Aku Besar (Kisah Seorang Manusia Biasa Masuk Cengkeraman Otoritas Guru Spiritual)

Oleh Budi Juniarto

Dalam diri setiap makhluk di dunia ini, ada “Aku Besar”. Pada manusia, “Aku Besar” ini bersemayam di mata ketiga. Kalau mau lebih akurat lagi secara anatomis maka “Aku Besar” ini berada beberapa centimeter di belakang mata ketiga, yaitu di kelenjar pineal.

Kalau “aku kecil” adalah ego yang picik, “Aku Besar” ini adalah keluasan yang merupakan hakekat manusia, bahkan hakekat keseluruhan alam semesta. Meminjam kata Rumi, ibarat keseluruhan alam semesta berada dalam satu butiran air laut.

Laku spiritual yang benar adalah yang mengantarkan manusia kepada perjumpaan dengan “Aku Besar”-nya sendiri. Dalam keheningan laku spiritual yang murni akan terdengarlah sabda si “Aku Besar” ini.  Beruntunglah barang siapa yang bisa mencapai kesatuan dengan “Aku Besar”-nya sehingga hidupnya selalu dalam tuntunan kebenaran dan berbahagia selalu.

Demikianlah Sang Guru mengakhiri ceramahnya pada malam itu yang diselenggarakan di rumah salah seorang muridnya. Teman-teman tuan rumah yang diundang hadir dalam acara tersebut terpana. Bahkan ada satu dua orang yang sesak nafas bahkan menangis terharu mengikuti ceramah beliau.

Setelah MC secara resmi menutup acara malam itu, beberapa hadirin berbaris rapi mengantri untuk mendekati Sang Guru. Ada yang hendak mengajukan pertanyaan langsung kepada beliau karena malu-malu untuk mengajukannya di forum. Tidak sedikit yang mau konsultasi pribadi, biasanya menyangkut penyembuhan. Ada juga yang minta selfie bahkan tanda-tangan pada sederet buku-buku spiritual tulisan beliau.

Orang yang merasa dirinya adalah meditator ikut mengantri. Ketika tiba gilirannya, si meditator hanya menawarkan kepada Sang Guru untuk mengantarkannya dengan mobilnya ke tempat penginapan Sang Guru. Karena panitia acara ternyata belum menunjuk siapa yang akan mengantarkan beliau, Sang Gurupun menyetujui tawaran orang tersebut.

Sebenarnya ini hanyalah modus di pihak orang itu, sebuah kesempatan untuk menciptakan ruang privat dadakan dengan Sang Guru. Sebenarnya perjalanan ke tempat penginapan beliau tidak terlampau jauh menurut ukuran ibukota.

Dalam perjalanan dengan mobil, terjadilah rangkaian tanya jawab antara si meditator dengan Sang Guru.

Si meditator memulai, “Pak, bagaimana saya bisa mengetahui apakah suatu petunjuk itu memang berasal dari “Aku Besar” atau jangan-jangan dari pikiran saya sendiri? Atau malahan berasal dari Tangan Gelap?”

“Tangan Gelap” adalah istilah Sang Guru untuk makhluk-makhluk dari dimensi lain yang selalu ingin mengganggu manusia.

Sang Guru menjawab, “Bagi manusia pada umumnya memang sulit untuk membedakannya. Untuk itu dibutuhkanlah seorang guru. Tidak bisa sembarang guru. Hanya seorang guru yang telah mencapai kesatuan dengan “Aku Besar”-nya yang bisa menuntun orang lain.”

Lanjut Sang Guru, “Saya dulu mengalami berbagai keresahan dalam hidup. Karenanya saya banyak berguru ke sana ke mari. Tidak sedikit guru-guru saya yang ternyata memanfaatkan bahkan menipu saya. Pada akhirnya, saya lepaskan itu semua. Melalui jalan panjang berliku-liku bersimbah keringat dan air mata, saya menemukan keheningan sehingga tercapailah kesatuan dengan “Aku Besar”. Ketika saya bertapa di Candi Buaya, saya mendapat titah dari “Aku Besar” untuk menjadi lokomotif spiritual yang mengantarkan sebanyak mungkin manusia kepada “Aku Besar” mereka ”.

“Perjumpaan kita ini bukanlah suatu kecelakaan. Seperti yang Mas pernah ceritakan kepada saya, Mas secara tidak sengaja melihat buku laris saya yaitu “Jumbuh Aku Besar” di toko buku. Lalu Mas membeli dan langsung membacanya sampai tuntas malam itu juga. Semua itu sudah diatur oleh alam semesta. Mas beruntung telah berjumpa saya. Mas tidak perlu lagi melakukan berbagai kesalahan langkah yang pernah saya buat sewaktu belajar dulu.”.

Si Meditator merenung sebentar. Lalu ia berkata, “Bapak selalu mengatakan kepada kami bahwa mata ketiga atau kelenjar pineal adalah tahta tempat berkedudukannya si “Aku Besar” dalam tubuh manusia. Kalau menurut ahli bedah otak dan ilmuwan neuroscience, pineal adalah kelenjar yang menghasilkan hormon melatonin. Tidak ada kesadaran di situ”.

Sang Guru tersenyum, “Itulah contoh kesalahkaprahan manusia. Jangan lupa bahwa sains adalah produk pikiran. Pikiran terbatas. Sains adalah kegagalan manusia untuk hidup harmonis dalam spirit. Karena merupakan produk pikiran yang terbatas maka sains, ilmu pengetahuan akan selalu terbatas. Seorang manusia yang selalu tertuntun oleh “Aku Besar”-nya bisa menembus keterbatasan pikirannya sendiri. Bahkan dia bisa menembus keterbatasan fisiknya sendiri, mengaktifasi tidak hanya 7 cakra yang selama ini diketahui orang tapi sampai 14 bahkan 21 cakra”.

“Kurangilah berpikir kalau mau menembus berbagai lapisan selubung diri”

Si Meditator terdiam sebentar. Tiba-tiba dia terkenang sesuatu dan bertanya, “Pak, sewaktu muda saya pernah belajar pada suatu perguruan tenaga dalam ternama. Setiap kali saya lulus ujian kenaikan sabuk, guru utama akan melakukan proses pembukaan pada saya. Saya tidak tahu sebenarnya diapakan pada saat pembukaan itu. Saya hanya disuruh duduk bersila pasrah menerima. Setelah mengalami pembukaan, saya diperbolehkan belajar jurus-jurus yang menjadi kurikulum tingkat sabuk selanjutnya”.

“Sekarang kalau saya duduk bersila latihan meditasi ada rasa nyeri di ulu hati. Kenapa ya ini?”

“Istri saya pernah membawa saya ke internist. Kata dokter, saya mengalami GERD karena stress di kantor”.

Dengan raut muka serius, Sang Guru berkata, “Wah, perguruan itu melakukan praktek-praktek “Tangan Gelap”. Anda diisi oleh suatu makhluk dari dimensi lain. Seolah-olah kekuatan tenaga dalam Anda bertambah padahal itu hanyalah energi makhluk halus”.

“Coba saya periksa” Sang Guru segera memegang kedua bahu si meditator. Dia memejamkan mata. Sayup-sayup terdengar bunyi-bunyi aneh dari mulutnya.

Si meditator yang sedang mengemudikan mobil kaget.

“Pak, apakah kita perlu mlipir sik (bahasa Jawa: menepi dulu) ?”

Teringat di benaknya beberapa peserta ceramah tiba-tiba meronta-ronta, berguling-guling bahkan meracau tidak karuan ketika Sang Guru melakukan penyembuhan kepada mereka.

“Tidak apa-apa. Terus saja nyetir. Santai saja. ” jawab Sang Guru.

Selang beberapa saat, Sang Guru melepaskan kedua tangannya dari pundak si meditator. Kedua tangan berputar-putar seperti membentuk mudra tertentu. Terakhir kedua tangan seperti membuang sesuatu ke luar jendela.

“Sudah bersih sekarang” kata Sang Guru tersenyum.

Si meditator bingung. Dia tidak merasakan apa-apa selain kelegaan dia tidak berguling-guling seperti pasien penyembuhan lainnya. Bisa kecelakaan lalu-lintas mereka kalau tiba-tiba dia seperti itu.

“Terima kasih, Pak” kata si meditator.

“Itulah gunanya berjalan bersama guru yang benar, guru yang konsisten terhubung dengan “Aku Besar”” jawab Sang Guru sambil tersenyum.

Mereka berdua duduk diam beberapa saat.

Tiba-tiba Sang Guru berkata “Tadi sewaktu nge-scan badan Mas, saya bisa melihat potensi besar pada diri Anda, lho. Anda punya potensi besar untuk melejit secara spiritual. Ibarat konstruksi bangunan, tinggal finishing dan topping off”.

Lanjut Sang Guru “Saya bisa mengaktifkan kesemua cakra Mas sehingga semua selaras. Anda akan lebih gampang mencapai penyatuan dengan “Aku Besar””.

Si meditator segera berkata “Saya mau, Pak. Mohon diaktifkan semua cakra saya”.

Kata Sang Guru, “Sebentar. Saya harus membaca isyarat alam semesta dahulu”.

Sang Guru memejamkan mata. Tangan kanannya seolah-olah menggenggam sesuatu secara perlahan-lahan.

Sang Guru membuka mata dan berkata “Ndereng wayahe (bahasa Jawa: belum waktunya). Belum ada isyarat dari semesta. Jadi saya belum bisa melakukannya. Anda rajin laku spiritual saja dengan saya. Datang ke ceramah-ceramah saya. Ikuti tulisan-tulisan saya, video-video saya di Youtube, podcast saya. Nanti kesampaian juga, koq”.

Akhirnya tibalah mereka di tempat penginapan Sang Guru.

Setelah berpamitan dan berpisah, si meditator pulang sendiri di mobilnya. Senyuman lebar penuh harapan menghiasi wajahnya.

 

*Penulis adalah Peminat Meditasi