MARYAM: Keperawanan, Penyaliban dan Kebangkitan Yesus

Oleh Budi Murdono

 

Judul Buku: Panggil Aku Maryam: Sebuah Biografi Kritis Bunda Maria

Penulis: Lesley Hazelton

Penerbit: IRCiSoD

Tahun: 2020

Tebal: vi+372

Masih dalam suasana Paskah, secara kebetulan saya selesai membaca buku biografi Bunda Maria ini. Ditulis oleh Lesley Hazleton, penulis perempuan kelahiran Inggris yang juga seorang psikolog dan wartawan kawakan. Banyak bukunya yang sudah diterbitkan oleh penerbit terkenal di Amerika. Buku dengan judul asli Maryam Histories–Mary: a Flesh and Blood Biography of the Virgin Mother ini ditulis berdasarkan pengalaman tinggal di Yerusalem selama tiga belas tahun dan riset selama empat tahun. Hazleton tidak cuma mengkaji kitab-kitab Perjanjian Baru, tapi juga injil-injil lain (antara lai Injil Aprokif dan Injil Gnostik) dan juga kajian sejarah, antropologi serta kajian keagamaan dan teologi dengan perspektif feminis. Berdasarkan riset itu, buku ini menyajikan penafsiran alternatif tentang gambaran Maria, tidak hanya sebagai ibunda Yesus, tetapi juga perannya dalam awal pengorganisasian agama dan juga perkembangan teologi Kristen.

Maryam, begitu panggilan ibunda Yesus dalam bahasa Aramaik yang digunakan di wilayah Mediterania Timur, lahir pada 16 SM di sebuah desa bernama Nazareth, bagian dari wilayah Galilea yang sekarang merupakan kota kecil di wilayah kekuasaan Israel. Masa remajanya dihabiskan sebagai gadis penggembala yang sehari-hari menggembalakan domba dan kambing di perbukitan yang tidak jauh dari rumahnya. Sesekali Maryam juga mendampingi neneknya, membantu persalinan ibu-ibu di desanya. Salome, nama neneknya itu, adalah bidan berpengalaman sekaligus  penyembuh yang juga terbiasa mengobati orang sakit. Dengan mendampingi neneknya itu, Maryam pun belajar semua ketrampilan pengobatan dan mewarisi semua keahlian neneknya. Kelak, Maryam juga mewariskan kemampuan pengobatan itu kepada puteranya.

Pada usia 13 tahun, Maryam hamil. Ia memutuskan untuk menjaga kehamilannya. Ia memilih untuk melahirkan, merawat dan kemudian mengajari puteranya semua yang ia tahu. Perdebatan tentang proses kehamilan Maryam menempati cukup banyak halaman buku ini. Tentu saja, ini terkait dengan keperawanan Maria yang kemudian menjadi bagian dari doktrin keimanan Kristen. Hazleton menolak kehamilan tanpa hubungan sexual. Ia menjelaskan bahwa gagasan tentang Tuhan Bapak yang sangat kuat dan masuk ke dalam Alkitab Ibrani, seperti dalam Doa Bapak Kami, hendaklah dilihat sebagai metafora. Yesus sendiri menunjuk Tuhan bukan sebagai ayah pribadi, tapi ayah semua orang. Yesus juga menggunakan ungkapan-ungkapan itu bukan dengan maksud agar orang secara naif membayangkan bahwa setiap orang lahir melalui inseminasi Tuhan.

Idealisasi mengenai kelahiran anak Tuhan dari seorang perawan suci bukanlah cerita baru. Dalam mitologi Yunani, banyak gadis perawan yang menjadi objek berahi Zeus dan mereka tidak mampu melawan. Mereka sebenarnya diperkosa oleh sesosok dewa, namun mereka lebih dihormati ketimbang dihina. Dan, anak-anak  hasil perkosaan itu pun selalu menjadi pahlawan legendaris, menjadi manusia setengah dewa.

Dari kalangan anti-Kristen, terdapat rumor bahwa Maryam diperkosa oleh seorang tentara Romawi yang saat itu dikenal sering memperkosa gadis-gadis Galilea. Hal itu merupakan bentuk teror terhadap  warga  yang selalu melakukan pemberontakan. Penulis buku ini menilai anggapan bahwa Maryam diperkosa tidak selamanya negatif. Perkosaan Maryam bisa menjadi simbol perempuan yang jauh lebih kuat ketimbang perempuan yang tidak mengalami kekerasan. Ia bisa menolak menjadi korban lebih lanjut kebiadaban itu dengan menggugurkan kandungannya karena ia tahu caranya — ingat Maryam adalah seorang bidan dan juga penyembuh. Tapi sebaliknya, ia justru mempertahankan kandungannya sampai puteranya lahir dan ia membesarkan puteranya itu dengan penuh kasih sayang. Ia pun menamakan puteranya Yeshua — Iesu dalam bahasa Yunani atau Jesus dalam bahasa Inggris — yang berarti “Yah(weh) menyelamatkan”, nama  luar biasa bagi seorang anak yang lahir dari seorang perempuan yang diperkosa. Inilah tindakan yang mengubah aib menjadi kebanggaan, kekerasan menjadi kelembutan, kehinaan menjadi kasih sayang. Inilah esensi Kristianitas sebagaimana diajarkan Jesus: orang miskin akan menjadi kaya dalam iman, orang kaya akan dikutuk karena kekayaan mereka, para pendosa akan diberkati, orang-orang yang dibenci akan dihormati, yang menangis akan tertawa  dan yang sekarang tertawa akan menangis.

Bagian selanjutnya buku ini menggambarkan Maryam sebagai seorang ibu, namun jauh dari gambaran artistik yang tampak tenang dan ikhlas sambil memeluk puteranya yang telah meninggal dengan tatapan penuh welas asih sebagaimana dikenal selama ini. Jauh dari itu, gambaran Maryam sebagai ibu dapai kita baca dari narasi tentanh pengalaman langsungnya menyaksikan dari jarak yang sangat dekat kematian anaknya di kayu salib di bukit Golgota. Itu terjadi ketika ia berusia 36 tahun, usia yang cukup tua dan matang bagi perempuan Galilea waktu itu. Maryam digambarkan berontak, menangis, berteriak, mengutuk dan mengecam sampai suaranya serak dan kata-katanya tertahan di tenggorokan. Ia meratap dan menangis sampai air matanya kering. Dengan penggambaran seperti ini, Hazleton ingin mengatakan bahwa gambaran Maryam yang tampak tenang dan ikhlas dalam kedukaannya ketika penyaliban adalah kebohongan yang tidak hanya melucuti kemampuannya untuk berkabung dalam kedukaannya sendiri, tetapi juga menyangkal kemanusiaannya. Sebaliknya dengan gambaran Maryam yang manusiawi Hazleton mengajak pembaca untuk memberi ruang kepada Maryam agar dapat merasakan dan mengungkapkan kedukaannya yang nyata, memberi ruang bebas baginya untuk bisa berteriak sekeras-kerasnya mengecam semua kekuasaan yang  telah melakukan kejahatan ini, menentang apa saja yang menjadi nasibnya. Hazleton mengajak kita untuk mendengar jeritan panjang Maryam yang menyayat hati, merasuk ke bagian terdalam diri kita, seperti kuku-kuku besi yang merobek jantung. Begitulah cara seorang ibu keluar dari kedukaan karena kematian anaknya yang dihukum mati secara kejam. Dengan itu Maryam bertekad memenangkan situasi dan memanfaatkannya sebaik mungkin. Ia akan berjuang sekuat yang ia bisa demi kemulyaan anaknya, meskipun nyawa taruhannya. Maryam memang tidak bisa mencegah hukuman mati puteranya. Tapi ia bertekad akan memberi makna baru bagi kematian puteranya itu. Dengan caranya sendiri, ia akan pastikan kebangkitan puteranya.

Maryam pun berada di tengah para perempuan yang membersihkan dan mengurapi tubuh Yesus dengan minyak zaitun setelah diturunkan dari kayu salib. Tubuh Yesus selanjutnya mereka bungkus dengan kain kafan dan dibawa ke makam. Bersama para perempuan itu, Maryam juga berada di gua makam, meletakkan tubuh Yesus di ceruk yang terdapat di dalamnya, merasakan saat-saat terakhir bersama puteranya, lalu melepas kepergiannya dengan ikhlas.

Penggambaran di atas berbeda dengan apa yang tertulis dalam Injil Matius, Markus atau Lukas yang tidak menunjukkan keberadaan Maryam saat penyaliban, pemakaman dan kebangkitan Yesus. Memang dalam ketiga injil itu disebutkan ada tiga perempuan dengan nama Maria (Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus dan Yesua serta Maria iatri Cleopas), tapi tidak ada Maria bunda Yesus.

Hanya dalam Injil Yohanes kehadiran Maryam digambarkan dalam peristiwa penyaliban.

Hazleton juga mempertanyakan dengan sangat krits cerita-cerita dalam injil tentang kebangkitan Yesus, khususnya yang menyangkut hilangnya jenazah Yesus. Sebaliknya, ia mengajak pembaca untuk melihat kebangkitan Yesus tidak secara harfiah yang tentu saja merupakan suatu kemustahilan. Poin penting dari kebangkitan bukanlah yang harfiah, melainkan yang metaforis: bukan fisik, tetapi metafisik. Esensi kebangkitan tidak terletak pada daging, tapi pada jiwa: ruh manusia. Berdasarkan pemahaman ini Hazleton pun merekonstruksikan peristiwa kebangkitan Yesus.

Para perempuan murid Yesus — hanya perempuan, karena para pengikut Yesus lainnya sudah melarikan diri — setelah memasukkan tubuh Yesus ke dalam makam batu, berjaga-jaga, kembali pada hari ketiga, dan mengumumkan kebangkitan Yesus.  Hanya para perempuan itulah yang tahu apa yang terjadi. Itulah “gnosis”, pengetahuan tersembunyi tentang kebangkitan keimanan. Pengetahuan ini kemudian mereka ungkapkan kepada murid-murid Yesus pria yang bersedia menerima kebangkitan dalam iman.

Bab-bab terakhir buku ini bercerita tentang kehidupan Maryam setelah kematian Yesus. Digambarkan Maryam tinggal di sebuah desa tersembunyi di daerah perbukitan sekitar Yerusalem bersama-sama dengan para perempuan yang dulu berjaga-jaga menemaninya di bukit Golgota, sampai kematiannya pada tahun  46 M. Mereka membentuk komunitas baru. Di bawah pimpinan Maryam, para perempuan yang sebelumnya menyebarkan kabar tentang kebangkitan Yesus itu mencurahkan hidup mereka pada prinsip keadilan dan pengetahuan tentang kebijaksanaan. Mereka menggabungkan aktivisme dan kontemplasi, menawarkan perlindungan dan penyembuhan bagi yang membutuhkan (perempuan dan laki-laki, penggembala dan orang kota, pemberontak dan orang-orang terbuang). Inilah cikal bakal komunitas  perempuan karismatik yang menggabungkan praktik kontemplasi dan penyembuhan, seperti kelompok Montanis di Kartago, Afrika Utara pada abad 2 M. Sebelumnya, telah ada kelompok Valentian dan Corpocartian yang menerima ajaran rahasia dari Maryam, Salome dan Martha. Pada abad 3 M terdapat gerakan Kolyridian yang tidak mengizinkan kaum pria ikut dalam ritus dan peribadatan mereka.

Inti ajaran teologi mereka adalah Sophialogi, yaitu kepercayaan terhadap Dewi Kebijaksanaan (Hokhmah dalam bahasa Ibrani, Sophia dalam bahasa Yunani) yang dipuji sebagai Bunda Perawan. Dalam perkembangan selanjutnya, Yesus dianggap sebagai anak dari Sophia, sang guru dan perantara Pengetahuan Kebijaksanaan. Maryam pun yang merupakan ibu biologis Yesus pada akhirnya dikonsepsikan menjadi manifestasi fisik dari Dewi Kebijaksanaan. Karena Maryam adalah ibu dari yang Ilahiah, maka ia pun mempunyai sifat Ilahiah. Pemahaman ini tentu muncul lama setelah kematian Maryam, bukan pada masa ia masih hidup atau pada waktu masih berada dalam komunitasnya. Setelah Gereja Katolik menguasai Roma, ajaran Sophialogi dilarang. Maryam dan Sophia kembali dibedakan. Maryam tetap menjadi sosok suci tetapi tidak lagi bersifat ilahiah. Sedangkan Sophia menjadi Roh Kudus, elemen ketiga dari Trinitas.

Seperti telah disinggung di awal, buku  ini cukup menarik karena menyajikan gambaran alternatif mengenai sosok dan karakter Bunda Maria serta perannya dalam peristiwa penyaliban, pemakaman dan kebangkitan Yesus

Buku ini juga memberi gambaran alternatif tentang peran Bunda Maria dalam perkembangan agama Kristen. Dan tidak hanya itu. Buku ini juga menyajikan penafsiran alternatif mengenai keperawanan Maria, kebangkitan Yesus dan juga keilahian Yesus sebagai jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan yang muncul  akibat kejanggalan dan keanehan yang terdapat dalam pemahaman Kristen selama ini.

Selamat Paskah. Semoga membawa kedamaian dan kebahagiaan bagi kita semua.

*Penulis adalah pengajar yoga-meditasi freelance