Puisi-Puisi Kedung Darma Romansha

Ketika Hujan Mengetuk Januari

hujan mengetuk januari yang kesepian
di sebuah pagi yang kering:
di bibirku. matahari mengelupas.
langit bersih.
sisa tawa menguap bersama dengkur semalam.
di belukar ular-ular meninggalkan kulitnya
dan serangga terlelap di ketiak pohon.

tak ada desember yang tersisa
mengabu dalam unggun api semalam.
waktu yang diledakan di udara
seperti gairah cinta penghabisan.

pintu dan jendela membuka penglihatanku:
wajah-wajah meleleh dan kecewa.
orang-orang pulang mengetuk pintu belakang rumahnya
sambil memanggil-manggil namanya sendiri.

segalanya selalu berubah
adakah kita masih mengetuk hati?
kita hanya menghitung lengang di sini
dengan sebutir imodium yang kuminum
sambil menunggu kata tunggu.

barangkali hanya jeda
yang berdiri menatapku.
melihat cicak berkejaran di tembok
dan suara tikus dari lubang kamar mandi yang menakutimu.
(aku tak tau kenapa kau takut tikus
dan kenapa setiap rumah selalu ada cicak?)
mungkin itulah kenangan
menempel di tembok
dan bercericit di lubang-lubang gelap.

tapi di sini,
aku hanya memandangmu
dalam kecemasan seorang bocah
bukan kecemasan ayah pada anaknya.
sepenuhnya,
aku seorang bocah memandang ibunya
yang diam-diam bicara dengan puisi
di pagi yang sembunyi.

 

Puisi Balon Udara

o, puisi-puisi yang cengeng
yang membenturkan kepalanya di udara
yang menjatuhkan tubuhnya ke dalam harga-harga.
seperti balon terbang
mengapung di langit kosong.
seperti layang-layang mencari angin.
seperti hidup dibelit kata-kata.
seperti puisi-puisi
yang membenturkan kepalanya di udara.

 

Waktu-waktu yang Tumbuh di Tubuh

masa lalu itu bergerak-gerak dalam darah
memompa-mompanya
dan membesarkan isi kepala kita
dengan kebohongan-kebohongan manis.
ia mencurigai segala yang kita inginkan
membuahinya menjadi kesia-siaan.
ia lah kekasih paling celaka
tapi kita selalu merindukannya.
ia lah kejahatan tersembunyi dalam diri kita.
ia musuh yang nyata bagi-mu
ia kekal dan selalu tumbuh
seperti rambut di kepala
di dalam hati yang rawan.
dan celakalah kita yang membencinya
celakalah kita yang merawatnya
celakalah kita yang membuangnya.

 

Kata Ganti

menunggu adalah kata ganti orang pertama
seperti halnya kamu menjadi dia.
menerima adalah kata ganti orang kedua
yang sembunyi di tubuh orang pertama.
sementara masa lalu adalah kata ganti orang ketiga
yang duduk menatap masa depan orang pertama.
kata ganti jadi peristiwa, jadi aku, kamu, dan dia.

begitulah kita, kata ganti yang tak pernah berubah.
aku, kamu, dan dia menjadi kata ganti orang pertama, kedua, dan ketiga.
kamu jadi aku
aku jadi kamu
dia jadi kamu
kamu jadi dia
kamu jadi kamu
aku jadi aku
dia jadi dia.

kita membutuhkan ruang ganti
berbenah dalam diri, kamu, dan dia.

 

Malam-malam Biasa

malam-malam biasa
menyergap kita.

malam-malam biasa
sekedar gelap usia mata.

malam-malam biasa
selalu ada entah apa
yang tak dapat dituliskan
selalu ada sisa
yang tak dapat diungkapkan.

 

Tentang Puisi yang Nyengir
di Toko-toko dan Kafe-kafe dan Jalan-jalan

kamu bayangkan mantan pacarmu nyengir
sambil bermesraan dengan pacar barunya.
di malam minggu yang gerimis
di malam minggu yang tidak romantis.

dan sekarang lihat di depan matamu
toko-toko, kafe-kafe, pedagang-pedagang yang berbaris,
seperti mantan pacarmu yang nyengir
sambil menggandeng pacar barunya.

kamu tak perlu menguras pikiranmu yang payah itu
kamu hanya cukup membayangkan senyum mantan pacarmu.

masih tak bisa juga?
baik, sekarang kamu datanglah ketika lapar
dan tak punya uang sepeser pun.
apa? ok, boleh punya uang
tapi tinggal seribu rupiah.
ini akan lebih melankolis.

nah, sambil berjalan kamu bayangkan toko-toko,
kafe-kafe, dan pedagang yang berbaris
seperti mantan pacarmu yang nyengir
sambil menggandeng pacar barunya.

bagaimana? kamu pasti bisa. apa kubilang.
“Tidak bisa. yang muncul malah kambing yang nyengir.”
setan!

 

*Kedung Darma Romansha lahir di Indramayu. Sebagai sastrawan, karya-karyanya dipublikasikan di pelbagai media massa, baik lokal maupun nasional serta antologi bersama. Ia juga aktif dalam dunia seni peran, baik teater maupun film. Pada Agustus 2018, ia bersama Saturday Acting Club diundang oleh Asia Theatre Directors Festival TOGA, Toyama, Jepang, untuk membawakan “The Decision” karya Bertold Brecht. Novel pertamanya, Kelir Slindet, yang merupakan buku pertama dari dwilogi Slindet/Telembuk (Gramedia Pustaka Utama, 2014) dinobatkan sebagai karya terbaik Tabloid Nyata. Novel terbarunya, Telembuk, Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat (buku kedua dari dwilogi Slindet/Telembuk), masuk short list Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 serta menjadi buku yang direkomendasikan majalah Tempo kategori prosa, 2017. Novel itu juga menjadi salah satu novel terpilih dalam Market Focus, London Book Fair (Komite Buku Nasional, 2019).

Selain itu, dua buku puisinya yang sudah terbit adalah “Rahi(i)m” (Shira Media, 2020) dan “masa lalu terjatuh ke dalam senyumanmu” (Rumah Buku, 2018). Baru-baru ini menerbitkan kumpulan cerpen perdananya “Rab(b)i” dan masuk short list Kusala Sastra Khatulistiwa 2020. Kini, ia bersama kawan-kawan muda Indramayu mengelola gerakan literasi di Indramayu (Jamaah Telembukiyah), yang beberapa anggotanya terlibat dalam gerakan literasi jalanan, penyuluhan dan melakukan pendataan terhadap Pekerja Seks Komersial di Indramayu. Anggota yang lain terlibat dalam gerakan sastra dan budaya di Indramayu. Program sastra ini atas kerjasama dengan Universitas Wiralodra dan telah mengundang beberapa sastrawan dalam negeri dan luar negeri, di antaranya Joko Pinurbo, Katrin Bandel, Afrizal Malna, Sosiawan Leak, dan Mubalmaddin Shaiddin dari Malaysia. Selain mengelola komunitas di Indramayu, ia juga mengelola komunitas Rumah Kami/Rumah Buku di Yogyakarta.