuatan bagi mereka, tetapi justru membuat terjadinya pertengkaran.

Thrasymachus mengatakan bahwa penguasa di sini adalah orang-orang yang sungguh-sungguh tidak membuat kesalahan atas peraihan keuntungan dan kepentingan mereka. Sokrates menanggapi itu dengan mengatakan bahwa seni (keahlian) dan keterampilan merupakan kegiatan yang mendatangkan kebaikan bagi orang lain dan bukan bagi pelakunya.

Namun Thrasymachus membantah dengan mengatakan bahwa beberapa keterampilan seperti menggembala itu pun menguntungkan bagi pelakunya. Dalam beberapa hal bahwa Yang tidak Adil itu lebih baik dari Yang Adil dan bahwa orang Yang tidak Adil yang tidak ketahuan berbuat tidak adil itu lebih bahagia daripada orang yang adil. Seorang penguasa adalah orang yang tidak adil, namun berbahagia karena dapat memuaskan semua keinginannya.

Tentu saja ini merupakan sebuah pembelaan diri, karena Thrasymachus mengajar para calon pemimpin Athena, yang sesungguhnya mengejar keberhasilan dan kekuasaan.

Sebaliknya Sokrates menjelaskan bahwa gembala itu peduli kepada domba-dombanya dan ini berbeda dengan kepentingannya untuk mendapatkan uang, yang berada di luar keterampilannya itu dan tidak ada kekuasaan atau keterampilan yang menguntungkan bagi dirinya sendiri di situ. 

Sokrates menyudutkan Thrasymachus dengan mengakui bahwa ada penguasa yang baik, yang menolak untuk berkuasa, tetapi melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang penguasa. Penguasa yang bijak ini tidak akan mencari keuntungan dari kekuasaannya. Karena orang tidak ingin diperintah oleh penguasa yang rendah diri.

Sokrates menolak penjelasan Thrasymachus itu dengan menggambarkan sebagaimana seorang dokter belajar dan berlatih bukan untuk kepentingannya, namun untuk kepentingan para pasiennnya. Demikian juga dengan pemerintah yang melakukan hal-hal demi kepentingan terbaik bagi rakyatnya, itulah keahliannya.  

Sokrates melanjutkan bahwa Yang Adil itu tidak mungkin besifat self-centered dan self-interested. Penguasa sekali pun juga tetap memiliki keinginan membantu yang lemah, jika ia ingin tetap berkuasa. Karena bawahan yang miskin dan marah dapat bangkit melawan dan menumbangkan tuan mereka.

Lalu Sokrates mengajukan pertanyaan bahwa benarkan ini berarti Yang Adil itu adalah yang dipikirkan oleh penguasa dan yang menguntungkan bagi mereka? Tidakkah penguasa kadang membuat kesalahan dan membuat hukum dan peraturan yang tidak menguntungkan mereka? 

Namun Thrasymachus menambahkan alasan untuk tetap mempertahankan pendapatnya tentang Yang Adil dan Yang tidak Adil itu. Sampai di sini Thrasymachus dinilai telah mengungkap sifat alamiah manusia, yaitu bahwa Yang Adil itu adalah yang kuat menguasai yang lemah. Jika Yang Adil adalah yang baik bagi orang lain, maka itu tidak sesuai dengan upaya mengejar kepentingan diri sendiri, sehingga Yang Adil itu tidak ada.

Perbincangan tersebut akhirnya menimbulkan dua masalah, yaitu 1) Apa Yang Adil itu? Akankah berbuat adil itu menjadikan orang lebih bahagia? Sudah diketahui bahwa the Republic tidak memberikan penjelasan secara defenitif tentang Yang Adil. Lagi pula buku ini adalah catatan dari suatu perbincangan bukan sebuah uraian akademis ketat, di mana Sokrates melukiskan bahwa Yang Adil itu adalah 1) melakukan apa yang terbaik yang sesuai 2) untuk kebaikan diri sendiri.

The Republic, Plato

Buku Plato. Republic. Oxford University Press, Oxford, 1993.

********

Glaucon tidak terbujuk oleh perbincangan tersebut. Glaucon memulai dengan menjelaskan bahwa ada tiga jenis Yang Baik (ἀγαθός, agathos). Pertama, Yang Baik itu mengandung nilai di dalam dirinya sendiri, misalnya kebahagiaan. Kedua, Yang Baik itu secara instrumental terdapat pada apa yang diakibatkannya, misalnya obat. Ketiga, Yang Baik itu bernilai dalam dirinya sendiri dan juga pada apa yang diakibatkannya. Sokrates menempatkan Yang Adil itu termasuk di dalam Yang Baik jenis yang ketiga. Menurutnya, Yang Adil itu baik secara intrinsik dan secara instrumental dalam keadaan apapun juga. 

Namun bagi Glaucon, banyak orang berpendapat bahwa Yang Adil itu masuk dalam Yang Baik jenis kedua. Secara alamiah memang manusia itu selalu tertarik untuk mengejar ganjaran dan meraih nama baik akibat dia berbuat adil dan selalu menolak serta menghindari hal yang tidak menyenangkan. 

Kemudian Glaucon berusaha membela Yang tidak Adil: (1) Yang Adil muncul sebagai akibat kompromi antara mereka yang lemah yang takut karena menderita ketidakadilan, yang lebih buruk daripada melakukannya; (2) orang bertindak adil karena ini niscaya dan tidak dapat dihindari, jadi Yang Adil itu baik karena apa yang diakibatkannya; (3) orang yang tidak adil dengan reputasi sebagai orang adil itu lebih berbahagia daripada orang yang adil dengan reputasi sebagai orang yang tidak adil.

Bagi Glaucon watak asli manusia itu sesungguhnya mementingkan diri sendiri dan tidak adil, sehingga dengan sendirinya perbuatan Yang Adil itu tidak baik bagi manusia. Perbuatan adil itu hanya bernilai jika menghasilkan keuntungan bagi pelakunya. Perbuatan Yang Adil itu selalu berujung untuk kepentingan diri pribadi si pelakunya.

Yang Adil adalah sesuatu yang dibuat dan tidak alamiah. Ia adalah hasil kesepakatan. Melalui aturan dan hukum yang dibuat itu maka manusia yang pada dasarnya mementingkan dirinya sendiri itu dikekang. Orang lemah yang banyak itu memerintah untuk kepentingan mereka, menentang mereka yang secara alamiah lebih kuat namun sedikit jumlahnya.

Kecenderungan alamiah manusia selalu mengarahkannya kepada Yang tidak Adil, namun hukum memaksanya untuk bersikap adil. Yang Adil itu didasarkan pada mematuhi hukum-hukum.

Orang menghargai Yang Adil karena ketidakmampuan untuk melakukan Yang tidak Adil. Yang Adil dilakukan secara kompulsif dan demi orang lain, sehingga Yang tidak Adil itu jauh lebih berharga dibandingkan dengan Yang Adil.

Sokrates diminta untuk membela Yang Adil pada dirinya sendiri, bukan pada reputasi yang diakibatkannya. Ia lalu mengajukan untuk memahami Yang Adil itu dalam suatu analogi sebuah kota dan kemudian melanjutkannya untuk menemukan Yang Adil secara individual.

Pendekatan ini akan memberikan penilaian yang lebih jernih atas pertanyaan apakah orang yang adil itu lebih bahagia daripada orang yang tidak adil. Sokrates memulai dengan membincangkan asal-usul kehidupan bermasyarakat dan membangun sebuah negara yang adil, dengan memenuhi kebutuhan dasar yang niscaya bagi manusia. 

Sokrates berpendapat bahwa seseorang masuk ke dalam kehidupan bermasyarakat karena alam tidak dapat memenuhi kebutuhannya begitu saja. Setiap orang secara alamiah memiliki kecakapan masing-masing dan melakukan pekerjaan yang hanya mampu dilakukan secara alamiah dan itu adalah cara yang paling efisien untuk memenuhi kebutuhan dasar yang niscaya bagi semua anggota mayarakat itu.

Sokrates memperkenalkan prinsip dasar suatu masyarakat, yaitu spesialisasi. Prinsip dasar ini menyatakan bahwa setiap orang harus melakukan peran terbaiknya, yang secara alamiah cocok dengannya serta tidak mencampuri pekerjaan orang lain. Misalnya tukang kayu hanya mengerjakan pertukangan kayu, petani harus bertani saja. Di belakang prinsip ini terdapat pemahaman bahwa manusia memiliki kecenderungan alamiah yang harus dipenuhi. Spesialisasi tidak menuntut hanya pembagian kerja, tetapi yang utama adalah pembagian yang cocok dan sesuai.

Selanjutnya Sokrates mulai membangun bentuk kota tadi. Peran utama yaitu untuk menyediakan kebutuhan hidup dasar, seperti makanan, pakaian, kesehatan dan rumah. Kota yang adil dihuni oleh tukang, petani dan dokter, di mana tiap-tiap pekerjaan itu saling terkait satu dengan yang lainnya. Kota seperti ini adalah kota yang sehat karena hanya menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan bagi kebutuhan dasar hidup manusia.

Namun Glaucon menentang bentuk masyarakat Sokrates seperti itu karena terlalu sederhana dan menyebutnya sebagai masyarakat babi. Karena kehidupan kota seperti itu merupakan sebuah kehidupan yang tidak mengenal kemewahan, misalnya seperti piring, perabotan dan daging, sebagaimana orang Yunani pada umumnya. Padahal kota sederhana itu adalah bayangan Sokrates mengenai sebuah masyarakat yang sehat.

Glaucon menyatakan bahwa kota semacam itu tidak mungkin terbentuk, karena masyarakat tidak hanya memerlukan kebutuhan dasar hidup saja, tetapi keinginan yang tidak penting lainnya juga. Mereka membutuhkan makanan mewah, barang-barang berharga dan benda-benda seni. 

Kemudian Glaucon menjelaskan evolusi sejarah masyarakat, di mana Yang Adil itu merupakan suatu keniscayaan yang menjadi pelindung bagi orang yang lemah. Pada tahap primitif, masyarakat tidak memiliki hukum dan pemerintahan, manusia bebas melakukan apa saja yang ia suka. Sehingga orang yang kuat menikmati hidup di atas penderitaan orang yang lemah. Sementara yang lemah menyadari bahwa mereka semakin menderita ketidakadilan. Mereka lalu membuat perjanjian dan melembagakan hukum dan pemerintahan melalui suatu perjanjian bersama dan mulai mengajarkan Yang Adil.

********

Adeimantus mendukung penjelasan Glaucon, namun tidak seperti Glaucon yang lebih berpusat pada individu. Adeimantus lebih mengarah ke lingkup komunal, pendidikan dan dampak yang lebih luas.

Sama dengan Glaucon, Adeimantus memandang bahwa ketika orang memuji Yang Adil itu sesungguhnya tidak sedang menghargai Yang Adil itu sendiri. Mereka itu memuji dan menghargai yang baik yang diakibatkan oleh Yang Adil. Adeimantus mengatakan bahwa orang itu adil hanya karena takut atas penghukuman setelah kematiannya. Orang tidak berlaku adil itu tentu saja berpikir bahwa Yang Adil itu baik, tetapi juga karena mereka percaya bahwa Tuhan akan mengganjar mereka karena telah berlaku adil. Yang Adil itu hanyalah kepentingan diri pribadi seseorang saja. Orang yang tidak adil dan orang yang tidak beriman itu sama-sama berkubang di dalam lumpur dunia bawah sana.

Adeimantus melanjutkan bahwa dengan demikian, jika sesungguhnya Tuhan itu perduli kepada umat-Nya oleh bujuk rayu kurban pemberian mereka. Maka umat semacam ini akan selalu mencari pengampunan dari Tuhan, bahkan ketika mereka tidak adil. Jika Tuhan pun itu tidak ada, maka orang tetap akan berlaku tidak adil. Tidak ada seorang pun yang sungguh-sungguh menghargai Yang Adil. Dalam kedua keadaan tersebut Yang tidak Adil itu tetap menjadi pemenangnya.

Adeimantus menghantar pada pemahaman bahwa Yang Adil itu merupakan suatu bentuk Yang tidak Adil. Sebab orang berbuat adil hanya karena dengan itu mereka mendapatkan nama baik atau mendapatkan ganjaran dari Tuhan setelah kematiannya. Jika orang adil, ini tidak memberikanya keuntungan, namun hanya masalah dan kerugian saja. Sementara jika orang tidak adil malah mendapatkan nama baik dari Yang Adil dan ia akan memiliki hidup yang menakjubkan.

Jika orang bertindak adil karena rasa takut, hal ini justru memperlihatkan bahwa Yang Adil wujud dari Yang tidak Adil dan murni kepentingan diri sendiri saja, sehingga bukanlah Yang Adil yang sesungguhnya.

********

Yang Adil rupanya sedikit lebih rumit daripada yang selama ini orang pernah bayangkan. Apa yang dimaksud Sokrates dengan Yang Adil di sini adalah tentang kesatuan dan keteraturan. Karena sesungguhnya masalah besar yang terjadi itu berasal dari perselisihan kecil di dalam dan kekacauan dari luar. Yang Adil itu erat terkait dengan pemahaman seseorang tentang dirinya, yang merupakan suatu proses penataan diri dan pemahaman tentang apa yang harus dilakukan.

Karena Yang Adil itu mengenai tatanan dan keselarasan, Sokrates lalu menyimpulkan bahwa bertindak adil itu membuat orang lebih bahagia. Meskipun seseorang memiliki harta benda kekayaan, ia sesungguhnya menderita. Karena tanpa Yang Adil menata hidupnya, ia akan selalu bingung dan meragukan baik dirinya sendiri maupun orang lain serta hidup dalam ketakutan.

Bagi Sokrates Yang Adil itu adalah sesuatu yang alamiah dan berada di dalam diri seseorang. Untuk memahami hakikat Yang Adil diperlukan pemahaman diri dan pengertian intelektual terhadap Yang Adil. Sesuatu yang berada di dalam diri ini ditemukan melalui pencarian kebijaksanaan, yang membuat jiwanya damai dan selaras dengan alam semesta. Sementara keadilan yang diusahakan dari luar dan di luar diri itu sama saja dengan menabur benih perpecahan, pertengkaran dan kecemburuan, yang melahirkan keruntuhan persatuan dan keselarasan hidup alamiah sebuah masyarakat. 

Yang Adil adalah suatu keutamaan yang terkait dengan pengetahuan dan tindakan yang berkeadilan. Yang Adil berarti jiwa yang damai, yang didapatkan melalui pengetahuan intelektual tentang hakikat Yang Adil, yang membuat orang damai dalam dirinya sehingga ini membuka peluang untuk dapat menolong orang yang lainnya. Yang Adil merupakan kualitas jiwa seseorang, di mana ia menolak keinginan yang tidak rasional untuk memenuhi segala kesenangan dan kenikmatan serta untuk memperoleh kepuasan diri sendiri. 

Oleh sebab itu, para Filsuf Yunani melihat bahwa Yang Adil itu merupakan satu-satunya obat yang dapat menyelamatkan Athena dari kebusukan dan keruntuhan. Sementara dalam konteks budaya Ibrani kuno, Kitab Perjanjian Lama mengungkapkan, ” …nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki.” Seruan ini sesunggguhnya tidak menganjurkan balas dendam, baik secara individual maupun kelompok. Ini mengajarkan supaya masyarakat menegakkan keadilan sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Sedangkan budaya Kitab Perjanjian Baru justru sebaliknya. Yesus Kristus mengajarkan, “Kasihilah sesamamu manusia. Kasihilah musuhmu. Lakukanlah terlebih dahulu apa yang engkau ingin orang lakukan kepadamu.” 

*******

Perbincangan tentang Yang Adil di negeri ini sudah dilakukan sejak dari awal dengan sangat mendalam terkait dengan berdirinya negara Indonesia. Perbincangan tersebut kemudian dirumuskan ke dalam Pancasila. Pancasila merupakan dasar negara Indonesia sekaligus pedoman dengan nilai-nilai luhur yang diterapkan dalam kehidupan berbangsa. Sila ke-5 Pancasila menyebutkan tentang Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia merupakan perwujudan yang paling konkret dari prinsip-prinsip Pancasila.

Prinsip keadilan adalah inti dari moral ketuhanan, landasan pokok perikemanusiaan, simpul persatuan dan matra kedaulatan rakyat. Dengan kata lain, keadilan sosial merupakan perwujudan sekaligus cerminan imperatif etis keempat sila dalam Pancasila lainnya.

Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia itu diliputi dan dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, serta Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.

Bahkan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 dan sudah diperbaharui setelah Reformasi dengan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 mengatur pengamalan sila ke-5 Pancasila tersebut sebagai:

Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. Menghormati hak orang lain. Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah. Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum. Suka bekerja keras. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.

The Republic mengungkapkan bahwa Yang Adil itu merupakan suatu keutamaan moral manusia, yang menata urutan aturan secara rasional, di mana masing-masing bagian melaksanakan perannya yang khas serta tidak mengganggu peran bagian lainnya. Sementara Aristoteles menyatakan bahwa Yang Adil itu merupakan hukum dan aturan yang menjamin kesetaraan dan mencegah ketidaksetaraan. Bagi Augustinus, Yang Adil adalah keutamaan moral pokok yang memberikan hak kepada semua orang. Untuk Aquinas, Yang Adil adalah titik tengah yang rasional, yang melibatkan pembagian secara proporsional dan transaksi resiprokal.

Hobbes percaya bahwa keadilan merupakan suatu keutamaan moral yang dibuat berdasarkan kesepakatan secara sukarela, yang niscaya bagi sebuah masyarakat. Bagi Hume, Yang Adil itu melayani kepentingan umum dengan cara melindungi hak milik warga. Untuk Kant, Yang Adil adalah suatu keutamaan, di mana seseorang menghormati kebebasan, otonomi dan martabat orang lain dengan jalan tidak menggangu dan tidak ikut campur tangan perbuatan orang lain, selama orang itu tidak melanggar hak orang lain juga. Mill mengatakan bahwa Yang Adil itu adalah daftar hal-hal yang paling penting bagi kesejahteraan semua orang sehingga kebebasan manusia terwujud. Rawls menghitung Yang Adil sebagai kesetaraan kebebasan yang maksimal berkenaan dengan hak dan kewajiban dasar seluruh anggota masyarakat, yaitu kesetaraan kesempatan dan kefaedahannya bagi semua orang.

Apabila penjelasan pengamalan sila ke-5 Pancasila ini dimasukkan ke dalam perbincangan tentang Yang Adil antara Sokrates dan teman-temannya tersebut. Maka Keadilan Sosial ini dapat dimaknai sebagai keutamaan manusia yang mengikatsatukan manusia dalam sebuah masyarakat yang baik dan berkemanusiaan. Karena Yang Adil itu merupakan suatu bentuk tatanan dan kewajiban yang berasal dari jiwa manusia itu sendiri. Jika jiwa seseorang sehat maka demikian juga kiranya raganya. Yang Adil itu bukan sekadar kekuatan belaka, namun kekuatan yang menyelaraskan. Yang Adil bukan hak para penguasa, namun suatu keselarasan yang sungguh nyata bagi semua orang. Semua gagasan moralitas itu beredar di sekeliling Yang Baik bagi setiap pribadi, demikian juga bagi semua masyarakat keseluruhan secara utuh. 

Sementara cerita Cincin Gyges mengungkapkan bahwa secara alamiah manusia itu memang cenderung untuk berbuat Yang tidak Adil, jika tidak ada orang yang melihatnya. Hanya orang bodoh saja yang melakukan perbuatan Yang Adil, jika tidak ada yang melihatnya. Orang melakukan Yang Adil itu karena tidak ingin ketahuan, tertangkap basah dan takut hukuman. Orang berbuat adil itu tidak pernah didasarkan pada kehendak baiknya, namun demi kepentingan dirinya sendiri belaka. Cerita cincin ini menjelaskan bahwa untuk hidup adil itu sungguh sangat sulit dan jika seseorang dapat lolos dari hidup Yang tidak Adil, maka hidupnya akan jauh lebih baik, bahkan jika dibandingkan dengan Gyges yang telah berhasil meraih kekuasaan raja.

—–

Kepustakaan

Annas, Julia. An Introduction to Plato’s Republic. Clarendon Press. Oxford, 1981.

Nurwardani, Paristiyanti (DKK). Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi. Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia, Jakarta, 2016.

Pappas, Nickolas. Plato and the Republic. Routledge, London, 1995.

Plato. Republic. Oxford University Press, Oxford, 1993.

Santas, Gerasimos. Understanding Plato’s Republic. Wiley-Blackwell, West Sussex, 2010.

*Penulis adalah Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia.