Sumrambah

Oleh Dr. Amos Setiadi

Tulisan ini berbicara tentang  “sumrambah” dalam latihan sujud pasrah sumarah kepada Allah. Penulis mengucapkan terima kasih pada almarhum  Bapak. Murdiman Untung yang hingga akhir hayat konsisten mempraktikkan sujud pasrah sumarah kepada Allah dan berkenan memberi pendampingan pada penulis bersama para kadhang lainnya  menurut cara yang diberikan pinisepuh paguyuban rohani Sumarah: alm Bp. R.Ng. Sukino.

Menurut penulis  topik “sumrambah” cukup sulit untuk dijelaskan karena menyangkut apa yang dirasakan seseorang pada saat berlatih sujud pasrah sumarah kepada Allah “eneng, ening, eling”. Menurut Baoesastra Djawi (W.J.S. Poerwadarminto, 1939): Sumrambah tegese wrata ing endi-endi (rata/merata di mana-mana).

Untuk mengungkap apa yang dirasakan seseorang pada saat sujud pasrah sumarah kepada Allah, dalam tradisi Sumarah diperlukan:

a.  Ngreti dan ngreteni pemahaman yang benar tentang sujud pasrah sumarah kepada Allah dan tanda-tandanya (pemahaman yang sudah ada misalnya dalam buku Sumarah V Sejarah Sumarah 1935-1970, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1974)

b. Krasa dan ngrasakake tanda-tanda apa yang dirasakan waktu sujud pasrah sumarah
kepada Allah (kasunyatan, pengalaman praktik)

Butir a dan b diperlukan supaya diskusi tidak didorong oleh pandangan “aku” dan subjektif. Butir a merupakan pemahaman umum yang dapat dipergunakan sebagai acuan (reflektif). Sedangkan butir b dapat dipakai sebagai bahan cocokan antar peserta sujud. Metode cocokan mirip dengan metode triangulasi dalam penelitian kualitatif (triangulasi yaitu cara menguji kebenaran data, dapat dilakukan dengan wawancara bebas untuk membandingkan informasi dimana pemateri ikut terlibat, dalam bentuk catatan/tulisan pribadi. Dalam hal ini melalui chat WA), untuk sharing pengalaman (kasunyatan).

Artikel ini akan disampaikan penulis dengan alur Pendekatan Berpikir Ilmiah supaya dapat diterima dari segi penalaran baik kognisi (keyakinan dalam proses berpikir sesuatu) dan afeksi (rasa reaksi emosional terhadap sesuatu). Dalam Pendekatan Berpikir Ilmiah, untuk memperoleh suatu kebenaran/pengetahuan dapat ditempuh dengan 3 cara pandang/paradigma (Filsafat Ilmu Pengetahuan, 2020), yaitu:

  1. Cara pandang pertama: Rasionalisme, yaitu pengetahuan yang diperoleh dengan berlandas pada rasio dan kebenaran umum yang sudah ada sebelumnya. Misalnya melalui studi literature/buku-buku. Selanjutnya kesimpulan dibuat secara deduktif (kesimpulan yang ditarik dari kebenaran umum). Sebagai contoh: sudah ada kebenaran umum bahwa “es akan mencair pada suhu ruangan”. Jika seseorang ingin membuktikan, maka ia akan meletakkan es di sebuah tempat yang bersuhu ruangan. Setelah beberapa saat es akan mencair. Lalu dibuat kesimpulan berdasarkan kebenaran umum tersebut (pembuktian).
  2. Cara pandang kedua: Empirisisme, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui indra atau pengalaman-pengalaman. Kesimpulan yang dibuat berdasarkan pengalaman disebut induktif. Sebagai contoh: si A ketika melakukan kegiatan X merasakan Y. Si B ketika melakukan kegiatan X merasakan Y. Si C ketika melakukan kegiatan X merasakan Y. Si D ketika melakukan kegiatan X merasakan Y. Si E ketika melakukan kegiatan X merasakan Y. Lalu disimpulkan bahwa melakukan kegiatan X merasakan Y.
  3. Cara Pandang ketiga: Fenomenalisme, yaitu pengetahuan yang diperoleh baik melalui rasio/kebenaran umum yang sudah ada dan melalui indra/pengalaman-pengalaman. Jadi baik pengalaman dan pengetahuan memiliki peran.

Dalam hal memahami apa itu “sumrambah”pada saat latihan eneng, ening, eling tidak cukup dimengerti melalui pemahaman umum atau rasio saja (misalnya paham setelah membaca buku), tetapi memerlukan pengalaman sujud (kasunyatan, praktik). Oleh sebab itu, untuk menjelaskan hal tersebut pemateri menggunakan cara pandang ketiga, yaitu menjelaskan “sumrambah” berdasarkan pengetahuan yang sudah ada dan dari pengalaman praktik sujud.

Sumrambah Berdasarkan Pengetahuan yang sudah ada (Buku Sumarah V Sejarah Sumarah 1935-1970, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1974)

  1. Sujud Sumarah yang benar

Sejarah sujud sumarah dapat dibaca dari percakapan antar pinisepuh (Pak Kino dan Pak Hardo), di buku Sejarah Sumarah 1935-1970 halaman 59, sbb:

P. Hardo: “sujud kepada Tuhan yang benar itu apakah demikian ini ?” (Pak Hardo lalu mempraktikan sujudnya)

P. Kino: “Nah..kau betul bisa sujud yang benar. Siapakah yang memberi pelajaran ?” P. Hardo: “Saya mendengar suara batinku demikian. Anjuran itu saya jalankan dan ternyata membuat hati saya benar-benar menjadi tenang dan tentram”.

P. Kino: “kalau begitu, nanti malam datanglah kamu kemari, akan saya buka”.

Menurut pemahaman yang tertulis dalam buku Sumarah Jilid V Sejarah Sumarah 1935-1970 halaman 56, pinisepuh menyatakan bahwa caranya sujud pasrah sumarah kepada Allah yang benar adalah sebagai berikut:

“Berdiam dengan tenang dan tenteram.Artinya tenang dalam pikiran dan panca-inderanya dan tenteram hatinya akan menimbulkan rasa suwung. Dalam rasa suwung itu hanya ada rasa sujud sumarah berkeblat kepada Tuhan. Kalau perlu, untuk mencapai rasa tenang dan tenteram di dalam batinnya berdikir “Allah, Allah….” Berkali-kali, yang perlahan saja. Duduk sujudnya di dalam sanubari yang arahnya di dalam dada.

Sujud sumarah punika, kedah dipun raosaken piyambak wonten ing sanubari wau. Menawi raosing sujud wonten sanubari salebeting jaja wau sampun saged kraos anyep/sekeca/nikmat, punika minangka pratanda menawi sujudipun sampun leres. Menawi dereng wonten kraos mekaten punika, manah kedah mangertos menawi sujudipun dereng saged leres. Samangsa dereng leres, ing batos kedah nyuwun dateng Allah supados sujudipun dipun paringi leres”.

(Terjemahan: Sujud sumarah itu hendaknya dirasakan sendiri di dalam sanubari. Jika rasanya sujud di sanubari yang letaknya di dalam dada tadi sudah terasa dingin/nyaman/nikmat itu merupakan tanda kalau sujudnya sudah benar. Kalau belum terasa demikian, hati harus mengerti kalau sujudnya belum bisa benar. Selama belum benar, dalam batin harus mohon kepada Allah supaya diberi sujud yang benar).

2. Cara

Dalam buku Sumarah Jilid V Sejarah Sumarah 1935-1970 (1974), kalau akan menghadap Tuhan, caranya dengan eneng, ening, eling. Eneng yaitu enenging pancadriya. Ening yaitu tentreming manah, mujud padang. Eling dateng ingkang murbawasesa inggih menika Allah.Tumindakipun saking makartining angen-angen, budi lan rasa.

(Terjemahan: Eneng yaitu istirahatnya pancaindra. Ening yaitu tentramnya hati, berupa terang. Eling kepada Maha Kuasa yaitu Allah. Menjalankannya dari berkumpulnya angan-angan, jiwa dan rasa).

3. Tanda

Pada buku Sumarah V Sejarah Paguyuban Sumarah 1935-1970 halaman 16 disampaikan pengalaman Pinisepuh (Pak Kino) “merasa mulai dari kedua telapak kakinya kesemutan, seperti kena aliran listrik, yang merata ke seluruh badan hingga sampai kepala”.

Dalam buku Sumarah Jilid V (halaman 56-57) juga dijelaskan bahwa duduk sujudnya di dalam sanubari yang arahnya di dalam dada. Dengan begitu, apabila sujudnya sudah benar adatandanya yaitu di dalam dadanya pertama rasanya sejuk seperti kena air dingin tapi rasanya enak. Rasa yang begitu adalah pengaruh dari purba (kekuasaan) Tuhan, dan di halaman 16 disebutkan seperti kena stroom listrik (ginggingen).

Sedangkan pada Sejarah Sumarah di masa Perjuangan Penjajahan 1935-1949, mereka yang sudah dibuka sujudnya, atas kemurahan Allah diberi tanda-tanda karaga, kaswara, karasa.

4. Kesimpulan Deduktif

Dari pemahaman yang tertulis dalam buku Sumarah Jilid V Sejarah Sumarah 1935-1970 (1974) tsb, dapat disimpulkan, sbb:

Bagan 1. Kesimpulan secara deduktif

Tanda-tanda tersebut dirasakan dibagian kaki, badan, tangan, kepala.

Sumrambah Berdasarkan Pengalaman (Praktik para kadhang)

1. Yang dirasakan

Dalam situasi Pandemi Covid19, pada tanggal 23 Maret 2020 Sri Sultan HB X bersabda Maneges manekung mring Gusti (Koran KR, 23 Maret 2020). Dalam sebuah grup WA di Perumahan Nogotirto Yogyakarta, berita tersebut didiskusikan. Selanjutnya ada 11 anggota grup WA yang tertarik untuk belajar maneges manekung mring Gusti dengan metode sujud pasrah sumarah kepada Allah. Karena kondisi belum memungkinkan untuk berkumpul dan diantara mereka ada yang saat sedang berada di luar Jogja, maka disepakati latihan sujud pasrah sumarah kepada Allah dilakukan melalui handphone. Dalam latihan selanjutnya, ada 5 orang di luar grup WA yang ikut berlatih (ada yang berdomisili di Jakarta dan Jepang). Latihan tersebut dilakukan setiap hari antara pk 21.00-22.00 hingga saat ini. Dari 16 peserta (ditambah pemateri) yang teratur berlatih tiap malam, perkenankan saya menghimpun sebagian kecil dialog cocokan kami sebagai berikut:

(keterangan: pemuatan chat WA dalam tulisan ini sudah seijin peserta yang namanya tertulis disini).

Peserta 1. Nama Ibu Joko, tinggal di Perumahan Nogotirto, mulai berlatih Sujud Sumarah 23 Maret 2020. Latihan pertama dan kedua mempraktikan sujud sumarah bersama-sama merasakan sbb:

Peserta 2, nama Ibu Pardjiati, warga Perumahan Nogotirto yang tinggal di Jakarta, mulai
berlatih sujud sumarah 23 Maret 2020. Latihan pertama dan kedua mempraktikan sujud
“Sumarah bersama-sama merasakan sbb:

Peserta 3 & 4, nama Ibu Rini & Bapak Ero tinggal di Nogotirto, berlatih Sujud Sumarah 23 Maret 2020. Latihan mempraktikan sujud Sumarah bersama-sama merasakan sbb:

Peserta 5, nama Ibu Sarimurti tinggal di Jogja, mulai berlatih Sujud Sumarah April 2020.
Latihan mempraktikan sujud sumarah bersama-sama merasakan sbb:

Peserta 6, nama mbak Santi tinggal di Jakarta, mulai berlatih Sujud Sumarah April 2020.
Latihan mempraktikan sujud sumarah bersama-sama merasakan sbb:

Peserta 7, nama mbak Mustika tinggal di Jepang, mulai berlatih Sujud Sumarah April 2020. Latihan mempraktikan sujud sumarah bersama-sama merasakan sbb:

Peserta 8, Pak Didik, tinggal di Sukoharjo, berlatih Sujud Sumarah April 2020. Terdorong mempraktikan sujud sumarah untuk mendukung pemulihan dari sakit, merasakan sbb:

2. Kesimpulan induktif

Bagan 2. Kesimpulan secara induktif

Kesimpulan Umum

Berdasarkan pemahaman dari sudut pandang/paradigm rasionalistik (deduktif) maupun sudut pandang empirik (induktif) didapatkan temuan tanda-tanda menurut B dan C (Pengetahuan Umum) dan D (pengalaman cocokan sujud sumarah yang yang dirasakan oleh 8 peserta), sbb:

Tabel 1. Kesimpulan Umum

Temuan khusus: Jika mengacu pada definisi sumrambah menurut Baoesastra Djawa (1939) wrata ing endi-endi (terjemahan: merata dimana-mana), dan tanda-tanda sujud menurut Buku Sumarah V ada yang diawali dari kaki (bawah) hingga kepala (atas), namun dalam praktiknya selain ada yang di awali dari kaki (bawah), ada juga yang diawali dari kepala turun ke dada, ada pula yang dimulai dari tangan atau dari dada ke punggung. Namun demikian semua merasakan yang sama (lihat table 1 kolom kanan).

Akhir kata, karena keterbatasan pengalaman penulis, maka materi singkat ini masih jauh dari sempurna, namun demikian semoga dapat bermanfaat bagi pembaca untuk membangun gambaran baik dari segi pemahaman yang sudah ada ataupun sebagai cocokan pengalaman praktik. Rahayu.

 

DAFTAR PUSTAKA

W.J.S. Poerwadarminto (1939) Baoesastra Djawa, Groningen Batavia, B. Woolters Uitgevers Maatschappij,

Departemen Pendidikan & Kebudyaan (1974) Sumarah V, Sejarah Paguyuban Sumarah 1935-1970, Jakarta, Direktorat Jendral Kebudayaan

Lubis Akhyar Y (2020) Filsafat Ilmu Pengetahuan, Penerbit Koekoesan

 

*Penulis anggota Paguyuban Sumarah, mengajar di Universitas Atma Jaya Yogyakarta