Puisi-Puisi Muhammad Aris

AKU KEMBALI

aku kembali nggugah sarang garang sendiri
seperti pemabuk
dua matahari di kepala
seribu api di dada

bukan dendam
tapi darah terlanjur hitam
uluk salam tersangkut di badik
badai hingga derita tersangkur
penuh kembang kamar
pengantin

inilah hiburan pagi nuju siang
selepas malam hilang
cahaya

dengarlah:
langit melolong seperti gugat
gelombang tanpa sesaji
tanpa maut dan tawa

ya aku kembali!

Banyuwangi, 2020

 

AYAT RESAH

ayat ayat telah di semburkan
pada siang pada matahari
tanpa teror dan kompor

jejalan bergerak serupa gempa
dengarlah kaki kecil bergoyang
irama gembira suara resah

cakap terdekap gencatan
diam. lingkaran jadi kurungan
makin luas mungkin ngganas

dan aku terlanjur mujur
lewat angin gelontor dingin
sepenat kamis akhir gerimis

Banyuwangi, 2020

 

BERBISA

pada mbun mbun
tak ada beliung, tahun
tahun melamun
limbung menafsir ujung

relung terus bergerak
dalam gertak, teriak
dan bediang

wabah memang bedebah
hujan berputaran, meluntir
datang pergi sendiri
menantang

angin percik rintik
mengemis luka, sejarah
gerimis
separah lamis

semua meringis, seperti
tangis
seperti ritmis

dan wabah memang gagah
koyak udara
suararasa

berbisa

Banyuwangi, 2020

 

CENTIL

aku lumat bibir tebalmu
merumat ruwat raung cinta
saat anjing terjaga
dan warna kelaminnya
kencang memanjang

hingga cinta berdenyut
langut. digodam grimis lamis
pelancepat
cepat pelahan
melarut
hanyut

mungkin terbilang centil
seperti hidup nihil dan muskil
meski tanah terus bergerak
dan burung takpernah singgah
di latar. bumi yang jembar

tengoklah
sayap kecilnya berkacak
kepak penuh sikap

“aku lumat!”

Banyuwangi, 2020

 

DI PANTAI

di pantai pagi ini
hanya kita seperti gelombang
gemulung ombak tak teriak
tak pernah sisahkan buih-busa

dalam gerimis
anak-anak mengeruk pasir
mencari karang karang mati
kadang berlarian diantara arus
air pergi dan datang

mendung lama bergayut
memayung enggan beringsut
seperti dingin terus memiting
jadi suara
jadi tanda

di pantai pagi ini
kita warnai cinta, bara
rindu makin mekar

menggoda

Banyuwangi, 2020

 

GERIMIS MALAM

gerimis lari malam ini
kecemasan atas waktu
wagu di musim pandemi
secuil tartil segarang gema
menggigil

lalu sejenak matahari mlolong
keras aku goncang
semarkas lindu sebergas gagu
merundungrunding bekas
liuklekas panas

paling ngilu
segalau pilu

hiya hiya hiya
gerimis dan matahari
saling membiru peluru
bius menggerus bunyi
hentakberdebum sunyi

dan aku dan aku
dan aku

hiya hiya hiya
menggerutu

Banyuwangi, 2020

 

HAI LELAKI WAHAI PENARI

lalu hujan mengantarkan lelaki –dengan lebat bulu dada–
menyintuh basah jalan
cerita muasal senda gurau
umur yang nikmat
lekat dalam irama
murtad

ya, hujan itu mbimbing-membumbung pengetahuan
ikhwal asap
pukulan pada kelamin
tak henti diam
gendam
berakhir

amin

meski pada kesumat
selalu gagal lantunkan jimat istirah degup jantung
kental dan mental

hai penari wahai lelaki
lihatlah syahwat telah mecetat
telah lahir duri diantara mata dan kesturi

wahai penari hai lelaki
larilah penuh sirri
laku dalam
gerigi

pekik
dan hujan

Banyuwangi, 2O20

 

DATANG TANPA KABAR

tiba tiba hujan datang
tanpa kabar
sendiri

tak ada derita, hanya mungkin
dusta. nafas rindu
kadung njelma pusat paha
langsat

dimana angin
hanya memutar ingin
dimana ingin
hanya mengumbar dingin

inilah kapak kepakan pertama
selepas surup tersuruk dalam
guagua hitam, sang kelelawar
tertidur diantara malam
diantara gemuruh kembang
dan dendam

tiba tiba hujan datang
tanpa kabar
sendiri

keluh dan teluh jadi abu
serupa
semai paling ramai di bulan
penuh elan
dan tanah tanah makam mulur
semakin lentur

tak ada teriak namun badai
tinggal di riak ombak

hujan

Banyuwangi, 2020

 

KAFIR SIHIR

Ini pagi hujan menyingkir
laksana cinta penuh sihir
kafir
abadi

duka hanya di seberang
mengusik waktu
irama
seruling tak mampu usap khusuk dan ribuan patuk

seperti sejarah legam
menghitam di tanah makam
riwayat tubuh yang kekal
hilang
sesaat dalam sekam
bekam
api selembut barzanji

ini pagi hujan menyingkir
burung bercericit
riuh
bergemuruh menyembelih
bau pesing dan cecurut
ngising

begitulah hujan menyepi
akupun tak pernah sunyi

iri dan birahi

Banyuwangi, 2020

 

HUJAN KURAP

“aku memang tak ada
disini dalam gamang cerita
warna nyiur penuh jelita”

bukan cacat tapi sejarah
lahir tengkurap, putus asa
terlanjur gatal penuh jamur
kurap

seperti waktu yang terkubur suaraku yang kurus
menabrak kalap arus
melabrak tanah dan jalan
lurus, segundah
bayangbayang paling gegabah

wow kerinduan mencekam
rambatberingsut sembah laut
senyaman sungkem
langit melangut

“aku memang tak ada!”

Banyuwangi, 2020

 

RUANG HUJAN

jika rindu itu kembali
menguntit seramai pasukan
semut dan rama rama pindah
rumah

ingatlah aku
diantara ruang hujan
desah kematian
tak jengah dan selalu
gegar

ingatlah aku
dalam gayeng sawit
yang menjerit
cerita tiga bulan
tanpa perlawanan

memang pertemuan ini
selalu menguap
harum kopi
lukisan seragam kanak kanak
bau matahari di pancalan
sepeda tua dan gundah sejarah

ya hujan ya sawit
kalo memang jadi mantra jadilah pembuka
doa paling merah

sarap!

maka tulislah sejarah
sajadah di makam malam
panjang
seperti terbang burung
dengan sayap terampas

trengginas!

Banyuwangi, 2020

 

*Muhammad Aris, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1975. Anggota tetap Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP). Karyanya berupa puisi, cerpen, dan esai, tersiar pada beberapa media dan antologi bersama. Juga menulis gurit (puisi jawa), tersiar pada beberapa media berbahasa jawa. Bersama W Haryanto, Indra Tjahyadi, dan Mashuri; Muhammad Aris merupakan salah satu eksponen puisi gelap di Surabaya.