Astavakrasana

Oleh Budi Murdono

Mereka yang membaca Mahabharata mungkin ingat tokoh bernama Astavakra, resi pembimbing spiritual raja Mithila, Janaka, ayah Dewi Shinta. Kisah tentang Astavakra, yang lahir dengan cacat fisik bawaan, diceritakan oleh Lomasa kepada Yudhistira dan saudara-saudaranya. Dalam masa pengasingannya, para Pandawa dan istri mereka, Drupadi, berkunjung ke tempat-tempat pertapaan suci, antara lain pertapaan Resi Uddalaka, kakek Astavakra. Lomasa menyampaikan betapa hebatnya Astavakra yang bahkan ketika masih kecil mampu memenangkan perdebatan dengan Wandi, ahli sastra dan Weda kerajaan Mithila.

Berawal dari pertanyaan Yudhistira kepada Lomasa: ”Katakan padaku, wahai Lomasa, semua tentang kekuatan orang yang mengalahkan Wandi itu. Mengapa dia terlahir sebagai Astavakra (bengkok di delapan bagian tubuhnya)?” Lomasa pun bercerita tentang asal-usul dan perjalanan hidup Astavakra sejak kelahirannya yang cacat hingga pada akhirnya menjadi normal.

Alkisah di sebuah pertapaan hiduplah seorang resi dan mahaguru Weda. Uddalaka, nama resi itu, memiliki siswa bernama Kagola, seorang yang tidak terlalu pandai namun sangat berbakti kepada gurunya. Resi Uddalaka sangat menghargai pengabdian siswanya itu dan bersedia menikahkan putrinya, Sujata, dengan Kagola. Sang Resi juga memberikan seluruh pengetahuan sastranya kepada siswa kesayangannya itu.

Dari perkawinan dengan Kagola, Sujata pun mengandung seorang putra yang mewarisi kepandaian kakeknya. Bahkan sejak dalam kandungan, anak itu telah menguasai kitab-kitab Weda. Suatu ketika Kagola yang sedang mengajar, ditemani istrinya yang kandungannya telah mencapai bulan ke delapan, salah mendaraskan Weda. Sang anak yang masih dalam kandungan pun mengetahui ayahnya melakukan kesalahan, dari dalam rahim ibunya mengatakan: “Ayah, bacaaanmu salah”.

Merasa terhina di hadapan siswa-siswanya, sang ayah pun marah dan mengutuk anaknya yang masih dalam rahim itu: ‘Karena kamu, yang masih delapan bulan dalam kandungan, sudah berani berbicara seperti itu, maka tubuhmu akan bengkok di delapan bagian.”

Maka di kemudian hari anak itu pun terlahir dengan tubuh bengkok sehinga selamanya dikenal dengan nama Astavakra.

Waktu berlalu dan kehamilan Sujata pun mencapai bulan ke sepuluh. Mendekati waktu persalinannya, Sujata pun meminta kepada Kagola agar mencari nafkah tambahan untuk menutupi kebutuhan hidup mereka setelah melahirkan nanti.

Kagola pun pergi ke kerajaan untuk mengajar di istana Raja Janaka. Namun di sana dia kalah dalam perdebatan dengan Wandi, seorang ahli logika yang sudah memiliki banyak pengalaman dalam berdebat. Kagola harus menerima hukuman dengan cara menenggelamkan diri di laut. Resi Uddalaka yang mendengar mantunya kalah dalam perdebatan, meminta kepada putrinya, Sujata, agar merahasiakan hal itu kepada Astavakra. Sujata pun merahasiakan hal itu kepada Astavraka hingga ia menanyakan ayahnya ketika berusia dua belas tahun.

Suatu malam, setelah mengetahui keberadaan ayahnya dan juga kutukan yang menimpanya, Astavraka mengajak pamannya, Swetaketu, untuk mengikuti upacara pengorbanan yang diselenggarakan oleh Raja Janaka. Astvakra sangat ingin mengikuti upacara karena di acara itu, selain banyak makanan enak, ada juga acara mendaras Weda dan debat sastra yang diikuti para brahmana. Mereka berdua — paman dan keponakan — pun pergi ke upacara pengorbanan itu.

Di perjalanan ke Mithila, mereka bertemu dengan rombongan raja. Para pengawal memerintahkan agar orang-orang minggir dan memberi jalan kepada raja. Astavakra lalu menghampiri raja dan berkata: ‘Ketika tidak ada brahmana di jalan, jalan tersebut menjadi milik si buta, si tuli, perempuan, pembawa beban, dan raja. Tetapi ketika seorang brahmana berada di jalan, maka jalan itu menjadi miliknya sendiri.”

Raja terkejut mendengat kata-kata bijak brahmana muda itu. Ia pun mengalah dan memberi jalan kepada Astavakra dan Swetaketu. Raja berkata:

“Saya memberikan hak istimewa kepada Anda untuk lewat, dengan cara apa pun yang Anda suka. Tidak ada api sekecil apa pun yang boleh diremehkan. Bahkan Dewa Indra sendiri membungkuk dihadapan para brahmana.”

Namun di depan pintu masuk arena upacara mereka dihadang penjaga. Mereka tidak diperbolehkan masuk dengan alasan menjalanan perintah Wandi. Hanya brahmana tua terpelajar yang diperbolehkan masuk. Astavakra dan penjaga pun terlibat adu mulut hingga akhirnya ia berkata kepada raja:

“Wahai penguasa manusia, kami telah datang untuk menyaksikan upacara pengorbanan Anda dan keingintahuan kami sangatlah besar. Kami yang datang sebagai tamu, perintahkanlah kepada penjaga agar kami dapat masuk. Wahai putra Indradyumna, kami telah datang untuk melihat pengorbanan itu, dan untuk bertemu dan berbicara denganmu Raja Janaka. Tapi penjagamu menghalangi kami, membuat kami demam karena terbakar kemarahan.”

Penjaga berkata: “Kami melaksanakan perintah Wandi. Dengarkan apa yang saya katakan. Anak muda tidak diizinkan masuk ke sini dan hanya brahmana tua terpelajar yang diizinkan masuk.”

Astavakra membalas:

“Jika itu menjadi syarat, hai penjaga, bahwa pintu terbuka hanya untuk mereka yang sudah tua, maka kami memiliki hak untuk masuk. Kami sudah tua karena telah menjalankan sumpah suci dan kami memiliki energi yang berasal dari pengetahuan Weda. Kami telah melayani guru kami dan menaklukkan hasrat kami — dan juga unggul dalam pengetahuan. Telah disabdakan seorang anak kecil sekalipun tidak boleh diremehkan, karena api, meskipun kecil, akan membakar saat disentuh”

Penjaga pun menjawab:

“Wahai Brahmana muda, aku menganggapmu sebagai anak kecil. Tahukah kamu sebuah syair yang menunjukk keberadaan Yang Maha Tinggi, dan dipuja oleh para resi. Meskipun terdiri dari satu huruf, ayat Weda memiliki banyak penafsiran. Jangan sombong. Orang terpelajar itu sangat langka.”

Ahtavakra berkata:

“Pertumbuhan sejati tidak dapat disimpulkan hanya dari perkembangan tubuh, seperti pertumbuhan pohon randu tidak dapat menandakan usianya. Pohon disebut tumbuh dewasa, meskipun kurus dan pendek, karena ia berbuah. Sebaliknya, yang tidak menghasilkan buah, tidak dianggap tumbuh.“

Penjaga membalas: “Anak-anak menerima petunjuk dari yang tua dan mereka juga pada waktunya akan menjadi tua. Pengetahuan tentu saja tidak bisa dicapai dalam waktu singkat. Mengapa kamu yang masih kanak-kanak berbicara seperti orang tua?“

Astavakra berkata lagi:

“Seseorang tidak tua karena rambutnya beruban. Sebaliknya, para dewa menganggap seseorang yang memiliki pengetahuan sebagai orang tua, meskipun ia masih anak-anak. Orang bijak belum pernah mengajarkan bahwa pahala seseorang bersumber dari tahun-tahun yang dilaluinya, atau uban di kepalanya, atau kekayaan yang dikumpulkanya, atau teman yang dimilikinya. Bagi kami, orang yang hebat adalah orang yang ahli dalam Weda. Aku datang ke sini, wahai penjaga, karena ingin berhadapan dengan Wandi di muka sidang .

“Pergi dan beri tahu Raja Janaka, yang berkalung bunga teratai di lehernya, bahwa aku ada di sini. Anda hari ini akan melihat saya berdebat dengan orang-orang terpelajar, dan mengalahkan Wandi dalam perdebatan. Dan ketika para brahamana lainnya tidak mampu lagi berbicara, mereka, para brahmana yang sudah dewasa itu, dan juga raja, dengan para pendeta utamanya, akan menyaksikan keunggulan dan kelemahanku“

Penjaga membalas lagi:

“Bagaimana mungkin Anda, yang baru berumur sepuluh tahun, berharap untuk masuk ke arena upacara pengorbanan ini, yang hanya dapat dihadiri orang-orang berpendidikan dan terpelajar? Tapi, baiklah, saya akan mengupayakan agar Anda diterima. Apakah Anda juga akan mengupayakannya sendiri?“

Astavakra kemudian menghampiri raja dan berkata:

“Wahai Baginda, wahai bangsawan tertinggi Janaka, Anda adalah penguasa tertinggi dan semua kekuasaan ada di dalam dirimu. Di masa lalu, raja Yayati adalah orang yang merayakan pengorbanan dan di zaman sekarang Andalah penyelenggara pergelaran seni-budaya ini. Kami telah mendengar bahwa Wandi yang terpelajar telah menyuruh para pegawai kepercayaan Anda untuk menenggelamkan para ahli yang dikalahkannya dalam perdebatan.

Karena mendengar hal itulah, saya datang ke hadapan para brahmana, untuk menjelaskan doktrin keesaan Yang Maha Tinggi. Di mana sekarang Wandi? Katakan padaku agar aku bisa mendekatinya, dan menghancurkannya, seperti matahari menghancurkan bintang-bintang.”

Raja pun berkata:

”Wahai Brahmana, kamu berharap untuk mengalahkan Wandi, tanpa mengetahui kemampuannya berdebat. Apakah mereka yang menyadari kemampuannya akan berbicara seperti Anda? Wandi telah menjadi bahan pembicaraan para brahmana ahli Weda. Anda berharap bisa mengalahkannya, hanya karena Anda tidak tahu kemampuannya berdebat. Banyak Brahmana yang telah tunduk di hadapannya, bahkan seperti bintang-bintang di hadapan matahari.

“Karena ingin mengalahkannya, orang-orang yang sombong telah dihinakan saat tampil di hadapannya dan tidak pernah tampil lagi, bahkan mereka tidak lagi berani berbicara di dalam sidang.”

Astavakra berkata:

”Wandi tidak pernah berdebat dengan orang sepertiku, dan karena itu dia memandang dirinya sebagai singa, dan terus mengaum seperti singa. Tapi hari ini dia akan bertemu denganku dan dia akan terbaring mati, bahkan seperti gerobak di jalan raya yang rodanya rusak.”

Selanjutnya tejadi serangkaian tanya-jawab antara Raja Janaka dan Astavraka. Raja berkata: “Wandi adalah orang yang benar-benar terpelajar, yang memahami pentingnya benda dengan tiga puluh bidang, dua belas bagian, dua puluh empat sendi, dan tiga ratus enam puluh jari-jari.”

Astavakra memahami bahwa benda yang dimaksud raja adalah waktu, makai a pun berkata: ”Semoga roda yang selalu bergerak dengan dua puluh empat sendi, enam bagian tengah, dua belas sisi, dan enam puluh jari-jari itu melindungi Anda!”

Raja pun bertanya bertanya: ”Siapakah di antara para dewa yang memikul dua benda yang berjalan bersama seperti dua kuda betina (yang terikat tali kereta), yang menyapu seperti elang dan juga, apa yang mereka lahirkan?”

Astavakra mengetahui bahwa benda yang dimaksud raja adalah guntur dan kilat (kesengsaraan dan kematian). Maka ia pun menjawab: ”Oh Baginda, semoga Dewa mencegah kehadiran kedua makhluk itu di rumahmu. Ya, bahkan di rumah musuhmu. Dia, yang yang kelihatannya menggerakkan sang kusir (pikiran), adalah dia yang melahirkan kedua makhluk itu, dan sebaliknya, kedua makhluk itu pun melahirkan dia juga”

Raja bertanya lagi: ”Apa yang tidak menutup matanya bahkan saat sedang tidur, apa yang tidak bergerak bahkan ketika lahir, apa yang tidak memiliki hati, dan apa yang meningkat bahkan dengan kecepatannya sendiri?“

Astavakra menjawab:

”Ikan tidak menutup kelopak matanya saat tidur, telur tidak bergerak saat dikeluarkan induknya, batu (tubuh yang sudah tak bernyawa) yang tidak memiliki hati, dan sungai (hati seorang yogi) yang bertambah deras dengan kecepatannya sendiri.”

Raja yang mengetahui tingginya pengetahuan brahmana kecil itu dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ia berikan, akhirnya menginzinkannya masuk dan mempersilakannya menantang Wandi.

”Wahai pemilik energi Ilahi, tampaknya Anda bukanlah manusia biasa. Saya menganggap Anda bukan anak-anak, melainkan pria dewasa; tidak ada pria lain yang sebanding dengan Anda dalam seni berbicara. Karena itu saya memberi Anda izin masuk. Itu Wandi di sana.”

Lalu Astavakra berkata kepada raja:

“Wahai raja, pemimpin pasukan yang pantang menyerah, di tengah majelis sidang raja-raja yang kekuatannya tak tertandingi ini, aku tidak dapat menemukan Wandi, ahli debat yang paling unggul itu. Tapi aku sedang mencarinya, seperti seseorang yang mencari seekor angsa di rawa yang sangat luas.

“Hai Wandi, kamu menganggap dirimu sebagai orang yang paling jago debat. Tapi ketika bertarung denganku, kamu tidak akan mampu mengalir seperti arus sungai. Saya seperti api yang menyala-nyala. Diamlah di hadapanku, Wahai Wandi! Jangan membangunkan harimau yang sedang tidur. Ketahuilah, kamu yang telah menginjak-injak dan melukai kepala ular berbisa ketika ia mendesis, tidak dapat melarikan diri tanpa disengatnya.

“Orang lemah yang bangga akan kekuatannya dan mencoba menyerang gunung, hanya akan mendapatkan tangan dan jarinya terluka, tetapi tidak meninggalkan luka sedikitpun di gunung itu.

“Sebagaimana gunung-gunung lainnya lebih rendah dari Mainaka, dan seperti anak lembu lebih rendah dari lembu, demikian pula semua raja di bumi lebih rendah dari penguasa Mithila. Karena Indra adalah dewa tertinggi, dan Gangga adalah sungai paling suci, begitu juga Anda, wahai Raja, satu-satunya penguasa terbesar. Wahai Baginda, bawalah Wandi ke hadapanku.”

Wandi pun muncul dan berhadapan dengan Astavakra. Dengan kata-kata yang menggelegar Astavakra menyapa Wandi dan bertanya: “Apakah Anda bersedia menjawab pertanyaanku, dan aku akan menjawab pertanyaanmu.”
Dan perdebatan pun dimulai.

***

Perdebatan antara Wandi dan Astavakra adalah khas perdebatan antara pandangan relativis (bedhaabedha), yang melihat diri individu (jivatman) berbeda sekaligus tidak berbeda dengan Brahman, dan pandangan non-dualistis (advaita-vedanta) yang melihat bahwa atman (diri individual) tidak berdiri sendiri, ada yang mengendalikan. Wandi berada pada posisi relativis. Dia berpendapat bahwa hanya ada diri individu dan semua tindakan harus diarahkan ke tujuan tertinggi yaitu mewujudkan diri tersebut. Sedangkan Astavakra berpendapat bahwa bahwa ada dua entitas, yaitu diri individu dan Diri Sejati (Brahman) yang mengendalikan diri individual. Ia berpendapat bahwa semua tindakan haruslah diarahkan untuk merealisasikan Brahman.

Perdebatan dilakukan dengan menggunakan angka yang dikait-kaitkan dengan metafora-metafora yang diambil dari Veda. Sekilas, perdebatan itu seperti permainan kata-kata berdasarkan angka-angka yang dikaitkan dengan fenomena sehari-hari atau ungkapan-ungkapan yang dikutip dari kitab suci. Namun sebenarnya metafora-metafora yang diucapkan melalui sloka itu mengandung makna filosofis dan sipiritual mendalam, yang mencerminkan petentangan dua aliran kebatinan yang ada waktu itu.

Dalam perdebatan itu, Wandi menggunakan bilangan ganjil untuk menggambarkan jumlah makhluk atau fenomena atau isi pengetahuan yang diungkapan melalui metafora. Sedangkan Astavakra menggunakan bilangan genap. Karena itulah, perdebatan dibuka oleh Wandi yang menggunakan angka “satu” sebagai bilangan ganjil pertama:

“Satu-satunya benda yang berkobar dalam berbagai bentuk adalah api; satu-satunya planet yang menerangi dunia ini adalah matahari; satu-satunya pahlawan, penguasa surgawi, yang menghancurkan musuh, adalah Indra; dan Yama adalah satu-satunya penguasa Pitri.”
Melalui angka satu, Wandi bermaksud mengatakan bahwa ada satu “diri”, yang memimpin atau membimbing pikiran dan indera (disimbolkan sebagai agni atau api). Ada satu kecerdasan (digambarkan dengan matahari), yang mengerakkan dan menerangi seluruh tubuh. Satu adalah pikiran yang mampu mengubah kecenderungan seseorang, menghancurkan musuh (pengetahuan keliru tentang diri). Satu adalah pengekangan diri (yang disimbolkan dengan Yama), pengendali aktivitas indera yang menyebabkan berputarnya siklus kelahiran dan kematian.

Astavakra membalas dengan angka dua:

“Dua adalah sahabat, Indra dan Agni, keduanya selalu bergerak bersama; dua adalah resi penghuni surga, Narada dan Parwata; dua yang kembar adalah Asvinikumara (dewa kembar yang menyembuhkan dan menyelematkan manusia dari kematian); dua adalah jumlah roda kereta; dan pasangan suami-istri yang hidup bersama sebagaimana ditetapkan oleh dewa.”

Yang dimaksud Astavakra dua sahabat adalah “Diri Tertinggi” yang meliputi semua dan karenanya kaya (digambarkan sebagai Dewa Indra) dan “diri individu” yang membimbing pikiran dan indera (digambarkan sebagai Dewa Agni). Keduanya selalu bergerak bersama. Dua adalah juga diri individu yang berubah-ubah (digambarkan dengan Dewa Narada) dan Diri Sejati yang tidak dapat diubah seperti gunung (Parvata). Dua roda kereta yang menjinakkan kuda adalah kecerdasan dan kesadaran yang mengendalikan indera. Pasangan itu seperti suami dan istri selalu hidup bersama.

Wandi melanjutkan dengan angka tiga:

“Tiga jenis makhluk lahir dari perbuatan (karma); tiga Weda secara bersama-sama digunakan dalam upacara Vajapeya; pada tiga waktu yang berbeda, para Adhvaryu mempersiapan upacara; tiga adalah jumlah kata; tiga adalah juga terang ilahi.
Dengan angka tiga Wandi menunjuk tiga hal yang lahir dari perbuatan, yaitu guna (kualitas: sattva, rajas, tamas). Tiga hal adalah juga pengetahuan, objek pengetahuan dan yang mengetahui. Ketiganya adalah faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya tindakan/pengalaman. Pada tiga waktu yang berbeda (pagi, siang dan sore) diri individu melakukan perbuatan (karma). Ada tiga dunia di mana setiap perbuatan akan berbuah (pahala) dan tiga adalah juga cahaya (Trimurti) yang mengarahkan perbuatan. Di sini Wandi ingin menyatakan bahwa perbuatan adalah yang tertinggi, baik kecerdasan maupun kesadaran tunduk pada perbuatan.

Astavakrame lanjutkan dengan angka empat: “Empat adalah ashrama para brahmana; empat aliran keagamaan yang melaksanakan pengorbanan; empat adalah angka utama; empat adalah jumlah huruf; dan empat adalah juga kaki sapi.”

Astavakra menunjuk angka empat yang merupakan tahap-tahap kehidupan para brahmana (ashrama), yaitu brahmacarya (pelajar), grihastha (perumahtangga), vanaprastha (istirahat) dan sannyasa (kehidupan asketis). Empat juga merupakan jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang diri individu, pengetahuan tentang diri yang tertinggi, pengetahuan tentang tujuan tertinggi dan pengetahuan tentang rintangan dalam mencapai tujuan. Empat adalah juga tahap pencapaian (kama, artha, dharma, dan moksa). Di sini Astavakra ingin menyatakan bahwa bahkan jika perbuatan (karma) menjadi yang tertinggi, tetap saja ketika yang keempat (Yang Tertinggi) mewujud dalam jiwa, perbuatan tidak diperlukan lagi.

Wandi melanjutkan: “Lima adalah jumlah api; lima adalah jumlah suku kata mantra punki; lima adalah pengorbanan; tercantum dalam Weda, lima ikatan rambut di kepala para bidadari; dan di dunia ini ada lima sungai suci.“

Dengan angka lima yang disebut sebagai titik api, Wandi mengacu pada lima objek meditasi (Langit, Atmosfer, Bumi, Pria dan Wanita) yang disebut pancagni. Wandi juga menyebut lima pengorbanan di mana Langit, Atmosfer, Bumi, Pria dan Wanita merupakan altar. Lima adalah juga jnanendrIya (mata, telinga hidung. lidah dan kulit) yang digunakan digunakan untuk mencerap atau mengetahui dan juga karmendrIya (tangan, kaki, mulut, alat pencernaan dan alat kelamin) yang digunakan untuk melakukan perbuatan. Di sini Wandi ingin menegaskan bahwa panca indera dapat mengenali objeknya masing-masing dan bahwa selain indra dan objeknya, tidak ada yang lainnya. Dia juga mengutip otoritas Veda dengan mengatakan para bidadari (atau kesadaran) memiliki lima “kunci” di tangan mereka – yaitu, lima objek pencerapan.

Astavakra membalas:

“Enam ekor sapi, demikian ditegaskan oleh sebagian orang, dibayarkan sebagai imbalan pada saat menyalakan api suci; ada enam musim dalam roda waktu; enam adalah jumlah indera; ada enam bintang dalam rasi Kirtika; dan ditemukan di semua Weda, ada enam pengorbanan Sadyaska.”

Enam imbalan dimaksudkan sebagai enam tindakan yang menyenangkan (yaitu, mempelajari veda, mengajar veda, melakukan pengorbanan untuk diri sendiri, melakukan pengorbanan untuk orang lain, memberi hadiah dan menerima hadiah). Enam musim (musim semi, musim panas, musim hujan, musim mendung dan musim gugur) hadir dalam roda waktu, Selain panca indera, Astavakra juga menambahkan indra keenam (pikiran). Enam adalah ciri-ciri kemulaan (jnana/kebijaksanaan, bala/kekuatanfisik, wirya/keberanian, shakti/kesaktian, aiswarya/kemakmuran dan teja/kemasyuran) dan enam adalah bentuk-bentuk penyerahan diri (menerima hal-hal yang menguntungkan, menolak hal-hal yang tidak menyenangkan, keyakinan akan adanya perlindungan, menerima adanya pelindung, penyerahan diri sepenuhnya, dan kerendahan hati). Di sini Ashtavakra ingin menyatakan bahwa indera dapat benar-benar dikendalikan hanya jika setiap saat bermeditasi merenungkan kualitas-kualitas Brahman dan mendedikasikan seluruh perbuatan serta buah perbuatan kepada Brahman (Isvara-pranidhana).

Selanjutnya Wandi mengatakan:

“Ada tujuh hewan peliharaan; ada tujuh binatang buas; tujuh bentuk penghormatan yang masih ada (di dunia); tujuh adalah para resi, tujuh mantra digunakan untuk menyelesaikan pengorbanan, tujuh bentuk penghormatan masih ada (di dunia); dan tujuh adalah dawai-dawai kecapi.”

Tujuh hewan peliharaan yang dapat dijinakkan adalah panca indera ditambah pikiran dan kondisi batin. Tujuh adalah hewan liar yang tak dapat dikendalikan. Maksudnya adalah tahap kehidupan manusia yaitu garbha (rahim), janma (lahir), balya (masa kanak-kanak), youvana (masa muda/dewasa), jara (hari tua), marana (kematian) dan naraka (neraka). Tujuh adalah mantra-mantra Weda (Gayatri, Usni, Anushtubh, Brihati, Pankti, Tristubh dan Jagati). Wandi juga menyebut tujuh resi (Agastya, Atri, Bhardwaja, Gautam, Jamadagni, Vashistha dan Vishvamitra) dan tujuh dawai kecapi.

Astavakra membalas:

“Delapan adalah wadah yang berisi seratus kali lipat; delapan adalah jumlah kaki Sarabha yang memangsa singa; delapan vasu (pelayan), seperti yang kita dengar, ada di antara makhluk surgawi; dan delapan adalah jumlah sudut yupa (tiang) dalam semua upacara pengorbanan.”

Dengan angka depalan, Astavakra ingin mengatakan bahwa kesadaran tentang diri dibentuk oleh delapan unsur pembentuk, yaitu tanah, air, api, udara, eter, matahari, bulan dan bintang. Ini disimbolkan dengan delapan Vayu (para pembantu dewa). Astavakra juga menyebut delapan adalah juga jumlah kaki Sarabha (jelmaan Syiwa) yang mengalahkan singa (Narasimha, jelmaan Wisnu).

Wandi melanjutkan dengan angka sembilan:

“Sembilan adalah jumlah mantra yang digunakan untuk menyalakan api sebagai persembahan kepada arwah; sembilan adalah fungsi-fungsi yang ditetapkan dalam proses penciptaan; sembilan huruf membentuk dasar mantra Vrihati; dan sembilan juga merupakan hasil pejumlahan angka-angka tunggal.”

Di sini, Wandi mengatakan sembilan sebagai jumlah unsur pembentuk sebagaimana Resi Caraka menambahkan tiga unsur avyakta (yang tidak berbentuk), mahan (kesadaran) dan ahamkara (ego) ke dalam enam unsur cettana (tanah, air, api, udara, eter, dan matahari). Dengan mengatakan sembilan adalah hasil penjumlahan, Wandi juga ingin menegakkan doktrin dualitas dengan melihat tiga kualitas (guna) dalam prakriti (satvva, raja, dan trama) yang dikaitkan dengan tiga prinsip penciptaan (pradhana). Di sini, Wandi ingin membantah argumen bahwa hanya Brahman Tertinggi yang harus dimeditasikan tanpa henti melalui bhakti yoga, dengan melepaskan diri dari semua buah perbuatan (yang berupa materi) demi pembebasan. Menurutnya, tidaklah mungkin untuk tetap sepenuhnya terlepas dari hasil perbuatan karena pengaruh prakrti dan indera yang tertarik pada kenikmatan objek-objek indria. Lebih lanjut, karena diri individu dilahirkan dalam tubuh yang berbeda dan dalam kelahiran yang berbeda, meditasi pada Brahman dapat terhenti.

Astavakra membalas dengan mengatakan,

“Sepuluh disebut-sebut sebagai jumlah hitungan terpenting dalam kesadaran (purusha) manusia di dunia ini; sepuluh kali seratus sama dengan seribu; sepuluh bulan perempuan mengandung; ada sepuluh guru bagi pengetahuan sejati, sepuluh juga jumlah para pembencinya, dan sepuluh lagi adalah mereka yang mampu mempelajarinya.“

Maksud dari ungkapan sepuluh kali seratus adalah seribu adalah seluruh makhluk hidup yang tak teritung banyaknya diliputi oleh kesadaran (purusha). Sepuluh indera (jnanendrIya dan karmendrIya) terikat pada objek-objek. Sepuluh indera dapat membantu merealisasikan Brahman (ketika dikendalikan dengan cara melepaskan objek-objek). Sepuluh adalah indra yang dalam meditasi harus diarahkan ke satu objek, yaitu Brahman. Dengan ini Ashtavakra ingin mengatakan bahwa purusha (kesadaran) yang meliputi semua makhluk yang beragam, adalah pengendali batin, dan pengetahuan ini sebenarnya bersifat intrinsik pada setiap diri individu. Jadi, jika indera diarahkan menjauh dari objek dan menuju Brahman, dengan kesadaran bahwa Brahman adalah hakikat dari semua diri individu, meditasi tanpa henti dan tanpa gangguan pada Brahman dapat dicapai. Karena Brahman meliputi semuanya, perbedaan antara makhluk hidup dapat diabaikan, dan dengan mengesampingkan dualitas, dimungkinkan umtuk hanya melihat Brahman di mana-mana.

Wandi melanjutkan: “Sebelas adalah objek yang dapat dinikmati makhluk (pasu); sebelas adalah jumlah yupa; sebelas adalah perubahan keadaan alami terjadi pada mereka yang memiliki kehidupan; dan ada sebelas Rudra di antara para dewa di surga.“

Dengan angka sebelas Wandi ingin mengatakan ada sebelas indera (10 indera, yaitu 5 jnanendrIya dan 5 karmendrIya plus pikiran) yang melekat pada objek, sebelas indera menjadi diikat (dikendalikan). Sebelas adalah jenis perubahan yang dialami oleh diri individu yang mendukung kehidupan, diri yang terikat melalui karma yoga yang mengorbankan 5 fungsi indera (mendengar, melihat, mencium, mengecap dan menyentuh), 5 objek indera (suara, bentuk, bau, rasa dan sentuhan) serta nafas (prana). Sebelas adalah kekuata alam yang merusak (rudra) sebagai perumpamaan 5 karmendrIya, 5 jnanendrIya dan pikiran, yang diam (dijinakkan) dalam diri individu yang bermeditasi.

Astavakra berkata: “Dua belas bulan membentuk tahun; dua belas huruf membentuk kaki mantra jagati; dua belas adalah pengorbanan kecil; dan dua belas, menurut yang terpelajar, adalah bilangan para Aditya.”
Dengan dua belas, Astavakra ingin mengatakan perlunya diri individu setiap waktu (selama dua belas bulan dalam setahun) melakukan pengorbanan (berserah diri) kepada Brahman yang digambarkan sebagai dua belas Aditya (dewa-dewa). Ini dimaksudkan untuk membantah Wandi yang meskipun menerima bahwa meditasi dengan indera yang terkendali adalah sarana untuk pembebasan, tetapi berpendapat bahwa diri individu itulah yang harus menjadi objek meditasi, bukan Brahman. Ashtavakra mengatakan bahwa meditasi dengan objek Brahman lebih mudah dilakukan daripada meditasi dengan objek diri individu.

Wandi melanjutkan: “Hari pertama bulan ketiga belas dianggap paling menguntungkan; tiga belas pulau ada di bumi, ………”

Dengan angka tiga belas yang dikatakan sebagai pulau di bumi yang dimaksud Wandi adalah sepuluh indera ditambah dengan pikiran, kesadaran dan ego yang membentuk keinginan. Dengan ini Wandi mencoba mengajukan argumen bahwa meditasi dengan objek diri sendiri dapat dilakukan. Penghalangnya (tatvva) adalah keinginan. Sampai di sini, Wandi berhenti.

Karena Wandi dianggap tidak dapat melanjutkan, Astavakra pun menutup seloka itu dengan penggalan terakhir: “Tiga belas pengorbanan dipimpin oleh Kesi; dan tiga belas dimakan oleh Atichanda.

Wandi mungkin sengaja berhenti dan tidak melanjutkan sloka ketigabelas ini dengan argumen lain karena ia tidak melihat adanya sifat hakiki dari diri individu yang dapat mengatasi keinginan. Dia berhenti pada kesadaran tentang diri individu yang menurut pandangan advaita-Vedanta tidak dapat menghilangkan keinginan. Karena itu, Astavakra melanjutkan dengan mengatakan tiga belas pengorbanan dipimpin oleh Kesi. Maksudnya, bahwa keinginan yang terbentuk dari ketigabelas unsur itu tidak mampu merusak (sifat hakiki) diri individu yang memiliki kesadaran atau pengetahuan tentang Brahman. Tiga belas dimakan Attichanda. Maksudnya Tiga belas unsur itu luluh dan tidak akan menyebabkan penderitaan dalam persatuan terus-menerus antara diri individu dengan Brahman.

Pada bagian akhir, perdebatan antara Wandi dan Astavakra tampak seperti perdebatan antara pandangan Buddhistik dan pandangan advaita-Vedanta dimana Wandi menegaskan bahwa meditasi mengenai diri adalah dimungkinkan, bahkan sangat penting untuk mencapai kesadaran tanpa diri (anatman) yang melihat diri hanya sebagai agregat dari kekuatan fisik dan mental (skhanda). Keaadaran ini dicapai dengan menembus hakikat diri sebagai sesuatu yang tidak kekal (anitya) Dengan pencapaian kesadaran anatman inilah individu dapat mengalami pembebasan dan mencapai nirvana. Namun Wandi berhenti hanya sampai pada meditasi mengenai diri dan tidak melanjutkan dengan doktrin anitya dan anatman itu, sehingga Astavakra yang sejak awal bersandar pada kesadaran tentang Brahman pun menutup perdebatan dengan doktrin advaita-Vedanta tentang identifikasi atman dan Brahman.

Para hadirin pun terpukau mendengarkan Astavakra yang menutup perdebatan. Wandi diam dan termenung dengan kepala tertunduk. Sejenak ruang sidang menjadi hening, hingga akhirnya pecah menjadi hiruk pikuk yang panjang. Para brahmana bergandengan tangan menghampiri Ashtavakra dan memberi penghormatan kepadanya. Astavakra pun dinyatakan sebagai pemenang. Astavakra dinilai telah mengalahkan Wandi dengan menunjukkan bahwa diri individu yang terus-menerus berada kesadaran akan mampu mengalahkan keinginan. Itulah Yoga di mana diri individu, terus-menerus memeditasikan Brahman, dipeluk oleh Brahman, indra diheningkan dan keinginan dikalahkan. Dan diri individu pun menyatu dengan Diri Sejati. Itulah Brahman-atman.

***

Setelah dinyatakan sebagai pemenang, Astavakra berkata: “Pria ini (Wandi), yang sebelumnya telah mengalahkan para brahmana, selalu menghukum yang kalah dengan menyingkirkan mereka ke laut. Biarkan hari ini dia menemui nasib yang sama. Tangkap dia dan benamkan di laut.”
Wandi berkata kepada Raja:

“Oh Janaka, aku adalah putra Dewa Baruna. Bersamaan dengan upacara pengorbanan yang telah Anda lakukan, telah dilakukan pula pengorbanan yang berlangsung selama dua belas tahun. Untuk alasan itulah saya mengirim para brahmana utama itu ke sana. Mereka pergi untuk menyaksikan pengorbanan oleh Baruna. Ke sanalah mereka kembali. Aku memberi penghormatan kepada Astavakra yang patut dipuja, dan atas rahmatnya hari ini aku akan bergabung dengan Dia yang telah melahirkanku.”

” Astavakra berkata:

“Dengan mengalahkan para Brahmana, baik dengan kekuatan kata-kata atau dengan cara yang curang. Wandi telah membuang mereka ke laut. (Kebenaran Weda yang telah dia tekan oleh argumen palsu), apakah saya hari ini diselamatkan oleh kecerdasan saya. Sekarang biarkan orang-orang jujur yang memutuskan. Seperti Agni, yang mengetahui mana yang berwatak baik dan mana yang buruk, tidak membiarkan tubuh orang-orang yang jujur hangus kepanasan dan, dengan demikian, Agni berpihak pada mereka, begitu juga orang-orang baik menilai ucapan anak-anak, meskipun ucapan itu tidak memiliki kekuatan pidato, dan cenderung diarahkan untuk mereka.
O Janaka, kamu mendengar ucapanku seolah-olah kamu telah terpana akibat memakan buah pohon sleshmataki (Cordya myxa). Atau sanjungan telah merampas akal sehatmu, dan karenanya kamu tidak mendengarkan ucapanku.

Raa Janaka berkata:

“Saya mendengarkan kata-kata Anda dan saya menganggapnya luar biasa, melampaui kemampuan manusia. Sosok Anda juga merupakan perwujudan manusia adiluhur. Karena Anda hari ini telah mengalahkan Wandi dalam debat, saya serahkan dia kepada Anda.”

Astavakra berkata: “Wahai Baginda, Wandi akan tetap hidup, dia tidak akan menjadi pelayanku. Jika ayahnya benar-benar Baruna, biarkan dia menenggelamkan diri di laut.”

Wandi berkata, “Saya adalah putra Dewa Baruna. Saya tidak takut tenggelam. Bahkan saat ini. Astavakra akan melihat ayahnya yang telah lama hilang, Kagola.”
Kemudian di hadapan Janaka bangkitlah semua brahmana itu, setelah mendapat penghormatan sepatutnya dari Baruna yang murah hati. Salah satunya adalah Kagola, yang berkata:

“Untuk hal inilah, wahai Janaka, para pria mendoakan putra-putranya dengan melakukan perbuatan jasa. Apa yang gagal saya capai, telah dicapai oleh putra saya. Orang yang lemah mungkin mempunyai anak yang kuat; orang bodoh mungkin memiliki anak yang cerdas; dan mereka yang buta huruf mungkin memiliki anak-anak yang terpelajar.”

Wandi berkata, “Dengan kapakmu yang tajam, wahai Raja, bahkan Yama pun memenggal kepala musuhnya. Semoga kemakmuran menyertai Anda! Dalam acara pengorbanan oleh Raja Janaka ini, kidung utama untuk upacara Uktha (pegorbanan untuk Dewa Agni) dilantunkan, dan jus buah soma juga diteguk. Dan para dewa itu sendiri, secara pribadi, dan dengan hati yang ceria, menerima persembahan suci mereka masing-masing.”

Dalam suasana yang semakin megah, para brahmana pun bangkit dan Wandi, dengan seizin Raja Janaka, pergi menenggelamkan diri di laut. Astavakra menyembah ayahnya, dan dia sendiri disembah oleh para brahmana. Astavakra kembali ke pertapaan bersama pamannya.

Kemudian di hadapan ibunya, Kagola berkata kepada Astavakra, “Wahai anakku, segeralah kamu masuk ke sungai ini..” Astavakra pun masuk ke dalam sungai dan saat dia terjun ke bawah air, semua anggota tubuhnya yang bengkok segera diluruskan. Sejak saat itu, sungai itu pun diberi nama Samanga atau anggota tubuh yang lurus.

Begitulah kisah Astavakra dan perdebatannya dengan Wandi sebagaimana diceritakan Lomasa. Selesai bercerita, Lomasa pun menganjurkan Yudhistira Bersama istri dan saudara-saudaranya berwuduk di sungai Samanga dan bersembahyang di tempat pertapaan Resi Uddalaka.

***

Tokoh Astavakra sempat mucul dalam serial TV Radha Krishna. Di sini Astavakra digambarkan sebagai resi sakti yang pemarah dan seringkali mengutuk siapa saja yang mengolok-olok bentuk tubuhnya. Ia mengutuk wanita cantik yang tertawa melihat tubuhnya menjadi buruk rupa selama-lamanya.

Dalam satu episode Astavakra digambarkan akan mengutuk Radha, kekasih Sri Krishna, yang tersenyum ketika bertemu dengannya. Astavakra mengira Radha tertawa dan menghinanya karena bentuk tubuhnya. Sebelum hal itu terjadi, Radha menjelaskan: ‘Aku tersenyum karena gembira telah bertemu dengan seorang resi yang memiliki kedalaman pengetahuan dan keindahan batin dalam dirinya. Aku meyakini kecantikan fisik bersifat fana tapi keindahan pengetahuan itu abadi”. Astavakra pun membalas pujian tulus Radha dan mengatakan: Aku adalah seorang brahmana, tapi kau, Radha, telah memberiku pencerahan.” Astvakra pun berterima kasih kepada Radha dan batal mengutuknya. Sebaliknya, Astavakra memberkati Radha dengan anugerah bahwa dia akan menjadi muda untuk selama-lamnnya.

***

Tubuh Astavakra yang bengkok di delapan bagian diabadikan dalam pose yoga Astavakrasana. Pose ini bermanfaat untuk memperkuat pergalangan tangan dan lengan serta mengembangkan otot perut. Untuk melakukan pose ini, BKS Iyengar memberi petunjuk sebagai berikut:

  1. Berdirilah dengan kedua kaki direnggangkan selebar kira-kira 18 inci
  2. Tekuk kedua lutut, letakkan telapak tangan kanan di lantai di antara kedua kaki dan telapak tangan kiri di sisi kiri kaki kiri.
  3. Bawa kaki kanan ke atas lengan kanan dan letakkan bagian belakang kaki kanan di sisi belakang lengan kanan di atas siku. Bawa kaki kiri ke depan di antara kedua tangan tetapi dekat dengan kaki kanan.
  4. Buang nafas dan angkat kedua kaki dari lantai. Kedua kaki saling mengunci dengan cara menempatkan kaki kiri di atas pergelangan kaki kanan dan luruskan kaki ke samping kanan. Lengan kanan akan berada dalam posisi terjepit di antara kedu paha dan siku sedikit ditekuk. Lengan kiri lurus. Untuk sementara tahan posisi ini dengan keseimbangan pada kedua tangan dan bernafas dengan normal.
  5. Sekarang buang nafas, tekuk kedua siku dan turunkan badan serta kepala sampai sejajar dengan lantai.
  6. Untuk kembali ke posisi awal, luruskan kedua tangan, angkat tubuh lepaskan kuncian pada kaki turunkan ke lantai.
  7. Ulangi pose ini untuk sisi sebaliknya.

Foto posisi Astavakrasana 

 

*Penulis adalah pengajar yoga-meditasi freelance